Hari itu aku mengikuti Shixiong dan Si Berbulu mendaki gunung dengan pedang di punggung. Tuan Kulit Harimau yang jelas-jelas takut pada Mao Shan, tak menghiraukan permintaan kami untuk tetap tinggal, terbang kembali ke rumah besar keluarga Xiao. Maka kami bertiga pun melanjutkan perjalanan. Setelah berjalan cukup lama di jalan utama sampai di lereng gunung, tiba-tiba Shixiong berbalik arah dan perlahan menyusuri jalan setapak berbatu hijau yang sempit. Sambil menatap megahnya kompleks istana di atas kepala, Istana Yuanfu Wanning yang menjulang tinggi di puncak, aku menarik lengan Si Berbulu seperti orang biasa: "Lao Xiao, bukannya kita ini naik ke Mao Shan? Kok berbelok?"
Tangan Si Berbulu dingin, terus-menerus bergetar. Mendengar pertanyaanku, dia tertegun sebentar lalu berkata "Ah?", seolah tak paham maksudku.
Orang ini setelah bertahun-tahun kembali ke Mao Shan dengan status mantan murid buangan, hatinya pasti gelisah tak karuan. Shixiong yang memahami perasaannya pun tersenyum santai sambil menggenggam tanganku menjelaskan: "Mao Shan terbagi dua kompleks. Kompleks depan yang menerima persembahan dupa dari dunia dan restu kerajaan hanyalah cangkang kosong. Inti Sekte Maoshan yang menjadi kebanggaan dunia sejatinya ada di kompleks belakang. Meski masih di pegunungan ini, tersembunyi di balik kabut dan formasi magis. Orang biasa sekalipun menggeledah seluruh penjuru langit dan bumi, takkan menemukannya..."
Pernah kudengar Si Berbulu bercerita tentang beberapa hal di sini, baru kusadari bahwa sebagian besar sekte Tao ternama memiliki dua lokasi: satu tempat latihan yang dikenal publik, dan satu gerbang gunung rahasia di sekitar yang tersembunyi dari mata orang biasa. Dulu ini dilakukan untuk monopoli pengetahuan, namun lambat laun berkembang menjadi aturan tak tertulis dan tradisi yang terus dilestarikan turun-temurun.
Sepanjang pendakian, pemandangan yang terlihat sungguh memesona. Puncak-puncak bergelombang diselimuti kabut tipis dengan iklim yang sejuk. Bebatuan aneh bertebaran rapat, gua kapur berliku-liku dalam, mata air suci bertebaran bagai bintang, anak sungai berkelok-kelok membentuk anyaman, pepohonan hijau menutupi gunung, rumpun bambu subur menghampar - benar-benar surga duniawi. Jalan setapak yang sempit dan tersembunyi ini justru membuat paru-paruku yang terkontaminasi polusi udara kota besar bisa bernapas lega, langkah kakipun terasa semakin ringan.
Puncak utama Gunung Mao dipenuhi asap dupa yang mengepul, namun begitu menyusuri jalan pintas yang sepi, udara tiba-tiba segar tanpa alasan jelas. Halaman belakang yang berada di kedalaman gunung ini membutuhkan langkah kaki yang tak terhitung untuk mencapainya. Semakin dalam kami masuk, hutan semakin lebat membentuk gradasi hijau yang semakin pekat, sementara kabut putih tipis yang tak terlihat sebelumnya mulai mengambang dari tanah.
Aku menengadah ke langit, merasa langit tampak suram, tidak seperti terik matahari saat masuk gunung sebelumnya. Langit seolah menyempit. Master Shixiong yang melihatku mengamati dengan saksama tersenyum bangga, "Lu Zuo, orang Amerika mengklaim satelit militer mereka bisa melihat objek 0,1 meter di tanah. Tapi tempat kita ini takkan pernah mereka lihat - di era proyek nuklir abad lalu, insinyur penyamaran adalah pimpinan yang mendapat surat izin untuk mengundang Shishu Li Daozi merancang tata letak. Ini masa kejayaan Shishu. Kemudian saat berurusan dengan Departemen Agama dan militer, warisannya masih terasa. Lihatlah, barang leluhur memang luar biasa..."
Master Shixiong memiliki rasa memiliki yang tulus terhadap Sekte Maoshan. Sepanjang jalan ia terus menjelaskan padaku dengan penuh kebanggaan. Sambil berjalan kudengar dengan santai.
Kami bertiga memiliki tingkat kultivasi. Dipandu Master Shixiong, mendaki gunung tak terasa melelahkan. Tapi tetap saja kami berjalan hampir dua jam.
Di ujung perjalanan, kami tiba di lembah dikelilingi lima puncak seperti telapak tangan yang setengah menggenggam. Kabut putih mengaburkan pemandangan dalam radius 4-5 meter. Di bawah bimbingan Master Shixiong, kami sampai di platform batu hijau kecil dengan pola ikan Yin-Yang dari batu-batu. Terlihat kacau tapi memiliki keindahan pola rumit. Master Shixiong berdiri di atasnya, mengumpulkan energi lalu berseru ke angkasa: "Tempat latihan Jinlu, Tao mengikuti alam! Lin..."
Begitu suara itu berakhir, dari atas kepala kami tiba-tiba muncul pancaran cahaya keemasan bagai semburat fajar yang baru terbit, membentuk pinggiran emas di balik kabut tipis. Ke kiri dan kanan, terbentuk pola ikan Yin-Yang yang bergerak-gerak, berpadu serasi dengan susunan batu pualam hijau di lantai, menciptakan pemandangan yang seakan bukan dari dunia manusia.
