Di hari pertama pameran, batu permata mentah dengan kualitas kurang baik akan diselesaikan transaksinya terlebih dahulu. Sementara batu yang berpotensi mengandung permata berkualitas tinggi biasanya akan ditahan sampai hari terakhir untuk pengumuman pemenang lelang.
Beruntung ini hanya pameran skala kecil sehingga tidak berlarut-larut seperti biasanya, hanya berlangsung tiga hari.
Sebenarnya fokus utama pameran bukanlah Batu No.105, melainkan Batu No.11, 28, dan 72. Dua yang pertama adalah batu raksasa setinggi manusia, sedangkan yang terakhir berbentuk heksagonal sebesar baskom dengan tepian berwarna hijau. Jika mengandung giok, nilai komersial batu-batu ini jauh melebihi Batu No.105. Para pedagang yang haus keuntungan pun berkerumun mengincar ketiga batu ini.
Hanya segelintir orang yang mondar-mandir di sekitar Batu No.105, saling mengawasi dengan penuh kewaspadaan.
Karena bukan batu utama, hasil lelang tertutup untuk No.105 baru diumumkan sore hari di hari kedua.
Menjelang siang, kami makan di restoran sekitar lalu kembali ke pameran menunggu pengumuman lelang. Tujuan Li Jiahui ke sini bukan sekadar menemani kami, tapi juga untuk ikut serta dalam lelang dan aktivitas akuisisi perusahaannya. Justru Bos Gu yang sengaja datang mendampingi saya, sekaligus mencari peluang bisnis. Di antara batu yang dilelang sore itu, ada juga pilihan kami berdua.
Di luar dugaan, Xue Rui benar-benar mengajukan penawaran tertutup untuk Batu No.57. Ia menunjukkan angka 188.000 kepada saya - sebuah angka pembawa hoki.
Hasil kabar siang hari itu, batu ini benar-benar menjadi milik Xue Rui.
Orang tua di samping ternyata benar-benar orang dalam di bidang ini, matanya tajam, langsung melihat bahwa batu ini tidak memiliki banyak nilai untuk dipertaruhkan. Angka yang dia sebutkan secara acak ternyata hampir tepat. Li Jiahui juga berhasil memenangkan lima batu, total nilainya mencapai lebih dari dua juta. Melihat ekspresi gembira Xue Rui, dia bertanya apakah dia ingin langsung membuka batu di tempat untuk melihat apakah barang yang dibelinya benar-benar harta karun?
Xue Rui mengangguk antusias, berkata tentu saja ingin disayat menjadi berkeping-keping untuk dilihat.
Di samping lokasi pameran ada tempat khusus untuk membuka batu. Area inilah yang paling berdarah-darah dan penuh gairah dalam seluruh acara perdagangan. Seperti yang disebutkan sebelumnya, banyak orang menjadi kaya mendadak di sini, tapi tak sedikit yang bangkrut total - semuanya tergantung pada hasil beberapa tebasan pisau. Banyak pedagang yang sengaja menunggu di sini hanya untuk melihat keributan, beberapa bahkan tidak membeli batu mentah untuk bertaruh, tapi menjaga lokasi ini sambil menunggu ada yang membuka batu, lalu langsung menawar dengan harga lebih tinggi di tempat.
Meskipun keuntungannya sedikit, cara ini bisa menghindari banyak risiko yang tidak terduga.
Tiba di lokasi pemotongan batu, Li Jiahui menyewa mesin pemotong batu. Batu yang dibeli Xue Rui diletakkan di sampingnya, lalu dia meminta Konsultan Master Yi yang dibawanya untuk memotong batu. Begitu peralatan disiapkan, segera ada yang berteriak "Mulai motong batu!", lalu kerumunan orang berdatangan mengerumuni area tersebut. Memotong batu giok membutuhkan keahlian teknis sekaligus stamina fisik. Sebuah giok berkualitas bisa rusak total jika salah satu potongan. Karena itu, biasanya pekerjaan ini ditangani master berpengalaman seperti Master Yi yang sudah lama bekerja di Perhiasan Li. Tak terhitung banyaknya giok yang telah dia proses.
Analisis, menggambar diagram, penyinaran, menebas, pencucian air, pemotongan... Master Yi menyelesaikan semua langkah dengan mahir. Setelah dua tebasan pertama menghilangkan bagian berlebih, selang karet sebesar isi pulpen menyemburkan aliran air. Begitu disinari senter kuat, kilau kristal langsung terpancar. Orang-orang sekitar mulai bersorak dan menawar harga, meroket dari 400 ribu hingga 600 ribu yuan. Master Yi menoleh ke Li Jiahui yang kemudian memandang Xue Rui menanyakan pendapatnya.
