Orang yang pernah memiliki pengalaman berenang dan menyelam tahu, di dalam air, membuka mata tanpa kacamata selam sebenarnya sangat sulit. Mata akan teriritasi, perih dan berair.
Aku mengamati si pencari itu, hanya sesekali membuka mata, selebihnya selalu terpejam rapat.
Saat bibir dingin gemetar ini menempel di mulutku, lidah lincahnya menyelip membuka gigiku, meniupkan udara ke dalam mulutku, menyelamatkanku dari kondisi hampir pingsan karena kekurangan oksigen, aku juga langsung membuka mata.
Dasar kolam yang gelap gulita, meski mata terbuka, hanya bisa melihat kontur gadis kecil di depanku dari pantulan cahaya samar.
Penampilannya masih seperti lolita berusia belasan tahun, wajah tanpa ekspresi, bola mata berkilau penuh keluguan, bulu mata berkedip-kedip saat dengan serius meniupkan udara untukku.
Paru-paruku mulai mengembang, aliran hangat demi aliran hangat menyembur dari dalam tubuhku, membuat badan kaku dingin ini tak lagi begitu menderita.
Siluman kecil ini benar-benar "masih perawan", namun juga praktisi energi vital. Titik-titik akupuntur di seluruh tubuhnya menyimpan aura, hanya biasanya tak terlihat.
Melihat siluman kecil ini menatapku dengan serius, rasa bersalah dan malu menyembul di hatiku.
Dasar binatang! Dasar binatang tak tahu malu!
Ini cuma seorang gadis kecil... Aku... apa yang sebenarnya telah kulakukan?
Namun begitu teringat dengan istilah "gadis kecil", aku tak sengaja teringat saat Duoduo Si Siluman baru keluar dari Qilin Tai. Postur tubuhnya yang sempurna seperti model, aura dewi yang memancar, namun setelah kutatap telapak tanganku, berubah menjadi sosok canggung dan hijau seperti sekarang.
Seandainya saat itu aku membiarkan siluman kecil itu menggigitku tanpa melawan, mungkin dia akan...
Apakah jika benar demikian, aku takkan merasa bersalah seperti ini?
Meski tubuh Duoduo terbentuk dari Qilin Tai, saat bertarung sekeras giok, namun sehari-hari dia sama seperti gadis biasa: suhu tubuh yang sama, napas yang sama. Saat bibir kami bersentuhan sekarang, merasakan kelembutan bak kelopak bunga ini, setelah napasku kembali, tiba-tiba muncul perasaan tak tega untuk melepaskannya.
Namun akal sehat akhirnya menghentikan pikiran liarku. Dengan susah payah, akhirnya kutekan kedua tangan di bahu Duoduo, dengan kaku memisahkan diri.
Tak tahu berapa lama, melihat orang itu telah pergi, aku berniat berenang keluar dari ceruk sempit ini dan naik ke permukaan.
Tapi Duoduo menghentikan usahaku, mengulurkan tangan dan mendorongku lebih dalam, lalu membalikkan badan. Kedua tangannya dengan cepat menyusun segel di dalam air, mempersiapkan formasi kecil.
Melukis fu di udara, menyusun segel dan formasi!
Teknik ini sebelumnya pernah didemonstrasikan oleh Si Berbulu di pemandian air panas yang dibuka Qing Xu, namun saat ini Xiao Yao menggunakannya dengan lebih mahir, seketika aura alami seperti bebatuan, tanah, dan aliran kolam dalam menyelimuti area kami.
Tepat saat formasi magis berakhir, kabut hitam pekat mulai merembes dari air, menyerupai ubur-ubur raksasa dari Dunia Hewan atau makhluk Hai Gua yang pernah kami lawan di perbatasan Gunung Hijau bersama Manusia Kerdil, tapi jauh lebih besar, melebar hingga diameter tiga empat meter lebih, melayang melewati kami.
Tiba-tiba, ia berhenti. Ekor panjang seperti tombak terayun-ayun di depan mata kami mengikuti riak air.
Pantas disebut bos besar, Zhang Dayong benar-benar sangat teliti dan hati-hati dalam bertindak.
Aku memeluk Xiao Yao Duoduo, meringkuk di ceruk gelap itu, hati dipenuhi ketakutan dan rasa meremang bulu kuduk.
Seandainya si siluman kecil ini tidak waspada, mungkin sudah kuterjang keluar.
