Mengikuti alamat yang diberikan Mami klub malam, ketika taksi yang kunaiki tiba di alamat Xiao Mei yang tercatat di data, lampu-lampu kota telah mulai menyala.
Dibandingkan gedung-gedung tinggi di sekitarnya, area ini dipenuhi bangunan liar yang compang-camping. Jalan sempit tapi padat penduduk, ciri khas desa kota. Namun justru karena itu, sewanya murah dan banyak dihuni para migran yang mencari pekerjaan. Bagi perantau, cukup ada tempat berteduh dari hujan dan angin, sehingga mereka tak terlalu mempersoalkan kualitas hidup. Aku pernah tinggal di desa kota Dongguan, Hongshan, Jiangcheng, Pengshi di selatan - semuanya serupa, sehingga muncul perasaan familiar.
Ini sebenarnya bentuk kepasrahan, kemalangan kelompok marginal.
Tapi ini bukan wilayah pikiranku. Tujuanku adalah menemukan putri VIP Xiao Mei, lalu mendapatkan informasi tentang Qilin Tai darinya.
Dari mulut Mama klub malam, aku mengonfirmasi kabar: Xiao Mei mengambil cuti merah, tapi PMS-nya datang beberapa hari lebih awal. Sebenarnya hal seperti ini datang cepat atau lambat sudah biasa bagi pekerja di bidang mereka, tapi entah mengapa aku merasa ada yang aneh.
Kepalaku tak pernah sejernih ini, berbagai informasi berkumpul di pikiran, semuanya bisa dianalisis dengan cara yang paling mendekati akurat.
Duoduo Si Siluman, apakah kau yang membimbingku?
Di perjalanan tadi aku sudah telepon Si Berbulu. Siang itu dia sudah menyewa mobil untuk mengantar Pamannya Ketiga pulang, Paman Kecil juga datang menjemputnya. Membahas hal ini, dia menyuruhku jangan buru-buru. Jika perlu, kita bisa minta Master Shixiong memberikan tekanan ke sini. Selama Duoduo Si Siluman masih di dalam Qilin Tai, selama para bajingan itu tidak gila memecahkan batu giok, seharusnya tidak ada bahaya. Sekarang dia bersama Guo Yizhi, katanya kantor polisi sudah mengidentifikasi pencurinya dan mulai menerbitkan daftar pencarian nasional.
Kukatakan padanya aku sudah menemukan petunjuk, sedang bersiap untuk mencarinya sendiri.
Ia terkejut dan bertanya di mana aku berada. Aku pun menceritakan temuan hari ini. Menurutnya, aku agak gegabah. Putri bernama Xiao Mei itu hanya datang lebih awal beberapa hari karena menstruasi dan mengambil cuti. Menurutnya, reaksiku berlebihan seperti gangguan energi jahat. Meski begitu, meski bicara begitu, dia segera naik taksi untuk bergabung denganku. Mendengar analisis si Berbulu, hatiku mulai ragu: Apakah aku terlalu ingin menemukan pencuri itu sehingga menjadi paranoid dan mulai mencurigai semua orang?
Setelah berjalan beberapa li, aku tiba di bawah gedung tempat Xiao Mei menyewa. Memandangi beberapa kamar di lantai tujuh yang gelap tanpa lampu. Meski tahu nomor kamarnya, aku tidak tahu posisi pastinya. Aku berpikir apakah sebaiknya naik dulu untuk memeriksa, lalu mengutus Jin Can Gu menyelam masuk secara diam-diam?
Saat sedang berpikir, koridor gelap gulita tiba-tiba terang. Aku mundur ke sudut sambil mendengar suara sepatu hak tinggi mendekat.
Dari balik dinding, kulihat itu memang gadis yang mengaku sebagai mahasiswi Universitas Keuangan dan Ekonomi, Xiao Mei. Kali ini dia sama sekali tidak berdandan, sorot matanya tampak kabur dengan wajah pucat. Dia berpakaian minim dengan tas kecil di pundak, refleks melirik ke sekeliling sebelum berjalan ke arah jalan raya.
Karena ada Jin Can Gu di tubuhku, aku tidak buru-buru mengikutinya, hanya mengawasi dari kejauhan.
