Saat Huo Wa mendekat, delapan kaki serangganya yang kuat mencengkeram pil ajaib berwarna daging yang memancarkan cahaya pelangi dan wangi lima rempah.
Huo Wa yang baru saja melewati proses pembakaran masih mengeluarkan hawa panas. Kehadirannya membuat kebanyakan orang spontan mundur selangkah, mata mereka menyipit mencari sesuatu di belakangnya.
Mayat Terbang yang mengerikan itu tak muncul. Bau busuk khas Jiangshi pun hilang. Udara dipenuhi aroma misterius campuran violet dan pala, membuat lubang hidung bergetar ingin menarik napas dalam-dalam.
Huo Wa terbang mendekat, kulihat pil berdaging ini seukuran jempol, bentuknya bukan bulat sempurna melainkan elips tidak beraturan. Terlihat seperti boneka kecil yang hidup seperti nyata, meringkuk. Kulihat lebih dekat, alis dan matanya persis seperti manusia sungguhan, hampir tak ada bedanya.
Liu Xuedao yang memegang lima bilah pedang berdarah di samping terlihat matanya berbinar, berkata penuh emosi: "Buah ginseng?"
Aku tertegun, bertanya: Buah ginseng apa? 《Journey to the West》 apa?
Mendengar ucapan tak berpendidikanku, si berbulu segera menjelaskan: Buah ginseng ini tentu bukan pohon ajaib di depan Kuil Wuzhang milik Zhen Yuanzi, Dewa Bumi, melainkan sebutan Tao untuk pil manusia.
Setelah mendengar penjelasannya, akhirnya kumengerti: manusia sebagai makhluk terunggul, dengan organ-organ dalam, meridian ajaib, tujuh puluh dua titik akupuntur yang selaras dengan Tiangang dan energi jahat, merupakan ciptaan paling ajaib. Pil manusia ini dibuat dengan mengolah tubuh manusia menjadi pil.
Banyak orang gila berani mencoba teknik ini. Ada yang sukses mendirikan sekte, ada yang jadi aliran sesat diburu orang. Karena teknik ini melanggar hukum alam dan merusak karma baik, mudah mengacaukan pikiran hingga dirasuki iblis. Praktisi kultivasi umumnya menghindarinya agar tak terganggu kewarasannya. Tapi karena hasilnya cepat, banyak nekat terus bermunculan.
Ini biasanya disebut sebagai Jalan Sesat, menggunakan trik beracun dengan bahan tak dikenal dari orang hidup. Tentu ada juga yang menggunakan mayat sebagai bahan, disebut shidan (mutiara mayat) - di antara semua ini, yang paling terkenal adalah buah ginseng ini, konon bisa menghidupkan kembali orang mati.
Tentu ini hanya rumor, tapi konsentrasi intisarinya memang membuat orang tergiur.
Gengsi inilah yang menarik banyak orang. Tapi yang hadir di sini semuanya tokoh terhormat - ahli Dharma Buddha atau pakar filosofi. Mereka takkan merendahkan diri untuk merebut. Apalagi Huo Wa baru saja membakar Flying Corpse dari Perbatasan Gunung Hijau menjadi buah ginseng ini. Mereka pasti masih segan.
Aku gemetar mendengar si Berbulu bicara soal menghidupkan mayat. Mataku langsung menoleh ke papan kayu pagoda di dada Nenek Siluman Hantu.
Nenek itu paham maksudku. Melihat langit mendung di luar, ia tenang dan mengeluarkan Duoduo dari dalam.
Duoduo melayang keluar dengan wajah bingung. Melihat pil berbentuk manusia dengan aura keemasan samar di sekujur tubuhnya yang dipeluk Huo Wa, ia menghisap jarinya sambil berkedip-kedip. "Ada apa?" tanyanya.
Aku teringat pertama kali meracik Pil Jiuzhuan Huanhun di pondok kayu Paman Ketiga dulu, untuk memanggil kembali hun bumi Duoduo. Sudah lebih dari dua tahun sejak terakhir kali, hatiku berdesir. Lalu aku memberi isyarat pada Duoduo untuk menelan pil ini.
Mengetahui maksudku, Duoduo menggelengkan kepala dengan kuat, menolak keras.
Kutanya kenapa? Katanya gadis kecil ini masih hidup, dia tak mau memakannya. Kuperhatikan buah ginseng itu - benar, mata dan hidungnya mirip bayi baru lahir, memancarkan aura kehidupan yang tak bisa dijelaskan.
