Meskipun sudah terhubung, karena pengalaman langsung terkena santet, Li Qiuyang menjadi trauma sehingga pergerakannya berubah misterius dan tidak berani muncul lagi. Saat berkomunikasi dengan pedagang perhiasan yang berhubungan dengannya, dia hanya mengatakan akan membahas setelah batu gioknya selesai dibuka. Namun perlu diketahui, sejak pertama kali diadakan hingga sekarang, Pameran Batu Giok Myanmar telah membentuk sistem manajemen dan kebiasaan yang matang. Pengiriman barang sepenuhnya ditangani oleh perusahaan asuransi khusus, sehingga Li Qiuyang tidak terlalu khawatir.
Dia hanya takut ada orang yang menyerangnya secara pribadi, seperti pria berjanggut bernama Wu Chu siang tadi. Ini jelas membuatnya ketakutan.
Namun demi kepentingan jangka panjang, sebagai penyelenggara, junta militer Myanmar tentu tidak ingin ada insiden pedagang diserang usai meninggalkan venue pameran - ini menyangkut harga diri. Siapa tahu Li Qiuyang bisa mendapatkan perlindungan sementara dari panitia.
Li Jiahui memberitahu kami bahwa Li Qiuyang akan bertemu dengan para pedagang yang berminat membeli pada sore hari terakhir pameran untuk membahas penjualan batu giok. Saya bertanya apakah Li Qiuyang sudah membuka batunya? Jika sudah, seperti apa bentuknya? Apakah ada foto untuk bahan pertimbangan kami?
Li Jiahui menggelengkan kepala mengatakan belum. Semuanya masih harus menunggu kabar.
Saat kembali ke kamar hotel, aku bertanya pada si berbulu, "Bisakah kau menggunakan 'Da Liu Ren'-mu yang hebat itu untuk menghitung dan menemukan alamat tempat tinggal Li Qiuyang?" Si berbulu menggelengkan kepala sambil berkata tidak bisa, masa mengira dia Xian (Keabadian)? Di hatiku muncul kegelisahan yang mengambang di ruang hampa. Begitu terpikir batu itu benar-benar Qilin Tai, Paman Ketiga pasti bisa diselamatkan, dan Dua Duoduo juga bisa dipisahkan untuk sementara waktu aman, rasanya tak tahan ingin segera mendapatkannya.
Acara lelang telah berlangsung selama dua hari, Li Jiahui dan Bos Gu mulai sibuk. Makan malam hanya diikuti oleh kami bertiga, Xue Rui, dan Xu Ming. Melihat menu restoran yang berwarna-warni di meja, aku tidak punya nafsu makan, hanya menemani makhluk besar itu mengobrol. Xu Ming sangat antusias berbicara, memberi kami penjelasan tentang situasi Myanmar, bahkan menyebutkan wilayah Shan yang masih bermasalah, menceritakan tentang Segitiga Emas yang terkenal, hingga raja narkoba Kun Sha...
Jika mengabaikan cara congkel-nya, Xu Ming memang pria berpengetahuan luas yang sangat memahami Myanmar, bahkan bisa berbahasa Myanmar sehari-hari. Dia memang bisa membuat orang senang, jadi suasana makan malam cukup hangat.
Di tengah makan malam, sebuah bayangan hitam terbang masuk dari luar ruang makan. Di bawah tatapan tertegun orang-orang, Harimau Kucing Besar (Tuan Kulit Harimau) datang mengendarai angin sambil berteriak "kwek-kwek, aku kelaparan!". Entah bagaimana makhluk ini bisa menemukan lokasi kami. Kami segera menyiapkan makanan untuknya. Tuan Kulit Harimau menggerutu, mencicipi beberapa sendok sup di meja lalu mengeluh: "Asin! Terlalu asin! Apakah garam di tempat hantu ini tidak pakai uang?"
Keributannya ini membuat acara makan jadi kacau, tapi untungnya semua orang sudah kenyang sehingga tidak mempermasalahkan.
Xue Rui dan Xu Ming sudah lama terbiasa dengan keunikan Tuan Kulit Harimau. Justru bodyguard perempuan Xue Rui di meja sebelah yang terus menoleh-noleh, mengamati dengan cermat tubuh gemuk ayam betina milik Tuan Kulit Harimau. Setelah Tuan Kulit Harimau kenyang dan mabuk, ia melompat ke bahu Paman. Kami pun meninggalkan restoran. Saat hendak naik mobil kembali ke hotel, Paman menggenggam lenganku lalu berkata pada Xue Rui dan Xu Ming: "Kami masih perlu membeli beberapa suvenir di sekitar sini, nanti pulang sendiri."
