Mendengar begitu banyak orang bermasalah berkumpul, hati terasa kesal. Tuan Kulit Harimau menghiburku: "Kau tak perlu terlalu merasa tersinggung. Sejujurnya, baru bergabung selama tiga tahun tapi kemampuanmu tak kalah dari mereka. Dengan Si Gendut di sini, mengapa harus takut? Nanti kau harus tegakkan nama baik Gu Dunzhai Miao, jangan sampai mempermalukan Luo Shiba si brengsek itu!"
Justru penghiburan si pencuri kecil ini malah seperti stimulus bagiku, membuat tekanan di hatiku sebesar gunung. Aku berdiri dan berjalan beberapa putaran, meneriakkan beberapa kali teriakan keras, akhirnya merasa bayangan-bayangan siang tadi telah lenyap.
Keesokan paginya, aku menuju cabang perusahaan keluarga Li di Yangon. Kota Yangon minim gedung tinggi, cabang ini menempati gedung lima lantai sendiri. Usahanya ternyata cukup besar. Dipandu staf, aku langsung menuju kantor manajer umum. Setelah mengetuk pintu beberapa kali, lama kemudian seorang wanita cantik dengan pipi kemerahan membukakan pintu.
Aku mencium aroma aneh campuran chestnut pahit dan deterjen di udara. Menatap Li Yubo yang duduk di balik meja bos, kuseringkan tawa: "Kau benar-benar punya waktu luang ya? Sepupumu terbaring sekarat di rumah sakit, keponakanmu hilang tak tentu nasibnya, tapi kau malah sibuk main perempuan di kantor?"
Li Yubo tak lagi marah seperti kemarin. Ia menyeruput anggur merah di mejanya, mencicipi perlahan, lalu berkata dengan nada menjijikkan: "Lafite tahun 1982 asli. Langka di tempat hantu begini. Mau segelas?" Kuangkat bahu, langsung duduk di kursi besar di depan mejanya. Kutanya apakah dia sudah siap dan kapan kita berangkat.
Li Yubo pura-pura tak paham: "Berangkat kemana? Tak kau lihat aku sibuk di perusahaan? Tak ada waktu main-main ke desa angker itu."
Ekspresiku langsung berubah muram. Menatap tajam matanya, kukatakan dengan datar: "Kau yakin?"
Li Yubo merinding dibuatku, tapi masih bersikukuh: "Jangan nakut-nakuti aku, kemarin setelah pulang, semakin kupikir semakin tidak beres. Kau cuma menipuku. Yang jelas, tubuhku sekarang sehat-sehat saja..." Kulihat tirai kantor yang sengaja digelapkan untuk perselingkuhan, kutgetuk perlahan papan kayu pagoda di dadaku. Duoduo yang melayang tak terlihat di belakang Li Yubo tersenyum lebar. Kutegaskan: "Sakit atau tidak, kau tak bisa pastikan sendiri. Hanya dokter yang berhak menilai. Benar... atau tidak?"
Ucapanku sengaja kuperlambat. Sementara itu, Duoduo mulai meniupkan angin ke arah Li Yubo. Aura dingin menyebar ke seluruh tubuhnya. Pemuda itu membeku kaku, bulu kuduknya berdiri, seluruh tubuhnya gemetar. Ia bangkit tiba-tiba dan bertanya ketakutan: "Apa yang kau lakukan padaku?!"
Terbaring di kursi malas yang nyaman, kudongakkan kepala ke belakang. "Dengar, nak. Terus terang, nyawamu mungkin berharga bagi orang lain, tapi bagiku tak ada artinya. Lawanku kali ini adalah tukang santet dan Biksu Hitam terhebat dari Yangon, bukan anak borju seperti kau yang cuma bisa merangkak di selangkangan wanita. Jadi aku tak punya waktu untuk bermain-main. Pilih: bekerja sama menyelamatkan keponakanmu - atau calon pesaing warisanmu; atau aku pergi dan kau akan dikikis hidup-hidup oleh ribuan serangga. Satu menit. Putuskan!"
Aku pernah bilang, semua orang sangat menghargai nyawa, terutama Li Yubo. Hampir tidak sampai beberapa detik, setelah Duoduo mengembungkan pipinya dan meniup dengan kencang, dia tanpa ragu memilih untuk menyerah dan mengucapkan banyak kata-kata mulia yang menunjukkan ketundukan.
