Di bawah pohon terdapat beberapa tulang ayam sisa makanan.
Ning Que menatap tulang-tulang ayam itu, terdiam cukup lama.
Kuda hitam besar Da Hei gelisah mengeluarkan dengus, menoleh ke arah pondok kayu dengan perasaan tak tenang.
Tiba-tiba Ning Que berbalik, menggandengnya kembali ke depan pondok kayu, lalu mendorong pintu dan masuk.
Di dalam masih gelap gulita tanpa secercah cahaya lampu, kosong melompong, tak berpenghuni.
Ning Que melepaskan tali kekang, berjalan ke tepi jendela, menatap lautan salju.
Di atas meja lentera minyak menyala, Sang Sang memandangnya dengan tenang.
Ia tetap tak bisa melihatnya, tapi tahu Sang Sang ada di situ. Maka ia mulai berbicara.
"Longqing mati."
Ia terdiam sejenak, lalu melanjutkan: "Di Yan Utara, kubunuh dia... Tak kusangka hal ini berakhir begitu sederhana. Rencana awalku adalah melumpuhkannya, lalu mengurungnya di pintu gerbang gunung Iblis Zong agar menderita selamanya, seperti yang Paman Sepurguruanku lakukan pada Liansheng."
"Tapi kemudian kupikir, ini sebenarnya tak masuk akal. Ia tak terlalu bermusuhan denganku, kecuali sikapnya padamu dulu yang buruk, dan pernah mencoba mengancamku denganmu - tapi itu semua tak pernah terwujud... Liansheng membunuh Xiaoxiao, tapi dia tak pernah menyakitimu. Reaksiku mungkin terlalu berlebihan."
“Ning Que berbalik, menatap kamar yang gelap, berkata: ‘Sejak menemukanmu di samping pohon murbei tanpa kulit itu, emosi terkuat dalam hidupku selalu karena kau. Awalnya membunuh Kakek tua, kemudian Longqing. Aku ingat saat pertama masuk Kota Wei, aku berkelahi beberapa kali untukmu.’”
“Sang Sang berdiri sangat dekat dengannya. Andai tak ada tembok penghalang, mungkin mereka bisa mendengar suara nafas masing-masing. Mendengar ucapannya, ekspresinya tetap dingin, namun bulu matanya perlahan terkulai, seakan kelelahan.”
“Aku pergi ke Kuil Rotten Ke, mengukir banyak patung batu... Patungmu.”
“Ning Que mengeluarkan patung batu dari dada, meletakkannya di meja depan jendela: ‘Entah kau masih ingat atau tidak, perkataanmu saat sakit di biara Zen tahun itu. Tapi aku masih ingat.’”
“Sang Sang menatap meja, melihat patung dirinya yang tidur miring, mata memancarkan rasa penasaran.”
“Tentu, pertama aku ke Kota Wei. Selalu kupikir tempat itu punya makna penting bagi kita. Mungkin kau ada di sana, sayangnya tak kutemukan. Hmm, di sana kubunuh banyak orang.”
“Ning Que tiba-tiba berhenti bicara. Setelah terdiam cukup lama, ia berkata: ‘Tak ingin lanjut... Meratap, menusuk diri, memojokkanmu keluar, itu tak bermakna. Bagaimanapun, aku datang...’”
“Dia menatap kegelapan kosong di hadapannya: ‘Kau keluar.’”
“Tak ada kepalsuan, tak perlu nostalgia, hanya permintaan tenang, seperti selama bertahun-tahun sebelumnya, kau mengambilkan teh untukku, kau menuangkan air untukku, kau menyandarkan kakimu di dadaku, biarkan aku memegangnya sejenak.”
Di pondok kayu yang hening, terdengar suara tipis nyaris tak terdengar, bak kertas tertipis yang dirobek pisau setajam silet, atau kristal termurni yang jatuh dari ketinggian ke bumi, pecah, lalu merekah.
Cahaya redup perlahan menyelimuti seluruh dimensi, dari seberkas menjadi ribuan helai, akhirnya menerangi seluruh pondok kayu, menyinari patung batu yang miring di meja, menerangi wajah Ning Que, juga memantulkan siluetnya.
Ning Que menatapnya yang telah lama tak dijumpai, memandang tubuhnya yang membengkak di bagian pinggang, melihat jaket kulit binatang sederhana yang dikenakannya, dada tiba-tiba sesak, maju memeluknya erat-erat.
Sang Sang membiarkan dirinya digendong tanpa ekspresi, menengadahkan kepala dengan kesombongan, atau mungkin kekakuan.
“Lepas.” Katanya.
Singa hijau melesat dari sudut, kaki depan merendah, bersiap menerkam, menggeram ancaman.
