Mendengar perkataan nenek tua ini, hatiku dipenuhi rasa aneh sekaligus ingin tertawa terbahak-bahak.
Nenek ini berakting sangat meyakinkan dengan ekspresi serius, sebenarnya tak ada yang lucu. Tapi trik berpura-pura menjadi Nenek Meng ini pernah kusaksikan sebelumnya. Kini sejarah terulang, membuatku tersadar bahwa kehidupan nyata memang lebih aneh daripada sandiwara.
Si Berbulu tidak tertawa. Ia memberi hormat dengan tangan tergabung: "Nenek, apakah Anda ini Nenek Meng?"
Nenek itu menggeleng: "Bukan. Aku tidak bermarga Meng. Margaku Lai, marga 'datang-pergi'. Lai Yiwan nama asliku semasa muda. Tapi sudah puluhan tahun tak ada yang memanggilku begitu. Panggil saja Nenek Lai. Maukah kalian mencicipi tehku? Bisa meredakan panas dalam dan membersihkan usus..." - Nama Lai Yiwan yang mirip dengan "Lai Yi Wan" (datang semangkuk) ini memang unik. Entah apa yang dipikirkan orang tuanya saat memberi nama.
Mendengar nenek tua itu ramah dan terbuka menyebut namanya, Si Berbulu mengerutkan alis: "Marga Lai? Marga yang langka ini. Apakah Nenek keturunan Dongyi?"
“Oh? Hehe…” Nek Lai tertawa sambil bersandar pada tongkatnya, memperlihatkan gigi-gigi yang jarang. Matanya menatap si berbulu dengan penuh rasa sayang, “Kamu ini daoshi muda, sungguh anak yang cerdik. Hanya dari margaku saja sudah tahu aku dari Dongyi. Baik, sekarang aku uji. Tahukah kamu asal-usul nenek tua ini?”
Si berbulu menguatkan kewarasan, menaruh pedang Lei Fa di punggungnya. Meski wajah nenek itu tersenyum, hidung bengkok seperti paruh elang membuatnya terlihat licik. Sadar pertanyaan ini berbahaya, ia berpikir sejenak lalu hati-hati menjawab, “Eh… Nek Lai, soal ini, aku…”
“Aku apaan? Suruh jawab ya jawab! Banyak cingcong!” Sorot mata Nek Lai tiba-tiba memancarkan sinar dingin. Bahkan aku yang berdiri di samping si berbulu merasakan kedinginan menyelusup ke tulang punggung.
Si Berbulu menjilat bibir keringnya, memilih kata dengan hati-hati: "Sebelumnya, hantu kurang ajar Mao Yijiu pernah menyebut bahwa di bawah Istana Dongyi ini tertahan seekor Iblis Raksasa Dongyi. Sebelum dia hancur jadi debu, dia juga bilang iblis itu akan segera muncul. Saat kami pertama datang ke sini, ada kolam dalam, tapi sekarang yang ada cuma platform batuan basah dengan persembahan darah tiga serigala liar. Lalu Anda muncul. Kalau saya bilang Anda cuma nenek biasa, itu terlalu menghina kecerdasan kita semua. Tapi kalau bilang Anda Iblis Raksasa Dongyi yang disebut Mao Yijiu, saya sendiri juga ragu - dengan kebaikan dan kehangatan seperti Anda, seharusnya Anda adalah Sesepuh..."
Nenek Lai membiarkan Si Berbulu memuji-muji. Setelah dia selesai, nenek itu mengangguk ramah: "Ya, tebakanmu sebagian besar benar. Benar, saya memang yang ditahan di Istana Dongyi ini. Tapi saya bukan Iblis Raksasa Dongyi, saya cuma dukun biasa suku Dongyi."
"Dukun biasa?"
Si Berbulu terkejut bertanya. Di seberang, Nenek Lai mengangguk lagi, mengkonfirmasi keterkejutannya.
Dalam hati saya menyeringai dingin. Nenek ini mengira kami bodoh. Dukun biasa mana mungkin bisa membuat Dong Yazi yang hampir jadi dewa membangun makam bawah tanah kekaisaran sebesar ini untuk menahannya? Mana mungkin bisa hidup ratusan bahkan ribuan tahun?
Aku bisa memahami, tentu Si Berbulu dan yang lain juga mengerti misteri di balik ini. Tapi dia tidak membongkar rahasia nenek tua yang begitu ingin bercerita ini, lalu mengangguk hormat sambil berkata, "Nek, kami ingin mendengar detailnya."
