Air putih mengalir megah di tengah rangkuman gunung/Tiba terhenti di tebing terjal jatuh sembilan lapis larangan
Suara menggelegar mengguncang langit-bumi/Momentumnya bagai Sungai Jiang yang menggulung Naga Air
Terbaring di tepi lumpur, menatap ke atas air terjun yang menyembur deras dari celah tebing. Suara gemuruh air yang terjun dan menghantam permukaan tak henti bergema, gedebuk, gedebuk. Angin berhembus membawa kabut halus yang menempel di ubun-ubunku, halus dan lembut. Di ujung langit tampak pelangi megah berkilauan dengan tujuh warna memukau. Pemandangan indah ini membuatku yang telah lama terombang-ambing dalam kegelapan gua, tak kuasa menahan gejolak hati.
Akhirnya berhasil keluar dengan selamat! Akhirnya bisa melihat sinar matahari lagi!
Di sampingku ada si Berbulu, dan di tempat yang lebih jauh ada orang lain. Jatuh dari ketinggian puluhan meter ke kolam misterius membuat semua pusing tujuh keliling. Dengan susah payah saling membantu merayap keluar dari kolam ke tepian berlumpur yang dipenuhi tanaman air, kami bahkan tak punya sisa tenaga untuk bergerak sedikit pun.
Harimau Kucing Besar (Tuan Kulit Harimau) terus berputar-putar di puncak kepala kami, menggiring kami untuk merangkak ke darat - penjelasannya sangat menakutkan, katanya darah ikan Yu bisa membuat pria impoten dan wanita mandul, dengan penuh keyakinan. Mengingat makhluk ini baru saja menunjukkan kharisma supernatural-nya dengan membunuh ikan Yu mengerikan itu seketika, kami semua tak berani menyepelekan dan segera merangkak serta tergesa-gesa menuju hamparan rumput hijau di sebelah. Dada kami berdesah seperti balon tiup, berbunyi hula-hula keras.
Sama sekali tidak melihat situasi pertempuran di sungai bawah tanah tadi, aku pun bertanya apa yang sebenarnya terjadi. Bagaimana Tuan bisa begitu perkasa, dan datang tepat pada waktunya?
Ayam Betina Gemuk ini berputar-putar di atas kami yang bergelimpangan, berkata: "Dewata, saat aku terbang keluar, sudah tahu bencana ini sulit dihindari. Maka aku berusaha mencari jalan untuk memberi kabar, tapi tak disangka ada Manusia Kerdil bersembunyi di samping. Si kurcaci itu tak perlu ditakuti, tapi mereka memanggil pembantu yang kuat - musuh alamiah Dewata. Hasilnya, tiga orang berhasil kabur: Lao Hu terluka, tentara itu mati, sedangkan Lao Jin sama sekali tak cedera. Aku bawa mereka lari tergesa-gesa, akhirnya kabur melalui sungai bawah tanah ini - di perbatasan Gunung Hijau ada jaringan sungai bawah tanah yang saling silang, di bawah gua kapur saja ada beberapa aliran. Ini cuma salah satu pintu keluar. Setelah menenangkan dua orang celaka itu, Dewata langsung bergegas menyelamatkan kalian para bangsat - untung masih tepat waktu, tak ada yang mati! Hehe, pujian untuk diri sendiri..."
Dengan lemas kuambil segumpal tanah dan kulemparkan padanya: "Kamu ini ngomong panjang lebar buat apa? Yang kutanyakan itu kenapa kamu bisa sehebat ini? Cahaya keemasan tadi yang seperti mantra surgawi, apa kamu yang mengeluarkannya?"
Ayam Betina Gemuk itu tampak melankolis, berlagak seperti kesepian yang mencari kekalahan, menengadah ke langit: "Di dunia ini, siapa yang tak punya jurus bertahan hidup?"
Hah, makhluk ini benar-benar ahli dalam kesombongan...
Sudahlah, kalau tak mau bicara ya tak usah.
Aku berusaha keras memutar kepala ke segala arah, baru menyadari kami berada di celah tanah atau ngarai bawah tanah yang sangat besar. Sebuah air terjun seperti sutra putih jatuh dari langit, memantulkan cahaya pelangi. Di kedua sisi jurang, puncak-puncak batu yang aneh menjulang tinggi saling bersaing, bertumpuk-tumpuk bagai menembus langit, tebing-tebing curam yang megah dan misterius mencapai ketinggian ratusan meter. Di dalam lembah, pemandangan hijau subur terhampar, lapisan pegunungan yang bertumpuk, pepohonan hijau tegak berdiri, anak-anak sungai saling bersilangan. Setiap langkah adalah pemandangan indah, setiap pandangan adalah keindahan, persis seperti surga duniawi.
