Braak! Braak! Braak!
Suara ketukan di pintu kayu tebal itu menggema seperti genderang perang. Balok penyangga di langit-langit bergetar hebat menghujani debu. Bangku batu yang menyumbat pintu - siang tadi dipindahkan Yang Cao dan kawan-kawan untuk duduk - kini ditumpuk di depan pintu mencegahnya terbuka. Wu Gang bahkan menyeret meja panjang tempat tablet arwah untuk ikut menahan. Lao Jin yang masih gemetaran menatap ke arah pintu, mulutnya berkedut sambil bergumam: "Harus bagaimana ini?"
Kutanya pada Si Berbulu: "Sudah membaik?"
Si Berbulu Xiao Daozhang menghela napas, berdiri sambil mengibaskan tangan dan berkata tidak apa-apa. Mayat-mayat hidup di luar ini, meski sebagian disebabkan oleh Cacing Zombie, tapi terutama digerakkan oleh Energi Dendam. Maka ilmu Tao bisa mengusir atau menyegelnya. Hanya saja meski gerakan mereka lamban, kekuatan ledakan mereka luar biasa, tenaganya besar, dan relatif kebal terhadap tebasan pedang atau kapak. Kita perlu menyusun formasi magis, memancing mereka masuk, lalu memusatkan kekuatan langit-bumi untuk membasmi mereka sekaligus. Pendeta miskin ini agak memahami tata letak formasi pengusir roh kutukan, tapi membutuhkan kerja sama kalian semua...
Hu Wenfei dan Yang Cao yang melihat Jia Wei menghilang menjadi panik. Mendengar perkataan Si Berbulu, mereka serentak berkata: "Silakan Taoist Xiao memberikan petunjuk."
Si Berbulu tidak bertele-tele. Ia menunjuk ruang utama: "Tempat ini terbuat dari batu. Meski lebih kokoh dari rumah kayu di samping, tetap tidak cukup aman. Tiga jendela ini akan menjadi titik lemah terbesar. Yang Cao, sebelumnya kulihat kau menyusun formasi di Gua Mata Batu, pasti sudah berpengalaman. Aku perlu menyusun formasi di sini selama setengah jam. Jadi - ikutlah menyusun formasi di ruangan ini. Yang lain, jaga pintu utama dan tiga jendela. Dalam 30 menit, jangan biarkan mayat hidup masuk!"
Kami semua mengangguk setuju. Si Berbulu lalu bertanya pada Yang Cao: "Apa kau tahu 'Formasi Api Li Tujuh Bagian'?"
Yang Cao berkata, "Mungkinkah ini diagram akhir dari 'Formasi Tujuh Patahan Zhenwu' yang diciptakan oleh Zhenren Junbao, pendiri sekte Wudang?" Si Berbulu mengangguk membenarkan. Yang Cao melanjutkan, "Saya mengenalinya. Formasi ini tersebar luas, tapi sangat sedikit yang memahami misterinya. Karena itu, pengetahuanku hanya kulit luarnya saja."
Dunia mengenal Zhang Sanfeng (Zhenren Junbao) sebagai ahli seni bela diri dan perintis Taiji, tapi jarang yang menyebut statusnya sebagai daoshi. Berbeda dengan novel Jin Yong, di masa muda beliau berguru pada Biksu Tua Baiyun Zhang Yun'an di Istana Biluo. Di usia paruh baya, beliau belajar di bawah bimbingan Zhenren Qiu, mengembara sepanjang hidupnya untuk mencari guru-guru hebat. Di masa tua, beliau menerima rahasia suci dari Huolong Zhenren di Gunung Zhongnan - bekas pusat aliran Quanzhen, menguasai esensi Taoisme dari Laoshan, Quanzhen, Tian Shi, serta teknik elixir dalam/luar, hingga dijuluki "Dewa Tersembunyi". Beliau hidup selama 170 tahun dari akhir Dinasti Yuan hingga tahun ke-15 Kaisar Yongle di Ming.
Formasi yang diciptakan oleh orang sakti seperti ini tentu memiliki keistimewaan yang luar biasa.
Si Berbulu tak banyak bicara. Dari kantong ajaibnya dikeluarkan berbagai perlengkapan formasi: Fu, benang merah, kain bendera ritual, lonceng, lilin merah, dupa, tulang binatang... Dengan cekatan, mereka berdua mulai menyusun formasi setelah komunikasi singkat. Aku sendiri lari ke jendela sisi kiri - jendela kayu berlubang biasa dengan ukiran bunga sederhana yang tertutup kertas kuning.
Setelah berhasil menahan pintu utama, gerombolan mayat hidup yang tak bisa masuk mulai merayap ke kedua sisi. Begitu melihat jendela, mereka langsung mengambil batu dan menghantamnya dengan ganas.
