Biasanya, saat terlalu lama berjalan dalam kegelapan, arah seseorang akan mudah kacau. Terlebih ketika beberapa penanda berubah, keraguan akan posisi diri pun muncul. Tapi alasan kuanggap jalan ini salah bukan karena ingatanku luar biasa, melainkan karena energi Yang semakin menjauh - di depan, kabut energi Yin hitam pekat menyelimuti segalanya.
Dari energi Yin-Yang, Duoduo lah yang paling mahir membedakannya.
Kapten Wu tidak sabar, berkata, "Kita akan segera keluar, kenapa kamu bikin ribut?" Aku bertanya, "Apa maksudmu 'segera keluar'? Coba lihat, apakah ini sama seperti saat kita masuk tadi?" Mendengar ini, beberapa orang mulai menyorotkan senter ke segala arah. Ada yang bilang sama, ada juga yang bilang beda. Aku mengerutkan alis, "Jangan berisik! Medan di sini agak aneh, seolah kita berputar-putar. Ayo kembali, biar aku yang memimpin."
Sebenarnya Kapten Wu juga tidak yakin. Saat masuk tadi dia membuat tanda, tapi sekarang semuanya hilang lenyap. Ada dua penjelasan untuk kejadian aneh ini: pertama ada yang mengacau, kedua kita salah jalan. Meskipun mereka pernah latihan menghafal cepat dasar, tapi bukan profesional. Tanpa kompas, waterpass, atau alat pengukur tekanan, akhirnya mereka menyerah. "Baik, kamu saja yang memimpin," kata mereka setelah melihat keyakinanku.
Sebenarnya sense of direction-ku juga biasa saja. Tapi dengan Duoduo yang membimbing, perlahan kami mulai menjelajah.
Harus diakui, gua kapur ini memang sangat besar. Lubang besar mengelilingi lubang kecil, lingkaran besar menyelimuti lingkaran kecil, setiap lorong saling terhubung. Semakin dalam kami masuk, semakin banyak persimpangan jalan. Aku mulai waspada—pasti para Manusia Kerdil sengaja menjebak kami dalam labirin ini untuk mengurung kami sampai mati. Bagaimana caranya? Di daerah Jinping juga ada topografi karst. Waktu kecil aku pernah menjelajahi gua kapur. Caranya dengan menyalakan lilin—jika api padam, berarti konsentrasi karbondioksida terlalu tinggi dan bisa menyebabkan sesak napas, maka kami harus segera mundur. Selain itu, jika tersesat di dalam gua sampai energi habis dan persediaan makanan menipis, jelas itu berarti jalan menuju kematian.
Apalagi di dalam gua ini ada kelelawar, tikus bangkai, dan berbagai bahaya tak terlihat yang mengintai kami.
Duoduo memang tak bisa bicara, tapi dia memberiku petunjuk jelas—jalur mana yang harus diambil, bagaimana melangkah. Kami berjalan mundur, belok kiri dan kanan. Aku mengeluarkan kapak dari tas ransel, memegangnya di depan sambil memimpin lima pria yang berjalan hati-hati di belakang. Setelah beberapa saat, kami sampai di pilar berbentuk huruf . Tiba-tiba polisi itu berteriak, "Benar! Di sinilah tempatnya, kita pernah lewat sini!"
Dia bernama Liu, anak buah Ma Haibo. Pak Polisi Liu pernah bertemu denganku di Desa Segai (dialah polisi gemuk yang memuji Jin Can Gu imut). Karena tahu aku punya kemampuan khusus, dia berseru gembira begitu menyadari kami hampir keluar dari labirin.
Kami bergegas maju menuju persimpangan tiga jalan. Ternyata kami kembali ke tempat semula melalui terowongan sebelah kanan.
Kapten Wu berlari ke dinding batu tempat dia membuat tanda, juga senang, berkata sudah ketemu, menemukan tanda kapur. Tanda kapur ini bagai sinar matahari satu meter di tengah cuaca berbayang gelap, menyinari hati mencekam kami, semua orang tersenyum sumringah, merasakan harapan. Kurasakan pandangan mereka ke arahku mulai mengandung sedikit rasa terima kasih dan hormat – lagipula, akulah yang bisa memimpin semua keluar dari kegelapan. Pak Polisi Liu bertanya kenapa kita justru keluar dari mulut gua sebelah kanan?
