Di titik ini, mungkin ada yang bertanya: Kau tak mengerti apa-apa, bagaimana bisa tiba-tiba menghafal mantra Gu?
“Di sini saya akan jelaskan sedikit, memelihara Gu sebenarnya cukup mudah, yang sulit adalah menanamkannya. Alasan saya tahu mantra untuk memelihara Gu karena pernah melihatnya dalam Metode, transliterasi paling sederhana, karena ingatan saya tiba-tiba menjadi sangat jelas, lalu bisa. Lagipula, dari semua cara menanam Gu, menanamnya langsung di depan mata adalah yang termudah, setara tingkat kesulitannya dengan ujian parkir mundur saat belajar menyetir. Tentu saja, faktor utama adalah karena di perut saya ada Raja Segala Gu yaitu Jin Can Gu, yang telah menjadi Gu Nasib Dasar saya.”
“Apa itu Gu Nasib Dasar? Terhubung dengan daging, hidup dan mati saling bergantung.”
“Setelah saya selesai melafalkan mantra Gu, saya fokuskan pandangan ke wajah Pak Polisi Yang. Tidak sampai dua menit, dia langsung memegangi perutnya, otot wajah berkedut-kedut, wajahnya kebiruan, lehernya menegang, keringat deras mengalir dari belakang telinganya. Pak Polisi Ma bertanya ada apa? Dia bilang mungkin makanan cepat saji kemarin bermasalah, perutnya sakit, sakit yang menusuk-nusuk, ingin ke toilet.”
“Saya menyeringai dingin dan berkata padanya: Jangan pergi, nanti yang keluar malah tai penuh serangga, bikin diri sendiri ketakutan.”
“Kedua polisi dan petugas pencatat wanita yang wajahnya biasa saja di sebelah menatapku. Pak Polisi Ma bertanya: ‘Ini ulahmu?’ Hidungku agak gatal, saya bersin, pertama-tama membisikkan mantra suci ‘Ling Biao Tong Qia Jie Xin Lie Qi Chan’, lalu menyeringai dingin: ‘Saya ditahan di kantor polisi sehari semalam tanpa alasan, kelaparan sampai pusing, pasti ada yang harus bertanggung jawab.’”
“Jangan sok misterius begitu, bangsat!”
Pak Polisi Yang membanting meja, melototi aku dengan marah sambil menutupi perutnya lalu keluar. Aku diam saja, menunduk sambil mengantuk. Suasana di dalam ruangan beku bagai mayat. Beberapa saat kemudian, Pak Polisi Yang membuka pintu dengan wajah pucat pasi. Ia nyaris menyeret kakinya ke pintu, bola matanya merah membara. Dengan suara sendu tangis ia membentakku: "Dasar brengsek, apa yang kau lakukan padaku?"
Pak Polisi Ma segera menyangga tubuhnya: "Xiao Yang, Xiao Yang, kamu kenapa sebenarnya?"
Pak Polisi Yang menarik lengan baju Pak Polisi Ma dengan lemas. Pria sepertinya itu menangis tersedu-sedu: "Aku ke toilet, hasilnya... keluar kotoran yang penuh serangga putih semua... masih hidup... bergeliat..." Sebelum ia melanjutkan, Pak Polisi Ma menghentikannya. Menoleh ke arahku, ia membeku selama tiga detik lalu membungkuk meminta maaf: "Tuan Lu, maafkan kami. Cara kerja kami memang tidak profesional. Atas nama semua personel, saya mohon Tuan tidak menyulitkan Xiao Yang lagi."
Di keluarga kami, sebutan "Tuan" biasanya ditujukan pada tukang ramal dunia persilatan. Gelar itu membuatku nyaris tak bisa menahan senyum. Mengingat kami masih satu keluarga besar yang sering bertemu, aku tak ingin memperkeruh situasi. Akhirnya kukatakan: "Aku perlu menelepon keluarga untuk kabar keselamatan..."