Sinar matahari yang redup itu terasa dingin, seolah terhalang lapisan membran, namun tetap menyenangkan.
Baru saja keluar dari gua batu kapur yang gelap gulita, lalu melihat pemandangan indah yang menyenangkan mata ini, memandang garis langit di kejauhan, meski kami kehabisan tenaga dan tubuh penuh luka, saat ini kami tak bisa tidak menarik napas lega, merasa rasa sakit pun berkurang sedikit.
Hanya saja aku merasa heran. Aku lahir di Jinping, meski meninggalkan rumah sejak usia 16 tahun, tetap tahu sedikit tentang kampung halaman. Tapi belum pernah mendengar ada ngarai seperti ini di perbatasan Gunung Hijau, apalagi air terjun dengan lebar sekitar sepuluh meter dan tinggi empat puluh meter ini, benar-benar belum pernah kudengar. Meski perbatasan Gunung Hijau adalah hutan purba yang sepi tak berpenghuni dengan wilayah yang luas, sebenarnya belakangan ini banyak penebang liar yang semakin masuk ke pedalaman gunung karena pengawasan ketat di luar. Air terjun yang bersuara keras ini dengan sungainya, bagaimana mungkin tidak ada sedikit pun kabar yang tersiar?
Ini benar-benar agak aneh.
Aku mendengar suara gerakan di semak, tubuh langsung menegang. Mengangkat alis memandang, terlihat dua orang muncul di jalan setapak tak jauh. Ternyata Hu Wenfei dan pemandu Lao Jin. Wajah mereka lebam, tapi kondisi mereka lebih baik dari kami. Langkah kaki mereka terlihat lebih kuat.
Lao Hu mendekati kami, memeriksa luka satu per satu. Kecuali aku, Si Berbulu, dan Jia Wei yang lukanya cukup parah, yang lain hanya kelelahan dan kedinginan. Mereka menyalakan api di tanah lapang sana, sedang menjemur pakaian. Yang bisa jalan disuruh ke sana sendiri, yang tidak bisa ditopang dan dipindahkan ke tanah lapang puluhan meter jauhnya.
Sesampai di dekat api, kecuali Jia Wei, semua melepas baju hingga hanya mengenakan celana dalam. Dengan tubuh licin, mereka menjemur pakaian di tepi api.
Di situasi darurat, tak bisa banyak menuntut.
Kehangatan api mengembalikan pikiran yang beku. Kami saling bercerita pengalaman setelah berpisah di gua. Yang Cao wajahnya masam. Dia dan Jia Wei sempat memotret banyak foto berharga di aula batu, sayang hilang entah tertinggal atau tenggelam di dasar kolam. Tapi lukisan dinding yang mereka ambil di area "Dewata" Mata Iblis, terbungkus plastik rapi, masih selamat.
Membicarakan mereka yang tewas, suasana hati semua orang sejenak muram.
Saat itu penuh percaya diri, merasa persiapan sudah sangat matang, pasti akan mudah, bahkan aku pun memiliki perasaan bahwa Manusia Kerdil itu remeh dan segampangan lauk. Namun realita membanting kami dengan keras, di hadapan kami Manusia Kerdil memang sudah tak berdaya, tapi saat kami nekat memasuki gua, kekalahan kami sudah ditakdirkan.
Karena lawan kami bukanlah Manusia Kerdil, melainkan alam yang misterius.
Kami tidak menghormatinya, maka ia membuat kami merasakan pelajaran yang mendalam.
Tanpa ampun.
Selain aku, tanda pada Wu Gang, Ma Haibo dan Lao Jin sudah dipastikan hilang, sementara Departemen Agama juga mendapatkan data pertama tentang gua kapur ini. Tapi semua ini, kami bayar dengan harga hilangnya belasan nyawa tak bersalah.
Apakah sepadan? Apakah sepadan?
Aku terus bertanya pada diri sendiri tanpa jawaban. Lagipula kami belum bebas, Hu Wenfei memberitahu bahwa di ngarai ini sepertinya ada medan magnet besar. Ponsel dan walkie-talkie kami sama sekali tak berfungsi. Bagaimana keluar? Barusan dia sudah mendeteksi sebentar, sementara belum menemukan jalan keluar.
Di sini hutan lebat tumbuh subur, sangat sulit dilalui.
Jika ini adalah lembah dengan tebing terjal di segala penjuru, ditambah sinyal terputus, siapa tahu kami harus tinggal di sini beberapa waktu. Tapi apakah benar lembah ini tak ada bahaya?
Aku yang mendengar situasi ini merasa antara ingin tertawa dan menangis: Dalam novel silat, adegan di mana tokoh utama jatuh dari tebing lalu menemkan kitab rahasia legendaris dan menguasai ilmu sakti, apakah ini akan terulang pada kami? Sungguh klise yang membuatku sadar hidup nyata seringkali lebih dramatis daripada fiksi.