Kuda hitam besar memandangnya dari ketinggian, tatapan penuh kekejaman, maknanya gamblang.
Singa hijau segera mereda, berubah menjadi patuh dan jinak.
Ning Que menggendong Sang Sang, kepala terkubur di lehernya, suara terdengar bergema, samar namun jelas - kesamaran ada pada nada, kejelasan pada makna, tak terbantahkan.
“Tidak.”
Sang Sang berkata dengan dingin: "Lepas."
Ning Que berkata: "Tidak akan melepaskan."
"Lepas."
"Tidak akan melepaskan."
"Lepas."
"Tidak... Sudah kubilang takkan kulepas."
Da Hei dan singa hijau saling berpandangan, lalu berjalan patuh ke sudut-sudut, pura-pura tak melihat atau mendengar apapun.
Ning Que terus menggendong Sang Sang, bak hendak bertahan hingga lautan mengering dan gunung-gunung hancur, langit dan bumi masih ada.
Tak tahu berapa lama, yang pasti lautan belum berubah jadi ladang murbei, kepala Sang Sang yang sedikit menengadah akhirnya merosot, hingga pipi mereka bersentuhan hangat.
Lama kemudian, yang pasti gagang kapak belum lapuk jadi debu, Ning Que yakin ia takkan kabur lagi, akhirnya melepas genggaman tapi segera menggenggam tangan kanannya, menggandengnya duduk di tepi tempat tidur.
Duduk berjajar sambil bergandengan tangan bukan untuk berbagi buah, andai Sang Sang memakai jubah pengantin, suasana bak malam pengantin baru - memang di sini dulu mereka "menggua" pertama kali.
"Ikut aku pulang," kata Ning Que padanya.
Sang Sang tak menjawab, juga tak menarik tangannya, menatap badai salju di luar jendela.
Ning Que tahu ia tak sedang melamun - karena ia adalah pikiran, kehadirannya nyata di sini.
"Ikut aku pulang," diulanginya.
Sang Sang menatapnya, tanpa ekspresi: "Pulang ke rumah yang mana? Rumah pertamamu dulu?"
Kali ini Ning Que yang terdiam.
“Sang Sang berkata: "Sang Guru ingin membongkar duniaku, didasari oleh hasrat yang membara namun tak bertanggung jawabnya akan kebebasan. Kau yang terobsesi ingin membongkar duniaku ini, apakah demi kembali ke rumah itu? Sebenarnya aku selalu ingin tahu, kapan kau yakin bahwa dengan membongkar duniaku, kau bisa pulang ke kampung halamanmu?""
"Ning Que menggenggam tangannya lebih erat, setelah berpikir ia berkata: "Sejak lama aku sudah menduga hal ini, karena di sini juga ada taburan bintang-bintang. Guru terakhirku telah berubah menjadi bulan.""
"Sang Sang sedikit mengangkat alisnya, bertanya: "Apa yang bisa dijelaskan oleh ini? Ia menjadi bulan karena tahun itu kau pernah mengatakan padanya tentang bulan di tengah lautan. Ia merasa bulan itu indah, hanya itu saja.""
"Ada badai salju."
"Ning Que menunjuk ke luar jendela: "Dan taburan bintang-bintang, semua ini adalah hal-hal yang tak perlu... Jika duniamu benar-benar tertutup dan membentuk sistem sendiri, apalagi empat musim, tapi semua ini sudah ada.""
"Duniamu sangat mirip dengan dunia tempatku berasal."
"Ia menarik kembali pandangannya dari jendela, menatapnya: "Hanya satu penjelasan yang masuk akal... Dunia ini masih berada dalam semesta yang sama dengan dunia asalku, setidaknya dapat diamati. Karena hanya dengan pengamatan kita bisa meniru, hingga menghasilkan kemiripan sepresisi ini.""
"Sang Sang berkata dengan ekspresi datar: "Bisa diamati, maka aku tahu seperti apa wujud duniamu.""
"Ning Que berkata: "Itu adalah dunia yang luas dan penuh kebebasan.""
"Sang Sang berkata: "Itu adalah dunia yang membeku dan penuh kematian.""
“Matahari yang bersemangat menebarkan kehidupan, ruang semesta tak bertepi menunggu untuk dijelajahi, maka di sana adalah dunia yang luas dan bebas, namun sebagian besar ruangnya dipenuhi dingin mutlak dan kesunyian maut, sehingga juga merupakan dunia yang membeku dan penuh kematian. Baik perkataan Ning Que maupun Sang Sang tidak salah, karena posisi mereka berbeda.”
