Menurut pemandu Lao Jiang, tempat ini bernama Jurang Merayap, sudah termasuk wilayah hutan purba. Di ketinggian bukit berbahaya dengan laut pepohonan dan kabut yang mengelilingi, tak ada jalan setapak kecuali jalur binatang buas. Hanya sedikit pemetik herbal yang berani datang, bahkan Lao Jiang sendiri hanya mendengar cerita orang tua, belum pernah benar-benar menginjakkan kaki di sini. Kami mencari cukup lama sebelum menemukan terowongan menuju dasar jurang.
Tiba-tiba Lao Jiang protes: "Di bawah mungkin ada ular. Tidak, kita tidak boleh turun."
Paman Ketiga berjongkok di pinggir jalan, mengamati pohon kecil dengan dua bekas tebasan putih, menoleh dan bertanya: "Kenapa tidak? Ada ular? Masak sih? Cacing-cacing panjang itu sekarang pasti sedang hibernasi, takkan mengganggu kita."
"Apa sebenarnya alasannya? Cepat katakan!"
Lao Jiang melihat parit dalam di bawahnya, rumput liar, lumut, dan duri memenuhi lereng gunung ini, suara aliran anak sungai terdengar samar, damai seperti surga di langit. Ia menelan ludah, berkata bahwa dia baru ingat, Pawogouzi adalah tempat berbahaya. Dia punya teman yang ayahnya tewas di sini. Bagaimana tewasnya? Digigit ribuan ular hingga jantungnya hancur. Saat mengurus jenazah, hanya tersisa kerangka tulang belulang, sangat mengerikan? Orang-orang tua dulu bercerita, di sini tinggal Kakek Shennong, ular-ular ini adalah penjaga makam Shennong, tidak boleh turun.
Kami tertawa, siapa Shennong? Yang disebut keturunan Yandi dan Huangdi, dialah Kaisar Yan yang legendaris, dewa matahari Tiongkok, salah satu dari Tiga Kaisar Lima Kaisar, tokoh dari ribuan tahun lalu. Konon pernah membangun ibu kota di Qufu Shandong, bergelar Shennong, juga dewa pengobatan dan pertanian Tiongkok kuno. Meski dengar Shennong mencicipi ratusan herbal pernah ke sini, tapi kalau dipaksakan bilang makam Shennong ada di Shennongjia ini, saya yakin rakyat Qufu pasti yang pertama tidak setuju.
Paman Ketiga berkata jangan ngomong kosong, tambah sepuluh ribu boleh? Setuju turun, tidak setuju kamu pergi, kami sendiri yang turun.
Lao Jiang merenung lama sambil bergumam, akhirnya malu-malu menyetujui.
Aku awalnya masih punya rasa hormat dan simpati pada pria paruh baya dari Hubei yang jujur ini, tapi semua itu langsung hilang oleh aksinya yang meningkatkan harga secara sepihak. Menuruni jalan setapak yang curam, Lao Jiang yang sudah dibayar lebih itu bekerja keras membabat rumput liar dengan pisau berburu di depan, membuka jalan untuk kami. Anjing tanah itu melompat-lompat kesana kemari dengan gesit. Tapi dia tidak berani mendekatiku, hanya memandangiku dari jauh sambil menghindar.
Binatang ini cukup peka, tapi tak tahu apakah karena Duoduo atau Jin Can Gu.
Atau mungkin keduanya.
Sebenarnya dengan menuruni jalan ini dan melihat tumpukan dahan pohon serta duri di tepi jalan, bisa jelas terlihat bahwa baru-baru ini ada orang yang juga lewat sini. Penemuan ini menggembirakan, tapi juga membuat neraca di hati terus bergoyang antara kekecewaan dan harapan, menambah kegelisahan. Paman Ketiga Lao Xiao adalah ahli obat herbal, jadi sepanjang perjalanan dia terus menerangkan ciri-ciri tumbuhan di pinggir jalan pada Zhou Lin dan kami - mana yang bisa jadi ramuan obat, kegunaannya, dengan sabar sambil berjalan.
Jika menemukan yang berkualitas baik, langsung dia masukkan ke dalam tas.
Baru sekarang aku tahu alasan Zhou Lin ikut adalah karena guru yang sedang melatihnya sekarang adalah Xiao Yingwen, paman ketiga si berbulu.
