Angin anyir ini membawa bau busuk yang sangat menyengat. Aku berpikir "Bahaya!", tak sempat berpikir panjang, langsung meraih pinggang Xue Rui dan menerjunkan diri ke samping. Punggungku menghantam tanah, untungnya permukaan tanah dipenuhi daun kering dan rumput hijau sehingga tidak sakit. Saat menoleh, yang terlihat adalah pola kuning-putih. Sebelum sempat bereaksi, desau angin kembali terdengar, cambuk daging sebesar mangkuk menyambar ke arahku.
Kali ini giliran Xue Rui yang bertindak. Gadis ini memiliki tenaga luar biasa, langsung menarikku bangun dan menarikku mundur ke samping.
Tok!
Di tempat kami berada sebelumnya, ada sebatang pohon kecil sebesar lengan yang terkena cambukan ini, seketika patah. Kayu di bagian yang patah terlihat lunak, pohon setinggi lebih dari tiga meter itu pun roboh ke arah kami. Aku berdiri mantap, menoleh dan melihat bahwa makhluk yang menyerang kami ini ternyata ular emas raksasa yang pernah kujumpai di lubang tanah depan Pagoda Gelang beberapa hari lalu. Saat itu dengan Jin Can Gu di tubuhku, tak kusangka ia begitu mengerikan, namun kini di hutan ini, ia menyergap tiba-tiba dan hampir membunuh kami dalam sekali serangan.
Senapan semi-otomatis Tipe 56 telah terjatuh saat berguling menghindar tadi, menghilang di antara semak. Xiong Ming yang sejak tadi berjaga di samping langsung menghunus pedang dan menerjang, bertarung dengan ular emas raksasa ini. Kulit binatang sialan ini luar biasa tebal, di bagian kepala hingga punggung yang tertutup sisik, Xiong Ming telah menebas berkali-kali tapi tak ada efeknya, hanya meninggalkan beberapa goresan putih samar-samar.
Xiong Ming yang sudah lama menjelajahi hutan, tentu tahu prinsip "pukul tujuh inci pada ular". Namun Ular Sanca Emas itu licin luar biasa, tubuh lima meternya berguling-guling, menolak menampakkan titik vitalnya, membuatnya tak bisa menemukan celah serang. Ular Sanca Emas yang sibuk melawan Xiong Ming tentu tak sempat mengincar kami. Tapi aku tak bisa kabur begitu saja. Aku hanya mendorong Xue Rui dan menyuruhnya lari cepat, sambil memanggil Jin Can Gu dalam hati untuk kembali menyelamatkan, lalu menghunus pisau dari pinggangku dan menerjang.
Ular sanca membunuh dengan tiga jurus: gigit mulut, kibas ekor, dan lilitan badan.
Ular Sanca Emas ini sudah beberapa ronde bertarung dengan Xiong Ming. Ia berhasil melemparkan pisau buruan di tangan Xiong Ming, lalu tiba-tiba melesat dari samping. Badan ularnya menggulung, langsung melilit tubuh Xiong Ming. Meski Xiong Ming adalah petarung ulung, demi mengulur waktu bagi kami dan menarik perhatian musuh, geraknya terbatas. Terjepit di ruang sempit, dia seperti orang biasa. Terlilit oleh si cacing panjang ini, dia hanya bisa berteriak, wajahnya berubah serius. Seluruh struktur tulangnya berderak, mengaktifkan Qigong keras untuk melawan kekuatan lilitan.
Potensi manusia tak terbatas, namun pencapaian terbatas. Jika menembak dari jarak jauh atau memasang jebakan, itu lain cerita. Murni mengandalkan tenaga, selain pendekar dalam novel silat, berapa orang bisa menandingi ular raksasa sepanjang lima meter ini? Ular Emas ini telah bertahun-tahun berburu di hutan hujan, mengasah teknik lilitannya. Dalam tarikan nafas, tubuhnya membesar eksplosif, mampu menghancurkan tulang manusia hingga remuk dalam penderitaan.
Mana mungkin aku membiarkan Xiong Ming mengambil risiko sendirian? Seketika melesat ke depan, membidik tujuh inci tubuh ular, tebasan pisau pun meluncur.