Xue Rui heran: "Kalau begitu, kenapa tidak pergi bersama?"
Paman kecil tidak bicara lagi. Justru Si Berbulu langsung menunjukkan sikap brengsek seperti babi, berkata, "Adik kecil, ada hal-hal yang belum pantas kau ketahui karena usiamu masih terlalu muda. Cenderamata ada bermacam-macam jenisnya. Ada yang bisa kau beli, ada yang tidak, hanya bisa dicoba sendiri. Tempat yang akan kami tuju tidak pantas untuk gadis kecil sepertimu. Jadi, lebih baik kau dan Paman Zhiyuan pulang saja ke hotel dan tidur! Kami mungkin akan pulang agak larut."
Paman kecil yang terkena imbas dan aku canggung memalingkan kepala ke arah lain, tidak berkata-kata lagi.
Pipi Xue Rui tiba-tiba memerah seperti bunga persik. Ia memaki Si Berbulu "brengsek!", lalu berkata gadis-gadis Myanmar di sini... begitu jelek, selera kalian benar-benar aneh! Bodyguard wanita di sampingnya memegangi tangan Xue Rui dengan hati-hati seperti menghadapi tuna netra sungguhan, pandangannya ke arah kami penuh ejekan. Xu Ming justru langsung menangkap isyarat tertentu, diam seribu bahasa sambil membujuk Xue Rui untuk pergi.
Melihat ketiganya pergi dengan mobil menuju hotel, Si Berbulu tersenyum padaku, "Si Racun Kecil, jangan-jangan kau marah karena citramu di mata si lolita kecil hancur?" Kuangkat bahu, "Kita semua orang pintar. Menurutmu Xue Rui yang punya Mata Langit ini bisa sebodoh apa? Lagipula hubunganku dengannya bersih seperti kaca, paling banter seperti kakak dan adik. Yang jelas, cintaku tetap untuk Huang Fei."
Si Berbulu mencibir, "Ah sudahlah! Tadil kau panggil 'paman', sekarang jadi 'kakak'. Lagi pula, sudah berapa lama kau tidak menghubungi Polwan Huang itu?"
Kukira cinta sejati layak diuji, Si Berbulu memutar kepala bertanya pada Harimau Kucing Besar (Tuan Kulit Harimau), "Bagaimana pendapatmu?" Sang Tuan berjalan-jalan di bahu Paman sambil berkata, "Dua bangsat." Setelah memaki, ia mulai bercerita. Ternyata kepergiannya sebelumnya adalah untuk membuntuti Li Qiuyang. Setelah pria gemuk hitam itu meninggalkan aula, ia berpindah mobil beberapa kali menuju bengkel pribadi lalu membuka batu itu. Pintu dan jendela bengkel terkunci rapat sehingga ia tak bisa masuk dan tidak tahu apakah isinya benar Qilin Tai. Namun Sang Tuan menyimpulkan kemungkinan besar bukan, melainkan benda lain. Masalahnya, meski Li Qiuyang mengira tindakannya misterius, ternyata sudah diawasi beberapa kelompok. Batu giok itu pasti akan berpindah tangan malam ini, sudah pasti.
Setelah itu, Harimau Kucing Besar bertanya pada kami, "Mau ikut keributan?"
Beberapa kelompok? Kalau begitu benar-benar lumpur. Lihat saja pria kurus hitam yang menyerang tadi, sudah tahu betapa keruhnya perairan Yangon ini. Di lubang dangkal yang tak terhitung kura-kura mengintai, risiko bahaya jika kami nekat ikut campur benar-benar sulit diprediksi. Yang terpenting, apakah benda itu benar Qilin Tai masih jadi pertanyaan.
Paman diam. Si Berbulu menatapku. Aku mengerutkan alis bertanya berapa probabilitas batu itu adalah Qilin Tai?
Kepala burung Harimau Kucing Besar itu miring sebentar, lalu setelah berpikir ia menjawab, "Sekitar dua puluh persen..."
Begitu teringat Paman Ketiga yang sedang dalam bahaya dan Duoduo yang bisa kapan saja menghadapi krisis, aku mengatupkan gigi, "Yaudah, kita juga ikutan meramaikan. Masa pria Tian Chao takut sama mereka yang telanjang kaki? Kalau mati ya sudah, kalau selamat berarti jagoan!" Si Berbulu menepuk tangan tertawa terbahak-bahak, "Sepanjang jalan di Myanmar ini memang belum kulihat gadis secantik itu. Lao Xiao ini panasaran banget, harus melampiaskannya. Teman sejati, seumur hidup, ayo jalan!"
