Dari pandanganku, ratusan Manusia Gua bertubuh cacat dan berwajah buruk itu membungkuk dan berseru ke arah Jia Wei di atas jembatan batu. Teriakan mereka tak perlu diterjemahkan Yang Cao, karena hanya memekikkan satu kata sederhana: "Raja! Raja! Raja..."
Suara itu bergemuruh memenuhi ruang angkasa, bergema bagai tsunami yang membuat hati berdesir.
Kami berhati-hati mengitari mulut gua, memandangi wanita mati itu yang berdiri di jembatan batu sambil melambai ke segala penjuru. Hati kami dipenuhi keraguan. Pasti jasat Jia Wei telah dirasuki bayangan hitam dari singgasana itu, tapi mengapa Manusia Gua yang aneh ini menyebutnya Raja? Bukankah aula itu telah tertutup debu zaman?
Jangan-jangan makhluk mirip hantu jahat ini juga keturunan Yelang?
Hanya saja situasi saat itu sangat mendesak, tidak ada waktu untuk rasa penasaran. Melihat semua Manusia Gua berlutut di tanah menyembah Jia Wei, kami memanfaatkan kesempatan ini untuk kabur. Namun belum beberapa langkah, Jia Wei menuding kami sambil berteriak. Makhluk-makhluk yang tadi merunduk patuh seperti domba itu tiba-tiba berubah menjadi serigala ganas, menyembul dengan senjata usang sambil berlari mengambil nyawa ke arah kami.
Awalnya kami berniat menyelinap diam-diam. Gagal, kami pun melangkah besar-besar ke luar.
Saat ini, siapa yang masih peduli nasib Jia Wei yang asli?
Kami segera mencapai persimpangan, bersiap kembali ke luar melalui gua. Manusia Gua yang terbiasa hidup di bawah tanah dengan Energi Yin pejang, fungsi tubuhnya telah beradaptasi. Kembali ke permukaan hanya bisa dilakukan malam hari. Terpapar sinar matahari langsung akan membuat otot menyusut dan mata tanpa kelopak menjadi buta. Ini kami ketahui dari mayat Manusia Gua yang mati beberapa hari lalu.
Tapi pengetahuan tetap hanya pengetahuan, belum tentu benar. Kami masih perlu verifikasi.
Akankah Manusia Gua memberi kami kesempatan verifikasi?
Jelas tidak.
Dari tepi kolam hingga ke ruang utama kastil, berkelok-kelok ratusan meter. Saat kami masuk sunyi senyap bagai alam baka, namun ketika keluar, mereka terus-menerus muncul dari sudut-sudut dan menerjang tubuh kami. Para makhluk ini bahkan tidak membawa senjata, hanya mencakar dan menggaruk sambil mencicit-cicit, sangat menjengkelkan. Orang gua umumnya tidak tinggi, yang tertinggi hanya sekitar satu setengah meter, yang pendek kurang dari satu meter, licin seperti monyet. Tapi kelincahan mereka luar biasa, bisa melompat setinggi tiga meter, cakar mereka panjang dan tajam. Meski tanpa senjata, tetap sangat mengancam.
Sambil berlari, aku bertanya apa yang dikatakan Jia Wei? Yang Cao memberitahuku bahwa Jia Wei bilang harus menangkap hidup-hidup.
Karena berbentuk manusia dan ada bayang-bayang psikologis, awalnya serangan balik kami masih terkendali, tidak terlalu mematikan. Tapi setelah terus-menerus diganggu orang gua yang melompat keluar, emosi kami pun meledak. Tak peduli lagi, pukulan kami pun semakin keras.
Meski begitu, setelah berlari 40-50 meter, kudengar jeritan menderita dari belakang. Kutolehkan kepala, melihat Hu Wenfei yang memang sudah memiliki luka kecil terjatuh ke tanah. Empat lima orang gua langsung menerjangnya, memukuli tanpa henti.
"Lao Hu!"
Kedua kepalan tangan Yang Cao menjepit delapan jarum perak dua cun. Ia berbalik badan, mengayunkan tangan - bunga darah pun beterbangan.