Di dalam air yang gerakanku terbatas, mana mungkin aku bisa melawan ancaman makhluk ini?
Xiao Yao menoleh, tersenyum padaku.
Siluman rubah kecil ini sejak lahir sudah memiliki mata yang menggoda, senyumannya membuat tulang-tulang terasa lunglai.
Tanpa kusadari terbayang lagi sosoknya saat kami berpelukan dan berciuman tadi, darah tak lagi berkumpul di kulit kepala malah mulai terasa hendak menetes.
Aku menahan diri sekuat tenaga, tidak ingin mempermalukan diri di depan siluman kecil. Tapi hal ini, semua pria pasti tahu, bukanlah sesuatu yang bisa ditahan sesuka hati.
Saat pertarungan batinku memuncak, ekor itu tiba-tiba meliuk pelan. Baru saja ingin menenangkan hati, tiba-tiba kepala wanita cantik muncul tiba-tiba dua meter di depan kami, memicingkan mata menatap ke arah kita.
Kaget setengah mati, jantungku berdebar kencang. Setelah lama baru tenang. Baru kusadari wanita ini adalah yang terbungkus kabut hitam tadi. Dalam pancaran air yang redup, wajah ayunya dipenuhi aura mengerikan.
Tapi formasi penyembunyian yang dibuat siluman kecil ini efektif. Kepala dalam kabut itu menatap tajam ke arah kita beberapa detik, lalu pergi tanpa curiga.
Kejadian menakutkan bertubi-tubi ini menghabiskan oksigen di paru-paruku. Wajahku memerah, mulai kekurangan oksigen lagi.
Melihat kondisiku, siluman kecil tersenyum manis lalu merebahkan badan, mencium bibirku untuk menyalurkan Qi.
Proses ini berulang tiga kali. Saat aku mulai hanyut dalam keindahan yang samar ini, siluman kecil menyentil perutku. Aku bingung sampai dia menunjuk ke luar - rupanya tanda bahwa area sudah aman untuk naik.
Melihat senyum nakalnya, wajahku langsung merah membara sampai pangkal telinga. Rasa malu itu begitu menyiksa.
"Tapi sekarang bukan saatnya membicarakan hal lain," perlahan-lahan aku meregangkan tubuh, merayap keluar dengan hati-hati sambil berenang.
Tak lama kemudian, aku muncul kembali ke permukaan air. Kolam ini terhubung dengan sungai bawah tanah di atas dan bawah, sehingga gemericik air menyamarkan suara gerakanku.
Begitu kepala muncul, suara Zhang Dayong yang suram terdengar dari tepi kolam: "...Mungkinkah dia kabur melalui sungai bawah tanah?"
"Tidak mungkin! Arus sungai bawah tanah itu deras dan tidak ada ruang untuk bernapas. Jika dia masuk, mungkin beberapa hari lagi mayatnya akan mengapung di tepi sungai Jiang."
Suara Zhang Dayong terdengar kesal. Ia mendengus dingin: "Menurut sumber mata-mata, orang ini pernah memasuki Kuil Pusat Kerajaan Yelang Kuno. Saat membuka pintu, dialah yang mengaktifkan formasi magis dengan darahnya."
"Tanpa dia, kita takkan pernah bisa memasuki sana! Harta warisan Yelang Kuno dan Dà Hēi Tiān yang diperintahkan Xiao Foye takkan pernah kita temukan!"
"Maaf, kemampuan bawahan ini tidak memadai!"
Suara-suara penyesalan bergema. Beberapa segera mengusulkan untuk menangkapku yang masih berada di lorong batu atas.
Tiba-tiba terdengar langkah kaki tergesa-gesa. Seorang anggota melapor: "Hong Anzhong memberontak! Pasukan kita terdesak, mohon Jenderal segera mengirim bala bantuan!"
Zhang Dayong kembali mendengus dingin, memaki marah, mengatakan mereka semua adalah sekumpulan sampah, bisa menunda ya ditunda, kalau tidak bisa ya dipindahkan saja? Taktik Keluarga Hong dari utara Sichuan sangat licik, kalau bukan bertaruh nyata pasti gila-gilaan, aku akan pergi melihat, mencoba apakah bisa memasukkan si licik ini ke dalam Formasi Arwah Suci Wan Xue Gui Zong, lalu dengan ketekunan seperti mengasah batu, menghabisinya hidup-hidup.