Tebasan ini memuat seluruh pencapaianku selama setahun terakhir - aura, sudut, momentum semuanya dalam kondisi puncak. Jika tepat mengenai, pasti melukai strukturnya. Namun binatang sialan ini cerdik, tak mau bertarung frontal. Badannya membalik, menindih semak di lereng, berguling ke bawah. Pelariannya ini membuktikan ia tak menggunakan teknik lilitan untuk membunuh Xiong Ming. Dadaku panas membara, dua langkah maju, tebasan kedua menyambar.
Masih meleset. Ekor Ular Emas mencambuk seperti pecut, tepat menghantam sisi pisau. Genggamanku erat, pisau tak terlepas, namun tangan gemetar oleh tenaga dahsyat itu, separuh lengan kaku dan kesemutan.
Makhluk ini, kecerdasannya luar biasa!
Aku tertimpa gaya jatuh ini, kehilangan keseimbangan dan nyaris tergelincir menuruni lereng. Pisau buruan pun hilang. Pemandangan di depan mata berubah tak jelas. Baru saja stabil sedikit dan ingin bangkit, tiba-tiba angin anyir dahsyat kembali menerjang. Baru kusadari ular emas raksasa itu melilit seluruh tubuh Xiong Ming, mengulurkan kepala besar dan membuka mulut hendak menggigitku. Situasi kritis saat itu sungguh sulit dilukiskan dengan kata-kata lemahku ini. Teman-teman yang pernah menonton 《Dunia Hewan》 mungkin bisa membayangkan ganasnya ular menyerang mangsa dengan mulut terbuka 180 derajat - deretan taring beracun yang mengerikan terpapar jelas, lendir di mulutnya muncrat...
Sssst——
Suara ini memicu ledakan adrenalin (sepertinya benda inilah) di antara kedua ginjalku. Tanpa kusadari, tangan langsung terentang ke depan dan berhasil mencengkeram erat bibir atas-bawah sang ular raksasa.
Sendi-sendi lenganku berderak keras.
Seekor ular sanca emas sepanjang lebih dari lima meter dengan berat mencapai 200-300 kati. Berapa besar daya gigit maksimal rahangnya? Angka pastinya hanya bisa diketahui dari "Kaisar Data". Jika bertanya padaku, jawabanku: "Besar, sangat besar, benar-benar gila besar!" Kekuatan kedua lenganku bisa dengan mudah menopang beban 150 kg, pull-up delapan puluh kali tanpa henti. Tapi kali ini, tumpuan ini terasa nyaris tak tertahankan, memaksaku ingin menyerah. Namun tak boleh. Jika aku lemah, ular emas ini akan langsung menelanku bulat-bulat.
Pernah kudengar kisah ular sanca menelan sapi utuh. Menelan diriku pun pasti semudah meniup debu.
Akankah tubuhku yang ditelan ular raksasa ini berubah menjadi tumpukan tai berbau menyengat dalam beberapa hari, diam menunggu terpaan sinar matahari?
Tidak mungkin!
Maka di kaki lereng ini, manusia dan ular sanca terlibat dalam kebuntuan aneh.
Dari sudut seni fotografi, ini menggambarkan keindahan harmoni manusia-alam. Tapi sebagai pelakunya, aku sudah terjebak dalam penderitaan hebat. Kulit telapak tangan terkoyak taring tajam ular sanca, darah mengalir di tepian tangan. Untungnya taring beracun tidak mengenai posisi tepat. Struktur tulang lengan nyaris mencapai titik kritis. Andai bukan karena kebiasaan mengkonsumsi suplemen kalsium dan makanan seperti tulang babi, cakar ayam, mungkin sudah patah.
Xiong Ming, pria paruh baya dari etnis Miao, gagal dalam misinya. Kedua tangannya mengetuk-ngetuk tubuh ular emas itu dengan sia-sia, semakin lemah setiap kali pukulan.
Mulutku terbuka paksa. Lidah bercabang merah sang ular raksasa tiba-tiba menyembul, menampar pipiku. Kepala kutundukkan, terkena di dahi. Tidak sakit, tapi air liurnya yang anyir busuk sangat membuatku mual. Kebuntuan ini hanya bertahan beberapa detik sebelum makhluk itu mulai berguling lagi, mencoba menyeretku ke tempat lain. Tanganku sudah tegang hingga puncak ketika tiba-tiba kudengar teriakan Xue Rui dari belakang: "Kakak Lu Zuo, minggir..."