Nenek tua ini menengadahkan kepala, wajahnya menunjukkan ekspresi mengenang masa lalu, lalu mulai bercerita tentang masa mudanya yang cerah.
Di masa lalu, Nyonya Lai Yiwan ini adalah kecantikan terkenal dari suku Dongyi, juga berbakat dalam hal kultivasi. Kemudian dia menjalin hubungan dengan jenius suku mereka, Dong Yazi. Kisah cinta mereka harmonis seperti burung mandarin, berbagai adegan tidak pantas untuk anak-anak akan kami sembunyikan. Dong Yazi yang mencapai kemacetan dalam kultivasinya, akhirnya memutuskan cinta untuk melatih hatinya, berhasil mencapai Jalan Suci tapi melupakan kekasihnya. Janji "Takkan berpisah sampai rambut memutih" pun diingkari. Demi melebihi tingkat kultivasi Dong Yazi, dia terjerumus ke Jalan Sesat. Digerakkan oleh kebencian, akhirnya menjadi yang terkuat di suku Dongyi. Tapi siapa sangka Dong Yazi merancang jebakan, mengurungnya di tempat ini selama ratusan bahkan ribuan tahun...
Sungguh kisah cinta yang mengharukan! Ada teman masa kecil, pengkhianatan, perpisahan, tikaman dari belakang, balas dendam negara dan keluarga - lengkap seperti sinetron pukul delapan. Terlepas dari benar tidaknya, kami semua terhipnotis oleh cerita nenek Lai ini. Jika dia hanya ingin meluapkan hasrat bercerita, lebih baik kami sabar mendengarkan daripada harus berkelahi. Jika setelah selesai dia mengembalikan kami ke permukaan tanah, itu akan menjadi akhir yang bahagia.
Justru karena itu, kami mendengarkan dengan penuh perhatian. Kami bersorak di saat yang tepat, bersatu melawan musuh bersama seolah merasakannya sendiri, dan menangis deras saat dibutuhkan. Saat cerita berakhir, kami semua menangis, sementara Luo Xiaobei hanya terlihat bingung, bertanya: "Lalu bagaimana? Lalu bagaimana?"
Rupanya dia ketagihan mendengar drama sedih ini. Saat Nenek Lai berbicara hingga kehausan dan menghabiskan teh dalam cereknya, dia mengusap mulutnya lalu menyimpan peralatan teh sambil berkata rendah hati: "Setelah bertahun-tahun, aku sudah tak memikirkannya lagi. Biarkan masa lalu berlalu seperti angin, tak perlu disesali."
Nenek Lai memulai permintaan maaf. Aku yang telah menyiapkan segudang kata-kata bijak dan kutipan Buddha justru tak bisa bicara. Si Berbulu menyambar: "Nek, kami sudah kelelahan semalaman ini. Bisakah tunjukkan jalan keluar agar kami bisa kembali ke permukaan, sarapan, dan tidur nyenyak?"
Nenek Lai menggeleng, mengatakan selama bertahun-tahun dirinya terkurung di suatu tempat sehingga tak begitu paham medan penjara besar ini. Tentang jalan keluar, dia pun tak tahu dan harus dicari pelan-pelan.
Mendengar ini, kami pamit: "Kalau begitu kami tak akan mengganggu lagi, kami cari jalan sendiri."
Tak ada yang yakin bisa melawan siluman abadi ini. Begitu Si Berbulu bicara, kami segera berbalik arah, takut tertinggal di belakang dan menjadi incaran.
Namun saat Luo Xiaobei di belakang baru saja mengangkat kaki, bayangan hitam langsung muncul satu meter di depannya. Nenek Lai dengan tongkatnya tiba-tiba sudah berada di belakang kami seolah tak pernah bergerak, berkata perlahan: "Boleh pergi, tapi kalian harus membantu nenek menyelesaikan urusan kecil..."
"Urusan apa?" tanya Luo Feiyu: "Jika dalam batas kemampuan, kami dengan senang hati membantu."