Kubilang aku tak tahu, gua ini benar-benar aneh.
Terus berjalan, semakin jauh semakin dingin, suhu terasa mirip dengan luar. Tak lama, kami tiba di persimpangan tiga kedua. Kali ini, keluar dari sisi kiri, melihat tanda buatan Kapten Wu yang coret-coretan itu, meski berantakan tapi terasa sangat akrab. Tak ada lagi yang memikirkan cara membasmi Manusia Kerdil, hanya ingin segera keluar, menjauhi kegelapan.
Kapten Wu bergumam sambil mempertebal tanda kapurnya, bersikeras harus menemukan jenazah Hu Youran.
Kubilang mencari jenazah Hu Youran mudah saja, tapi saat kembali, harus bawa tabung oksigen, bungkus mayat anti-infeksi, serta perlengkapan lengkap. Jangan sampai tikus dan kelelawar di sini mendapat kesempatan menginfeksi luka sekecil apapun.
Performa ajaibku membuatnya mulai mempercayaiku. Ia mengangguk, "Oke."
Hampir keluar dari gua, suasana hati semua orang riang. Aku juga sudah lelah tadi, kadar oksigen rendah, bernapas pun terengah-engah. Kapten Wu bilang dia yang akan berjalan di depan. Setelah berjalan sekitar lima puluh meter lebih, tiba-tiba Kapten Wu berhenti. Aku bingung, menyorotkan senter ke depan, menemukan sosok pendek dalam kegelapan dengan mata merah menyala yang mengambang, sangat menyeramkan. Aku memfokuskan cahaya, melihat topi jerami merah – benar-benar ada Ai Luozi di sana.
Hampir refleks, aku langsung merogoh ketan dari tas dan menyebarkannya ke depan.
Makhluk jahat itu sangat lincah. Melihat tanganku menggapai tas, dia langsung kabur. Aku berteriak "Kejar!" dan berlari mengejar. Tapi setelah mengejar sekitar 7-8 meter, makhluk kecil itu sudah menghilang. Aku heran, kenapa Kapten Wu dan yang lain sama sekali tidak bereaksi? Ketika menoleh, kudapati kelima orang termasuk Kapten Wu dan Pak Polisi Liu terkunci di tempat, tak bergerak sama sekali, wajah kaku seperti patung. Aku kembali mendekati Kapten Wu, melihat kelopak matanya terkulai dengan ekspresi ketakutan dan panik di wajah, tapi tubuhnya kaku seperti kayu.
Aku memeriksa yang lain, kondisinya sama. Saat mengamati bagian bawah kelopak mata, terlihat bola mata mereka berputar cepat.
Fase REM (Rapid Eye Movement) – apakah mereka sedang bermimpi?
Begitu melihat ini, aku langsung berteriak "Bahaya!"—kemungkinan Manusia Kerdil telah menyihir mereka. Di wajah kelima orang ini terpancar kesedihan, sukacita, ketakutan, kebingungan, bahkan senyum lebar. Aku tahu keberadaan Duoduo dalam diriku membuatku kebal, namun kelima orang lain tak bisa melawan dan langsung terjerat. Andai mereka hanya bermimpi biasa, mungkin tak masalah. Masalahnya jika mereka mulai tidur sambil berjalan dan dikendalikan—ini sangat berbahaya! Ingat, mereka semua membawa senjata api. Jika ada yang tertembak, aku atau siapapun, ini akan jadi masalah besar.
Apa itu tidur sambil berjalan? Ini kondisi kesadaran yang termutasi. Penderita sleepwalking kehilangan kontak dengan lingkungan, seolah hidup di dunia pribadi sementara melakukan aktivitas yang tampak bermakna. Setelah episode ini, mereka tak ingat apapun. Biasanya sleepwalking hanya menampilkan kesadaran kacau, tapi jika ada yang sengaja memanipulasi, hal mengerikan bisa terjadi—contohnya Li Decai yang membunuh lalu memakan daging manusia.
Begitu cepat mereka terhipnosis, sungguh mengerikan kekuatan sihir Manusia Kerdil ini. Aku tahu begitu fase REM berakhir, mereka akan berubah jadi zombie tanpa kesadaran, menuruti perintah Manusia Kerdil untuk menyerangku atau saling serang! Jelas-jelas kita hampir sampai di mulut gua, makhluk yang berkeliaran di antara realita dan alam spiritual ini akhirnya menunjukkan taring, mulai bertindak langsung.