※※※
Aku segera akan dibebaskan, Pak Polisi Ma berkata akan mengadakan jamuan permintaan maaf di restoran terbesar di kabupaten. Kukatakan tak perlu buru-buru, sambil menatap Pak Polisi Yang yang masih geram, kutanyakan: "Tunduk tidak?" Dia mungkin masih trauma dengan tinja penuh serangga tadi, meski di hati masih menyimpan dendam, hanya bisa menunduk dan berkata: "Aku tunduk."
Kukatakan baik, pergilah ganti celana dulu.
Pipinya langsung memerah, wajah Pak Polisi Ma berkedut. Setelah Pak Polisi Yang keluar, tangannya menggosok-gosokkan pintu dengan keras. Tak kusinggung lagi soal Pak Polisi Yang yang BAB tak bersih, melainkan kusuruh Pak Polisi Ma: "Pergilah, atau suruh orang ke pasar atau petani terdekat, beli telur ayam kampung yang baru ditetas, harus yang paling segar. Lalu benang merah dan kertas kuning Fu, ini semua ada di Toko Lilin Dupa Lingji, harus cepat, semakin cepat semakin baik."
Dia mengiyakan, segera menyuruh bawahannya mengurus. Aku dibawa ke sebuah kantor ditemani Pak Polisi Ma mengobrol. Kami membahas kasus pemotongan mayat. Tak lama Pak Polisi Yang masuk membawa benang merah dan kertas kuning Fu. Kukatakan pada mereka, sungguh tak tahu soal ini. Mereka bilang paham, mengatakan dua kasus pemotongan mayat tekniknya sama, tapi untuk kasus pertama aku punya alibi, jadi meski masih tersangka, tak terlalu kuat. Hanya atasan yang mendesak, mereka ingin mencoba dariku mencari terobosan.
Dalam hati kukutuki para brengsek ini, tapi karena sudah berdamai, kubiarkan saja.
Saat menunggu seorang adik berbaju seragam yang bermuka manis membawa telur kekuningan tanah masuk, aku mengambilnya dan meletakkannya di gelas air panas yang sudah mereka siapkan. Kemudian aku mengikat pergelangan tangan dan kaki Pak Polisi Yang dengan tali merah sambil memukulnya keras-keras. Dua menit kemudian, kusuruh ia melepas baju. Telur yang sudah direndam tadi kugulingkan di perutnya perlahan, dari dada hingga tulang rusuk, terus sampai ke panggul.
Sekitar dua menit kemudian, kubakar fu kertas kuning lalu melepas tali merah.
Pak Polisi Ma bertanya, "Sudah selesai?" Meski tidak berpengalaman dan hanya mengikuti buku, saat itu terpaksa kujawab, "Bisa lah." Wajah Pak Polisi Yang merah padam karena dipukuli, ia minta ke toilet lagi. Kubilang ini pertanda bagus, sisa racun sedang dikeluarkan, kali ini tidak ada cacing. Dengan ragu, ia berlari keluar.
Pak Polisi Ma melanjutkan pembicaraan tentang kasus pemotongan mayat. Kutanya, "Sudah ketemu Li Decai? Kucurigai ini bukan perbuatan manusia, tapi makhluk halus." Ia bertanya alasanku, lalu kujelaskan analisisku. Melihatku seperti ahli, Pak Polisi Ma teringat kasus aneh dan menunjukkan berkasnya, minta bantuan analisis.
Aku juga tidak menolak, mengambil berkas itu untuk dilihat: yang meninggal adalah seorang gadis kecil berusia enam setengah tahun, putri bungsu dari seorang bos kaya di kota kabupaten. Kematiannya misterius, tanpa penyakit atau musibah, tiba-tiba jatuh sakit selama beberapa hari lalu mati dengan kedua mata terbalik putih dan mulut mengeluarkan darah hitam. Sang bos dengan sedih menguburkan anak itu. Namun istri bos merasa ada yang aneh, lalu menghubungi polisi. Di kabupaten terpencil, penguburan tanah masih umum dilakukan. Karena belum lama dikubur, bos sangat menentang, tapi akhirnya tidak bisa melawan istrinya dan menyetujui otopsi. Tak disangka saat tiba di lokasi, mayatnya sudah dicuri orang.