Setelah berkata demikian, Zhang Dayong memberi instruksi pada anak buahnya, katanya jaga ketat dua tawanan ini, simpan mereka untuk keperluan besar, lalu pergi membawa pasukannya.
Setelah cukup lama, kurasakan ruang mulai tenang, baru berani mengulurkan kepala dengan hati-hati, mengamati situasi di luar, sambil tetap waspada akan jebakan, agar tidak dibunuh secara mendadak jika mereka kembali.
Tapi sepertinya tidak, di tepi kolam misterius itu menyala dua api unggun, dikelilingi tujuh delapan orang, yang memimpin adalah Er Niangzi, dia berselimut mantel kapas, ditemani saudara-saudara yang baru turun air sedang menghangatkan diri.
Saat itu November musim dingin, suhu dalam gua batu bawah tanah ini memang lebih hangat dari luar, tapi setelah tubuh basah kuyup, dingin yang menusuk tulang tak tertahankan, membuat orang sangat menderita.
Sedangkan dua tawanan Huang Pengfei dan Bai Lutan, mereka tak mendapat hak berselimut mantel kapas atau selimut tebal, tangan kaki diikat erat dengan tali rami kasar lalu didorong terjatuh ke tanah, tak berani bangun.
Di dekat mereka, terdapat dua mayat—satu tewas jatuh dari atas tadi, satunya lagi tenggorokannya terpotong oleh pedang Huang Pengfei.
Saat Ketua dan rombongan pejabat masih di sini, semua diam membisu. Tapi sepuluh menit setelah sang pemimpin pergi, anak buah mulai berani bersuara dan suasana pun ramai.
Tapi pembicaraan mereka hanya seputar hal-hal kecil seperti bulu ayam dan kulit bawang, tidak layak dibicarakan di meja makan.
Beberapa pria kasar memandangi lekuk tubuh Er Niangzi yang tergambar jelas di balik mantel kapas basah. Tak tahan, mereka mulai melontarkan canda mesum: "Kak, dengan postur dan paras secantik ini, kenapa jadi pasangan makan bersama Kasim Cao?"
Er Niangzi melirik dengan genit: "San Gouzi, hati-hati ucapanmu. Jika sampai ke telinga majikanku, nanti perutmu penuh cacing. Jangan bilang Kakak tidak ingatkan!"
Mendengar ancaman itu, San Gouzi langsung menampar pipinya sendiri sambil berulang kali memohon maaf: "Salahku, mulut hina ini pantas ditampar! Ampuni hamba, Kak. Jangan dihiraukan omong kosongku."
Orang-orang di sekitar tertawa terbahak-bahak, "San Gouzi, dasar keledai brengsek! Ada cewek cantik di sebelah sana tidak kau ganggu, malah berani usik Er Jie kami yang penuh duri ini. Apa kau benar-benar tidak tahu nasib Yi Jiangnan itu?"
Mendengar peringatan orang lain, San Gouzi memandang Bai Lutan yang sedang berpelukan dengan Huang Pengfei sambil gemetar ketakutan, senyum mesum merekah di wajahnya.
Ia menyeringai memperlihatkan gigi kuning besar, menggosok-gosokkan tangan, lalu berjalan perlahan mendekat. Melihat Huang Pengfei yang telah membunuh anak buahnya, amarahnya meluap. Kaki diangkatnya tinggi lalu menendang dengan keras berkali-kali, membuat Huang Pengfei menjerit-jerit kesakitan.
Orang-orang yang melihat San Gouzi bertindak kasar segera menghalangi, "San Gouzi, dasar keledai! Orang ini masih berguna buat atasan. Jangan sampai kau melumpuhkannya. Bisa jadi nanti dia yang berkuasa, malah kau yang harus membungkuk hormat padanya!"
"Membungkuk apaan!"
San Gouzi berlagak galak tapi tak berani melanjutkan. Ia melepaskan Huang Pengfei lalu tersenyum mesum ke arah Bai Lutan yang tergeletak, membungkuk hendak meraba: "Nona manis, jangan lihat wajah San Gouzi jelek. Tapi hati San Gouzi baik, badan sehat perkasa, paling paham kebutuhan perempuan..."
"Seperti kata pepatah, siapa yang coba pasti tahu, hahaha..."
