Dalam sepersekian detik ketika Wang Chucheng memilih menyerang Lao Wan, aku langsung paham maksudnya.
Lao Wan itu jagonya urusan selatan, preman pasar yang licin dan banyak akal. Tapi soal bertarung, kemampuannya nol besar.
Wang Chucheng memilih dia daripada menyerangku, tujuannya untuk membunuh Lao Wan dengan cepat lalu menghabisi diriku yang lebih menyebalkan agar dampak serangan ini tidak meluas dan mencegahnya kabur.
Dari sini terlihat, meski Wang Chucheng sudah mengamuk, tapi tidak memiliki tekad dan keberanian untuk bertarung sampai mati.
Kesadaran sebagai manusia dan rasa takut, ini adalah kelebihan sekaligus kekurangan. Tergantung bagaimana aku memanfaatkannya untuk diubah menjadi momentum bagiku.
Melihat Vajra manusia yang mengerikan ini berlari pontang-panting, Lao Wan tentu terpekik ketakutan lalu berusaha merangkak bangun dan kabur. Aku geser dua langkah ke kiri, menenangkan diri, kaki kiri mencengkeram tanah, lalu kaki kanan menendang dari samping ke arah Wang Chucheng yang menerjang.
Mata memandang lurus, ujung lidah menyentuh langit-langit mulut, menelan air liur, Qi mengalir ke Dantian, menarik pinggang dan memutar panggul, mengangkat kaki secepat angin, mendarat setajam jarum. Ini adalah esensi Tendangan Aliran Xiao. Dengan sedikit pengalaman, tendanganku langsung mengenai pinggang kiri Wang Chucheng yang baru saja menyelesaikan ritual mayat kera.
Benar-benar pantas dijuluki "Prajurit Penjaga Altar". Wang Chucheng yang telah menyelesaikan transformasi mayat kera ini otot-ototnya menegang, tenaganya luar biasa besar, keseimbangan kakinya pun stabil. Tendangan kerasku ini seperti menendang tembok batu, memantulkan tenaga balasan yang membuat kaki kananku mati rasa dan perih.
Tapi aku sudah punya pengalaman bertarung seperti ini. Aku tahu begitu ilmu hitam merasuki tubuh, tubuh para makhluk ini akan mengeras seperti besi cor. Karena itu tendanganku sengaja menyisakan tiga persen tenaga, menyentuh lalu langsung ditarik kembali, sehingga tidak terlalu mempengaruhi kaki.
Dan karena penundaan ini, Lao Wan sudah merangkak dan tergesa-gesa lari ke belakangku.
Ia nyaris kolaps, berteriak keras: "Kak Lu, Kak Lu, benda sialan apa ini? Gorila kaburan dari kebun binatang?"
Mendengar ucapan ini, Wang Chucheng mengaum rendah dengan gigi tajam basah berkilauan, mengayunkan tangan ke arahku. Kekuatan makhluk ini luar biasa, aku tak berani berhadap-hadapan langsung. Aku mundur beberapa langkah, kaki kanan terasa kaku. Aku sadar bertarung gaya dengannya sama saja mengundang kehancuran. Dengan menepuk dadaku, Duoduo Si Siluman yang sudah tak tahan lagi langsung muncul dari dadaku dan menyambar ke arah Wang Chucheng.
Di satu sisi tangan raksasa berbulu lebat berotot, di sisi lain tangan kecil putih seputih teratai, bertubrukan pada saat itu.
Lalu kudengar suara remuk tulang bergema.
"Auuu…"
Tubuh gagah Wang Chucheng yang berubah menjadi mayat kera bagai gunung tak tertembus dibanding Duoduo. Namun setelah tubrukan dahsyat ini, meski Duoduo terpental pucat ke sampingku, Wang Chucheng juga menderita. Lengan kanannya terjulur tak wajar, wajah kera mengerikannya dipenuhi ekspresi kesakitan. Dengan raungan bergema ke langit yang tak tertahan, mata merah berdarahnya membanjiri air mata penderitaan.
Sambil memanfaatkan momen Wang Chucheng mundur, kupikir karena tubuhnya mengandung energi jahat, pasti rentan terhadap cahaya keemasan dari Cermin Zhen. Tanpa ragu, langsung kusorotkan cermin itu sambil berteriak "Wu Liang Tian Zun!" Terlihat Wang Chucheng terpelanting ke belakang setelah disinari.
Kuteriakkan pada Duoduo Si Siluman, "Cepat serang dengan Qingmu Yigang! Jangan biarkan si pencuri kecil ini kabur!"
Namun gadis ini malah mengabaikanku. Dengan mencibir, ia kembali menerjang pria berbadan gorila itu dan menghajarnya habis-habisan. Jeritan menderita terus bergema.