"Begini, sejak siuman, kemampuan nenek memang pulih cepat. Tapi untuk bisa hidup aman di bawah matahari, nenek butuh darah murni, esensi kehidupan, dan aura dari orang hidup. Setidaknya butuh tiga orang. Sebenarnya makin banyak makin baik, tapi karena kita cocok ngobrol, dari enam orang ini cukup tinggalkan tiga untuk nenek hisap. Sisanya boleh hidup." Sorot matanya aneh menyapu kami. Aku merasa seperti lauk di pasar sayur yang sedang ditawar, saat Nenek Lai melanjutkan: "Mohon kerjasamanya. Silakan berunding, tiga orang ini siapa saja?"
Tatapan nenek tua ini membuat bulu kudukku merinding. Kuperhatikan dia lebih seksama dan sadar ini bukan lelucon - dia sungguh-sungguh menunggu keputusan kami. Aku, Si Berbulu, kedua saudari Luo, Shi Fang dan Xiaoyao saling pandang. Perasaan seperti batu yang kita angkit sendiri malah menghantam kaki. Mulut kami terbuka tapi tak ada suara keluar.
Dengan diamnya kami, Nenek Lai menghilang, lalu terbang kembali ke atas batu altar. Ia menancapkan ujung tongkatnya ke pilar batu yang mirip huabiao, tersenyum penuh tafsir: "Aku lupa mengatakan tadi, batas waktunya adalah satu batang dupa. Dalam durasi ini, kalian bisa menggunakan cara apapun untuk mengambil keputusan. Jika tidak ada kesepakatan yang terbentuk, aku tak akan lagi mempedulikan persahabatan sebelumnya. Semua orang akan kulebur menjadi bagian dari tubuhku..."
Enam pilihan jadi tiga, tiga mati tiga hidup. Kulihat Luo Xiaobei menatapku dengan sorot mata membara yang belum pernah kusaksikan sebelumnya. Hatiku mendidih, astaga, apa maksudnya ini? Membuat kami terpecah belah dari dalam? Atau melalui retorika kata-kata untuk meluluhkan tekad hidup kami, malah menyibukkan diri dengan konflik internal?
Setelah memahami bidak permainan ini, wajah Si Berbulu berubah pucat. Tiba-tiba ia membentak: "Nek tua licik, kau mengerjai kami ya?"
Dengan pedang di tangan, ia tak ingin banyak bicara. Langkah ofensifnya melesat ke depan, mengayunkan Lei Fa untuk menebas nenek tua yang telah hidup ratusan tahun itu.
Si Berbulu masih percaya diri dengan Lei Fa di tangannya. Tapi yang terjadi di luar dugaan: Pedang berkilat petir itu tertahan oleh tongkat compang-camping dari akar pohon tua milik Nenek Lai. Saat mulutnya bergumam mantra, tangan kanan Si Berbulu mendadak kejang. Tanpa tenaga mencengkeram, Lei Fa terlepas dari genggamannya.
Rupanya si tetua yang sudah berpengalaman, meski tak berpenampilan menyeramkan, hanya dengan sedikit aksi sudah menjatuhkan satu-satunya andalan kami ke tanah.
Wajah Si Berbulu berubah pucat, entah sihir apa yang digunakan nenek ini, ia segera berlari meraih Lei Fa. Namun Pedang kayu persik tersambar petir itu diterbangkan angin ke samping. Si Berbulu membentuk gestur pedang, berusaha mengendalikan melalui kesadaran. Tapi nenek Lai mengangkat tangan kirinya, membuat Lei Fa yang sudah melayang itu kembali kehilangan kendali dan jatuh seperti kayu busuk.
Nenek Lai berkata tenang: "Jangan buang-buang tenaga. Aku tumbuh bersama Dong Yazi, apa yang dia kuasai, pasti aku juga pahami. Tata letak di sini lebih aku kuasai daripada siapapun. Berhenti membuat keributan, atau nyawa semua orang akan melayang..."
Ia berbicara datar sementara kami semua seperti banteng mengamuk menerjang nenek renta yang terlihat lemah ini.
Persis ketika semua orang mulai menyerang, nenek Lai akhirnya meledak. Tongkatnya diacungkan tinggi, tiba-tiba muncul ribuan sulur berlendir dari tanah yang melilit kami semua. Sulur berbau busuk itu menusuk kulit kami, menimbulkan rasa gatal yang tak tertahankan.
Saat melihat wajah Nenek Lai lagi, hidung bengkoknya tampak lebih menusuk. Matanya merah menyala: "Kuberi kesempatan terakhir. Siapa yang hidup? Siapa yang mati? Waktuku setengah batang dupa!"
