Saat melihat kapten satpam bermarga Wang itu, jantungku berdebar kencang. Fakta sebenarnya terkuak—membangun formasi sebesar ini di pabrik mustahil dilakukan tanpa kerja sama internal dari staf Weixiangli. Wang Xiao si kapten satpam ini, baik status maupun jabatannya, memungkinkan dia memberikan dukungan dan penyamaran bagi Sekte Iblis.
Kehadirannya yang terlibat penuh dalam operasi ini membuat seluruh rencana kami jatuh ke bawah kendali Sekte Iblis. Serangkaian peristiwa yang terjadi setelahnya sebenarnya sudah diprediksi oleh mereka.
Hanya saja, satu-satunya variabel yang tidak diketahui musuh adalah bahwa aku dan Si Berbulu ternyata menjadi begitu menyebalkan, ditambah Xue Rui dan teman-teman kecil kami yang akan segera tiba.
Segalanya terjadi terlalu cepat. Kami sama sekali tidak sempat berbicara dengan sahabat yang datang membantu sebelum musuh mulai kabur.
Ini adalah wilayah kekuasaan mereka, momentum langit dan kondisi tanah sudah mereka kuasai. Namun satu hal yang tidak mereka duga: burung gemuk di udara itu ternyata ahli formasi kelas dunia yang tidak akan tinggal diam. Tuan Kulit Harimau menggetarkan tubuhnya, dari sayap indahnya melesat belasan bulu ekar yang menancap di berbagai titik ruang utama.
Sudah lama Tuan tidak menggunakan jurus ini, membuktikan situasi sudah sangat berbahaya.
Setelah menembakkan bulu, anggota Sekte Iblis yang hendak masuk ke dinding batu mendapati formasi terkunci. Terowongan yang biasa mereka lewati tidak bisa digunakan. Kami pun mengambil momentum saat musuh panik, mengejar dan menghajar sebisa mungkin.
Saat aku mencengkeram wanita paruh baya agar tidak kabur, suara auman menggelegar di belakang membuatku menoleh. Da Mengzi yang berlumuran darah dan asap hitam dari tato-nya terlihat seperti iblis yang baru kembali dari neraka.
Aura jahat yang mengerikan ini memaksa Xue Rui dan siluman kecil mundur, tak berani menghadapi langsung. Sementara itu, sosok itu berbalik dan menerjang ke arah kami seperti truk berat Dongfeng yang melaju kencang di jalan tol.
Aku dan Si Berbulu sama-sama tak berani menghadapi gelombang serangannya. Kami menghindar ke samping. Sementara Da Mengzi menggunakan kesempatan ini untuk melesat membawa sisa rombongan menuju pintu kecil di sudut timur laut.
Saat aku hendak mengejar, tiba-tiba Xie Yifan yang sedang bertarung sengit dengan Guru Jiang Zhongxi menjadi liar dan berlari kencang ke arah kami.
Begitu dia mulai bergerak, aku langsung merasakan kekuatan penghancur yang mengerikan mulai terbentuk dalam tubuhnya dan dengan cepat membesar.
Sebelum dia sempat mendekati kami dalam jarak lima meter, jaringan tubuhnya sudah tak mampu menahan perluasan energi jahat yang membesar. Dengan suara "Braak!", tubuhnya meledak menjadi hujan darah yang beterbangan ke segala penjuru.
Mengingat ledakan mengerikan yang dilakukan Manajer Li Hao sebelumnya, hati kami berdebar-debar. Secara refleks kami mundur cepat sambil melihat percikan daging dan darah beterbangan. Si Berbulu menarik napas dalam lalu mengayunkan Pedang Hantu-nya membentuk roda besar seperti kipas angin.
Namun sekuat apapun putaran kipas itu, tak bisa menahan percikan daging yang beterbangan. Sambil terus mundur, aku menegangkan otot-ototku, berharap serangan itu tak mengenai titik vitalku.
Namun serangan yang diantisipasi tak kunjung datang. Seberkas cahaya putih berkilauan muncul, di depan kami berdiri seorang bayi kecil yang cantik bagai diukir marmer. Kedua tangannya terangkat rata, memancarkan sinar putih dengan semburat hitam yang berhasil menahan gerombolan daging berdarah itu.