Namun dalam waktu sesingkat itu, sepuluh lebih manusia gua telah menenggelamkan pria paruh baya dengan jarum perak itu secara tegas. Di hadapanku kini terhampar dua tumpukan daging yang bertumpuk-tumpuk. Kulit licin berminyak manusia gua berkelebat di depan mataku. Saat ku tebas dua manusia gua hingga terbang, darah segar muncrat ke wajahku. Kepalaku mendapat pukulan keras, membuat dunia seakan gelap gulita.
Kemudian rasa sakit seperti terbakar menjalar ke seluruh tubuhku.
Ada luka cakaran, gigitan, juga pukulan keras yang menghujam.
Lima menit kemudian, aku yang babak belur bersama Yang Cao dan Hu Wenfei diikat tangan dengan tali tendon ikan. Kami diseret sepanjang jalan hingga menghadap Jia Wei. Wanita itu berdiri terkunci di tepi sungai kecil yang mengalirkan cairan keperakan, dikelilingi puluhan manusia gua berpostur gagah (1,4 hingga 1,5 meter) yang membuatnya ber-aura seorang raja. Seorang manusia gua yang agak normal menendang lubang betisku. Nyeri tajam, namun kutetap diam. Empat lima manusia gua langsung menerjang, memukuliku bertubi-tubi hingga memaksaku berlutut.
Amarah mereka mengubah rupa menjadi iblis-iblis. Kepalan tangan licin mereka menghujam tubuhku, menyemburkan lendir kuning kecoklatan. Tak terlalu sakit, tapi membuat muak.
Ada pepatah "Di bawah lutut pria ada emas". Awalnya aku ingin mempertahankan integritas, menunjukkan citra tulang keras yang berpegang teguh pada sopan santun. Namun tiba-tiba seorang makhluk mengambil sendok batu, menyendok cairan perak mengkilat dari sungai, mendekatkannya ke hadapanku siap menyiramkannya ke tubuhku. Aku segera berlutut.
Ah, aku memang benar-benar bodoh. Untuk apa mempertahankan sifat-sifat mulia di hadapan monster-monster ini?
Yang Cao dan Hu Wenfei juga berlutut di sebelah kiriku.
Jia Wei memandangi kami dengan ekspresi asing yang seram. Ia berjalan perlahan mengelilingi kami satu lingkaran. Aku merasa seluruh tubuh tidak nyaman, seolah-olah diri ini tertembus pandang. Keheningan ini berlangsung selama lima menit lebih. Empat manusia gua menggotong bangku batu berukir. Jia Wei duduk dengan angkuh di atasnya, kedua kakinya terbuka lebar seperti jangka sorong. Dengan suara serak yang kasar ia bertanya: "Bagaimana kalian masuk ke Kuil Qi Gong?"
Seorang wanita paruh baya yang berbicara dengan suara penuh pesona maskulin. Situasi aneh ini membuat kami serba salah, sangat tidak biasa.
Untungnya ia menggunakan logat Sichuan yang samar dalam bahasa Mandarin. Jika tidak, komunikasi kami akan lebih terhambat.
Kami ditelungkupkan ke tanah, memandangi mantan rekan ini tanpa tahu harus berkata apa.
Ia memiringkan kepala sedikit, tiba-tiba cahaya berkilat muncul di matanya. Kepalaku seolah dipalu godam, sakitnya seperti mau pecah. "Aah..." Aku menjerit kesakitan, mata terasa perih menyengat. Cairan mengalir dari rongga mata, baunya sampai ke hidung - bau darah.
Kuleherkan kepala ke kiri, Yang Cao dan Hu Wenfei juga mengeluarkan air mata darah. Wajah mereka pucat pasi seperti hantu.
Yang Cao mengatupkan gigi dengan keras kepala, "Kau ini siapa sebenarnya?"
Jia Wei tersenyum sombong, "Statusku terlalu mulia untuk dimengerti prajurit rendahan seperti kalian! Jawab pertanyaanku sekarang juga, biar tak perlu menderita!" Yang Cao yang jagoan ini malah tertawa, "Kita sama-sama pelaku dunia hitam. Mati pun biasa. Siapa takut ancaman? Sehebat apa kau? Lebih mahal dari daging sapi 40 yuan per kati? Jangan-jangan...kau ini Yelang Wang dari legenda?"