Aku sempat blank, lalu teringat: Roh Duoduo yang pindah ke Qilin Tai harus memulai kultivasinya dari nol lagi. Yang tersisa hanyalah pondasi Qilin Tai dan konstitusi fisik barunya.
Meski menguasai metode kultivasi Qingmu Yigang, tubuh Qilin Tai tak cocok untuk energi kayu. Sehingga kemampuannya terbatas. Inilah alasan Qing Xu berhasil menculik teman masa kecilnya, Tangtang.
Berbeda dengan Duoduo yang polos dan mempercayaiku sepenuhnya, Duoduo Si Siluman lebih tertutup. Hingga kini, aku pun tak benar-benar paham kemampuan apa saja yang dimilikinya.
Tapi hari ini kulihat, tubuh Qilin Tai ternyata sangat gesit dalam bertarung. Dulu ia ahli mengendalikan tumbuhan, sekarang seolah berubah menjadi naga betina ganas...
Duoduo mewarisi tubuh siluman-hantu, secara alami mampu melepaskan gumpalan Qingmu Yigang yang pekat, hanya saja sekarang masih siang, harus bagaimana ini?
Tak paham, tapi ini tak menghalangiku untuk memukuli anjing yang sudah jatuh ke air. Mayat kera santet sebesar itu ternyata bisa ditumbangkan "satu pukulan" dari si kecil. Xiao Yao Duoduo langsung menerjang, menghujani pukulan dan tendangan sampai Wang Chucheng merah muka mengaum marah. Aku pun ikut maju, sambil mengingat penjelasan Dua Belas Metode tentang teknik ini, terus menghantam bagian lengan patahnya dengan tendangan khas ala preman.
Wang Chucheng benar-benar tak menyangka. Setelah berubah jadi mayat kera, dikira bisa cepat-cepat membunuhku lalu pergi meninggalkan jasa tanpa pamrih. Tapi hasilnya jauh berbeda dari bayangan - tiba-tiba dihajar habis-habisan oleh si kecil, lalu diinjak-injakku seperti hamparan rumput, aib yang tak termaafkan.
Kemarahan memuncak jadi ledakan. Akhirnya ia berhasil memukul Xiao Yao Duoduo sampai terpelanting, bangkit merangkak lalu mencengkeramku dengan kedua tangan. Dari aura yang terpancar, sepertinya ingin merobek-robek tubuhku hidup-hidup lagi.
Jurus ini sering dia gunakan, sudah sangat mahir. Namun aku sudah mengantisipasinya. Aku merendahkan badan dan menghindar dari pelukannya, lalu menerjang keras ke dadanya. Aku meraih pinggangnya menggunakan teknik gulat Mongolia "jembatan besi", mengalihkan empat tahil untuk mengatasi ribuan kati. Pria perkasa itu langsung terhempas ke lantai dengan suara gemuruh, seluruh rangka tubuhnya mengerang kesakitan.
Manusia harus selalu melihat masalah dengan perspektif perkembangan. Wang Chucheng mengira kemampuan bertarung fisikku masih seperti di hutan Myanmar dulu, sehingga langsung menanggung kerugian besar.
Bantingan belakang ini memanfaatkan tenaga Wang Chucheng sendiri. Tubuh besarnya jatuh terguling, bahkan sistem sarafnya yang sudah mengeras pun sempat pusing. Darah mengucur dari mulutnya, otaknya seolah ditempa pandai besi - gemeretak logam dan dengung lebah memenuhi kepalanya.
Saat itu aku teringat catatan kaki Luo Shiba tentang mayat kera di pojokan kitab: Segala sesuatu di dunia saling menghancurkan. Shanxiao ini ganas perkasa, tapi secara alami takut pada darah ayam jago. Pepatah kuno "Bunuh ayam untuk mengintimidasi monyet" terbukti. Begitu warna merah muncul, makhluk ini langsung menutup mata ketakutan. Sifat bawaan ini melekat sampai mati. Maka darah ayam bisa meredakan keganasannya.
Begitu teringat, aku langsung menyadari di kotak alat tadi ada kantong darah ayam. Awalnya untuk menjaga situasi, belum sempat dipakai. Pas untuk disiramkan di sini.
Saya menoleh ke arah Lao Wan yang berlari ke belakang toilet dan berteriak, "Lao Wan, dasar anak kepiting, cepat ke sini! Lempar kantong darah ayam itu ke tubuhnya!"
Lao Wan yang tadinya ketakutan sampai nyaris pingsan—ia sempat ingin kabur mencari bantuan—mendengar instruksiku yang terdengar yakin. Berdasarkan kepercayaan padaku, kakinya berhenti gemetar. Dengan langkah kaki bazi yang cempreng, ia berlari mendekat. Dengan gemetar-gemetar, ia membuka kotak alat, mengambil kantong darah ayam itu, lalu melemparkannya ke arah sini sambil memejamkan mata.
