Feicheng terletak di bagian tengah Ludong, kaki gunung sebelah barat Gunung Tai. Merupakan tanah berharga di Qi-Lu yang kaya sumber daya, terkenal sebagai kampung halaman buah persik Feicheng yang mendunia. Dahulu dijuluki "Kota Junzi", kampung halaman sejarawan legendaris Zuo Qiuming, tempat tinggal terakhir pedagang ulung Fan Li. Petugas penerima tamu dari Departemen Agama Ludong, Xiao Kang, aslinya berasal dari Feicheng. Sepanjang perjalanan, ia bercerita banyak tentang sejarah dan kisah menarik seputar Feicheng.
Namun bagi kami, yang paling menarik adalah legenda tentang Buddha Peach Feicheng: Konon asal-usul kebun persik ini berasal dari biji buah persik yang jatuh dari Pesta Pantao Surgawi. Detailnya tidak perlu dijelaskan, intinya melibatkan Dewi Surga dan Kaisar Giok. Tentu saja, cerita semacam ini lebih merupakan strategi pemasaran lokal untuk membuat produk mereka terlihat lebih mewah dan berkelas.
Luas perkebunan pohon persik Feicheng telah melebihi 6.000 hektar, menjadikannya kebun persik terbesar di dunia saat ini. Xiao Kang dengan penuh penyesalan memberitahu kami, seandainya kami datang bulan April atau September, pasti bisa menyaksikan hamparan bunga persik sepanjang mata memandang - merah jambu yang memesona, putih yang menggoda, memenuhi langit dan bumi dengan pemandangan yang memukau. Meski saat ini ada buah persik Feicheng yang ranum dan berair untuk dinikmati, namun dari segi visual, kami kehilangan pemandangan indah tersebut.
Tapi tujuan kedatangan kami hanya satu: Tao Yuan. Hal-hal sampingan lainnya tidak terlalu kami pedulikan. Bagaimanapun, pemandangan indah tak bisa dimakan atau diminum.
Sebelum datang, kami telah bertukar pendapat dengan Lin Qiming. Mengingat dia saat ini terjebak dalam masalah kawanan serigala misterius di Gaomi, maka kami meminta informasi sumber berita tersebut untuk datang lebih dulu melakukan investigasi.
Setelah tiba di lokasi, kami mengikuti alamat yang diberikan. Di sebuah desa kecil di kaki gunung yang menggunakan nama samaran Sunzhuang, kami menemukan warga desa pertama yang mengalami kejadian ini. Orang ini bermarga Gong, bernama Zuo Ping, urutan ketujuh dalam keluarga, sehingga dipanggil Gong Laoqi oleh penduduk desa. Lama-kelamaan, nama aslinya justru terlupakan.
Karena informasi ini melalui beberapa perantara, Gong Laoqi tidak mengenal kami.
Dia memiliki beberapa hektar kebun buah yang baru mulai berbuah. Saat tengah hari, kami datang membawa hadiah untuk mengunjunginya. Tetangga memberitahu bahwa Gong Laoqi sedang pergi ke kebunnya untuk membasmi hama.
Kami menyuruh Xiaokang menjaga mobil, lalu mencari seorang anak setengah dewasa yang sedang menganggur di desa. Setelah memberikan selembar uang Kakek Mao, kami memintanya memandu kami.
Bocah nakal itu sambil meneteskan ingus membawa kami ke hutan di gunung belakang desa. Berdiri di punggung gunung, dia menunjuk ke depan dan berkata, "Lihat! Paman Gong itu yang pakai baju kerja biru."
Setelah berkata demikian, si anak langsung kabur. Kami menuruni lereng curam itu dan dari kejauhan melihat seorang pria paruh baya berumur 40-an dengan kumis tebal di bibir, sedang memakai kotak pestisida untuk menyemprot pohon. Barisan pohon persik yang rapi itu berbuah lebat, buah persik merah dan hijau bergelantungan di dahan.
Dari kejauhan kami berteriak "Gong Laoqi!". Pria itu menjawab, lalu mengangkat kepala dan bertatapan dengan kami.