Begitu kata Yang Cao meluncur, hatiku seseram. Jika benar Yelang Wang, berarti kita berhadapan dengan hantu tua berusia 2000 tahun. Arwah level ini mustahil bisa dilawan amatiran seperti kita. Sekalipun ahli-ahli terbaik dari Istana Kaisar turun tangan, belum tentu bisa menaklukkannya.
Biasanya, manusia dan hantu berbeda alam. Angin Yin membersihkan dunia ini, mustahil ada hantu berumur ribuan tahun. Tapi segala sesuatu punya 'satu' pengecualian. Dalam formasi magis ini, mungkin benar ada hantu sekuat itu yang eksis di dunia manusia.
"Jadi, sekarang kita hanya bisa menunggu kematian, atau akhir yang lebih kejam."
Jia Wei tertawa terbahak-bahak, "Kau benar-benar pandai menebak. Guru agungku jenius tak tertandingi, sayang ditelan gelombang hitam hingga tewas dan sirna. Aku murid rendahan, mana bisa disamakan? Cukup basa-basi! Bagaimana kalian bisa masuk ke aula utama? Cepat jelaskan, atau kuwarningkan kalian jadi mayat berperunggu, jiwa takkan pernah bereinkarnasi!"
Yang Cao mengatupkan bibir, tak lagi bersuara.
Aku bingung, Raja Hantu ini sudah beberapa hari merasuki Jia Wei. Apakah dia tidak mendapat ingatan Jia Wei? Dan kenapa terus memantau situasi aula? Jangan-jangan... ada sesuatu yang dijaga di sana?
Entah kenapa, tiba-tiba teringat zombie wanita di peti batu hitam itu. Apa ada hubungannya?
Melihat kami tak kunjung menjawab, Jia Wei mengangkat tangan. Beberapa manusia gua datang menangkap kami untuk diseret ke parit. Segera kuangkat tangan: "Aku yang buka pintu." "Bagaimana caranya?" "Tak tahu, cuma oleskan darah."
"Oh?" Jia Wei terkejut, membungkuk memperhatikanku sambil berpikir.
Sebelumnya saya pernah menggambarkan penampilan Jia Wei secara singkat. Meski ibunya di masa muda konon kabarnya secantik bunga, namun jelas dia tidak mewarisi gen unggul tersebut. Wajahnya muram, alis lurus, dua bibirnya tebal seperti saudara Afrika. Walau saya tahu statusnya saat ini adalah Raja Hantu yang misterius, tapi tatapan tajamnya tetap membuatku tak nyaman.
Entah ini khayalanku atau bukan, kupikir ada sedikit kehangatan di wajah kaku Sang Raja Hantu.
Dengan datar ia berkata: "Di usia semuda ini sudah membawa Jin Can Gu di tubuh, hantu air Gui tergantung di dada, aliran energi dasarnya kokoh, sorot mata tajam bercahaya... Benar-benar bakat!" Setelah itu tiba-tiba ia mengajukan beberapa pertanyaan padaku dalam bahasa Miao kuno yang sama sekali tidak kumengerti.
Melihatku tak bereaksi, Sang Raja Hantu mengamuk. Ia bangkit mendadak lalu memberi instruksi pada sekumpulan manusia gua berpenampilan menjijikkan di sampingnya, sebelum berpaling ke arah lain.
Para manusia gua itu mulai menarik-narik kami. Yang Cao dan Hu Wenfei dipukuli dan ditendangi sampai terdesak menuju lubang hitam di sebelah. Sementara aku dicekik erat. Seorang lelaki tua dengan bulu putih jarang di alis mendekat membawa pipa bambu berkarbonasi yang dicelupkan ke sendok batu berisi air raksa mendidih, lalu mengarahkannya ke titik antara alisku.
Kurasakan teror kekuatan penghancur dari air raksa itu. Sambil mundur teratur aku berteriak pada Yang Cao: "Apa sih yang diomongin si anjing tadi?!"
Yang Cao sambil meronta-ronta menjawabku: "Dia bilang kau pengkhianat yang bahkan tak bisa bicara bahasa leluhur, Jin Can Gu di tubuhmu sia-sia, biarkan monster-monster ini menghancurkan Jin Can Gu!"
Mendengar ini, kepalaku seperti tersambar petir.
