Koridor ini sempit, lebarnya tak sampai dua meter tapi sangat panjang. Di kedua sisi terdapat pintu-pintu rahasia yang berhadapan, terpisah setiap jarak tertentu. Aku tidak berada di ujung - masih ada jalan panjang di belakangku. Di atas kepala, kabel-kabel rumit menjuntai seperti jaring laba-laba. Aku teringat teriakan si setelan hitam ke dekorasi ruang VIP, sadar ada monitor pengawas.
Bayangkan, memasang monitor di kamar seperti ini. Jika ada orang yang tekadnya sangat kuat menolak perangkap, tapi benar-benar melakukan 'hal baik' itu, video rekaman adegan mesum itu tetap tersimpan di tangan mereka. Nantinya mau tak mau harus menunduk juga.
Dari sini terlihat, tempat ini dirancang dengan presisi dan licik khusus untuk mengumpulkan rahasia para orang penting - sarang mesum yang terselubung.
Aku menggosok bagian memar di atas kaki kiriku, perlahan berdiri. Melihat orang India di depanku, posturnya seperti ayam betina berdiri satu kaki, satu kaki terlilit di kepala, sementara kedua tangannya terpelintir seperti pretzel, disatukan di depan dada. Sama sekali tidak terlihat seperti bersiap bertarung, malah lebih mirip sedang mengajar kelas yoga.
Ilmu yoga dalam bahasa Sansekerta berarti "penyatuan", merupakan perjalanan spiritual yang memampatkan evolusi diri menjadi eksistensi fisik dalam rentang seumur hidup, beberapa bulan, bahkan hanya beberapa jam. Tujuannya mengembangkan keseimbangan sempurna antara tubuh dan jiwa agar tercapai harmoni mutlak antara individu dan alam semesta.
Yoga adalah warisan nasional India yang paling megah, seperti status metafisika di dalam negeri kami. Bahkan ketika metafisika di negeri kami sudah merosot, yoga justru telah menyebar ke seluruh dunia dengan menyamar sebagai metode kesehatan dan pengobatan.
Namun sejak kemunculannya, teknik ini merupakan metode kultivasi untuk menaklukkan dunia melalui introspeksi diri. Jika kita menguliti kulit luar yang lembut, yang kita temukan adalah kekuatan omnipresennya yang dahsyat.
Ilmu yoga hebat ini pernah kulihat pada Bassong, mantan murid Tuan Xu. Sepertinya hari ini aku harus bertarung lagi.
Apakah usia tua menjamin kehebatan? Apakah kemampuan melayang di udara dengan kosong membuat seseorang hebat? Aku mengepal erat kedua tangan, sendi-sendi berderak, melangkah maju selangkah demi selangkah. Saat aku menginjakkan langkah ketiga, bibir hitam-ungu biksu tua India yang tadi hanya bisa berbahasa Hindi saat mengajar akhirnya mulai bergerak, mengucapkan Mandarin yang tak jelas namun masih bisa dimengerti: "Wahai orang kuat dari Perbatasan Miao, mengapa kau masuk paksa ke teritori kami?"
Begitu ia bicara, aku langsung tersenyum. Kutunjuk si pencuri kecil itu sambil berkata: "Jangan sok jadi penduduk asli Avatar! Teritori siapa? Bukankah ini yang kalian harapkan? Bukankah ini jebakan yang kalian siapkan? Kenapa sekarang pura-pura tak bersalah? Tapi kuberi tahu yang sebenarnya: Meski ini jebakan, apa akibatnya? Kau kira kami takut? Kolam kecil seperti ini, kubunuh beberapa kali bolak-balik pun bukan masalah!"
Si kakek tua ini tak terpancing oleh kata-kataku yang kasar. Ia menggelengkan kepala dengan senyum getir: "Seandainya kami yang menjebak, takkan kami kumpulkan begitu banyak orang penting. Ini semua kesalahan bawahanku yang terlalu bodoh, sampai berani mengganggu kalian. Kalau bukan karena si bodoh mengenali kalian, kami pasti sudah binasa kali ini, hampir merusak misi besar. Tapi karena sudah sampai di sini, bisakah kau tenang? Mari kita berunding, setuju?"
