Menghadapi pengakuan cintaku dan pelukan erat ini, kedua mata Aya membulat seperti piring, jelas-jelas terkejut oleh tindakanku.
Aku melihat sedikit kepanikan di sorot matanya, sendiri juga agak kacau. Tapi sambil memeluk erat tubuh lembut Aya, mencium aroma khas namun harum dari tubuhnya, lenganku tiba-tiba mengencang. Aya tidak melawan, hanya membiarkanku memeluk. Setelah lama, barulah dia terkikik, "Lu Zuo-kun, kalau aku ikutmu ke China, bagaimana dengan kekasih kecilmu?"
Aku termenung, "Kekasih kecil apa?"
Aya mendorongku perlahan, menggeleng sambil menghela napas, "Pria, kok sama saja? Jangan sembunyikan. Waktu itu di Jing Ge, aku lihat semua. Saat kau peluk gadis kecil itu, perasaan membara di matamu jelas bukan rasa kakak-adik. Itu cinta. Kau suka dia, kan?"
Refleks kuusap hidungku, "Mana mungkin? Umurnya masih berapa. Mana mungkin aku punya pikiran macam itu."
Aya terkikik lagi, "Lu Zuo-kun, lain kali kalau bohong, jangan usap hidung. Kemarin juga begitu."
Lagipula, mana kecil? Dulu waktu aku bertemu dia, masih muda tapi posturnya lebih baik dariku."
Aku terdiam, tak tahu harus berkata apa. Secara logika, Aya seharusnya menyukaiku, kalau tidak dia tak akan bermesraan semalaman denganku. Tapi kesejukan gadis ini justru membuatku bingung. Bukankah cinta itu egois? Bukankah wanita seharusnya memiliki keinginan kuat untuk mengambil alih pria yang dicintainya? Mengapa gaya bicaranya justru terkesan ingin menjauhkanku?
Kupikir lama, tak menemukan jawaban. Akhirnya kutanyakan padanya: "Kotoe, apa kau tak menyukaiku? Apa kau tak mau ikut denganku ke China?"
Melihatku murung seperti anak kecil, Aya tak bisa menahan senyum. Bola matanya menyipit membentuk bulan sabit.
Dia berjinjit, bibir madunya menyentuh lembut bibirku. Dengan senyum penuh makna, dia berbisik penuh perasaan: "Bagaimana mungkin tak kusukai? Tahukah kau, sejak kecil aku selalu mendengar dongeng Putri Tidur dan Pangeran Tampan. Saat tak sadarkan diri, aku terus bermimpi: Siapakah yang akan membangunkanku? Setelah sadar, baru kuketahui kau sampai lumpuh total demi menyelamatkanku... Kemudian kudengar juga kisahmu dengan Yuan Er - sejak kecil dia sangat mandiri, jarang orang bisa dipercayainya. Tapi sebelum mati, dia justru menitipkanku padamu..."
Aya menatapku dengan pandangan terpesona, seolah sedang mengamati sebuah karya seni, membuatku merasa agak malu. Namun dia terus melanjutkan pengakuan hatinya: "Saat itu aku berpikir, sebenarnya kamu ini seperti apa sih? Mengapa semua orang begitu mempercayaimu, rela menggunakan seluruh hidup mereka untuk menanti - akhirnya aku mengerti, Lu Zuo-kun, kamu memang pria yang layak dipercaya!"
Pengakuan penuh perasaan yang diungkapkan perlahan oleh Aya ini cukup menyentuh hatiku. Sejujurnya, tentang gadis di hadapanku ini, selain kecantikan dan sifatnya yang lembut serta baik hati, aku tidak terlalu memahami pemikirannya. Beberapa tahun terakhir ini, ada terlalu banyak hal yang harus kukerjakan dan kupikirkan, sehingga urusan perasaan agak kutinggalkan. Tak pernah terbayang, ada gadis cantik seperti ini yang begitu terpikat padaku.
Justru karena itu, semakin besar rasa penasaranku. Tak tahu mengapa Aya tiba-tiba menyebut Xiao Yao, kulanjutkan dengan bertanya langsung: "Apa kamu tidak ingin ikut aku ke China?"
Aya menghela napas, berkata bahwa awalnya dia memang ingin ikut ke China, berpikir menjadi istri China juga tidak buruk, tapi sekarang sepertinya tidak mungkin.