Lembah ini memiliki ketinggian rendah dengan iklim berbeda dari luar gunung. Setelah beberapa saat menghangatkan diri di dekat api, baru kusadari suhu di sini setidaknya 4-5 derajat lebih tinggi dari luar. Tempat yang hangat dan nyaman ini telah dikunjungi Lao Hu lebih dulu. Meski belum banyak menjelajahi jalur, mereka telah mengumpulkan buah-buahan liar seperti mulberi hitam-merah yang dibungkus daun hijau besar dan diletakkan di tepi api unggun untuk kami santap.
Perut keroncongan membuat kami tak sungkan menyantapnya. Rasa buah-buahan liar itu terasa begitu istimewa saat itu. Harimau Kucing Besar (Tuan Kulit Harimau) pun terbang turun berebut mulberi merah-hitam dalam bungkusan daun hijau itu, hingga paruhnya penuh noda merah lendir buah.
Sebenarnya Tuan Kulit Harimau-lah yang paling cocok mencari jalan. Usai makan, kami memohonnya terbang ke luar ngarai untuk memanggil bantuan. Tapi binatang berbulu pipih ini pura-pura lelah setelah kenyang. Meski digelitik, ia tetap tak bergerak. Tak lama kemudian, dengan kelopak mata terbalik putih, ia berbaring seperti ayam betina gemuk yang mati dan tertidur.
Aku hendak membangunkan makhluk itu, tapi si Berbulu menghentikanku sambil menggelengkan kepala. "Jangan ganggu Yang Mulia," katanya, "Dia benar-benar kelelahan - kau tak tahu, demi menyelamatkan kita, dia mempertaruhkan nyawa tuanya. Dengan tubuh biasa saja, dia memanggil arwah phoenix abadi Busi Kunji, baru bisa membasmi ikan mengerikan itu seketika dan menyelamatkan kita semua. Kalau tidak, mungkin kita sudah terkubur di perut ikan saat ini..."
Aduh! Apa itu Busi Kunji? Makhluk legendaris ini setara dengan qilin, sama-sama makhluk suci yang langka di dunia.
Kulihat burung gemuk ini yang tidur pulas di samping api unggun tanpa beban. Citranya di mataku tiba-tiba terasa lebih agung.
Benar ada perbedaan bagaikan langit dan bumi antara burung ini dengan burung-burung biasa yang berkicau riang di ranting pohon.
Setelah lolos dari tempat berbahaya, meski terperangkap di ngarai bawah tanah ini, suasana hati kami membaik di bawah sorotan dingin sinar matahari. Dengan si burung gemuk, trenggiling hitam Xiao Hei, dan Jin Can Gu-ku, kabur dari sini hanya masalah waktu. Kami tak khawatir, sambil menghangatkan diri di api, memandang pakaian yang digantung mengeluarkan hawa panas. Kami mulai membahas untung rugi misi ini. Tentang gua itu, semua sepakat bergidik: itu bukan sekadar retakan gunung biasa, melainkan entitas yang seolah memiliki kehidupan sendiri.
"Kami hidup di permukaan bumi ini, merasa diri seperti Tuhan yang bisa masuk ke langit turun ke bumi, serba tahu, namun selalu tak menyadari betapa bodohnya diri ini."
Alam semesta benar-benar membuat manusia merasa kagum dan takut.
Setelah sekitar empat puluh menit, pakaian yang dijemur di atas tongkat kayu sudah cukup mengering, dan tenaga kami juga pulih sebagian. Kami bersiap bangkit, memanfaatkan sisa cahaya sebelum gelap untuk menjelajahi kedua ujung jurang ini, berharap menemukan jalan keluar. Namun tiba-tiba Luo Fu'an di samping berubah wajah, dengan suara "plak" ia terjatuh ke tanah. Kami berkerumun mengelilinginya, menepuk-nepuk daging putih pria gemuk itu sambil bertanya ada apa?
Luo Fu'an melirik sekeliling dengan sorot mata yang menyeramkan. Ingin bicara namun seolah ada sesuatu menyumbat mulutnya. Beberapa detik kemudian, kami melihat ekspresinya yang aneh dengan hanya mengenakan celana dalam. Seolah terjadi hal mengerikan, ia menutup mulut erat-erat, namun di bawah kulitnya terlihat gelombang gerakan menggeliat.
"Aaa..."
Akhirnya ia tak bisa menahan lagi. Mulutnya terbuka mengeluarkan semburan darah hitam pekat.
Yang membuat bulu kuduk merinding, dalam darah hitam itu terdapat kerumunan larva kecil yang tak kasat mata.