Ada juga yang mencoba mendorong dengan tangan kosong.
Tak sampai dua menit, jendela itu sudah bolong. Lubangnya cepat melebar, beberapa kepala mengerikan bermunculan sambil menjulurkan badan.
Jantungku berdebar kencang. Bagaimana mungkin kami bisa bertahan setengah jam dalam kondisi seperti ini?
Untungnya tinggi jendela ini sekitar 1,5 meter dengan ketebalan dinding puluhan sentimeter. Mayat-mayat yang mencoba merangkak masuk tampak kesulitan. Karena kapak kurang efektif, kuambil sebatang tongkat kayu besar di samping dan menghantam habis-habisan mayat hidup yang sedang memanjat tubuh rekannya. Meski baru dikubur beberapa hari, mayat dihadapanku ini sudah membusuk parah. Dagunya compang-camping mengalirkan cairan jenazah kuning yang menetes-dititik, wajah kaku penuh minyak jenazah. Setelah kuhantam berkali-kali, wajahnya sampai berubah bentuk.
Tapi dia sangat ulet. Dengan tangan-tangan kaku, dia mencoba meraih tongkat kayu sebesar mangkokku sambil berusaha melompat masuk.
Tenaga mayat-mayat hidup ini luar biasa besar, jauh melebihi kekuatan saat masih bernyawa.
Kukencangkan cengkeraman pada tongkat, merasakan ada hambatan. Tanpa ragu lagi, kusarap pistol dari pinggang dan langsung menembak zombie di depan mata.
Begitu letusan terdengar, kepala buruk rupa yang basah itu langsung bolong besar dan terjatuh ke belakang.
Kuambil kesempatan ini untuk mendorong tongkat sekuat tenaga. Tiga empat mayat hidup yang mengepung jendela langsung terpental.
Saat tembakan senapanku berbunyi, suara serupa bergema di beberapa bagian rumah dengan waktu yang berbeda-beda. Hu Wenfei yang sudah berpengalaman menghadapi situasi darurat seperti ini tetap tenang. Namun Wu Gang, Ma Haibo, Xiao Zhou, dan Lao Jin yang meski pemberi dan teliti, gemetar ketakutan melihat mayat hidup berbau busuk dengan ekspresi mengerikan seperti hantu jahat, aroma busuk energi mayat membuat kaki mereka lemas. Mereka segera membalas dengan tembakan.
Lao Jin sebagai pemandu hutan meski pernah berburu, tampak paling panik. Tangannya gemetar tak karuan, ingin membantuku tapi kusuruh pergi. Dengan tangan bergetar dia mengeluarkan pisau buruan dan lari ke arah Hu Wenfei.
Di rumah leluhur, semua orang sibuk berjuang kecuali gadis Miao kecil bernama Youyou yang memeluk kantong berisi Harimau Kucing Besar (Tuan Kulit Harimau), gemetaran di sudut ruangan.
Tuan Kulit Harimau yang kemarin tampak perkasa bisa membunuh ikan monster dalam sekejap, kini masih terlelap pulas.
Duoduo yang terluka parah saat menyelamatkanku, masih beristirahat dalam papan kayu pagoda.
Jin Can Gu (Gu Ulat Emas) yang ketakutan oleh makhluk tak dikenal di gua, hanya menjaga komunikasi samar-samar denganku.
Kurasakan semakin sedikit teman yang bisa khandalkan.
Dalam kondisi dikepung musuh di semua sisi, harus kuhadapi sendiri kehidupan suram ini.
Para mayat hidup di luar tidak berhenti menyerang meski kawan mereka mati. Mereka terus merayap naik, mencoba melompat melalui jendela untuk melahap dagingku. Tanpa dukungan Jin Can Gu dan Duoduo, aku sadar rasa takutku tak sebesar bayangan. Aku telah merasakan Qi, berkat bantuan serangga gemuk, Yin Mai dan Yang Mai laut telah terhubung. Akar tulang bergema petir - yang biasa disebut "membuka Ren Du Er Mai". Titik akupunktur Weilu, Jiaji, Yuzhen bisa mengalirkan energi siklus langit, merasakan inti Taoisme. Tenagaku mengalir lancar, lebih stabil dan tahan lama dari orang biasa.
Kini kukumpulkan ketenangan dari gelisah dan takut. Pertama kurajut Mantra Fudo Myoo-ō untuk menstabilkan tubuh-pikiran, menjaga tekad tak goyah. Lengan cepat membentuk Surya Chakra Mudra.
Begitu mudra ini terbentuk, seluruh tubuhku bergetar hebat. Tekanan tak kasat mata menyebar keluar dari dalam.