Ning Que terdiam cukup lama, lalu berkata: “Takdir umat manusia tetaplah harus ditentukan oleh manusia sendiri. Kau tak perlu terus memikul tanggung jawab ini, itu terlalu melelahkan.”
Sang Sang berkata: “Pernah kukatakan padamu, Aku Mencintai Umat Manusia, hanya mencintai manusia yang mencintaiku. Leluhur umat manusia telah memilihku, maka aku harus melanjutkan tanggung jawab ini.”
“Diskusi ini tak ada artinya.”
Ning Que dengan tegas menghentikan dialog ini, menggenggam bahunya berkata: “Kau adalah istriku, kau sekarang mengandung anak kita, kau harus ikut aku pulang ke rumah.”
Sang Sang memandangnya dengan tenang, lama menatapnya lalu berkata: “Kau begitu ingin aku mati?”
Ning Que berkata: “Saat itu kau naik perahu besar menuju kerajaan ilahi di seberang, aku pernah mencoba melakukan sesuatu, namun akhirnya tak berbuat apa-apa. Kau seharusnya sudah paham sikapku.”
Sang Sang berkata: “Tapi aku juga telah memperingatkanmu, aku adalah kumpulan aturan dunia ini. Jika kau ingin memusnahkan dunia ini, aku tak bisa terus ada.”
Ning Que berkata: “Dulu aku juga khawatir, tapi sekarang tidak... Karena di kerajaan ilahi masih ada Langit Tak Berpelukan, dan kau sekarang telah berubah menjadi manusia, kau akan baik-baik saja.”
“Sang Sang menatapnya dengan ekspresi datar berkata: ‘Bagaimana kau bisa membuktikannya?’”
“Ning Que memandang perutnya yang melonjol, berkata: ‘Bukankah ini sudah jadi bukti?’”
Sang Sang berdiri dan berjalan ke tepi jendela, menatap ke kejauhan yang tak tentu, berkata: “Ajaran baru telah menyebar lama di dunia fana, aliran Tao semakin merosot, aku menjadi semakin lemah. Apa artinya ini?”
Ini membuktikan ia masih tetap Langit Tak Berpelukan.
“Mungkin juga karena... hubungan kehamilan?”
Ning Que menghampiri dari belakangnya, berkata: “Wanita hamil memang mudah lemas. Kau harus ingat, tahun itu di Kota Wei, saat tante gemuk hamil, bahkan tak punya tenaga untuk memaki.”
“Tapi kau tak punya cara untuk membuktikan.”
Sang Sang berpaling, berkata: “Kalau begitu aku masih mungkin mati.”
Saat mengucapkan ini, tak ada sedikitpun emosi di wajahnya, tampak tenang bahkan dingin hingga puncak. Namun Ning Que melihat ketakutan dan kesedihan yang luar biasa di dasar pupil matanya.
Karena ketakutan dan kesedihan itu, hatinya ikut sakit.
“Aku benar-benar... takut mati.” Sang Sang tetap tanpa ekspresi: “Sejak aku terbangun di kerajaan ilahi, aku mulai takut akan kematian. Aku tak ingin mati.”
Ia berbicara tenang, air mata membasahi wajahnya.
Sang Sang jarang menangis.
Langit Tak Berpelukan tak pernah menangis.
Ning Que lupa sudah berapa tahun tak melihatnya menangis. Mungkin beberapa tahun, atau ribuan tahun.
Ia memeluknya lagi, berbisik: “Jangan takut. Takkan kubiarkan kau mati.”
Sang Sang masih seperti sebelumnya membiarkan dirinya digendong, kedua tangan tergenggam di belakang punggung.
Tapi kali ini, ia menyandarkan kepala di bahu Ning Que.
"Semuanya ingin membunuhku... Mereka ingin membunuhku, kalian juga ingin membunuhku, aku sekarang bisa dibunuh, jadi aku sangat takut, takut kau pun akan membunuhku."
Ekspresinya tenang, namun air mata terus mengalir, kesedihan yang ganjil.
"Tidak akan."
Ning Que memeluk erat-erat, berkata: "Jika benar-benar takut, kita berhenti saja. Kita pulang ke rumah lain, bukan ke Kota Wei, kembali ke Chang'an, halaman Toko Kuas Tua masih ada."
Sang Sang bertanya: "Lalu rumahmu yang itu?"
Ning Que menjawab: "Sudah lama kulupakan."
Tempat hatimu tenang, itulah kampung halamanmu.
Di mana pun kau menemukan kedamaian, di situlah rumahmu.
Sang Sang adalah rumahnya.
Seperti ingin menyeberang ke Nirvana, tapi tak bisa pulang ke kerajaan ilahi.
Karena tujuan terakhirnya, ada di tempat ia berdiri.
