Subuh 10 Januari 2010, aku duduk di pinggiran kasur menatap sinar matahari hangat yang menyelinap melalui celah tirai, lama tak bicara.
Delapan-sembilan jam sebelumnya, kukira aku sudah pasti tewas. Tapi setelah terbangun dari mimpi panjang, tekanan berat yang selama ini menghimpit ternyata sirna semuanya - ya, semuanya!
Racun Yang yang ditanamkan Mao Tongzhen di tubuhku, luka tersembunyi dari pertempuran-pertempuran sebelumnya, hingga kerusakan meridian saat ledakan energi di Gunung Nu - semuanya lenyap dalam semalam.
Bukan hanya tidak ada, di posisi Dantian bawah dalam tubuhku malah muncul kekuatan besar nan stabil.
Entah mengapa, kekuatan ini selaras sempurna dengan metode kultivasiku. Seperti mata air jernih, ia terus membersihkan meridianku seiring sirkulasi Qi, memperlebar saluran energi ini - ibaratnya dulu hanya jalan kecamatan, kini sudah jadi jalan provinsi.
Kemajuan seperti ini sangat jelas terlihat, membuatku lebih memiliki daya ledak, juga sangat meningkatkan daya respons dan koordinasi tubuhku. Pikiran dan fisikku tidak akan lagi terputus.
Aku tak bisa menggambarkan perasaan menyeluruh ini dengan kata-kata. Mengepal tangan, aku bisa dengan mantap mengendalikan kekuatan yang terkumpul di dalam tubuhku.
Aku menyadari dengan jelas bahwa ini bukanlah lentera sebelum padam, melainkan kekuatan nyata yang solid.
Sungguh di luar pemahaman! Dengan perumpamaan sederhana: dulu aku seperti berjalan di dalam air, namun kini bisa bernapas lega dengan bebas di bawah sinar matahari yang cerah.
Dunia ini begitu indah. Setiap sudutnya dipenuhi pesona; setiap sisinya mengandung kebenaran absolut.
Ini adalah sudut pandang yang belum pernah kusaksikan sebelumnya, juga perspektif yang belum kupahami selama ini.
Dunia tetaplah dunia yang sama, hanya saja kini terasa sangat berbeda.
Melihat gunung sebagai gunung, melihat air sebagai air. Lalu melihat gunung bukan sebagai gunung, air bukan sebagai air. Kemudian kembali melihat gunung sebagai gunung, air sebagai air. Ini adalah level Buddha. Namun apakah dunia benar-benar berubah? Sejak zaman purba ia tetap sama. Yang berubah hanyalah hati sanubari kita.
Terkadang peningkatan level bisa menambah kekuatan, terkadang kekuatan bisa membimbing level. Keduanya saling melengkapi, tak bisa dipisahkan.
Kehidupanku sedang mekar deras, bagai kupu-kupu yang keluar dari kepompong dan terlahir kembali.
Ia sempat padam karena kukira akan mati, namun setelah siuman dalam keadaan setengah sadar, tiba-tiba mencapai puncak yang belum pernah tercapai sebelumnya.
Lantas apa sebenarnya alasan di balik semua ini?
Aku bukan sedang berada dalam irama kematian, mengapa tiba-tiba merasa seperti Popeye yang habis makan bayam, seluruh tubuh dipenuhi energi eksplosif?
Aku mencoba mengingat-ingat dengan keras, mungkin karena demam tinggi belum reda, otakku seperti bubur yang berantakan. Samar-samar ingat semalam berbincang lama dengan Kato Aya, prosesnya tidak jelas, pokoknya bicara dari hati ke hati, lalu benar-benar tak sadarkan diri.
Diam-diam kuharap akan ada mimpi indah yang mempesona. Tapi pagi ini, melihat kasur rapi dan pakaianku yang masih lengkap, semua tebakanku hancur berantakan.
Aku tak bisa menahan tawa pada pikiran tadi, terlalu jorok dan kotor - bagaimana bisa berpikir seperti itu?
Adakah rejeki nomplok jatuh dari langit? Itu cuma alur drama TV kelas tiga, mana mungkin terjadi di dunia nyata?