Butuh waktu lebih dari setengah jam bagi kami untuk mencapai dasar lembah. Di sana mengalir sebuah anak sungai kecil. Di hamparan batu kerikil tepi sungai, kami menemukan bekas api unggun yang sudah dingin. Dari suhunya, mungkin sudah beberapa hari berlalu. Hujan gerimis kemarin membuat semuanya basah kuyup, menyulitkan pencarian. Selain itu, kami juga menemukan bungkus plastik makanan, remahan mi instan, dan sebuah kaos kaki katun. Zhou Lin bertanya apakah Paman Kecil pernah ke sini? Paman Ketiga mengangguk, "Sepertinya iya. Mari cari lagi, siapa tahu ada petunjuk."
Kami pun menyebar mencari. Aku menyusuri batu-batu tepi sungai selebar tiga empat meter itu, mencoba mencari jejak yang mungkin menyeberang ke seberang.
Sepuluh menit kemudian, Lao Jiang berteriak dari hilir sekitar dua puluh meter, memanggil kami untuk melihat sesuatu.
Kami bergegas mendekat dan mengerumuni spot itu. Di lumpur tepian yang dangkal, terlihat beberapa jejak kaki mirip manusia tapi lebih besar, dengan cakar tajam. Aku berjongkok, mengamati jejak itu dengan saksama mencari secercah petunjuk. Namun mungkin karena hujan, yang terlihat hanya anak sungai yang jernih seperti kaca hijau, serta batu-batu kerikil putih dan kebiruan. Mana ada sesuatu yang mencurigakan?
Paman Ketiga juga bolak-balik memeriksa, berusaha menemukan tanda yang ditinggalkan adiknya.
Masih Zhou Lin yang matanya tajam, ia menemukan beberapa helai bulu berwarna kelabu dari ranting pohon di tepi anak sungai, lalu menunjukkan ke hadapan kami. Kami berkumpul membentuk lingkaran, berdiskusi: Bulu makhluk apakah ini? Beberapa orang cenderung mengira itu bulu mamalia sejenis monyet, lagipula di kawasan Shennongjia memang banyak monyet seperti monyet emas yang termasuk hewan langka. Tapi Lao Jiang tiba-tiba terlihat ketakutan luar biasa, tubuhnya gemetar-gemetar, "Monyet emas apaan? Ini jelas-jelas Manusia Liar Shennongjia, pasti!"
Manusia Liar Shennongjia? Makhluk ini memang termasyhur. Sejak lebih dari 2.300 tahun lalu, penyair terkenal Qu Yuan telah menggambarkannya dalam puisi "Nine Songs * Mountain Ghost". Dalam 60 tahun sejak berdirinya Republik, lebih dari 400 orang mengaku pernah menyaksikan langsung makhluk ini. Namun sampai sekarang, tak satu pun organisasi atau individu yang berhasil menangkap spesimen hidup. Geger isu ini justru menambah aura mistis, misteri, dan daya tarik magis bagi kawasan hutan ini.
Mendengar kata-kata Lao Jiang, Zhou Lin malah bersemangat, "Takut apaan? Kalau bukan mereka, gapapa. Kalaupun iya, kita tangkap saja! Nanti setelah media ekspos, tempat ini bakal tenar. Kita juga bisa kaya raya!" Lao Jiang menatapnya dengan mata penuh kengerian, "Kok bisa kamu bicara begitu? Manusia Liar itu apa? Mereka anak emas hutan belantara, penjaga pintu Kakek Dewa Gunung. Kalau sampai kau tangkap, bagaimana nasib mereka nanti?"
Nanti, mungkin belum sempat terkenal, orang sudah tidak tahu akan mati seperti apa? Mungkin serpihan tulang pun sudah memutih, oh!
Begitu Lao Jiang menyebut Kakek Dewa Gunung, hatiku berdebar: Kakek Dewa Gunung lagi? Kalau cuma siluman gunung biasa, aku tidak takut. Tapi kalau Manusia Liar Shennongjia ini, seperti Manusia Kerdil, bisa memengaruhi pikiran dan mengendalikan serangga, aku tidak peduli orang lain, pasti mundur duluan. Aku bertanya kenapa manusia liar disebut penjaga Kakek Dewa Gunung... Kamu sekali menyebut Kaisar Yan Shennong, sekali Kakek Dewa Gunung, ini maunya apa sebenarnya?
Zhou Lin bilang iya, uang sudah ditambah sekali, tidak bisa ditambah lagi. "Uang sulit dicari, kotoran sulit dimakan, mana ada rezeki semudah ini di dunia?"
Karena sudah sampai di dasar lembah, Lao Jiang terjebak situasi. Ia mengoceh, "Sudah dibilang jangan sembarangan memaki! Hormati segala yang ada di gunung ini, jangan bicara sembarangan sampai membuat marah Kakek Dewa Gunung!" Kami memberi jalan keluar, "Iya, iya, mana ada orang sinting yang sembarangan menghina?"