Xiao Mei pertama-tama pergi ke minimarket dekat untuk membeli beberapa camilan dan kebutuhan hidup, lalu minum bubble tea di warung kecil sekitar. Baru pada akhirnya dia datang ke sebuah warung makan cepat saji dan membungkus enam lauk pauk. Enam lauk pasti tak mungkin habis dimakan satu atau dua orang. Saat melihat ini, hatiku berdegup kencang tanpa alasan: Intuisiku benar, Xiao Mei benar-benar terlibat dalam kasus pencurian, dan saat ini dia sedang mengantarkan persediaan makanan untuk para pelaku yang bersembunyi.
Ya, persis seperti itu.
Setelah membungkus makanan, kewaspadaan Xiao Mei tiba-tiba meningkat. Hampir setiap beberapa langkah dia menengok ke sekitar. Namun semakin dia seperti ini, semakin aku yakin pasti ada yang aneh. Aku mengikutinya dari jauh dengan langkah hati-hati. Jarakku cukup jauh dan perhatianku terus tertuju padanya. Begitu dia berbalik, aku segera menyelinap ke dalam kegelapan atau kerumunan orang. Meskipun desa kota ini sempit dan kumuh, jalan utamanya yang ramai memudahkan untuk bersembunyi.
Dengan berhenti dan jalan silih berganti, setelah lebih dari sepuluh menit akhirnya kami sampai di area sepi di bagian barat.
Xiao Mei akhirnya tiba di deretan rumah petak berpagar kecil dan berhenti. Dia mengetuk pintu lalu berteriak, beberapa saat kemudian pintu terbuka dan seseorang datang menjemputnya. Setelah Xiao Mei masuk, pria itu masih melongok ke luar. Aku melihatnya dan jantungku berdebar kencang: Pria pendek berleher besar ini meski tidak muncul hari itu, tapi di kereta api jelas satu kelompok dengan si kakak paruh baya—aku sudah menemukan tempat yang benar.
Hatiku dipenuhi sukacita. Setelah pintu pagar tertutup, diam-diam aku menghampiri lalu menuju ke salah satu sisi dinding pekarangan.
Dinding pekarangan ini tingginya lebih dari dua meter, di atasnya ada serpihan kaca. Aku tidak langsung memanjat, melainkan memanggil si serangga gemuk untuk mengintai dulu. Mungkin karena sedang waktu makan, tidak ada seorang pun di pekarangan—semua berkumpul di dalam kamar. Dalam hati aku berseru, Tian menolongku! Lalu menggosok-gosokkan tangan siap mencari spot untuk memanjat. Tapi baru saja kulihat area yang sedikit serpihan kacanya, tiba-tiba terdengar suara geraman anjing galak dari dalam pekarangan.
Mereka punya anjing? Aku mengeluarkan Duoduo dan menyuruhnya membantuku menaklukkan anjing itu.
Sejak kecil aku trauma digigit anjing. Tapi Duoduo berbeda—setiap kali dia bertindak, bahkan anjing paling galak sekalipun akan lari ketakutan dengan ekor terjepit di pantat.
Aku memerintahkan serangga gemuk untuk mengawasi situasi sejenak. Merasa tidak ada bahaya di halaman, kumengatur ponsel ke mode getar, menenangkan aura di dada, mundur beberapa langkah, lalu dengan lompatan ringan berhasil memanjat tepi dinding. Dengan hati-hati aku memutar badan dan mendarap tanpa suara di pekarangan. Ini rumah petak biasa dengan empat ruangan. Jendela-jendelanya tertutup kertas putih yang redup diterangi lampu pijar. Di ujung lain halaman, Duoduo sedang menunggangi anjing tanah yang menjulurkan lidahnya, menatapku lalu tersenyum lebar sambil membentuk tanda 'V' kemenangan.
Perlahan kumendekati jendela ruangan yang paling ramai suara. Kupingku menempel di dinding, menyimak gejolak di dalam.
Tampaknya ada empat lima orang di dalam. Suara mereka campur aduk dengan logat yang agak tidak jelas, mirip aksen daerah Xiao Mei. Untungnya masih bisa kupahami. Kudengar suara berat berbicara sambil mengunyah: "...Kak, kenapa kita tidak buruan pulang saja? Katanya kalung ini sangat berharga, kalau dijual dan dibagi kita bisa pulang sembunyi..."