Kantong darah ayam itu dibungkus rapat dengan segel plastik, sama sekali belum dibuka. Kantong besar itu melayang tak karuan ke arahku yang sedang berdiri.
Aku antara kesal dan geli. Si veteran licik ini biasa membual di depan Xiao Lan dan Mao'er bahwa lengannya "bisa jadi arena pacuan kuda". Tapi sekarang nyalinya menyusut sekecil lubang jarum—matanya saja tak bisa dibuka.
Tapi aku tak menyalahkannya. Bagi orang biasa seperti dia, yang melihat kera mengerikan hasil transformasi mayat kera ini, keberaniannya untuk kembali sudah menunjukkan kepercayaan yang cukup padaku.
Kantong itu melenceng, tapi Duoduo Si Siluman—si cewek gesit—langsung menangkapnya dengan refleks tangan cepat. Ia membuka segelnya dan menyiramkan lebih dari setengah liter darah ayam dingin itu ke kepala dan tubuh atas Wang Chucheng.
Darah ayam ini bagi Wang Chucheng yang menggunakan santet mayat kera bagaikan asam sulfat pekat. Seketika asap hitam pekat mengepul, Wang Chucheng yang malang kembali menjerit. Jeritannya mirip tangisan, Uwaa-Uwaa, bahkan tak sempat membalikkan badan untuk menyerangku. Tangannya hanya menggaruk-garuk ke segala arah, setiap garukan mencabut sejumput bulu. Dia berguling-guling di lantai sambil berteriak kesakitan, seperti anak yang sedang mengamuk, sungguh menyedihkan.
Hatiku dipenuhi sukacita. Segala sesuatu di dunia pasti punya musuh alami. Dulu saat merencanakan cara melawan Wang Chucheng, karena layar MP4 terlalu kecil, aku tidak melihat dengan jelas. Setelah beberapa kali membaca ulang puluhan ribu karakter catatan Luo Shiba, barulah bisa membacakannya dengan lancar. Tapi dalam catatan kaki Luo Shiba hanya disebutkan dugaan, tidak pernah menyangka darah ayam...
Dan efeknya begitu ajaib.
Setelah ricuh beberapa saat, Wang Chucheng awalnya masih berusaha menyakitiku dengan kesempatan terakhir, tapi kuhindari. Seiring darah ayam mulai berefek, akhirnya dia menyusut menjadi gumpalan. Santetnya terangkat, kembali ke wujud aslinya yang kurus lemah. Seluruh tubuhnya berlumuran darah ayam, energi spiritualnya lesu, kepalanya babak belur seperti kepala babi.
Di dalam kotak alat ada tali merah ritual. Sekarang kugunakan sebagai tali pengikat untuk mengikat tangan kaki Wang Chucheng, membuatnya tidak bisa bergerak.
Aku melihat Lao Wan terpekik ketakutan hingga terjatuh di tanah, tangannya masih memegangi dada untuk menenangkan diri. Aku berjalan mendekat dan berjongkok di sampingnya, menepuk bahunya sambil berkata, "Lao Wan, dasar si anjing, kau baik-baik saja?" Ia terkejut, memandangiku dengan penuh kekaguman, menarik tanganku sambil berucap penuh perasaan, "Kak Lu, kakak sejati ku! Sudah lama kuduga kehebatannmu. Waktu kalian bantu A Gen mencari hun di Plaza Haowan, aku juga ikut tunjuk jalan. Saat negosiasi tadi pun aku hadir. Tapi soal hantu dan dewa ini selalu terasa seperti angin lalu, percaya ada, tak percaya pun lenyap. Tapi setelah melihat kera besar seganas hantu yin tadi, meski hatiku ciut, akhirnya tebakan hatiku terbukti—Kak Lu, kau benar-benar luar biasa! Wan Quanyong ini akan mengikutimu seumur hidup!"
Dengan jijik kulepaskan genggamannya, "Aku tidak suka beradegan mesra (hubungan sesama jenis)!" Setelah itu, kami berdua tertawa terbahak-bahak.
Duoduo Si Siluman mendekati Lao Wan dengan wajah penuh kebencian, "Lao Wan, apa yang kau lihat tadi?"—status Duoduo adalah sepupuku (kadang sebagai adik sepupu), yang tak pernah menunjukkan kemampuannya berterbangan tanpa sebab di hadapannya—Lao Wan segera memohon ampun sambil menangis, "Nenek, ampuni hamba! Ini cuma omongan orang mimpi, tak berani hamba sembarangan bicara..."
Duoduo Si Siluman mengangkat kepalan tangan kecilnya, tersenyum bangga seolah bangga dengan wibawa gadis penyihir cilik-nya.
Tiba-tiba dari belakang kami terdengar suara tertegun bertanya, "Guru Lu... Kalian sedang apa di sini? Ada masalah apa?"