Sebelumnya ingin mengincar nyawaku, namun saat ini malah membujuk dengan lembut, pasti ada sesuatu yang aneh di dalamnya. Aku merenung sejenak, sial! Orang ini jelas sedang mengulur-ulur waktuku agar persiapan di luar bisa diselesaikan. Sambil berpikir demikian, mulutku menjawab setengah hati, bertanya bagaimana caranya berunding, sementara diam-diam menyalakan Tangan Iblis Sihir yang memancarkan panas menyengat dan dingin membeku secara bersamaan. Jari-jari kakiku mencengkeram lantai erat-erat. Pada detik ia mulai menjawab, tubuhku melesat tiba-tiba menyerang biksu tua Jiduo ini.
Kekuatan seluruh tubuhku sungguh menakutkan. Begitu meledak, langsung berubah seperti macan tutul yang sedang memburu mangsa, menjelma menjadi bayangan samar yang melesat ke depan.
Seorang praktisi yoga memiliki persepsi yang sangat tajam terhadap lingkungan sekitar. Biksu Jiduo yang telah mencapai level mahir dalam latihan yoga, tentu sudah merasakan gelagatku sejak pertama kali aku mengerahkan tenaga. Kedua tangannya bergerak ritual, seketika berubah menjadi bayangan samar yang menyerang titik-titik vital di seluruh tubuhku. BUNUH! Mataku memerah seperti darah. Tangan kiriku membuat gerakan tipuan membentuk lingkaran besar, sementara tangan kanan diam-diam menghunjamkan besi tajam ke ulu hati biksu tua ini.
Dalam perkiraanku, bahkan jika biksu tua ini tidak bisa menghindar sepenuhnya dari tusukan ini, setidaknya bisa menggeser posisi agar tidak terkena titik vital. Namun di detik itu, ia sama sekali tak menghindar. Bilah besi tajam di tanganku langsung menembus tepat ke sasaran.
Saat besi runcing menembus serat otot, aku merasakan sensasi yang sangat aneh. Lawan sama sekali tidak berdaya, kebahagiaan datang terlalu tiba-tiba sehingga terasa tidak nyata. Di detik berikutnya, bahuku terkena tendangan seperti cambuk yang membuat tubuhku langsung ambruk. Besi runcing di tanganku terjepit erat, tidak bisa kucabut. Menahan sakit, aku menggelinding sambil bangkit dengan cepat. Ternyata di depanku tidak ada biksu tua India, yang ada hanyalah tembok. Besi runcingku tertancap dalam di tembok itu, masuk sampai ke akarnya.
Apa yang terjadi? Pikiranku berputar cepat. Mengingat asal-usul ilmu yoga, dalam sekejap aku menebak masalah di balik ini semua.
Yoga adalah teknik spiritual. Dalam hal kekuatan tempur, sejujurnya Master Jiduo ini bukanlah lawanku. Namun dia bisa memanfaatkan lingkungan sekitar, lampu, kelembapan, ditambah kekuatan spiritualnya sendiri untuk menciptakan ilusi persepsi saat bertarung, lalu mengambil kesempatan untuk menghabisi aku.
Apa yang kulihat bukanlah kenyataan sebenarnya, karena telah ditutupi oleh kekuatan spiritual seseorang.
Kalau begitu... Bagaimana jika memejamkan mata?
Saat kehilangan target, bukannya panik melihat ke segala arah, aku malah memejamkan mata. Memutus penglihatan dan mengandalkan persepsi medan Qi untuk merasakan situasi sekitar dan target.
Aku yang berada dalam kondisi pertempuran, persepsi medan Qi-ku telah mencapai sensitivitas puncak. Setelah mengabaikan penglihatan yang biasa paling kandalkan, dunia menjadi jelas dan sederhana. Segala sesuatu berubah menjadi titik dan garis. Aku segera merasakan kekuatan dahsyat menerjang dari belakangku.
Jika ada iblis dalam hati, apa artinya menaklukkan kera hati?
Ingin mengaburkan kesadaranku dengan kekuatan batin lalu membuatku terjerumus dalam halusinasi? Sudut bibirku naik sedikit sambil menyeringai jahat. Aku yang berjongkok di tanah tidak bangun untuk menghindar, melainkan mengerutkan semua otot tubuh. Posturku melengkung seperti busur, lalu dengan kaki kiri sebagai poros penahan, kaki kanan menegang seketika. Mengkonsentrasikan seluruh kekuatan tubuh di titik itu, aku melesat seperti peluru meriam yang meluncur dari laras, menghujam tepat ke titik terlemah dengan tendangan dahsyat.