Awalnya aku ingin menjalin hubungan baik dengannya, tapi melihat sikap menjilatnya seperti ini, aku tahu orang seperti ini pantas dipukul. Aku semakin meremehkannya, lalu memperlakukannya seperti anak buah dan membawanya pergi dari cabang perusahaan menuju markas besar Kamar Dagang Tionghoa.
Sampai di lokasi, baru kusadari ini adalah gedung pertemuan besar bernuansa Timur. Di depan pintu berjejer toko-toko dengan papan nama huruf Tionghoa. Orang-orang yang lalu lalang di sekitarnya, pria dan wanita yang gagah ini, jelas berbeda dari wajah-wajah janggal penduduk lokal. Tampaknya semua adalah orang Tionghoa, dan area ini seperti Chinatown kecil.
Yang ikut selain Li Yubo, ada manajer baru cabang Lian Shuanglong, asisten keamanan Ah Hung yang dikirim Bos Gu untuk membantu, serta Penerjemah Cheng yang terus menemani dua hari terakhir.
Sebelum datang kami sudah berkoordinasi. Turun dari mobil, sudah ada yang menyambut kami di pintu gedung. Melewati dua halaman, orang itu membawa kami ke ruang tamu dan mempersilakan duduk.
Menunggu beberapa menit, kami mendengar suara percakapan di pintu. Baru saja berdiri, Wakil Ketua Qi sudah masuk bersama beberapa pria berwibawa.
Di antara mereka ada yang masih di usia prima, ada juga yang sudah beruban. Mereka semua adalah warga Tionghoa perantauan terpandang di Yangon, anggota utama kamar dagang. Bisa menyempatkan diri datang sungguh tidak mudah.
Wakil Ketua Qi memperkenalkan diri satu per satu dengan kami, diselingi basa-basi cukup lama. Li Yubo yang berasal dari keluarga terpandang memang bisa menahan sifatnya di acara seperti ini, sikapnya sangat sopan dalam pergaulan. Percakapan pun berlangsung lancar. Setelah semua duduk, Wakil Ketua Qi mulai membahas alur negosiasi ini. Setelah memastikan semua poin, dia berhenti sejenak dan berunding dengan kami. Katanya, batas minimal dari kedatangan kita kali ini adalah memastikan Xue Rui pulang dengan selamat dulu. Baru setelah keamanannya terjamin, kita bisa merencanakan langkah berikutnya.
Mendengar ini, kami semua mengangguk. Namun Li Yubo malah geram, "Bagaimana bisa? Apakah harta keluarga kami harus hilang begitu saja?"
Ucapannya sangat tidak sesuai dengan situasi, tapi dia tak sadar diri, tetap bersikap seolah pahlawan yang marah. Orang-orang lain jadi canggung.
Aku membersihkan tenggorokanku dengan batuk kecil, lalu berkata dengan tenang: "Pendapat Ketua Qi sangat tepat. Asal orangnya selamat, segalanya tak perlu dipermasalahkan." Kutatap Li Yubo dengan keras, baru kemudian dia diam. Lian Shuanglong di sampingnya memperkenalkan dengan khidmat, "Tuan Lu Zuo adalah sahabat Li Jiahui, juga ahli yang sengaja didatangkan dari daratan Tiongkok. Tuan Li berpesan, semua keputusan dalam negosiasi ini harus dipimpin oleh Tuan Lu."
Setelah hierarki ditetapkan, diskusi jadi lebih lancar dan cepat selesai. Melihat jam, sudah hampir waktunya. Kutanya kapan bisa berangkat?
Wakil Ketua Qi bertanya beberapa kalimat pada seorang pemuda di sebelahnya yang menggelengkan kepala, lalu memberitahuku harus menunggu lagi.
Aku bertanya refleks, "Menunggu siapa?" Wakil Ketua Qi berkata menunggu seorang tokoh penting, dengan kehadirannya sebagai penengah, mereka yang lain tak akan berani menggunakan trik kotor.
Mendengar ucapannya yang misterius, rasa penasaranku muncul, "Aku benar-benar ingin belajar, berani bertanya siapakah orang suci ini?"
Wakil Ketua Qi menjelaskan orang yang ditunggu adalah teman lama ketua, sebelumnya tinggal di Chiang Mai, tapi kebetulan sedang melewati Yangon beberapa hari ini, lalu diminta untuk datang melihat.
Orang ini sendiri tidak terlalu hebat, utamanya karena mengenal banyak biksu agung dan tokoh terkemuka. Ia pun tidak tahu nama aslinya, hanya mendengar ketua memanggilnya "Pak Tua Yan".
