Waktu berputar kembali ke akhir Juli 2008. Saat seluruh rakyat negeri bersuka cita menanti pembukaan Olimpiade Beijing, sialnya aku sudah terbaring di tempat tidur rumah sakit selama tiga hari tiga malam. Di hari keempat, saat sinar mentari pertama menyentuh wajahku di pagi buta, mataku terbuka dan aku tersadar.
Udara di kamar rumah sakit beraroma lavender dan anyelir. Sinar matahari keemasan menembus tirai yang tertarik, menyinari relung hatiku yang hangat, membuatku tak kuasa menarik napas dalam-dalam dan bersyukur atas pagi yang indah ini.
Ini adalah kamar pribadi mewah kelas atas, tidak ada bau menyengat disinfektan dari rumah sakit kabupaten kecil kami, juga tidak ada debu dinding yang pucat pasi. Di seluruh sudut ruangan terlihat dekorasi mewah, seandainya kusebut sebagai hotel bintang lima, mungkin juga tidak jauh berbeda - baiklah, sebenarnya cukup berbeda, maafkan aku yang kurang pengalaman ini.
※※※
Aku berbaring diam di kasur, merasakan seumur hidup belum pernah tidur senyenyak ini, lesu, tak ingin menggerakkan apapun.
Sejak merantau bekerja di usia 16 tahun, 6-7 tahun terakhir ini aku terus-menerus sibuk. Awalnya untuk memenuhi kebutuhan hidup, kemudian untuk mencari lebih banyak harta, sampai tahun lalu ketika nenek memberiku Jin Can Gu, dan mantan kekasihku Xiao Mei meninggalkanku, barulah kusadari seolah ada kekuatan tak kasat mata yang mendorongku menuju jalan hidup yang sama sekali berbeda. Terutama tahun ini, secara spiritual, aku benar-benar kelelahan, lelah sampai begitu membuka mata, otak langsung terus berpikir.
Ruangan itu kosong melompong, tidak ada seorang pun. Dalam kondisi setengah sadar, aku mengingat-ingat kejadian sebelum pingsan.
Semuanya terasa seperti mimpi buruk. Sebuah tim yang polos nekat memasuki gedung plaza penuh bahaya, nyaris binasa semua. Nyaris... Tiba-tiba wajah seorang lelaki tua yang bijaksana muncul dalam pikiranku. Dengan mengorbankan nyawanya, lelaki tua itu berhasil mengakhiri hantu dengki yang bisa membahayakan ratusan orang di sebuah ruang bawah tanah yang lembab dan dingin menusuk.
Kematiannya membuatku tergetar.
Sebelumnya, aku tak pernah membayangkan ada seseorang yang rela mengorbankan nyawanya demi kepentingan orang lain, apalagi dengan cara begitu heroik—meski kisah serupa sering kulihat di drama TV. Mereka yang tak menyaksikan langsung takkan mengerti getaran yang kurasakan.
Kesadaranku mulai pulih perlahan. Kucoba duduk, hendak memanggil Duoduo dan Jin Can Gu untuk memeriksa lukaku. Tiba-tiba dari sudut kamar melesat bayangan gemuk yang mendarat di kasurku sambil terkekeh-kekeh. Kulihat itu adalah Tuan Kulit Harimau si burung maling. Ia menarik kembali sayapnya, menundukkan kepala memberi hormat, lalu berseru lantang: "Salam takzim dari menantu, Ayah Mertua!"
Melihat tingkah burung gemuk yang janggal dan licik ini, aku tertawa geli. Kutempeleng dia sambil berkata: "Jangan asal panggil! Siapa ayah mertuamu?"
Tuan Kulit Harimau dengan bangga menjawab: "Ya Anda dong, Ayah Mertua! Anda punya putri yang cantik jelita, lincah bersinar, lagi pula masih lolita kecil. Hatiku gatal melihatnya. Aku bersumpah akan mengejarnya habis-habisan, jadi menantu masuk pun tak masalah! Mas kawin, hantaran, semua kuhandle. Tak perlu Anda repot. Bonusnya, aku bisa meramalkan kemalangan dan keberuntungan, menghitung masa depan. Bagaimana, setuju?"
“Aku mengulurkan tangan, mencekik burung gemuk ini, berkata Duoduo adalah milik keluargaku, segunung emas perak pun takkan kutukar, seumur hidup jangan kau bermimpi! Ngomong-ngomong, bukannya kau sudah mati keracunan? Kok sekarang masih ngeyel berdiri di hadapanku, ngilerin Duoduo kami?”
“Pacaran bebas, urusanmu apa?!”
Harimau Kucing Besar pertama-tama mendeklarasikan slogannya padaku, lalu kesal berkata Xu Yongsheng si bego ini memang punya keahlian. Seandainya racun biasa, aku Harimau Kucing Besar makan ya sudah, habis dikeluarin lewat tai; tapi si licik ini mendatangkan minyak esensial Artemisia berdaun ungu, dioleskan ke dua mayat itu, akhirnya aku kena, mabuk berat.
Aku bingung, bertanya apa itu Artemisia berdaun ungu dan minyak esensial, aku tak paham?