Paman tidak berkata-kata, malah mengulurkan tangan memanggil taksi.
Tuan Kulit Harimau mengepakkan sayap terbang ke udara, "Ternyata benar, kalian sekelompok ini penjahat kafir, benar-benar cocok dengan selera Tuan. Tenang, ikut Tuan cari makan, semua urusan akan Tuan lindungi."
※※※
Dua puluh menit kemudian, kami tiba di sebuah jalanan asing yang jauh dari pusat perbelanjaan mewah. Bangunan sekitar bergaya Myanmar, ada juga gedung kecil berlantai merah bergaya Inggris. Sepanjang jalan, terhampar danau berkilauan, taman bunga bermekaran, pohon-pohon tropis berdiri tegak seperti penjaga di pinggir jalan. Angin lembab dan hangat menyengat kulit, lengket, menimbulkan rasa tak nyaman yang sulit diungkapkan.
Ini sebuah perumahan biasa di Kota Yangon. Jalanan dipenuhi penduduk lokal berpakaian minim. Banyak toko yang sekaligus berfungsi sebagai bengkel di belakangnya. Yang mengejutkan, beberapa papan nama masih menggunakan huruf Tionghoa, membuat kami yang berada di tanah asing ini merasa sangat akrab.
Beberapa anak lokal yang bertelanjang tulang punggung berlari mendekati kami, lalu menarik ujung baju kami sambil bergumam sesuatu.
Kami beberapa orang termenung, melihat anak-anak kecil hitam kurus ini mengulurkan tangan dengan mata penuh harap yang menatap kami, tak mengerti apa yang terjadi. Ingin melepaskan diri, tapi genggaman anak-anak ini sangat kuat. Kami saling pandang bingung, sementara Harimau Kucing Besar (Tuan Kulit Harimau) mulai berbicara, mengatakan mereka meminta uang pada turis asing seperti kalian, berikan saja sedikit. Ternyata begitu, sambil mengeluarkan uang kertas Myanmar receh untuk anak-anak ini, aku bertanya pada burung gemuk itu: "Tuan juga bisa bahasa Myanmar?"
Harimau Kucing Besar dengan angkuh menjawab ya, dulu Dia adalah ahli yang menguasai ilmu kuno-modern, apalagi sekadar bahasa Myanmar... Setelah membual sebentar, Dia berkata: "Orang gagah tak membanggakan masa lalu, tak usah banyak omong. Di belakang toko bertulisan Mandarin 'Toko Giok Lin Ji' di depan, ada bengkel kerja si pria gemuk hitam. Tak tahu apakah anak ini sudah pergi atau belum, aku akan menyelidiki lagi."
Setelah berkata demikian, Dia mengembangkan sayapnya dan terbang tinggi menjauh.
Agar tak menarik perhatian, kami menuju sudut gang teduh, memandangi toko dengan pintu besar yang tertutup rapat. Sungguh tak mengerti mengapa Li Qiuyang memilih bersembunyi di tempat seperti ini? Kenapa tidak menginap di hotel yang ditunjuk panitia untuk mendapat perlindungan militer selaku organizer?
Aku sedang merenungkan pertanyaan ini ketika Paman tiba-tiba berseru: "Hati-hati, ada orang..." Suaranya cepat dan mendesak. Kulihat sekilas sosok wanita berpostur seperti kucing hutan melangkah pelan dari ujung gang. Tubuhnya kecil tapi lincah, dalam sekejap sudah melompat di hadapan kami. Tanpa bertanya sebab musabab atau mengucap sepatah kata, langsung ia mengayunkan cakaran.
Di tangan wanita itu terdapat sarung tangan hitam legam dengan lima kait logam yang runcing berkilauan.
Paman yang berada di garis terdepan tak mau kalah. Dengan mengangkat tangan kirinya, ia langsung bertarung habis-habisan melawan wanita itu.
Tangan kirinya yang pernah ditebas hingga siku oleh bayangan hitam di Shennongjia, kini dipasangi kepalan besi yang keras. Saat bentrok dengan sarung tangan wanita itu, si perempuan jelas kalah dengan kepiawaian pria tua berpengalaman ini. Hanya dengan satu jurus, pertahanannya langsung terbuka. Si Berbulu yang melihatnya matanya berbinar, kedua tangannya meraih dan memeluk erat tubuh wanita itu, langsung menguasai titik vitalnya sehingga tak bisa bergerak. Wanita itu membuka mulut hendak berteriak, tapi Paman dengan sigap menyumbat mulutnya.
Sementara bola mataku menyempit tajam, menatap bayangan yang familiar muncul di pintu Toko Giok Lin Ji.