Menjelang sore sekitar pukul tiga lebih, Pak Tua Yan datang. Terlihat usianya tidak terlalu tua, sekitar enam puluhan. Mengenakan kemeja abu-abu, ia terlihat berenergi spiritual seperti dewa Tao yang turun ke dunia, dengan jenggot putih berkilau indah bagai pemilik toko antik. Sikapnya ramah, bercakap-cakap dengan kami. Saat kami mengucapkan terima kasih, ia mengibaskan tangan, "Aku Yan Wu hanyalah kakek tua jelek, tidak bisa membantu banyak, hanya ikut memeriahkan kerumunan saja."
Mobil sudah menunggu lama. Setelah kedatangan Pak Tua Yan, kami pun berangkat. Melaju ke timur, melewati persimpangan demi persimpangan, menyaksikan tumbuhan tropis tumbuh liar di pinggir jalan. Bangunan dan orang-orang beraura eksotis bergerak mundur di belakang, terlihat banyak pagoda dan kuil dengan biksu berjubah merah...
Pemandangan ini akhirnya membuatku bosan. Aku beralih mengobrol dengan Ah Hung di sampingku.
Ah Hung adalah mantan tentara dari Pasukan 10.000 Tahun Kompi Pahlawan Songgufeng yang sudah berusia 35 tahun. Sifatnya mirip dengan Liu Ming yang gugur di Sungai Nu, sama-sama memiliki aura dan semangat militer hingga ke tulang sumsum. Ah Hung berasal dari desa di Jiangbei. Setelah pensiun, dia tinggal di kabupaten asalnya selama dua tahun sebelum merantau.
Tapi berbeda dengan kisah-kisah legenda, dia tidak menciptakan pencapaian berarti. Justru sifat jujurnya yang ditempa dalam tungku militer membuatnya terus menerus mengalami hambatan. Saat paling miskin, kondisinya sama sepertiku - hanya punya mulut untuk makan, tak memiliki apa-apa. Kebetulan menyelamatkan Bos Gu sekali, akhirnya menjadi bodyguard.
Ngobrol dengannya tentang masa-masa sulit dulu membuatku lupa ada si kemayu wangi di sebelah.
Kami terus bergerak ke timur dan akhirnya tiba di desa kecil bernama Tanda sekitar hampir pukul lima.
Desa ini berlokasi di kaki gunung hijau dengan sungai jernih berkelok di depannya. Sawah-sawah emas berhamparan, mirip dengan kampung halamanku di Kota Dadunzi.
Biasanya negosiasi ala preman dilakukan di rumah teh atau rumah leluhur. Tapi karena lokasinya jauh dari kota kecil sekitar dan tidak punya tradisi penyembahan leluhur seperti orang Tionghoa, langsung dilakukan di rumah pihak lawan.
Beruntung rumah keluarga besar bergaya Myanmar ini memiliki banyak bangunan di dalam kompleksnya.
Di pintu masuk desa sudah ada yang menjemput, termasuk calo perantara dari Kamar Dagang Tionghoa. Mereka membawa kami masuk ke rumah terbesar di desa, melewati koridor panjang, akhirnya tiba di sebuah aula beratap alang-alang dengan struktur kayu. Di dalam sudah ada tujuh delapan orang yang lebih tua berpenampilan lokal. Orang-orang dari pihak kami pun mengobrol dan menyapa mereka, jelas sudah saling mengenal.
Kuperhatikan sekeliling, rumah orang ini memang sangat luas. Benar-benar sebuah kediaman besar, bukan cuma bisa menyembunyikan dua orang, bahkan satu peleton tentara pun cukup. Sepanjang perjalanan, kulihat tata letak balok penyangga dan sudut-sudut rumah ini aneh - benang merah, beras xian, serta kuil kecil dari bata merah. Semuanya menunjukkan status sang pemilik. Medan Qi-nya terasa dingin menusuk dan pekat, jelas tempat yang sering berinteraksi dengan arwah negatif.
Kutarik napas panjang dalam-dalam. Tempat ini memang luar biasa, benar-benar seperti sarang naga dan gua harimau.
Di ruang utama, kiri kanan terbagi untuk tuan rumah dan tamu. Setelah kami duduk, rombongan pun menempati tempat terhormat di bawah podium. Kulihat jam tangan, tepat pukul lima seperempat. Hendak bertanya di mana sang tuan rumah, tiba-tiba terdengar suara qing yang jernih bergema di seluruh aula. Disusul suara langkah kaki dari belakang. Kuangkat kepala, sekelompok orang berbaju tradisional lokal sedang berjalan menuju ruangan ini.