Lao Jiang menarik anjing tanah ke depan api unggun, mengendus-endus lalu melepasnya. Anjing itu lari seperti garis kuning, sambil menggonggong menuju suatu tempat di hulu. Lao Jiang mengejar sambil memaki, "Brengsek! Pasti nemu sesuatu sampai lari kayak kejar kelinci! Ayo, ikuti!"
Kami langsung ikut berlari, menyusuri anak sungai menuju hulu tempat kami datang tadi.
Anjing itu terus berlari sampai ke ujung tikungan, lalu menggonggong gila-gilaan ke arah pohon besar yang roboh. Batang utama pohon ini panjangnya puluhan meter, butuh empat orang untuk memeluknya, membentang di kedua sisi anak sungai. Batang pohonnya hitam legam membuat orang bingung. Paman Ketiga yang mendekat dan merabanya mengatakan ini pohon huai, huai tua berusia ratusan tahun, akhirnya tersambar petir. Hmm, baru saja, mungkin dalam waktu dekat ini.
Dia mengendus lagi sebentar, bertanya: "Ini bau apa?"
Begitu diingatkan, aku langsung menyadari udara di sini mengandung bau busuk yang sangat menyengat - bau daging membusuk, bau mayat. Menyengat hidung sampai makanan di lambung rasanya ingin muntah. Tapi ini cuma perasaan sesaat saja. Aku sudah terlalu sering mencium bau serupa, lama-lama jadi kebal.
Kami mengikuti bau itu memanjat pohon besar ini. Belum sempat melihat apa-apa, tiba-tiba terdengar suara dari atas: "Sial! Pertanda buruk! Pertanda buruk!"
Suara itu berasal dari si burung beo gemuk Da Ren Hu Pi Mao. Barusan tidak tahu kabur ke mana, sekarang tiba-tiba muncul lagi.
Kami langsung tahu ini pasti bukan hal yang baik saat mendengar kata-kata itu. Memanjat batang pohon, kami mengintip ke bawah. Di semak sekitar empat hingga lima meter dari tepi sungai, terbaring dua mayat telanjang - laki-laki dan perempuan. Keduanya tanpa kepala, telapak tangan dan kaki hilang. Perut mereka dibelah dari leher hingga selangkangan, kulit dikuliti hingga memperlihatkan daging hancur berdarah dan rongga dada kosong. Organ dalam lenyap semua. Hujan dua hari sebelumnya telah merendam mayat ini hingga kulit dan dagingnya memucat. Genangan darah setengah beku di tanah mirip daging babi di pasar.
Di atas dua mayat tanpa kepala itu, belatung putih bergeliat seperti ombak.
Di musim dingin, sekawanan lalat tetap beterbangan, entah dari mana asalnya. Kumbang bangkai hitam berebut makanan dengan belatung. Di udara, gagak hitam berisik memekikkan suara yang membuat ciut nyali. Dari semak berduri tak jauh, terdengar suara merayap halus-halus, seolah makhluk yang baru saja pergi dari pesta Taotie ini.
Er— Zhou Lin tak bisa menahan lagi, berlutut di batang utama pohon dan memuntahkan makanan semalam serta pagi tadi dengan deras ke bawah. Makanan yang telah diproses di perut selama lebih dari enam jam ini menjadi asam dan busuk, bercampur dengan bau busuk mayat yang melayang, semakin menyengat. Pemandu Lao Jiang juga tak tahan, jatuh dari pohon, tangan menopang batang pohon, menjadi pasangan Zhou Lin dalam penderitaan, muntah sepuasnya.
Aku, si berbulu, dan pamannya yang ketiga berdiri di batang pohon. Angin sepoi-sepoi membawa bau busuk mayat, wajah tetap tenang.
Mayat siapa kedua ini?
Sementara masih bertanya-tanya, tiba-tiba anjing tanah yang terus menggonggong di ujung batang pohon merintih beberapa kali. Lalu kami mendengar percikan air bergolak. Cepat-cepat memutar badan, terlihat anjing tanah itu digigit leher oleh monster hitam kecokelatan sepanjang hampir dua meter, diseret masuk ke anak sungai.
Permukaan tubuh monster itu licin, dipenuhi lendir, kaki pendek dan pipih. Ekor bundar sepanjang satu meter mengaduk riak air. Dengan sekali menyelam, bayangannya segera tenggelam dalam air keruh.