Sepertinya ada petunjuk mengambang di kepalaku, tapi seperti nama teman yang sudah di ujung lidah, tetap tak bisa diingat.
Setelah menggaruk-garuk kepala cukup lama, akhirnya kumerelakan. Kuberdiri dan merapikan pakaian, bersiap mencari Kato Aya untuk klarifikasi.
Keluar dari kamar, di taman kulihat Ashikaga Jiro si anak muda sedang mengayunkan pedang kayu.
Aura yang dipancarkannya keras dan tegas, khas orang Jepang.
Kumenunggu sampai dia beristirahat, lalu bertanya: "Di mana Nyonya Kato sekarang?"
Ashikaga Jiro memandangku dengan tatapan aneh, tidak menjawab, melanjutkan latihan dengan pedang kayu Jepang itu, menebas dengan liar seolah ada musuh di udara.
Aku merasa bosan, teringat bahwa dia mungkin tidak mengerti bahasa Tionghoa. Setelah beberapa saat, kulihat seorang pelayan perempuan yang sering menemani Kato, lalu kutarik dan bertanya padanya.
Pelayan itu memberitahuku bahwa nona muda minum bersamaku sampai larut malam kemarin, kembali ke kamar tidur, dan belum juga bangun sampai sekarang.
Apakah aku minum alkohol kemarin? Kutepuk kepalaku bertanya pada diri sendiri, tapi tak ada ingatan sama sekali.
Seandainya ini gadis biasa, bisa saja aku langsung masuk ke kamar untuk membangunkannya. Tapi kamar pribadi Kato Aya bahkan membutuhkan izin ayahnya untuk masuk. Aku terpaksa menahan pertanyaan di hati, menunggu Aya bangun untuk ditanyakan nanti.
Tak mendapat jawaban dari Kato Aya, hatiku gelisah. Namun energi misterius dalam tubuhku mendorongku untuk melakukan sesuatu. Akhirnya kuubah penampilanku sepenuhnya di kamar, lalu menyelinap keluar.
Aku tidak langsung menuju rumah teh untuk mencari Xiao Zhou. Mengikuti ingatan, kusuruh sopir taksi membawaku ke perimeter Klub Hongbin, berputar sekelilingnya.
Itu adalah kompleks tertutup di lereng gunung dengan pemandangan indah, dikelilingi keindahan khas Lijiang.
Aku tidak mengamati dari dekat, hanya lewat dengan taksi.
Namun dalam waktu singkat ini, aku bisa melihat beberapa pos pengawas tersembunyi yang saling merespon, dan juga merasakan samar-samar beberapa aura kuat - semua ini adalah hal-hal yang sebelumnya tidak bisa kurasakan.
Setelah memeriksa lokasi dan lingkungan sekitar secara langsung, aku menyuruh taksi mengantarku ke dekat rumah teh.
Karena di kota tua ini ada beberapa area yang tidak bisa dimasuki kendaraan, aku turun dan berkeliling dengan hati-hati beberapa putaran.
Tampaknya para pengejar terlalu percaya diri dengan kemampuan mereka dan ngotot dengan keyakinan bahwa aku tidak akan bertahan hidup, sehingga tidak banyak mata-mata di sepanjang jalan.
Entah karena sekarang semakin banyak orang yang punya uang dan waktu luang, mendekati Festival Musim Semi justru jumlah turis meningkat. Melihat para pengunjung dari luar kota yang santai berjalan di jalan tua penuh nuansa klasik ini, tiba-tiba aku merasa sedikit iri.
Banyak hal yang tidak kita sadari nilainya sebelum mengalaminya sendiri.
Hanya ketika sesuatu telah menjadi impian yang tak terjangkau, barang mewah yang didambakan tapi tak bisa dimiliki, barulah kita belajar menghargai apa yang pernah kita punya.
Dengan perasaan sedih, aku berjalan perlahan masuk ke rumah teh itu. Xiao Zhou yang seorang buronan tentu tidak bisa terlihat bekerja di depan umum.
Aku memanggil pelayan dan menyebutkan kode rahasia. Dengan santai pelayan itu berseru mempersilakan ke ruang VIP, lalu mengantarku ke kamar tempat kami berbincang sebelumnya.