Jurus Anjing Kuning Kencing!
Jurus ini kupelajari dari pemilik kedai di Badong saat senggang, kombinasi puncak teknik biomimetik dan antropometri. Tak terhitung jumlahnya ahli yang terluka oleh jurus ini, bahkan monster pun tak luput. Ini adalah jurus paling janggal namun mematikan dalam gudang senjataku. Saat ini, efeknya sesuai prediksiku: sebuah jeritan menderita tak tertahan memecah telingaku.
Hao, tendangan tepat sasaran!
Sensasi dari telapak kaki membuat seluruh tubuhku bergairah. Ini benar-benar tubuh manusia, bukan ilusi dinding hasil transfer energi batin. Waktu mendesak, niat membunuhku menggelegak. Aku menerjang ke arah sumber suara, mengangkat kaki tinggi-tinggi dan menendang lagi.
Tapi kali ini tidak memberikan efek penentu di medan perang. Kurasakan kakiku terbungkus energi lembut yang berputar seperti Taiji, berhasil mengurai seranganku.
Setelah melancarkan jurus, aku tak berhenti. Seperti pasukan yang menyerbu, di dunia medan Qi yang menyatukan kesederhanaan dan kerumitan ini, aku tanpa gentar menghajar biksu yoga agung dari India ini hingga kocar-kacir, terus mundur.
Namun di tengah pertarungan sengit, tiba-tiba kudeteksi aura dari belakang yang membuat jantungku menyusut tajam. Aku menghindar kilat, punggung menempel dinding. Semua serangan berhenti. Baru setelah itu kubuka mata, mengamati sekeliling.
Pertama yang terlihat adalah wajah Master Jidu yang berlumuran darah. Biksu yang tadi berdiri satu kaki sok jagoan ini, setelah kutatap dengan mata tertutup dan kukejar habis-habisan, akhirnya menanggalkan topeng kemahirannya. Dengan susah payah bertahan, ilmu yoga spiritual yang diandalkannya menjadi tak berguna saat kutatap tanpa penglihatan. Kekuatannya yang tak sepadan dan tendangan mautku akhirnya meluluhkan kepercayaan dirinya. Kini ia hanya bisa bersandar di dinding dengan tubuh goyah, terus menarik napas dingin.
Intinya, tendangan "Jurus Anjing Kuning Kencing"-ku tadi tepat mendarat di selangkangan sang master.
Bayangkan semua pria yang memejamkan mata: Seperti apa rasa sakitnya?
Master Jiduo yang mampu memblokir serangkaian seranganku meski menerima serangan seperti itu, secara tidak langsung membuktikan betapa mendalamnya latihan ilmu yoganya - setidaknya jika itu aku, meski tidak langsung pingsan, pasti sudah berlutut sambil berteriak histeris seperti lolongan serigala dan tangisan hantu.
Master Jiduo yang sudah cacat separuh tak lagi kuhiraukan. Kubalikkan badan dan memandang ke belakang, melihat bayangan putih melesat masuk ke ujung koridor yang lain.
Melihat bayangan putih itu, jantungku tiba-tiba mengencang. Tak lagi berlama-lama bertarung dengan Master Jiduo, kulanjutkan dengan melangkah nekat menuju tempat bayangan putih itu menghilang.
Pertempuran antar praktisi kultivasi sejati memiliki konsep jarak yang lebih pendek dari biasanya karena kecepatan ekstrem. Dengan cepat kusampai di ujung, melihat pintu besi sedang menutup perlahan di balik kegelapan sudut.
Kawan lamu ada di depan, mana mungkin kubiarkan dia kabur lagi?
Seketika tekadku menguat, kecepatan tubuhku meningkat drastis. Segera kusampai di depan pintu, kuraih gagangnya dan kutarik sekuat tenaga - ternyata pintu ini seluruhnya dari baja, sangat berat. Tapi apa artinya? Pusaran energi ikan Yin-Yang di Qihai berputar kencang, aura kepahlawanan memancar dari diriku. Kutarik lagi, pintu baja seberat ton itu terbuka paksa. Kuterobos masuk dan berteriak ke arah bayangan putih yang sedang mundur cepat: "Berhenti, Bai Lutan!"
Sosok itu berbalik, cadar mewah di wajahnya jatuh ke lantai, memperlihatkan wajah cantik Bai Lutan yang memesona.