Kepala kutundukkan. Seketika kurasakan getaran mengerikan di belakang tubuhku seperti ditusuk jarum. Lawan tua di depanku gemetar seluruh tubuhnya. Dentuman tembakan senapan yang mencekam menggema di telinga. Keringat dingin mengucur-deras. Dalam persepsi energiku sesaat tadi, peluru itu nyaris menyentuh tubuhku sebelum menembus badan ular emas dan tanah di bawahnya. Xue Rui gadis kecil yang tak pernah pegang senjata. Andai tangannya gemetar sedikit saja, bukankah tubuhku akan bolong-bolong berlubang peluru?
Senapan semi-otomatis Tipe 56 itu versi bajakan AK47. Daya recoil-nya bukan main besar.
Begitu tembakan mereda, ular emas yang tertembak langsung mengamuk. Kepalanya menghentak-hentak dengan ganas, tubuhnya pun meregang. Aku jelas terlempar sampai babak belur, tapi Xiong Ming yang sebelumnya terjepit erat kini bebas. Namun sebelum sempat berdiri, ekor ular itu menghantamnya. Badannya melayang seperti layang-layang, terlempar ke semak belukar sejauh belasan meter.
Belasan meter? Dasar binatang sialan, tenaganya benar-benar luar biasa.
Lalu, kudengar musik terindah sepanjang hidupku. Xue Rui turun dari lereng sambil menyalakkan senapannya dengan ritme gembira: tak-tak-tak, tak-tak-tak... Dengan teknik tembak bertubi-tubi, badai pelurunya mengubah ular emas itu jadi bubur daging.
Akhirnya selesai?
Gemerisik dedaunan. Xue Rui berlari menghampiri, membuang senapan kosongnya lalu berjongkok menolongku. "Kamu baik-baik saja?" Saat aku berdiri, firasat buruk muncul. Kutarik tubuh Xue Rui ke belakang. Begitu berbalik, panah menghujam paha kiriku. Meski tenaganya sudah melemah, cukup untuk menancap di ototku. Perih menyengat. Aku merasakan racun dingin menyebar...
Sial! Ini racun yang sama yang bisa meledakkan tubuh - ini bukan lagi racun, tapi ilmu hitam santet yang keji!
Aku dalam hati berteriak "Bahaya!", berpikir jangan-jangan setengah menit kemudian, Bung ini juga berubah jadi manusia bom? Saat panik berguling menghindar, tiba-tiba anus terasa mengencang, sensasi familiar menyergap hati. Aku lega: si serangga gemuk binatang sialan itu akhirnya kembali.
Meski dengan cara yang paling kubenci.
Krisis belum berakhir, tiga pria bertelanjang dada berpostur pendek (di bawah 1,6m) menyembur keluar dari hutan, berlari pontang-panting ke arahku. Mereka membawa tombak kayu lebih tinggi dari badannya, tubuh telanjangnya diolesi cairan tumbuhan membentuk pola putih. Pola abstrak itu garis-garisnya liar, seperti wajah iblis yang tersenyum mengerikan.
Ketiganya bertelanjang kaki tapi lincah bagai angin, menginjak ranting kering dan daun busuk langsung menerjang. Mereka berteriak-teriak sambil menikamkan tombak. Baru saja bertarung dengan ular raksasa, badanku masih lemas, tapi harus bersiap siaga. Bahu diturunkan, qi dikumpulkan, tangan kiri menjaga dada, hindari tusukan pertama lalu tempelkan badan, tangan kanan menggenggam dengan ibu jari terkait, empat jari merapat, kepalan datar, pergelangan kokoh - satu pukulan menghantam kepala pria terdepan.
Pukulan Meriam Tiga Kaisar!
Soal teknik pukulan dan tendangan, Si Berbulu pernah mengajarkanku Tendangan Lentur Khas Xiao, juga Pukulan Meriam Tiga Kaisar ala Gao Zhuang, semuanya teknik inti bertarung.
Orang pertama muntah darah dan jatuh, orang kedua juga kukenakan tendangan "Kuda Liar Menerjang Kandang" di selangkangannya, menjerit kesakitan sambil berlutut.
Awalnya aku mengamuk seperti harimau gila, tapi setelah dua jurus, seluruh tubuh lemas. Saat kupegang tombak terakhir, angin berdesir di belakang diikuti jeritan Xue Rui. Ingin kutoleh, tiba-tiba kepala terasa disambar petir, pandangan gelap lalu pingsan.