Mantra suci "Ling Biao Tong Qia Jie Xin Lie Qi Chan" dari Mandala Sembilan Pertemuan Buddhisme Tantra adalah metode paling sederhana yang kupakai saat pertama mendapat ajaran ini untuk menghancurkan perlahan Jin Can Gu. Seiring pertumbuhanku, kekuatannya terus meningkat - dari ribuan jalan suci dan metode di dunia, ilmu Gu tetap cara licik untuk menggerogoti lawan, tak cocok untuk duel terbuka. Maka Shan Gelao memperkenalkan mantra suci Buddhisme Tantra yang sederhana, dikombinasikan dengan Sembilan Cakra Mudra, agar murid Tao juga punya kemampuan bertarung dengan ilmu sihir.
Awalnya aku hanya merasa ini sederhana, namun ketika kembali dari Kota Kuno Phoenix dan merasakan medan energi "Qi", barulah aku menyadari bahwa jalan suci itu tampak sederhana di puncaknya, namun berliku di awalnya.
Kurasakan gelombang kekuatan dahsyat mengalir dari dasar hati, genggaman tanganku pada tongkat kayu membuat sendi-sendi berderak. Aku menerjang ke jendela dan menghantam kepala mayat hidup yang hampir merayap masuk. Plasma darah muncrat ke wajahku, bau busuk daging yang membusuk segera memenuhi lubang hidungku.
Di hatiku telah menyala semangat juang membara, kusadari bahwa para mayat hidup berwujud aneh ini hanyalah seperti ayam tanah dan anjing genting belaka.
Lelaki sejati, mana mungkin gentar?
Mulutku tanpa sadar melafalkan "Mantra Suci Raja Ming Penakluk Tiga Alam", di kepalaku bergema gemuruh, bayangan para Buddha dan Arhat silih berganti. Kulepaskan dua hantaman, merasakan kekuatan yang terus mengalir deras, semakin garang bertarung. Melihat jendela yang dijaga Ma Haibo dan Wu Gang dalam bahaya, tanpa pikir panjang kubacok beberapa mayat hidup di jendela lalu melompat nekat keluar.
Jika ingin berperang, aku harus memimpin barisan depan!
Begitu melompat keluar, tujuh delapan mayat hidup langsung menerjang ke arahku dengan cakar terkembang. Aku tidak takut, menenangkan diri merasakan aliran udara tak kasatmata yang berputar. Kaki kiri mengangkang seperti menunggang kuda, tongkat kayu menyembul bak naga air yang menyambar, menguasai inisiatif. Setelah menangkis dua mayat hidup terdekat, tongkat di tanganku melesat seperti peluru meriam, menusuk dahi Yintang seorang mayat hidup perempuan sekuat tenaga.
Braak!
Suara tengkorak pecah menggema di telinga, disusul percikan otak dan darah yang mengotori langit.
Ledakan ini memicu keberanian darah penduduk perbatasan yang mengalir dalam nadiku. Memukul dengan tongkat, menendang, menghantam dengan kepala, menebas dengan pedang, menyusun segel dengan kedua tangan untuk memecahkan mantra suci... Aku bertarung bergumul dengan gerombolan mayat hidup ini. Rasanya seperti robot yang otaknya tiba-tiba jernih luar biasa. Kapan harus menendang, kapan harus menghunus pedang—kesadaran bertarung menjadi tajam menusuk pada saat itu.
Tempur! Gempur! Hajar! Hantam sampai langit runtuh dan bumi hancur!
Meski kesadaran bertarung jelas, kepalaku dipenuhi darah bergejolak seolah dua belahan otak terpisah. Aku bertarung habis-habisan dengan mayat hidup di kedua sisi jendela sepanjang hari. Empat kepala terpenggal, anggota tubuh tak terhitung. Ada yang sudah kuhantam namun bangkit lagi, lalu kuhantam sekali lagi. Dengan sisa kebencian, kuhantam sekali lagi dengan tendangan.
Aku juga terluka beberapa kali, terkena lemparan batu di punggung, mata kiri babak belur membengkak hingga penglihatan mulai kabur.
Untunglah racun tak mempan di tubuhku walau si serangga gemuk mogok kerja.
Entah berapa lama, dunia terasa berguncang. Suara Ma Haibo memanggilku gusar: "Gila kau! Mayat-mayat semua mengerubutimu! Pikir kau ini Warrior Sparta?! Formasi hampir siap, cepat masuk!"
Kulihat sekeliling - belasan mayat hidup bergerak ke arahku seperti ombak.
Di bawah tembakan Ma Haibo, aku melompat ke dalam rumah leluhur. Baru tenang, rasa letih langsung menerjang.
Kepala terasa pusing dan mulai menghitam.
Si Berbulu sedang mengatur formasi mantra. Suaranya bergemuruh bersama Yang Cao, aura magisnya bagai tsunami. Tiba-tiba dia menuding Biduk Langit, menginjak tujuh bintang, mata melotot: "BUKA PINTU!"