Melihat target utama sudah ditemukan, aku dan si Berbulu maju ke depan, mengangguk ringan, lalu mulai menjalin hubungan.
Segala macam hubungan dari tante-tante jauh sampai temannya teman teman... Setelah diolah oleh mulut berbisa si Berbulu yang bisa menghidupkan mayat, hubungan kami pun langsung terasa lebih akrab.
Setelah mengetahui maksud kedatangan kami, Gong Laoqi tertegun. Katanya hal ini benar-benar aneh. Dulu saat dia cerita ke orang, semua mengira otaknya kemasukan air. Tapi dua minggu terakhir sudah tiga kelompok orang datang menanyakan kabar. "Kalian ini wartawan atau siapa sebenarnya?"
"Dua kelompok?" Mendengar perkataan Gong Laoqi, hati kami berdebar. Kekhawatiran Lin Qiming ternyata benar-benar terjadi.
Meski kaget, kami tetap menjaga ekspresi. Kami mengaku sebagai penulis lebas dari Majalah "Eksplorasi Sains" Akademi Ilmu Sosial Shanghai yang suka mengumpulkan kisah-kisah aneh. Kedatangan kami kali ini juga untuk mencari materi tulisan.
Gong Laoqi terpaku sebentar. "Apa seperti acara 'Kisah Wang Gang' yang sering ditayangkan di TV itu?"
Kami berdua langsung bersemangat, mengangguk cepat. "Iya, persis! Tapi versi tulisan kami lebih ringkas, menarik, dan edukatif..." Setelah dihujani bujukan, Gong Laoqi pun mulai terbuka. Dia menaruh kotak pestisida lalu mengajak kami ke pondok kayu di pinggir kebunnya untuk bercerita sambil minum teh.
Gong Laoqi bercerita, kejadian ini terjadi pada musim panas dua tahun lalu:
Pada senja hari itu, saat senja mulai merayap, dengan sifatnya yang periang ia menenggak sedikit anggur. Saat berpatroli sendirian di hutan, ia melihat seekor binatang kecil berlarian di antara pepohonan, melompat-lompat. Meski tak bisa melihat jelas, tampak sangat menggemaskan. Tanpa pikir panjang, ia pun ikut mengejarnya ingin menangkap untuk dilihat lebih dekat.
Binatang kecil itu agak mirip tupai, tapi lebih besar beberapa lapis. Kecepatan lompatannya lumayan, terus berlari menuju gunung belakang.
Meski usia Gong Laoqi hampir 50 tahun, ia adalah orang keras kepala berperangai kasar. Dibakar semangat anggur, ia berlari pontang-panting tanpa menghiraukan jarak tempuh.
Ia terus berlari dalam keadaan seperti kerasukan roh jahat. Tak merasa lelah maupun takut, matanya hanya tertuju pada binatang imut itu, bagai orang kesurupan.
Setelah memanjat gunung dan melintasi lembah melalui jalur-jalur asing, saat bulan sabit mulai menggantung di langit kelam, binatang itu sudah raib. Ia masih berputar-putar di gunung beberapa kali. Efek alkohol mulai memudar, bulu kuduk meremang diterpa dingin malam. Barulah rasa takut menyergap. Ia berusaha menenangkan diri, melirik sekeliling, namun sama sekali tak mengenali lokasinya.
Memicingkan mata, yang terlihat hanya hamparan kebun persik liar tak terurus, berbeda dengan kebun buah biasa yang teratur rapi.
Di sekeliling terdengar lolongan demi lolongan samar, menyerupai hantu, atau mungkin serigala. Lao Qi yang sedang mabuk berat hampir mati ketakutan, berlari tersandung-sandung ke depan. Entah bagaimana, ia sampai di sebuah mata air berbentuk bulan sabit. Di sana terpantul cahaya berkilauan, ikan-ikan melompat di permukaan air, ilalang tumbuh subur. Pemandangan itu seolah menunjukkan bahwa tempat ini sama sekali tak pernah dijamah manusia.