Sambil bicara, dia mengulurkan tangan kirinya. Kulihat di telapak tangan putihnya yang mulus itu ternyata ada tato siluman ular berkepala delapan. Saat kuperhatikan, tato itu ternyata hidup dan bergerak. Salah satu kepala itu melirikku tajam, memancarkan cahaya keemasan yang menyilaukan hingga mataku gelap seketika.
Aku memejamkan mata dan menggelengkan kepala dengan kasar. Saat membuka mata kembali, kulihat Aya menggunakan tangan kanannya mencengkeram pergelangan tangan kiri, seolah berusaha mengontrol sesuatu.
Aku teringat ucapan Tuan Kulit Harimau, bahwa cermin Yata sepertinya telah menyatu sebagian ke dalam tubuh Aya. Dengan gugup kutanyakan hal ini. Aya mengangguk, menghela napas berat, dan mengakuinya. Dia juga merasakan cahaya itu seperti makhluk hidup yang telah menyusup ke dalam tubuhnya. Dia memperoleh kekuatan yang belum pernah ada sebelumnya, sedangkan benda di tangannya ini adalah sumber kekuatan tersebut.
Aku menatap tajam pola ini sambil mengerutkan alis. "Benda ini... bukankah Yamata no Orochi?"
Yamata no Orochi adalah salah satu monster paling legendaris dalam mitologi Jepang, ular raksasa berkepala delapan dan berekor delapan. Dianggap sebagai simbol bencana air dan personifikasi kematian. Mendengar ucapanku, Aya tersenyum kecil. "Kau cukup paham budaya Jepang. Benar, ini memang Yamata no Orochi. Pedang Kusanagi, salah satu dari Tiga Harta Suci, diambil dari ekornya oleh Susanoo setelah membunuhnya. Tapi sedikit yang tahu, roh jahatnya disegel dalam Cermin Yata. Dan sekarang... warisan itu berpindah padaku."
"Apa ini akan memengaruhimu?" Refleks kupegang tangan Aya. Dengan tegang kutanyakan. Dia menggeleng, tetap tersenyum. "Ya. Tapi efeknya positif. Setelah ribuan tahun dipersembahkan, roh jahat ini sudah dimurnikan. Kini hanya berupa kesadaran kosong belaka."
Kesadaran ini menyatu ke dalam tubuhku, kebetulan ditemukan oleh Nobuhiro Iwakura. Jadi meski aku mau ikut kamu pergi, sepertinya seluruh Jepang takkan mengizinkan.
Termasuk tiga harta suci Jepang seperti Yata no Kagami, yang merupakan simbol keluarga kekaisaran di dunia manusia. Saat ini, Aya bagaikan senjata suci yang hidup, tentu tak mungkin ikut ke China bersamaku. Dan aku pun tak bisa tinggal di secuil tanah Jepang ini.
Hubungan jarak jauh, sama seperti penyebab putusnya banyak pasangan, inilah alasan sebenarnya mengapa aku dan Aya tak bisa bersama.
Tapi melihat kecantikan sempurna dihadapanku, akhirnya aku pun tak tega. Aku menggenggam tangannya dan merintih, "Kotoe, lupakan semua ini. Mari kita kabur, kuantar kamu ke China, ya?" Bola mata hitamnya yang mulus bagai kristal memantulkan kesedihan. Dia menyilangkan jarinya dengan tanganku, berusaha menstabilkan emosi sebelum berkata perlahan, "Lu Zuo-kun, di China kau punya orangtua, keluarga, sahabat, dan segala hal yang kau perjuangkan. Semua itu tak mudah kau tinggalkan. Tapi aku... juga punya tanggung jawab di pundakku..."
Entah mengapa, melihat wajah sempurna tanpa cacat Aya dan mendengar nada sedih dalam ucapannya, hatiku terasa sakit sekali.
Tapi jika aku sendiri tak bisa melepaskan kehidupanku, mengapa harus memaksa Aya meninggalkan segalanya?
Pada akhirnya, semua ini karena aku tidak cukup mencintainya, atau mungkin dia tidak cukup mencintai aku. Di antara kami hanya ada daya tarik sederhana dan perasaan biasa antara pria dan wanita, bukan cinta yang bergelora dan membekas di hati.
