Hu Wei yang sudah dalam kondisi tegang luar biasa, begitu melihat bayangannya sendiri di cermin yang seperti orang asing kerasukan menyeringai dingin, sementara seluruh tubuhnya berlumuran darah merah segar—darah itu menempel di tubuhnya bagai cacing tanah hidup yang meliuk-liuk, menyelimuti seluruh dirinya menjadi sosok manusia berdarah yang aneh—Hu Wei terpekik ketakutan seketika, berteriak histeris seolah langit dan bumi bergerak menghimpitnya dengan kegelapan.
Usai berteriak, ia masih berharap ini hanya halusinasi. Dengan sisa harap, ia menunduk melihat handuk pengusap wajah di tangannya—kain itu ternyata sudah menghitam oleh darah beku. Kakinya terasa dingin menusuk, saat ia menatap lantai kamar mandi: air pancuran yang terus mengucur telah menggenang setinggi mata kaki, bukannya mengalir ke saluran, malah merembes luas hingga membasahi pergelangan kakinya.
Baru saat ini Hu Wei menyadari bahwa ini bukan ilusi maupun mimpi. Tak peduli masih telanjang bulat, ia berlari menerjang hendak membuka pintu kamar mandi. Tapi seolah ada kekuatan tak kasat mata di seberang pintu yang menarik dengan kekuatan setara. Berapapun tenaga yang dikerahkan, pintu itu tak juga terbuka.
Bagaimanapun Hu Wei tetap seorang perempuan. Meski ketakutan memberinya kekuatan luar biasa, stamina tak bertahan lama. Setelah satu menit berjuang, tenaganya habis untuk melawan 'sosok' di balik pintu. Suaranya pun sudah serak akibat teriakan panik.
Rasa takut yang luar biasa mencengkeram erat Hu Wei, pada saat itu ia merasa seperti akan mati lemas.
Setelah tenang sejenak, Hu Wei tiba-tiba menyadari kedua kakinya terhisap kuat oleh suatu kekuatan. Cairan darah kemerahan telah merembes hingga lututnya, banyak benda licin menyusuri betisnya - ada yang seperti siput licin, ada yang lembek tapi bertekstur keras, bahkan sepertinya ada yang berduri... Seketika bulu kuduk di seluruh tubuhnya berdiri, giginya gemertak. Saat menatap ke bawah, terlihat siluet wanita berbaju putih mengapung di bawah permukaan, dengan tangan terbuka dan rambutnya yang terurai seperti tanaman air hitam dalam genangan darah...
Tiba-tiba kedua kaki Hu Wei dicengkeram kuat oleh sepasang tangan bengkak keputihan, lalu ditarik keras ke bawah. Dunia serasa berputar, seluruh tubuhnya terasa dingin menggigil dan lembap. Kepalanya terasa panas lalu ia pun pingsan.
※※※
Saat menceritakan pengalaman ini, ucapan Hu Wei terpotong-potong. Aku harus menyambung-nyambungkan informasi dalam pikiran cukup lama untuk merekonstruksi adegan yang agak utuh tersebut.
Aku mengerutkan alis, bertanya pada Hu Wei yang wajahnya pucat: "Apa kamu yakin semua yang kamu deskripsikan itu benar-benar nyata?"
Hu Wei mengangguk pasti, "Setiap kata yang kuucapkan adalah benar. Sampai sekarang semuanya masih jelas terbayang."
Wanita di sebelah tak tahan mengejek, "Kurasa kamu tidak seharusnya tinggal di sini, lebih baik periksa tengkorakmu ke bagian psikiatri."
Kubalikkan kepala, menatap tenang wanita bermulut tajam ini. Melihat tatapanku, ia memalingkan muka sambil bergumam, "Hmph, si tewas!"
Kutersenyum, mengabaikannya. Fokuskan perhatian pada Hu Wei. Kulihat alisnya berkerut, lingkaran mata menghitam, bibir tepinya kebiruan - Biasanya wajah seperti ini ada dua kemungkinan: terlalu banyak nafsu, atau kemasukan roh jahat.
Zhu Hongxiang melanjutkan cerita Hu Wei: "Setelah les tambahan untuk murid, saat pulang ke rumah kudapati istriku telanjang tergeletak di lantai kamar mandi. Kulitnya kebiruan, kedua tangan mencengkeram leher seolah kehabisan napas, tak sadarkan diri. Lantai basah oleh air pancuran yang masih menetes."