Dengan senyum mengembang di sudut bibir, Xue Rui berkata, "Paman Yi, teruslah potong. Batu ini memang kupersiapkan khusus. Baik hasilnya bagus atau rusak, itu tanggung jawabku."
Master Yi menunjukkan senyum penuh kasih, berteriak "baiklah", dan tanpa ragu langsung menyalakan mesin. Seperti sulap, dia mulai membelah batu besar ini. Di antara decak kagum yang semakin riuh, gigi-gigi mesin berputar kencang, serpihan batu beterbangan, air mengalir deras. Setelah membersihkan batu dengan hati-hati, Master Yi berhasil mengeluarkan dua gumpalan besar biji giok - yang besar dengan lapisan luar semi-transparan berkilauan, jernih bagai es, memancarkan kesan kemurnian. Yang kecil hanya sebesar kepalan tangan dewasa, dengan corak bunga biru yang memukau.
Bos Gu di sampingku berdecak kagum, menyebut ini giok es kelas menengah, yang kecil adalah es bunga biru. "Berapa banyak gelang dan liontin bisa dibuat dari ini?" Investasi gadis kecil Xue Rui ini langsung melambung belasan kali lipat. Master Yi dengan hati-hati menaruh dua biji giok yang sudah dibersihkan di tangan Xue Rui. Gadis ini lalu memamerkan ke arahku sambil menampakkan gigi putihnya yang rapi seperti cangkang kerang.
Pedagang yang mengenal Li Jiahui mulai berisik, "Lao Li, putrimu mau jual dua biji giok ini? Kalau iya, kami mau tawar!"
Li Jiahui memandangi putrinya yang sombong bagai merak, mengepal tangan sambil tersenyum getir: "Hadirin, anak perempuan yang sudah besar tidak bisa diatur ayah. Aku tak bisa memutuskan hal ini. Lagipula, perusahaan milikku Li Jiahui juga butuh bahan baku..." Orang-orang sekitar tertawa penuh cemburu dan iri, memakinya sebagai si pembawa hoki. Li Jiahui memberi hormat dengan bangga, senyum lebar tak tertahankan.
Saat membelah batu berikutnya, dari lima batu Li Jiahui, tiga di antaranya mengeluarkan giok. Dua di antaranya varietas air, satu lagi giok putih dasar hijau - semuanya kelas menengah. Hasil ini cukup memberi keuntungan kecil, dan karena ukurannya besar, bisa memenuhi kebutuhan komoditas kelas menengah perusahaannya yang terus meningkat.
Dua batu sisanya menjadi sampah tak berguna.
Bukan hanya satu perusahaan yang membelah batu. Begitu para pedagang melihat kilau hijau atau kerumunan, mereka langsung bergegas ke sana. Area ini pun menjadi sepi. Xue Rui menemui Si Berbulu dan bertanya apakah dia bisa membuat jimat giok? Baru kusadari, maksud Xue Rui "untuk pemakaian pribadi" adalah meminta Si Berbulu melakukan setengah proses. Karena sebelumnya sudah membual, Si Berbulu pun tak menyembunyikan: "Bisa, tapi cuma untuk pertahanan diri dan pengusir roh jahat. Untuk yang ofensif, belum ada." Kenapa? Meski giok punya tingkat keselarasan energi spiritual tinggi, tapi harus dirawat manusia. Semakin lama dirawat, semakin baik. Tidak seperti tulang atau pil ajaib yang bahannya sendiri sudah mengandung kekuatan pembuatnya.
Xue Rui menyodorkan bongkahan batu giok sebesar kamus Xinhua kepada pria itu, meminta dibuatkan lima jimat giok untuk keluarganya.
Si Berbulu menunjuk bongkahan kecil, "Bisa, tapi sebagai bayaran, yang ini untukku."
Xue Rui memandang batu giok bermotif bunga biru di tangannya, tertawa getir. "Kau memang rakus! Sudah kenal lama masih tega mengeruk keuntungan." Si Berbulu tak merasa bersalah, "Jangan pakai siasat kecantikan. Lolita yang tak suka paman bukan lolita baik. Kalau kau suka Si Racun Kecil, ngapain aku berbaik hati? Lebih baik cari keuntungan nyata untuk mengisi kehampaan ini."