Si Berbulu tertawa, mengatakan ini cuma mekanisme perlindungan alami pil setelah terbentuk, sebenarnya hanya benda berlimpah energi spiritual belaka.
Meski sudah dijelaskan, Duoduo tetap menggeleng. Saat kuraih tangannya, dia tak seperti biasanya melepaskan diri, air mata berkaca-kaca di matanya.
Nenek Siluman melihat gelagatku yang ingin memaksakan pil daging ini ke perut Duoduo, segera mencegah: "Jangan!"
Kubingungkan, tanya alasannya. Nenek Siluman menerangkan: "Ramuan ini baru jadi, sifatnya terlalu keras. Tubuh Duoduo yang baru menjadi siluman hantu tak bisa mencernanya bertahap - bahkan dengan metode lain sekalipun. Obat terlalu kuat justru jadi racun, melebihi takaran sama bahayanya.
Tapi buah ginseng ini harus segera dikonsumsi sebelum energinya menyebar dan khasiatnya berkurang. Lebih baik kalian yang menelannya dulu, lalu bantu Duoduo menyerap perlahan. Dalam tiga lima tahun, mungkin dia bisa berubah wujud..."
Karena Nenek Siluman Hantu sudah berkata demikian, aku pun tenang. Melihat si berbulu yang seluruh tubuhnya berlumuran darah, aku berpikir karena diriku sudah menerima imbalan, lebih baik kesempatan ini kuberikan padanya.
Namun Huo Wa sepertinya membaca pikiranku. Ia mati-matian mengibas-ngibaskan sayapnya membentuk angka "8", menandakan ketidaksetujuan.
Si berbulu tampak kesal sekaligus geli. Katanya, seolah-olah selama ini aku memperlakukannya dengan buruk, sampai-sampai sekarang bisa membedakan siapa yang dekat dan siapa yang asing.
Ia ternyata tidak terlalu ngotot tentang kepemilikan buah ginseng ini. Sambil melambai, ia berkata, "Aku sudah paham. Huo Wa ini sangat menyayangimu, Si Racun Kecil. Cepatlah makan selagi masih hangat."
Barang ini panas. Jika disimpan terlalu lama, siapa tahu ada yang berniat jahat. Tanpa basa-basi lagi, kuulurkan tangan. Huo Wa menatapku sebentar sebelum meletakkan buah ginseng sebesar lengkeng itu di telapak tanganku dengan lembut, teksturnya lembek.
Sejujurnya, bentuknya mirip bayi tikus yang baru lahir, yang matanya bahkan belum terbuka. Aku tak berani menatapnya lama-lama, takut hati jadi lembek untuk menyantapnya. Sementara itu, aroma mistis yang luar biasa memenuhi hidungku - bahkan pesta makan Manchu-Han atau hotpot berampas bunga opium sekalipun takkan mampu menyaingi seperseratusnya. Dari segi penciuman, benda di telapak tanganku ini seolah adalah makanan terlezat di dunia.
Yang membuatku bingung adalah, itu ternyata berasal dari Mayat Terbang yang penampilannya tidak menarik tadi, sementara sebelumnya mayat itu pernah muncul dalam wujud manusia biasa...
Berbagai macam pikiran saling bertabrakan di kepalaku, seolah terjadi pergulatan antara langit dan manusia dalam benakku.
Tapi segera kuputuskan dengan tegas, kusarungkan pil berdaging itu ke dalam mulut. Belum sempat dikunyah, pil itu sudah berubah menjadi aliran panas yang meluncur dari mulutku, melewati tenggorokan, sampai ke kantong lambung. Panas yang menguap itu membuat seluruh tulangku berderak, kulitku terasa panas membara, napas yang kukeluarkan berubah menjadi kabut putih, dan kepalaku seperti panci berisi bubur mendidih - seluruh tubuhku seolah hendak meledak.
Penglihatan dan pendengaranku seperti menghilang sejenak, kurasakan tubuhku terjatuh ke belakang.
Seseorang mencoba menopangku, tapi baru menyentuh tubuhku langsung melepaskan karena kepanasan.
Entah berapa lama, panas mengerikan itu perlahan mereda. Kubuka mataku dan melihat Duoduo meniupkan hawa dingin dengan pipi kembung, dikelilingi teman-teman. Si Berbulu memandangku cemas, "Si Racun Kecil, sudah membaik?"