Kukatakan kematian dengan mata terbalik dan muntah darah hitam agak mirip korban Gu racun, mungkin juga karena penyakit bawaan.
Saat itu kalau bisa dilakukan otopsi memang lebih baik. Sekarang mayatnya sudah hilang, ngapain juga bahas ini?
Ini kejadian sudah setengah tahun yang lalu.
Tiba-tiba Pak Polisi Yang masuk. Ia mendatangiku dan membungkuk dalam seperti orang Jepang: "Maafkan saya, Tuan Lu Zuo. Aku buta tidak mengenal Gunung Tai, telah menyinggung orang pintar. Untung Tuan tidak menghitung kesalahan orang hina seperti saya dan memberi saya kesempatan. Yang Yu pasti akan ingat kebaikan ini seumur hidup." Melihat kesungguhannya, kukibaskan tangan: "Tidak perlu. Aku juga hanya memberi Gu agar bisa kabur. Asal kau tidak dendam saja." Pak Polisi Yang segera menjawab: "Tidak berani," dengan ekspresi sangat hormat.
Aku khawatir di bibir dia bilang begitu, tapi di hati masih menyimpan dendam. Kukatakan: "Jangan terlalu dipikirkan. Meski kali ini aku membuatmu menderita, tapi juga menyembuhkan penyakit saraf lehermu. Jadi kita sudah square." Terus dia meraba lehernya, baru sadar sakitnya sudah hilang, langsung melompat senang.
Di sini dijelaskan, sebenarnya tujuan awal Gu bukan untuk membunuh orang, tapi untuk pengobatan dan penyelamatan. Disebut juga pengobatan shaman, tercatat dalam "Kompendium Materia Medika"-nya Li Shizhen. Prinsipnya tak perlu dijelaskan. Tapi belakangan orang malah lebih suka pakai untuk hal jahat daripada menyembuhkan, akhirnya reputasinya jadi buruk.
Pak Polisi Yang bilang mau mentraktirku minum, menyiapkan satu meja di restoran terbaik kabupaten.
Aku tak menolak. Sebagai perantau, aku paham satu prinsip: Tambah teman berarti tambah jalan, tambah musuk berarti tambah dinding.
Tiba-tiba polisi wanita muda berpayudara montok masuk, nunjuk barang di meja tanya mau dibuang atau tidak. Kubilang iya. Dia masukkan ke kantong plastik mau dibuang. Pak Polisi Ma bercanda bilang telur ini masih utuh, buat sarapan Xiao Yang saja. Aku geleng-geleng kepala. Semua heran. Kubilang buka saja. Pak Polisi Ma pecahkan telur, putihnya sudah mengeras. Saat dikupas sampai kuning, terlihat banyak ulat kecil putih-hitam bergerak geliat.
Beberapa orang wajahnya pucat ketakutan, polisi wanita itu bahkan sampai berteriak ketakutan.
Sebenarnya aku juga sangat ketakutan, tapi tetap berlagak sebagai orang pintar, berkata: "Ini harus dibakar di perapian, jangan dibuang sembarangan, supaya tidak menyebar ke mana-mana."
Mereka semua mengiyakan, lalu memandangku dengan sorot mata penuh hormat.
Saat itu hatiku dipenuhi kepuasan. Perlu diketahui, meskipun di tahun 2007 keadaanku cukup baik, tapi setiap kali petugas pajak dan industri datang ke tokoku yang berseragam, aku langsung harus mengangguk-angguk dan membungkuk-bungkuk, menjilat seperti cucu kedua, takut mereka membuat masalah untukku. Jadi meskipun punya sedikit uang sisa, diperlakukan seperti ini benar-benar pertama kalinya, rasa bangga yang muncul spontan di hati terasa hangat seperti berjemur di matahari.