Sampai di sini, kami pun tak banyak bicara lagi. Dibimbing Aya, kami duduk di tanah di bawah pohon sakura yang kelopaknya berhamburan. Tak peduli kebersihan, kami berdua duduk berjajar, bersandar pada pohon dan bahu masing-masing. Dalam malam sunyi ini, kami menyaksikan sakura mekar di seluruh lereng gunung, lalu kelopak demi kelopak mulai layu.
Setahun yang lalu, Aya meninggalkan pesan untukku: jika ada waktu luang, datanglah ke Jepang untuk menemaninya melihat sakura.
Setahun kemudian, aku datang. Duduk berdampingan, melihat kuncup-kuncup mekar yang anggun dengan daun-daun saling menyelingi, ada yang merekah ada yang layu. Perasaan awalnya sangat rumit, tapi tak lama kemudian hatiku semakin tenang. Tiba-tiba gadis di sampingku mulai menyanyi:
Sakura ya, sakura ya
Di langit cerah di bulan ketiga musim semi
Sepuluh ribu li tanpa awan begitu terang
Bunga-bunga mekar bagai awan pelangi
Wangi semerbak memenuhi ujung langit
Cepatlah, cepatlah
Mari semua pergi melihat bunga!
……
Ini adalah lagu rakyat Jepang "Sakura". Ketika Katou Genji meninggal dulu, dia juga menyanyikan lirik ini dengan nada yang sama persis. Mendengar lagu ini, pikiranku tiba-terbang ke suatu subuh di masa lalu, saat seorang pemuda bernyanyi tepat sebelum ajalnya.
"Begitu pikirku, tiba-tiba merasa hidup ini sungguh terlalu ajaib, benar-benar sulit dipahami."
Aya menyanyi bolak-balik tak terkira lamanya, lagunya terkadang penuh keceriaan, terkadang penuh kesedihan. Lama setelah suaranya menggema, dalam dentang akhir ini Aya tiba-tiba bertanya, "Lu Zuo-kun, tahukah kau mengapa kami sangat menyukai sakura?"
"Cantik?"
"Salah. Mekarnya sakura singkat, saat merekah adalah keindahannya yang puncak, namun saat layu begitu tegas tanpa kompromi, meninggalkan hamparan kemewahan dan keindahan di bawah pohon. Aku sangat menyukainya. Hubungan kita bagai sakura yang merekah - pernah ada, sehingga seumur hidup terasa penuh. Tahun-tahun mendatang, mungkin aku akan menjadi Shennü sejati, tapi saat mengingatmu, selalu merupakan hari-hari yang kurindukan..."
Aku terdiam tak tahu harus berkata apa. Gadis cantik tak tertandingi di sampingku melanjutkan: "Dengan malam ini, hatiku sudah puas. Dan kau, sungguh harus menghargai orang di hadapanmu. Gadis kecil itu demi kau nekat mempertaruhkan nyawa, sampai aku pun tersentuh melihatnya. Lu Zuo-kun, semangat! Pasti bahagia ya! Di Jepang nanti, kudoakan yang terbaik untukmu..."
Perlahan ia bicara. Kepalaku menunduk, melihat sudut matanya mengalir seberkas air mata. Menyaksikan air mata yang tak terkontrol itu, hatiku pedih tak terkira. Hidup memang penuh kepasrahan, hal-hal yang tak sesuai harapan selalu mendominasi.
Aku menunduk, mencium sudut matanya yang basah, lalu berbisik lembut: "Kotoe, bagaimanapun juga, kita tetap sahabat terbaik. Jika ada yang berani menyakitimu di sini—siapapun itu, bahkan si keparat tua Shubei Hiroyano—ceritakan padaku, aku yang akan menanganinya!"
Aya tersenyum pshh sambil mengangguk, "Ya, pasti."
Malam itu, aku dan Aya duduk diam di bawah pohon sakura hingga subuh. Saat fajar merekah, kami berpisah. Kembali ke hotel, aku langsung tertidur pulas. Siang harinya, Si Berbulu membangunkanku dengan kasar. Dalam keadaan setengah sadar, wajah janggalnya yang tiba-tiba muncul membuatku ingin mengumpat. Tapi ekspresinya aneh saat memberitahu: "Gempa 9.0 skala Richter mengguncang laut timur laut Jepang, memicu tsunami..."