Sebenarnya Lao Qi dikenal sebagai anak nekat. Kalau tidak, mana mungkin ia nekat mengejar sampai ke sini dalam keadaan mabuk. Namun melihat lingkungan asing ini, ditambah suara-suara aneh dari pepohonan, kakinya gemetaran ketakutan. Ia menemukan pohon persik tua di dekat kolam, lalu memanjat dan duduk di pucuk dahan. Baru setelah itu hatinya sedikit tenang.
Seandainya ia tidur memeluk batang pohon semalaman, lalu mencari jalan keluar saat fajar, mungkin takkan ada kisah ini. Yang aneh adalah, di tengah malam ia kelaparan dan tak tahan mengambil beberapa buah persik yang masih mentah di pohon lalu memakannya.
Buah persik itu baru saja mulai tumbuh, tampak masih hijau. Namun saat Lao Qi menyantapnya, rasanya luar biasa lezat. Persik yang pernah ia makan sebelumnya tawar seperti direndam urea dibandingkan ini.
Ia menyantap beberapa buah lagi. Tiba-tiba seluruh tubuhnya terasa panas, sudut bibir memerah dan mengelupas, kulit lengan serta punggung terasa gatal.
Gong Laoqi sendiri adalah penanam persik, dia tahu bahwa ini adalah bulu persik di permukaan buah. Jika tidak dibersihkan, akan menyebabkan gejala alergi seperti ini.
Alasan dia makan mentah tadi, pertama karena perutnya sangat lapar, kedua karena buah persik ini masih hijau dan bulunya belum tumbuh, ketiga karena hutan berbahaya sehingga tidak berani turun ke kolam untuk membersihkan. Tak disangka nasibnya ternyata sangat sial.
Setelah kena efek, Gong Laoqi tidak berani makan lagi, juga tidak berani turun. Dia hanya menahan diri, namun rasa gatal semakin menjadi. Kedua tangannya menggaruk seluruh punggung sampai terluka, kuku-kukunya pucat kehabisan darah, tapi tetap tidak berhasil. Tulang-tulangnya seolah ada sepuluh ribu semut kecil merayap.
Setelah menahan beberapa saat, akhirnya Gong Laoqi tidak tahan lagi. Melihat tidak ada yang aneh di bawah pohon, dia memanjat turun dan lari ke kolam untuk membersihkan diri.
Anehnya, air kolam yang dingin dan tenang itu begitu menyentuh kulit, gejala alergi yang menyiksanya tadi pun berkurang drastis.
Seluruh tubuh Gong Laoqi masih gatal. Karena musim panas, dia tidak tahan melepas baju kotor yang bau anyir itu dan mencebur ke kolam. Saat sedang mencuci, tiba-tiba terdengar suara gemerisik dari semak. Kaget setengah mati, melihat tidak ada tempat bersembunyi di sekitar sementara kolam tidak dalam, dia pun berjongkok masuk ke dalam air.
Ia berjongkok sebentar di kolam yang penuh ikan, lalu bergerak perlahan ke tepi seberang dan muncul ke permukaan.
Saat muncul, pemandangan mengerikan terpampang: 4-5 makhluk besar berbulu lebat keluar dari semak. Tinggi mereka 1,7-1,8 meter - ya, semua bipedal dengan tubuh manusia kekar berbulu hitam, tapi kepala anjing serigala bertaring tajam. Air liur anyir mereka terbawa angin menusuk hidungnya.
Lao Qi membeku seperti patung. Dari sudut kolam, ia menyaksikan makhluk-makhluk itu minum, bermain dan melolong keras.
Tiba-tiba sesuatu licin merayap dari celana naik ke selangkangan, mengarah ke Pintu Chrysanthemum-nya. Setelah menahan malu dan ketakutan, ia meraih dan mengeluarkan ular Cincin Emas berpola mencolok.
——Dia terpekik ketakutan dan melepas dengan kasar, tepat mendarat di tubuh makhluk-makhluk yang sedang bermain di tepi kolam. Melihat tiba-tiba ada orang di kolam, para makhluk besar itu juga kaget. Setelah menyadari situasi, mereka serentak menerjang ke depan.