Aku membuka mata, merasakan panas mulai mereda, seluruh tubuh terasa ringan. Aku langsung bangun sambil menggerakkan tangan dan menghentakkan kaki. Setelah diperiksa, selain kelelahan dan luka di tubuhku yang berkurang, tak ada perubahan khusus. Perasaan transformasi indah seperti di Lijiang dulu pun tak muncul lagi, membuatku bingung—Astaga, inikah buah ginseng legenda itu? Apakah aku seperti Zhu Bajie yang merasa makan makanan kadaluwarsa?
Orang-orang berkerumun menanyakan efeknya. Kubilang tak ada hasil, tapi mereka tak percaya. Saat kuulurkan tangan, biksu muda Jiang Bai meraba-raba sambil bergumam penuh tanda tanya. Meski masih kecil, statusnya sebagai reinkarnasi Buddha Hidup membuat kata-katanya dianggap sakral. Begitu dia memastikan, kerumunan pun bubar. Mungkin ada yang nyengir diam-diam, tapi tak ada yang berani tunjukkan. Penyebabnya pun tak ada yang peduli.
Saat masih merenungkan hal ini, tiba-tiba siluman kecil berteriak: "Huo Wa, mau ke mana?"
Kupaling melihat Huo Wa sedang menari angka '8' di udara, antenanya berputar-putar mengarah ke dalam gua.
Aku dan Si Berbulu mendekat, "Ada apa?"
Siluman kecil menggeleng gelisah, "Tak tahu! Huo Wa bilang mau pergi." Dadaku berdebar tak karuan saat melihat makhluk api itu melayang-layang.
Sejak ditaklukkan oleh Duoduo Si Siluman di Kuil Pemujaan Yelang Barat, Kota Hantu Fengdu, Huo Wa selalu mengikuti kami sebagai anggota teman yang setia. Sama seperti si Cacing Gemuk, Huo Wa juga tidak bisa bicara atau bertingkah menggemaskan. Serangga kecil ini setiap hari, selain menirukan kunang-kunang dan bertingkah seperti si pembakar, hanya menerima perlakuan tak pantas dari siluman dan Duoduo. Ia sama sekali tidak menonjolkan eksistensinya, juga tidak pernah menunjukkan kekuatan dan kengeriannya. Perasaanku, seolah-olah ia selalu menyembunyikan kemampuannya.
Namun sekarang, ia tiba-tiba mengajukan permohonan untuk pergi. Di tengah perasaan sedih perpisahan, aku tak bisa menahan kebingungan.
Kemunculan dan kepergiannya seolah penuh makna tersembunyi, seakan ada sosok yang mengendalikan segalanya.
Aku tak berani merenung lebih dalam. Hanya mengerutkan kening: "Jika si kecil ini kabur, bagaimana aku harus bertanggung jawab pada Long Ge?"
Mendengar perkataanku, Huo Wa mencicit-cicit sambil menggerakkan antena di kepalanya. Siluman di sampingku menjadi penerjemah: "Katanya tidak apa-apa, dia tahu jalan pulang, dekat..." Entah apakah terjemahan siluman ini akurat, yang jelas ucapannya membuatku semakin bingung. Siluman melanjutkan: "Katanya dia pergi, kalau ada takdir, pasti akan bertemu lagi!"
Setelah menyampaikan pesan tersebut, Huo Wa tak berlama-lama lagi. Ia memutar badan dan terbang menuju mulut gua yang menyemburkan hawa panas, tak lama kemudian menghilang dalam kegelapan.
Di hati saya dipenuhi dengan kesedihan perpisahan dan kekecewaan, ketika menoleh kembali, terlihat mayat Kadal Naga Berduri Pedang ini, bagian-bagian pentingnya telah habis dibagi.
Setelah istirahat beberapa waktu, Liu Xuedao akhirnya pulih sedikit tenaganya. Ia mencari seutas tali, mengikat bagian punggung pedang yang diperolehnya, lalu mengangkat jasad Xu Xiumei yang telah tiada, berpamitan dengan semua orang.
Punggungnya terlihat sunyi, Si Berbulu ragu sejenak sebelum menerjang ke depan dan bertanya dengan perasaan terjebak antara keinginan dan kekhawatiran: "Shishu Liu, siapa sebenarnya yang membuatmu menghentikan tanganmu?"