Ahli keamanan publik pun bagaimana? Tetap saja bisa kubuat berputar-putar seperti gasing?
Saat itu, tiba-tiba aku jadi tertarik dengan peninggalan nenek, benda-benda misterius ini membuatku merasa: dengan ini, aku tak perlu hidup hina seperti jomblo rendahan yang selalu waspada. Aku bisa mengangkat kepala, membusungkan dada, hidup bermartabat di dunia ini, membuat semua yang meremehkanku terkesan. Begitu memikirkannya, saat itu hatiku langsung membesar tak karuan.
Malam itu kami makan di Hotel Shanjiang, di ruang VIP terpajang 15-16 hidangan, semuanya makanan berat berprotein tinggi, minumannya juga berkualitas—Wu Liang Ye. Yang menemani hanya Pak Polisi Ma, Pak Polisi Yang, dan polwan yang pernah kulihat di kantor polisi. Kemewahan ini membuatku, si pengusaha kecil yang pelit (atau pedagang eceran?), tertegun.
Setelah tiga putaran minum dan lima jenis lauk disantap, saat pesta tengah meriah, Yang Yu (sudah akrab tak perlu dipanggil Pak Polisi) menarik tanganku memanggil "saudara". Katanya sejak lahir sampai sekarang ia belum pernah benar-benar tunduk pada siapapun. Ayahnya pejabat provinsi, ibunya direktur perusahaan kehutanan, dibesarkan dengan sendok emas—sombong pada semua orang. Tapi hari ini ia benar-benar tunduk padaku, tunduk dengan tulus! Kedepannya ada urusan, tinggal beri kabar. Siapa yang berani menolak, dialah keparat.
Kukatakan hari ini memang terpaksa, tapi ini bisa disebut "tak kenal maka tak sayang". Kedepannya mari saling membantu.
Ma Haibo si veteran terus berusaha mengorek informasiku, menanyakan cara aku melakukan semua ini. Aku sendiri hanya tahu selintas, setengah kaleng kosong, mana bisa menjelaskan padanya? Terpaksa aku mengada-ada, berkelit dengan omongan mistis, bilang ini warisan keluarga, tak pantang dibeberkan pada orang luar.
Yang Yu menarik lengan bajuku sambil menangis iri: Punya ayah pejabat provinsi, tak ada artinya dibanding nenek yang punya kemampuan asli.
Aku biasanya seorang pecinta kuliner, hampir semua kuliner di daerah Dongguan sudah kucicipi, sangat rakus. Kadang aku berlari lebih dari satu jam hanya untuk makan hidangan enak, dan caraku makan sangat buruk serta cepat. Kebiasaan ini terbentuk saat masa-masa sulit dulu, ketika perut lapar tapi tak punya uang, selain minum air sebanyak-banyaknya, hanya bisa mengencangkan ikat pinggang. Sekarang dengan wanita cantik di samping, aku berusaha menahan diri agar terlihat sopan. Tapi gadis bernama Huang Fei itu tidak membiarkanku, terus menerus menuangkan arak untukku.
Aku juga orang yang menjaga gengsi, tidak mau dibilang tidak sportif. Kalau ada yang bersulang, pasti kunikmati.
Hasilnya, tak lama kemudian satu kati baijiu masuk ke perut, tubuh mulai terasa melayang. Dalam kondisi setengah sadar aku menyetujui sesuatu tapi tak bisa mengingatnya. Berusaha tetap sadar justru membuat langkahku semakin goyah. Melihat kecantikan Huang Fei yang bagai bunga mekar di dekatku, hati yang sudah lama mati rasa tiba-tiba berdebar kencang. Hanya ingin menggenggam tangan mungilnya dan memeluknya erat-erat.
"Lu Zuo, tolong kami... Tolong kami, kalau tidak aku akan dimarahi atasan!" Suara manis yang keluar dari mulut polwan ini membuat kewibawaan priaku melambung, hati dipenuhi keberanian... Pasti beres!