"Er Zhuangzi, kupingmu cuma hiasan ya? Bukannya Kakak sudah bilang orang sebangsa kita di regu keamanan bilang kita masuk daftar buruan internal? Mau mati kalau pulang sekarang? Lagi pula, untuk jual barang ini dengan harga bagus harus cari pembeli pelan-pelan. Diamlah! Lagian ada Zheng Mei yang ngirim makanan tiap hari, nggak bakal mati kelaparan." Suara tamparan bergema, jelas si pembicara pertama kena pukul kepala.
Kedua orang itu berisik sebentar, suara tenang terdengar: "Kalian berhenti berantem. Berkat Zheng Mei yang kasih kabar dan Hou San yang turun tangan, kita bisa dapet kalung ini. Yang berhak bagi hasil terbesar, Hou San nomor satu, Zheng Mei juga dapat bagian." Beberapa orang manggut setuju, San Ge setelah belajar dari Dewa Pencuri Delapan Tangan selama bertahun-tahun, emang jago. Seseorang menggerutu: "Anak itu ternyata jagoan juga, nyolong barang bisa bikin kita jadi buronan, jangan-jangan punya backing?"
Er Zhuangzi bilang kalau dari dulu udah curiga, waktu itu turun dari mobil langsung harusnya habisin si anak itu, bunuh sekalian. Sekarang jadi kayak kecoa ngumpet, sesak nafas banget. Dia cekikikan, bilang ke Zheng Mei: "Adik, gimana kalau kau kenalin beberapa saudari buat main ke pekarangan kami? Biar para kakak bisa buka selera..." Aku janji, tipnya banyak...
Kuperintahkan Duoduo menjaga pintu depan, suruh serangga gemuk hadang jendela belakang, jangan kasih kesempatan kabur. Tak lama kudengar umpatan kasar. Er Zhuangzi jelas sudah bikin kesal banyak orang, sampai beberapa orang memaki: "Pantasan dua hari ini situasi aneh, ternyata rubah jalang ini lagi birahi!" Dia kesal juga, bawa mangkuk lari ke tengah halaman makan.
Begitu keluar kamar, langsung melihat anjing tanah yang terikat di halaman berdiri di depan pintu.
“Karena Duoduo menyembunyikan wujudnya, mata jasmani biasa seperti dia tentu tak bisa melihat. Dengan bingung ia menatap anjing tanah itu, menjulurkan kakinya untuk menggali sambil memaki: ‘Sialan kamu ngapain lari ke sini? Lapar ya? Aku aja nggak dapet makan, masa urusin anjing sialan kamu?’ Tak disangka anjing yang dikendalikan Duoduo itu tiba-tiba menggigit kakinya. Er Zhuangzi memakai sandal jepit, gigitannya langsung kena daging. ‘Aaaaa!’ teriaknya keras.
Begitu dengar teriakan itu, aku langsung tahu bahaya. Benar saja, beberapa orang langsung berlarian ke halaman. Dari dalam kamar terdengar suara jendela belakang dibuka.
Aku sementara lari ke pojok tembok, bersembunyi agar tak terlihat. Beberapa orang datang ke halaman. Melihat Er Zhuangzi yang menjerit-jerit kesakitan, mereka malah tertawa nyengir. Mengejeknya habis-habisan, bilang dia kesurupan nafsu sampai gangguin anjing betina. Dengan kacau mereka mengusir anjing tanah itu. Tiba-tiba pria paruh baya itu menoleh ke arahku, berkada: ‘Ada yang aneh, ada orang!’
Dia mengambil tongkat, perlahan mendekati sudut tembok tempatku bersembunyi. Aku berdiri tegak, bersiap bertarung dengan orang ini.
Dentang langkah kakinya makin mendekat. Kukepalkan tinjuku. Tapi tiba-tiba terdengar beberapa teriakan:
‘Astaga, ini barang apa?!’
‘Huang Daxian...’
‘Giok... giok kami... kalung...’”
Aku mendengar suara langkah kaki tergesa-gesa yang menjauh. Mengintip keluar, terlihat seekor binatang bertubuh ramping, kaki pendek, berjalan seperti meluncur dari ujung halaman menuju dinding di dekatku. Wajahnya mirip rubah dengan senyum menyeramkan, sementara di mulutnya tergantung kantung beludru tempatku menyimpan Qilin Tai.