Pipi Xue Rui memerah. "Taoist busuk! Siapa bilang suka Lu Zuo? Aku lebih suka shota!"
Aku menggaruk hidung, menunjuk Katou Genji yang sedang melirik dari kejauhan. "Pemuda seperti itu?" Xue Rui menengadah, melihat pemuda berbaju putih itu sedang berbisik dengan pria berkacamata. "Dasar kemayu! Dua penjahat! Dua bongkahan ini kubawa ke hotel. Kerjakan secepatnya!"
Si Berbulu mengangguk asal sambil tertawa kencang, wajahnya berkerut seperti kram.
Li Jiahui bertanya apakah kami perlu bantuan menawar batu nomor 105? Aku menggelengkan kepala dengan senyum getir, berkata kamu yang mampu beli, kami tak sanggup melunasinya, lupakan saja.
※※※
Sore hari kedua pekan lelang, hasil tender tertutup diumumkan. Batu nomor 105 secara mengejutkan dimenangkan pedagang dari Putian, Fujian bernama Li Qiuyang dengan harga fantastis. Ini benar-benar di luar perkiraan, sebab sebelumnya kami yakin Katou Genji yang bermodal teballah yang akan merebutnya. Tapi setelah dipikir, si brengsek ini bahkan bisa mencuri buah Bunga Higan di tengah malam, jelas bukan tipe yang mau mengeluarkan uang besar. Rupanya anak ini menyimpan niat yang sama dengan kami.
Lagi pula dia punya segudang kemampuan. Buat apa bayar kalau bisa merebut?
"Ksatria mengandalkan kekuatan untuk melanggar tabu!" Sejak dulu kala, penguasa selalu perlu merekrut orang-orang seperti ini, memakai mereka untuk kemudian membuat aturan pembatas. Semua karena kelompok seperti mereka memiliki daya rusak yang terlalu besar.
Tapi semua penawar termasuk orang Jepang itu masih tertegun, tak mengerti kenapa pedagang bernama Li Qiuyang ini berani menawar dengan harga gila-gilaan. Kecuali batu ini mengandung kristal kaca, pasti dia akan merugi. Begitu tahu menang tender, pria gempal berkulit gelap ini langsung memimpin anak buahnya sambil tersenyum bangga bersiap memotong batu.
Aku, Si Berbulu, dan Paman saling pandang, tersenyum penuh makna.
Sebelumnya aku khawatir jika ada orang yang berniat jahat memotret lalu membawanya ke bengkel pribadi untuk memecahkan batu. Jika benar begitu, hanya bisa mengundang Jin Can Gu untuk bertindak sendiri menyelidiki. Dengan memecahkan batu secara terbuka, entah itu Qilin Tai atau bukan, setidaknya kami punya gambaran untuk mempersiapkan langkah selanjutnya.
Kabar bahwa batu nomor 105 yang sudah lama dinanti akan dipecahkan tersebar, membuat orang-orang di sekitar antusias luar biasa. Kami berdesakan mengikuti Li Qiuyang dan berebut posisi terbaik untuk menyaksikan. Li Qiuyang adalah seorang pria gemuk berkulit gelap, namun teliti. Setelah berunding lama dengan pria tua kurus berjanggut kambing, di bawah bimbingan pria tua itu ia menggambar beberapa garis kapur di batu besar, menganalisis sudut dengan cermat.
Setelah semua persiapan selesai, Li Qiuyang sendiri yang memegang pisau, memulai proses pemecahan batu.
Meski gemuk, tangannya sangat stabil. Setiap tebasan diukur, lalu dibersihkan dengan lap basah untuk memeriksa penampang. Semua langkah sesuai prosedur, tak kalah dari Guru Yi di pihak kami. Pantas saja, orang yang mampu membayar mahal pasti bukan sembarangan. Saat batu sebesar dua bola basket itu semakin mengecil, material yang terlihat membuat kerumunan berdecak kecewa.
Sesekali terdengar bisikan nyengir, "Gagal! Gagal lagi..."
Musim panas di Asia Tenggara begitu panas, bahkan angin terasa lengket. Keringat mengucur deras di dahi Li Qiu Yang, tetesan besar jatuh dari lubang hidungnya. Setelah beristirahat sejenak, dia kembali ke mesin pemotong batu. Setelah terdiam cukup lama, akhirnya dia menebang lagi dari garis tepi. Dari sudutku, aku tak bisa melihat situasinya, tapi orang-orang di samping tiba-tiba ribut berteriak.