Harimau Kucing Besar mondar-mandir di selimutku, buka mulut langsung "bego", benar-benar kurang pendidikan. Setelah memaki, dia berbalik berkata, melihat kau adalah ayah angkat Duoduo, aku akan ngobrol lima yuan lagi denganmu. Artemisia kau tahu kan, ini adalah tumbuhan obat tahunan keluarga Asteraceae, rasa pahit sifat hangat, bisa mengeluarkan aroma unik; sedangkan minyak esensial Artemisia berdaun ungu adalah minyak yang disuling dari Artemisia bermutasi dengan batang daun ungu, minyak ini bahan baku parfum premium yang mematikan daya tariknya bagi lawan jenis. Tapi ini bukan poin utamanya.
Ia menatapku, menundukkan kepala. Yang penting, burung ordo Psittaciformes begitu memakan benda ini, tak peduli berapa banyak, langsung mabuk tak sadar. Sebenarnya aku tidak akan terjebak, tapi saat mematuk kepala si pencuri, tak sengaja menghisap sedikit...
Aku menunjukkan ekspresi jijik, bilang kau benar-benar menjijikkan. Nanti setelah Duoduo Si Siluman terpisah, biar dia ikut kau saja, sama-sama berkarakter buruk. Harimau Kucing Besar (Tuan Kulit Harimau) mengepakkan sayap berseru: Bagus! Bagus! Cewek seksi dengan payudara montok dan bokong berisi, favoritku! Dua istri, nanti bisa terbang berdua... terbang berdampingan! Kuhempaskan bantal ke arahnya. Sungguh keterlaluan, binatang berbulu pipih ini semakin menjadi-jadi!
Bantal putih membentuk parabola meluncur ke pintu, tepat saat si berbulu masuk dan terkena langsung. Wajahnya penuh keheranan: "Si Racun Kecil, kau sudah bangun? Hehe, Tuan Kulit Harimau bilang pagi ini pasti kau sadar. Benar saja!" Aku memandangnya bingung: "Bukannya kemarin kau kehabisan tenaga sampai pingsan digotong orang? Baru beberapa jam tak bertemu, sekarang sudah lincah lagi. Ada apa ini?"
Ekspresi aneh muncul di wajah si berbulu: "Apa? Sudah berapa lama kau bangun? Tuan belum memberitahumu waktu sekarang ya?"
Aku menggelengkan kepala, memandang ke arah Harimau Kucing Besar (Tuan Kulit Harimau) di langit. Ia tertawa kwek-kwek sambil berkata, "Dasar bego, kau tidur tiga hari tahu nggak?" Aku kaget, "Aduh! Pantas tidur nyenyak sekali, ternyata selama itu? Nggak boleh! Hun nyawa A Gen masih di papan kayu pagodaku. Aku sudah telat ngerjain hal penting!" Aku buru-buru berdiri. Si Berbulu membuka pintu, terlihat pria tersenyum lebar di belakangnya. Bukankah itu A Gen, saudara sialanku? Ekspresinya yang tenang sama sekali tak mencerminkan kebodohannya dulu.
Sudah lama tak bertemu, seolah terpisah oleh kematian. Kami berdua terharu tak terkira.
Si Berbulu melihat A Gen menggenggam tanganku erat. "Untung papan kayu pagoda itu buatanku, jadi tahu cara memindahkan hun nyawanya ke giok ini. Kalau nunggu kau bangun, nasi sudah jadi bubur!" A Gen mengucap terima kasih lagi padanya. Setelah berbincang sebentar, Si Berbulu menyebut tentang Ouyang Zhijian. "Kemarin kami sudah menghadiri pemakaman jasad tua di Jiangmen. Kuburannya sudah diberi karangan bunga darimu meski kau masih pingsan."
Aku diam. "Bagus. Nanti kalau sempat harus ziarah ke sana. Sudah bertaruh nyawa bersama, nggak pantas kalau nggak datang."
A Gen matanya merah, berkata dialah yang menyebabkan kematian Tua Ouyang. Jika saja dia tidak bersikeras membuka toko di area Plaza Haowan, mungkin ini takkan terjadi. Aku membujuknya, mengatakan takdir sudah ditetapkan. Seandainya bukan dia, Tua Ouyang yang berhati mulia ini pun akan berbuat sama pada orang lain. Segala sesuatu di dunia ini bagai lingkaran, pasti akan berputar kembali. Namun Tua Ouyang yang menghitung nasib orang seumur hidup ini, malah mengorbankan nyawanya sendiri di akhir hayat. Makanya, menghindari marabahaya dan mencari keberuntungan itu mudah dihitung untuk orang lain, sulit untuk diri sendiri. Semua karena ada ikatan batin yang terlibat dalam jaring karma.
Semua orang menghela napas berat, berkata si tua ini sudah berbuat kebajikan tak terhitung seumur hidup, tapi malah pergi lebih awal.
Si Berbulu teringat sesuatu, bertanya padaku: "Setelah kamu bangun, apa petugas Departemen Agama datang mencarimu?" Kugelengkan kepala: "Belum. Aku baru saja siuman. Aneh juga, bukannya urusan seperti ini harusnya ditangani BIN atau Staf Umum? Kenapa Shixiongmu dan Zhang Weiqiang itu malah berurusan dengan lembaga sepi macam Kantor Agama?"
Si Berbulu tersenyum, hendak menjelaskan ketika pintu kamar diketuk. Pintu terbuka, masuk tiga orang: Zhang Weiqiang, murid junior Si Berbulu Huang Pengfei, dan seorang wanita muda berbaju kerja biru tua.