Duduk tenang, aku menunggu. Setelah beberapa lama, pintu kayu terdorong perlahan dan seorang wanita masuk.
Wanita ini memiliki kecantikan yang lembut namun memesona, dengan pesona yang menggoda sekaligus bikin cemburu.
“Dia masuk dengan pesona yang memikat, duduk di seberangku, lalu menyeduh teh dengan gerakan penuh keanggunan.”
Aku terdiam, hanya memperhatikan jari-jari putih nan lentiknya yang terus menari di atas baki teh. Indah dipandang, tapi tak seperti sebelumnya di mana ada api membara dalam hatiku.
Hatiku tenang bagai air. Saat ia menyelesaikan seduhan dan menyodorkan cangkir padaku, kuambil lalu kutiup tiga kali, menghabiskannya sekaligus. “Bagaimana sapaan Ibu?” tanyaku.
“Margaku Liu, panggil saja Nona Liu…” Nona Liu terampil mengisi ulang cangkirku, “Zhou Xiaoyu sedang urusan luar. Hari ini aku yang menerima Tuan.”
Wanita penuh pesona dengan usia tak tertebak ini, meski terlihat biasa, memancarkan aura bahaya yang menggetarkan naluriku.
Kutarik napas panjang lalu mengangguk. “Kira-kira posisi Nona Liu di organisasi ini setara apa ya?”
Mendengar ini, Nona Liu tersenyum menggoda. “Kurang layakkah aku? Secara hierarki, aku beberapa tingkat di atas Xiao Zhou. Kebetulan sedang urusan di sini. Sebenarnya ini bukan wilayah kerjaku, tapi karena Xiao Zhou yang minta, bantu saja.” Matanya berbinar, “Langsung ke pokok. Apa maksud kedatanganmu?”
Aku terdiam sejenak. “Sesuai pembicaraan dengan Xiao Zhou, rencananya kuputuskan untuk bertindak pada Malam Tahun Baru Imlek. Apakah pihakmu bisa mendukung?”
“Malam Tahun Baru Imlek?”
Mata Nona Liu berputar dengan anggun, tangannya menutupi mulut sambil terkikik: "Dasar kamu nakal, bahkan setahun pun tak mau membiarkan orang merayakan dengan tenang... Tapi memang ini waktu yang tepat, kita orang Tiongkok selalu mementingkan suasana festival, di hari raya kerinduan akan keluarga semakin menjadi. Meski hati tetap waspada, tapi tak bisa menghindari kelengahan... Baiklah, aku setuju."
Setelah kesepakatan ini final, kami mulai berdiskusi detail. Walau sadar sedang bernegosiasi dengan harimau, keuntungan yang datang sendiri tak boleh disia-siakan.
Hingga siang hari aku berunding dengan Nona Liu di kedai teh, berulang kali memastikan berbagai hal, termasuk lokasi penyelamatan yang sudah kupelajari di peta.
Terakhir kusampaikan pertanyaan: Mungkinkah mereka menukar Si Berbulu dengan orang lain?
Nona Liu dengan bangga menjawab tidak mungkin, mereka punya dalang dalam yang akan memberi kabar segera jika ada masalah.
Tak banyak bicara lagi, aku berdiri dan bersalaman pamit.
Genggaman tangannya halus dan hangat, mungkin kelingkingnya sengaja menggesek tanganku. Aku paham ilmu fisiognomi - wajahnya yang begini pasti punya pengagum tak terhitung. Tak perlu ikut arus, kuabaikan saja dan pergi.
Demi kehati-hatian, kuputar beberapa kali di sekitar jalanan kedai teh, lalu menuju tempat sepi. Bersembunyi lama, tak ada yang mengikuti. Barulah hatiku tenang.
Aku sudah hampir menebak bahwa Xiao Zhou dan Nona Liu yang misterius ini kemungkinan besar adalah anggota Sekte Iblis. Adapun bantuan yang mereka berikan padaku, mungkin karena mereka mengincar keahlian khususku.
Aku termasuk tipe orang yang ekstrem - tidak bisa melawan para ahli, tapi terhadap orang biasa, aku bagaikan senjata pamungkas.
Orang dengan kemampuan sepertiku persis yang mereka butuhkan.