Reaksi pertama Zhu Hongxiang adalah keracunan gas. Tapi kemudian baru ingat - rumah baru mereka menggunakan pemanas air listrik.
Ia membungkukkan badan, menarik istrinya bangun, dan menemukan napas sang istri sangat lemah. Seolah ada sesuatu yang menyumbat tenggorokannya. Tanpa pikir panjang, ia memasukkan tangan ke dalam tenggorokan istri untuk merangsang muntah. Setelah beberapa kali stimulasi, Hu Wei akhirnya memuntahkan banyak kotoran. Baru setelah itu napasnya mulai lancar. Ia segera menelepon 120 memanggil ambulans yang membawa mereka ke rumah sakit.
Setelah bercerita, Hu Wei tiba-tiba meraih lenganku dengan erat, berkata dengan histeris: "Master Lu, kau harus percaya padaku."
"Mereka bilang aku pingsan karena kekenyangan dan mandi air panas terlalu lama. Tapi aku yakin, saat itu aku benar-benar bertemu hantu!"
Emosi Hu Wei sangat meluap, seolah selama beberapa hari ini ia banyak dipertanyakan. Suaminya di sampingnya terus berusaha menenangkannya.
Melihat adegan ini, tanpa sadar aku teringat pada Fu Xiaoqiao sebulan lalu. Andai ia bisa menerima kehidupan biasa, mungkin juga akan bahagia.
Dari penuturan Hu Wei dan Zhu Hongxiang, hampir bisa dipastikan ia memang bertemu makhluk gaib.
Tapi jika hantu itu benar-benar ingin membunuh, cukup dengan menyumbat saluran pembuangan kamar mandi, mungkin sepupu Lao Wan itu sudah mati tenggelam. Tampaknya tujuannya bukan membunuh, tapi ingin menyampaikan sesuatu pada Hu Wei - mungkin sekadar membuktikan eksistensinya.
Mengapa harus menunjukkan eksistensi diri? Di hati sudah ada sebuah ide, tapi tetap harus melihat langsung ke lokasi.
Kuceritakan pemikiranku pada mereka. Zhu Hongxiang langsung bersemangat saat kukatakan akan mengunjungi rumah itu, dia bersedia mengantar kami.
Pasangan ini masih perlu berdiskusi. Kusuruh Xiaoyao mendorong kursi rodaku keluar kamar. Belum sampai pintu, tiba-tiba terdengar teriakan histeris perempuan cerewet tadi: "Hantu... Astaga, hantu!"
Kekacauan melanda kamar. Perempuan itu seperti kesurupan, tangan diayunkan liar, mata membelalak bak ikan mati, mulut mencong dengan busa putih meleleh.
Aku tertegun sejenak, lalu menoleh melihat Xiaoyao Duoduo di belakang.
Siluman kecil ini menyipitkan mata indahnya dengan senyum nakal. Saat kutatap tajam, dijulurkannya lidah lalu tampak bangga, seolah menanti pujian.
Kugelengkan kepala: "Xiaoyao, jangan macam-macam. Segera hentikan, jangan cari masalah."
"Huh, enggak!" bantahnya.
Kutanya kenapa dia menakuti perempuan itu?
Hidungnya berkerut: "Si gemuk jelek itu berani memakimu! Kubuat dia lihat hantu beneran! Biar kapok!" Tawanya menggema, mata sipitnya melengkung seperti bulan sabit.
Watak gadis kecil ini sangat keras kepala, aku juga tidak bisa langsung menegurnya. Akhirnya hanya bisa bilang "cukup", harus tahu batas. Dalam hidup dan berperilaku, kita harus selalu ada toleransi, bisa memaafkan orang lain.
Dengan begitu, sahabatmu akan semakin banyak, musuh semakin sedikit...
Dia tampak kesal dengan nasehatku, menutup telinga sambil bilang "bosen banget! Dasar bodoh, guru kolot, sama persis kayak ibumu!"
Meski tidak suka, dia akhirnya berhenti bergerak. Wanita tadi sudah tidak menjerit lagi, hanya seperti ikan mati yang membuka mulut dan bernafas tersengal-sengal.