Tiba-tiba terdengar ledakan "Boom!" seolah ada roda gigi yang berputar. Saat aku masih termenung, Si Berbulu mendorong bahuku sambil berkata, "Heh, ayo pergi! Ngapain melongo?" Kuputar kepala dan melihat sorot matanya berkilau, semua keraguan dan kecemasan sebelumnya telah menghilang. Di balik bola matanya terpancar keyakinan dan ketenangan, sama sekali tak tersisa aura janggal yang biasa.
Bila tak bisa menghindar, maka hadapi dengan sukacita – seberapa besar kemampuan, sebesar itu pula rasa percaya diri. Dengan Pedang Lei Fa di genggaman dan seluruh ilmu yang dimiliki, sementara sang guru yang paling dikasihi masih dalam pertapaan kematian, setelah memutuskan untuk bertarung habis-habisan, hampir tak ada orang di seluruh Mao Shan yang mampu membuat Si Berbulu gentar.
Yang ia pedulikan adalah kenangan lama, bukan persaingan.
Masih Master Shixiong yang memimpin di depan, sepertinya masuk ke terowongan gua sempit yang panjang. Karena desainnya cerdik, ada sinar matahari yang terserak menyinari, sehingga bisa melihat kedua dinding dan langit-langit dipenuhi pola. Tekniknya terbagi menjadi empat bagian: lukisan warna, ukiran batu, mural, dan pahatan papan. Masing-masing memiliki warna tersendiri, keindahannya tak perlu diragukan. Hanya ada lebih dari 30 patung ukiran batu, setiap melihat satu, kami berdua harus membungkuk dan bersembahyang. Setelah kutanya, baru tahu ini adalah para mantan pemimpin Sekte Maoshan. Di sela-selanya adalah kutipan dari Kitab Suci Tao Te Ching.
Saat sampai di tengah terowongan, Master Shixiong mengepalkan tangan ke arah gang gelap yang dalam, bertanya dengan lantang: "Chen Zhicheng kembali ke gunung atas perintah guru. Shishu mana yang bersusah payah menjaga gerbang gunung? Silakan muncul!"
Suaranya bergema di gang gelap. Beberapa saat kemudian, dari kegelapan yang awalnya tampak kosong tiba-tiba muncul sepasang sorot merah menyala. Mata itu seolah berisi api, lalu suara berat terdengar: "Aku..." Mendengar ini, aku dan Si Berbulu gemetar saling pandang. Master Shixiong membungkuk memberi hormat: "Tak disangka Shishu Mao Tongzhen sendiri yang menjaga gerbang. Zhicheng sungguh berterima kasih."
Kegelapan perlahan sirna, memperlihatkan wajah merah delima Mao Tongzhen yang datar. Ia memandangi kami tanpa ekspresi: "Tak perlu sungkan. Sejak kembali dari luar, aku hanya jadi anjing penjaga pintu di gua ini. Jika ada keperluan, masuk saja. Jangan pedulikan aku."
Ia menatap Master Shixiong tanpa melirik ke arah lain, seolah sama sekali tidak mengenal aku dan Si Berbulu. Setelah Master Shixiong bertukar basa-basi dengan Mao Tongzhen beberapa patah kata namun tidak mendapat respons tulus, akhirnya berhenti bicara. Kami juga merasa agak canggung dengan Mao Tongzhen. Melihat Master Shixiong berbalik pergi, kami pun ikut pergi dengan tergesa-gesa.
Mungkin karena masih trauma akan kekalahannya dariku sebelumnya, Mao Tongzhen tidak berkata-kata lagi. Badannya mundur melayang, wajahnya kembali tenggelam dalam kegelapan sebelum akhirnya menghilang.
Melewati terowongan panjang ini, cahaya terang terlihat di depan. Saat kami keluar dari mulut gua, tiba-tiba sinar matahari yang terik menyinari wajahku. Kulihat ke atas, matahari masih di posisi pagi, kehangatannya membuat hati berbunga. Di depan, lapisan kabut tipis menyelimuti puncak-puncak hijau yang menjulang bagai gunung suci Penglai di Laut Timur. Di antara lereng-lereng gunung, hamparan sawah terpola rapi dengan kolam-kolam air jernih bagai cermin. Kulihat ke atas, istana megah dengan dinding merah menjulang tinggi di antara awan-awan, menciptakan kesan negeri dongeng yang jauh dari hiruk-pikuk dunia. Segala persaingan dan beban duniawi seolah menguap bersama awan, seakan semua kembali ke keadaan primitif dan selaras dengan alam.
Si Berbulu menarik napas dalam-dalam menghirup udara segar kaya oksigen, lalu membentangkan kedua tangannya sambil berkata penuh perasaan: "Mao Shan, akhirnya aku kembali!" Kalimat singkat ini sarat dengan gelora emosi yang tak terucapkan.
Keluar dari terowongan, kami sampai di sebuah lembah yang dipenuhi sawah-sawah. Di tengahnya terdapat jalan batu hijau lurus. Tiga pria muda berbaju jubah Tao hijau menyambut kami sambil memberi hormat dengan gerakan tangan tradisional. "Guru Besar Shibo, Shifu kami menyuruh kami menjemput Anda ke Aula Zhenling. Silakan ikuti kami," kata mereka.
Master Shixiong menjelaskan, "Ini adalah murid-murid Fu Jun. Sekte Maoshan memiliki banyak cabang dan pemilik masing-masing puncak. Mari kita beristirahat di sana."