Kutoleh ke belakang, ternyata Duoduo yang tadi masih bertarung sengit dengan hantu kecil Nao Nao.
Duoduo yang telah menerima pencerahan spiritual dari Nenek Siluman Hantu kini memiliki kemampuan di luar bayanganku. Jurusnya bagaikan Roda Vajra agung dalam Buddhisme, memancarkan cahaya keemasan yang memancarkan ketenangan hati Buddha, berhasil menetralisir energi jahat dari tulang dan darah angker ini.
Si Berbulu yang melihat serangan di sini sudah terhalang langsung bergerak gesit seperti angin. Dia menyusul anggota Sekte Iblis yang sedang berusaha menutup pintu di sudut timur laut, lalu menerjang masuk.
Dia bahkan tak sempat memanggilku, seluruh tubuhnya sudah berubah menjadi garis hijau yang melesat lenyap dari pandangan kami.
Hampir menyentuh pantat anggota terakhir Sekte Iblis itu, dia berhasil menyusup masuk.
Master Jiang Zhongxi masih bertarung sengit dengan dua orang yang dikendalikan pikirannya. Lao Shen yang sebelumnya sudah diinvasi cacing gemuk bergerak lamban, akhirnya ditempeli Talisman Penenang Mayat kuning oleh Master Jiang. Sementara Luo Zhe yang matanya merah menyala tak menunjukkan niat meledakkan diri. Kulihat Kakek Jiang terus membuat segel tangan, jelas berusaha memutus hubungan orang ini dengan dunia luar.
Melihat perilaku kejam sang kakek tua saat merusak formasi tadi, lalu memerhatikan tindakan hati-hatinya saat ini—kontras yang begitu mencolok ini membuatku paham bahwa dia sama sepertiku. Meski mampu membunuh kedua orang ini secara langsung, tetap ada belas kasih dalam hati yang tak ingin merenggut nyawa. Karena itulah dia bertindak demikian—meski cara ini sungguh merepotkan, rasa kagumku padanya justru berlipat ganda.
Setiap orang yang menghormati kehidupan, pantas dihargai.
Tak usah berpanjang lebar. Melihat si berbulu pergi sendirian ke medan bahaya, mana ada waktu luang bagiku untuk mengamati sekeliling? Begitu melihat Guru Jiang Zhongxi tampak mampu mengatasi situasi tanpa bahaya berarti, aku pun tak lama memandang. Segera kusuruh Xue Rui, siluman kecil, dan Duoduo, lalu berlari ke pintu keluar.
Belum sampai di pintu, tiba-tiba benda berbulu licin bercabang-cabang terbang dari arah barat. Kaget bukan main, refleks kuraih—ternyata itu ular bersayap bertanduk yang tadi bertarung dengan si serangga gemuk di perut raksasa!
Begitu melihat benda sialan ini muncul hidup-hidup di hadapanku, amarahku meluap. Tangan sudah meraih Cermin Zhen dari dalam pelukan, mantra tingkat satu siap dilancarkan.
Tapi makhluk ini tiba-tiba mengeong "ji-ji" dua kali. Begitu mendengar suara ini, aku tertegun. Setelah merasakan energinya sebentar, barulah sadar—ini bukan ular bersayap tadi, melainkan si serangga gemuk yang bersarang di sini!
Melihat bentuk ular terbang berkaki empat ini, aku berpikir apakah ini benar-benar seekor ular naga? Jika tidak, mengapa serangga gemuk itu membutuhkan waktu begitu lama untuk menaklukkannya?
Namun kemunculan serangga gemuk menandakan formasi mewah kami akhirnya lengkap. Aku menoleh ke belakang - para korban luka dan mayat bertebaran. Xue Rui datang berlari membawa Qing Chong Huo dan Chihuahua-nya, sementara Xiao Yao melesat bagai panah. Duoduo mendarat di depan kami dengan wajah pucat pasi setelah berhasil mengatasi tumpukan daging remuk itu. Harimau Kucing Besar (Tuan Kulit Harimau) gemetar mencoba masuk ke pelukan Duoduo, tubuhnya berlumuran darah.
Adapun Hantu Kecil Nao Nao yang tadi bertarung dengan Duoduo dan yang lain, entah kabur ke mana. Mungkin ikut pasukan besar Sekte Iblis yang melarikan diri ke balik pintu besi.