Melihat Hu Wei dan Zhu Hongxiang di kamar pasien, aku bertanya ke Lao Wan di samping: "Sepupumu dan suaminya sudah hampir 30 tahun, kok belum punya anak?" Dia mengangkat bahu: "Sepupuku keras kepala dan kompetitif. Bilang belum punya rumah, mau taruh anak di mana? Dua kali hamil digugurin. Sekarang sudah beli rumah, sedang program hamil, eh malah ada masalah begini."
Aku mengangguk, tidak berkomentar lagi.
Keluar dari rumah sakit, kami naik mobil ke rumah Zhu Hongxiang. Perumahan tua yang fasilitasnya rusak, bahkan bukan gedung berlift. Rumah mereka di lantai paling atas. Proses menggotongku naik sangat melelahkan. Sampai di depan pintu, Lao Wan dan Zhu Hongxiang sudah berkeringat deras.
Jujur saja, aku yang digotong juga sampai berkeringat dingin, takut mereka gagal memegang dan aku jatuh.
Namun ketika Zhu Hongxiang mengeluarkan kunci dari balik sabuk kulitnya dan membuka pintu, entah mengapa aku tiba-tiba gemetar ketakutan, seluruh tubuhku bergetar tak terkendali.
Lao Wan juga memeluk bahunya sambil menggerutu pada sepupunya, "Lao Zhu, orientasi rumahmu ini benar-benar bermasalah. Di musim panas terik begini saja sudah terasa dingin menusuk, apalagi nanti di musim dingin pasti membeku seperti patung!"
Zhu Hongxiang menyalakan lampu dan menjawab pasrah, "Tak ada cara lain. Harga rumah sekarang sangat mahal. Yang orientasinya bagus lebih mahal puluhan juta. Lebih baik berhemat."
Kuperhatikan tata letak ruangan ini dengan mata setengah terpejam. Semua perabotan terkesan sembarangan, tak ada barang mahal apalagi penataan feng shui yang layak disebut.
Dengan didorong siluman kecil memakai kursi roda, kukelilingi ruangan sebentar. Di samping rak TV ada beberapa pot lidah buaya, tungku dapur menghadap selatan, dan pita warna-warni tergantung di dinding - semuanya terlihat tak wajar meski tak terlalu mempengaruhi struktur rumah.
Setelah berputar sebentar, kami akhirnya sampai di depan pintu kamar mandi.
Kamar mandi dan toilet di rumah Zhu Hongxiang berada dalam satu ruangan, dipisahkan oleh tirai kertas. Entah mengapa, kamar mandi ini memiliki Kan (), secara keseluruhan lebih tinggi sekitar belasan sentimeter dari lorong. Aku mengernyitkan dahi bertanya apa maksudnya? Zhu Hongxiang berkata dulu dia juga bertanya, makelar bilang karena ini lantai paling atas, jadi waterproofing harus dibuat lebih tebal, dan sepertinya juga ada hubungan dengan tekanan air. Dia tidak bisa menjelaskan dengan jelas, karena tidak ada pengaruh berarti, akhirnya dibiarkan saja - renovasi rumah ini bagus, untuk menghemat biaya, mereka hanya mengganti kloset di sini, lainnya tidak diubah.
Karena Kan ini, kursi rodaku tidak bisa masuk. Dari luar kucurikan pandangan, perasaan di hati sangat tidak nyaman, kloset baru mereka terasa tidak harmonis sama sekali, seperti tidak selaras dengan keseluruhan kamar mandi.
Kuregangkan leher melihat, di antara kloset dan posisi lantai terdapat retakan yang cukup besar, entah karena masalah kloset atau keahlian tukang renovasi yang payah.
Lao Wan melihatku bersusah payah mengamati, menawarkan apakah kursi roda mau dipindahkan ke dalam kamar mandi untuk dilihat? Dari sini tidak bisa melihat jelas.
Aku mengangguk, berkata baiklah.
Zhu Hongxiang dan Lao Wan bersiap mengangkatku masuk bergantian. Ketika tubuhku tergantung di udara, tiba-tiba kulihat di atas leher Zhu Hongxiang duduk seorang nona berbusana putih, wajahnya tertutup kulit yang kabur. Persis saat itu, Zhu Hongxiang tiba-tiba melepaskan pegangan dan mendorongku yang tergantung di udara ke belakang dengan cepat.