Dingin merasuk ke tulang sumsumku—aku baru menyadari ini benar-benar kelompok musuh yang licik dan kejam.
Lawan yang tangguh.
Aku menatap kelima orang ini, tapi tak berani gegabah membangunkan mereka. Orang yang tidur berjalan, digerakkan oleh kesadaran yang mengendalikan tubuh—kesadaran ini disebut hun manusia, atau insting. Jika dibangunkan tiba-tiba, kemungkinan pertama adalah mereka akan kebingungan, lalu seluruh tubuh lemas dan lunglai. Kemungkinan lain adalah hun manusia akan terganggu, hubungan dengan hun bumi terputus seketika, berubah menjadi orang gila.
Harus bagaimana? Pertanyaan ini seketika mengusikku. Apa yang harus kulakukan? Jika tak kubangunkan mereka, begitu masuk fase tidur berjalan, mereka akan langsung menembak membunuh. Jika kubangunkan, bagaimana jika mereka jadi gila? Hanya tiga detik aku berpikir. Melihat bola mata Pak Polisi Liu yang gemuk itu berputar kencang akhirnya berhenti, hati kecilku berteriak "sial". Tanpa sempat berpikir lagi, kugunakan teknik "Teguran Tongkat Buddha" dari bab Larangan Mantra dalam Dua Belas Metode Penaklukan Pegunungan. Kutenangkan diri, merapal mantra segel singa dalam, lalu berseru kencang:
Qia——
Apa itu Qia? Seperti dijelaskan sebelumnya, ini adalah satu dari Sembilan Mantra Suci (Ling Biao Tong Qia Jie Xin Lie Qi Chan) dalam "Mandala Sembilan Pertemuan" aliran Esoterik Buddhisme. Melambangkan kekuatan untuk menguasai tubuh sendiri dan tubuh orang lain. Memiliki efek "menolak kendali, mengembalikan jati diri".
Suara ini melampaui 100 desibel, bergema di sepanjang terowongan. Bergaung seperti nyanyian spiritual Buddha, bergema bagaikan lonceng raksasa, terus-menerus berdengung di telinga.
Dalam gaungan suara itu, bahkan hatiku sendiri terasa disucikan, menjadi jauh lebih tenang dan damai.
Kelima orang itu membuka mata secara bersamaan.
Jernih dan berkilau.
Kapten Wu menatapku dan berkata dengan terkejut bahwa dia baru saja melihat sosok pendek bertopi dengan mata merah... Aku menjawab bahwa aku juga melihatnya, mereka baru saja dikendalikan olehnya sehingga tubuh mereka kaku tak bisa bergerak, dan akulah yang membangunkan mereka. "Kalian sudah tidak mengunyah akar manis lagi? Cepat kunyah dalam mulut, biar tidak terpengaruh lagi." Tampaknya Kapten Wu adalah orang bertekad kuat, dia juga mulai menyadari sesuatu. Dengan perasaan ngeri di hati, dia segera memerintahkan semua orang untuk memasukkan akar manis ke mulut dan mengunyahnya sampai keluar sarinya. (PS: Jika tidak ada akar manis, bisa diganti dengan sirih atau daun mint)
Sambil mengunyah akar manis, seseorang bertanya mengapa udara begitu busuk, siapa yang kentut?
Tak ada yang mengaku kentut. Aku mengendus dan memang tercium bau busuk seperti daging membusuk atau bau mayat. Aku tahu ini pasti ulah Manusia Kerdil. Segera kusuruh semua orang merobek kain baju, membasahinya dengan air lalu menutup hidung dan mulut. Seorang tentara segera merobek baju dalamnya, tapi saat membuka tutup botol minum tentaranya, dia berteriak ketakutan dan menjatuhkannya. Kami mendekat dan melihat air yang tumpah itu penuh belatung putih gemuk bergeliat seperti sup kental.
Tak sempat terkejut, dari arah asal kami kembali terdengar suara langkah kaki berat yang menyeret di tanah. Dalam kegelapan, terlihat sosok bayangan setengah membungkuk sedang merangkak dengan susah payah. Di udara, bau busuk itu semakin menyengat, membuat orang ingin muntah, seolah ingin memuntahkan semua nasi semalam agar lega. Pak Polisi menyorotkan senter ke kegelapan, lalu berteriak ketakutan...
Aaa——