Melihat semua orang sudah berkumpul, aku tak lagi bicara. Aku menerjang ke arah pintu besi, mengira akan menghadapi pertempuran sengit lagi. Tapi ternyata Si Berbulu hanya berdiri di depan pintu dengan Pedang Hantu terhunus di depan dada, tak bergerak. Ia merendahkan postur tubuhnya, memicingkan mata menatap pemandangan di depannya.
Di sini ada sebuah ruangan yang ukurannya separuh lebih kecil dari ruang bawah tanah sebelumnya.
Tapi sebagian besar ruangan ini ditempati oleh sebuah kolam besar.
Sejak kembali dari Myanmar utara, aku selalu merasa ngeri melihat kolam seperti ini. Melihat asap tipis menguap di udara, aku menunduk dan melihat ke dalam kolam luas yang gelap pekat ini. Permukaannya dipenuhi cairan lengket berwarna kemerahan kehitaman, sulit dibedakan jelas di bawah sorot lampu dinding temaram.
Di permukaan kolam, riak air bergelombang dengan banyak benda berbentuk gumpalan terapung-apung.
Aku memicingkan mata memperhatikan, tiba-tiba ludah asam naik dari perutku. Rasa mual langsung menyergap.
Astaga! Benda-benda gumpalan itu ternyata kepala manusia, potongan anggota badan, dan daging manusia yang dipotong besar-besar.
Saat sedang mengamati, tiba-tiba muncul sekumpulan bola putih - tujuh delapan biji mata manusia yang masih menempel serat-serat daging.
Satu-satunya makhluk hidup di kolam beruap ini adalah seorang kakek tua yang tubuhnya terendam dalam air, sementara kedua lengannya terbaring di tepi seberang.
Kakek tua ini buta sebelah mata kirinya, sehingga pandangannya juling. Di belakangnya, Wang Shanqing yang hanya mengenakan pakaian tiga titik menampakkan tubuh indahnya sedang memijat si kakek dengan lembut bagai air.
Teknik terampilnya membuat kakek itu menutup satu-satunya mata kanan yang masih berfungsi, mendengkur kegirangan sambil bersenandung melodi opera selatan dengan penuh kepuasan.
Para anggota Sekte Iblis yang mundur semuanya berkumpul di belakang kolam, enam belas atau tujuh belas orang berdesakan, memandangi tak berkedip ke arah kakek tua di tengah kolam. Mereka memandangnya bagaikan dewa dalam dunia mereka, sosok yang maha tinggi dan tak tergantikan, penuh kesetiaan religius.
Suasana begitu seram. Aku melangkah maju berdiri sejajar dengan Si Berbulu. Para rekan mengambil posisi masing-masing. Tuan Kulit Harimau membuka kelopak matanya, bergumam "Bangsat" lalu menyelinap nyaman ke pelukan Duoduo.
Menyaksikan adegan ini, sambil berusaha menekan rasa mual di hati, aku merenungkan mengapa sekte sesat disebut demikian. Intinya karena pola pikir mereka bertolak belakang dengan logika manusia normal. Berbeda dengan agama mainstream yang mengajarkan "kebenaran, kebajikan dan keindahan", mereka sama sekali tak menganggap manusia sebagai manusia. Inilah yang membuat mereka diburu hingga harus bersembunyi di bawah tanah, tak sanggup menahan terik matahari.
Setelah mantap berdiri, pandangan kami tertuju pada sang kakek tua. Penampilannya sangat biasa, seperti pedagang sayur di pasar. Ternyata dialah salah satu dari Dua Belas Bintang Iblis yang menguasai markas Sekte Iblis di Provinsi Selatan, Min Hong.
Sang kakek legendaris ini sepertinya merasakan tatapan kami. Dia mengangkat kelopak mata, memandangku dan Si Berbulu, lalu melirik rekan-rekan di samping kami. Dari tenggorokannya keluar dua kata lesu: "Datang?"
Si Berbulu memeluk erat pedangnya sambil mengangguk, berkata, "Datanglah, untuk mengambil nyawa anjingmu!"
Minmo duduk tegak dengan usus bergelantungan di lehernya, tertawa terbahak, "Mengambil nyawaku? Dua anak kecil yang dipermainkan Si Tangan Hitam Berkota Ganda, kalian benar-benar berani ya?"
