Pikiranku sudah lama mati rasa, tidak tahu berapa banyak orang yang sudah kutebas. Mayat-mayat berserakan di sekitarku, ada yang sudah menghilang, ada yang masih teronggok di tempat. Plasma darah menggenang di tanah. Namun saat melihat pria di hadapanku ini, secara refleks kuteriakkan nama legendaris itu.
Meskipun di rumah nenekku tidak ada foto Luo Shiba, bahkan selain kitab 《Dua Belas Metode Penaklukan Pegunungan》 yang diwariskan padaku, tak pernah disebutkan namanya. Orang-orang yang mengenal Luo Shiba pun tak pernah menceritakan perawakannya padaku - apakah tinggi atau pendek, gemuk atau kurus sama sekali tak kuketahui. Tapi di Istana Naga Dongting, kulihat jenazahnya. Sejak pandangan pertama pada pria yang mirip Tony Leung ini, kuyakini dialah Luo Shiba.
Ini semacam persepsi batin yang misterius. Dengan hati-hati kugenggam Pedang Hantu, langkah demi langkah kumundur. Tubuhku terasa seperti akan ambruk setiap saat. Serangga gemuk melayang limbung di atas kepalaku, kehilangan kewibawaannya setelah pertempuran tadi. Warna tubuhnya suram sekali, seolah sebentar lagi akan mati.
Aku dengan hati-hati mengamati pria di hadapanku. Penampilannya sederhana khas pria paruh baya dari Budaya Miao: sepatu karet, celana digulung, baju putih berlengan pendek. Selain janggut lebatnya, semua terlihat biasa-biasa saja. Yang membedakannya dari orang-orang sebelumnya adalah sikapnya yang tidak langsung menghunus pisau dan menyerangku begitu muncul. Ia justru berdiri di atas Menara Yanci, meregangkan badan dengan santai sebelum akhirnya menatapku dan berkata dengan nada penuh arti: "Adoh, kamu bisa langsung mengenaliku? Tadi bertarung sekeras itu masih bisa menghitung kepala satu dua tiga empat? Lumayan!"
Suara Luo Shiba bagaikan suara surgawi di telingaku. Aku gemetar karena terlalu bersemangat, berteriak keras: "Astaga! Kau bisa bicara?!"
Setelah pertarungan absurd yang begitu lama, akhirnya ada yang bisa diajak berkomunikasi. Jantungku berdebar kencang. Luo Shiba memandang sinis ke arah tumpukan mayat di sampingku, tangannya terikat sambil berkata: "Jangan samakan aku dengan sampah-sampah yang sudah kehilangan kemampuan berpikir itu! Aku cuma tewas seratus tahun lalu, tapi ingatanku masih utuh karena pernah ke Dongjidian! Lagi pula, tanpa aku, kau sudah mati berkali-kali! Ngerti nggak?"
Ucapan samarnya membuatku teringat banyak hal. Teriakan dahsyat di bawah Plaza Haowan tahun itu, ancaman terhadap kepala banteng raksasa di Jurang Neraka Gunung Nu, serta berbagai kali kehilangan kendali kesadaran - semua itu ternyata dikendalikan Luo Shiba dalam tubuhku. Aku, si berbulu, dan Harimau Kucing Besar (Tuan Kulit Harimau) sebenarnya pernah mencurigai hal ini, dan kini akhirnya terbukti.
Memikirkan ini, aku pun membungkuk hormat: "Terima kasih atas bimbingan Senior."
Menghadapi ucapan terima kasihku, Luo Shiba tidak menganggapnya penting. Ekspresinya tetap datar sambil melambaikan tangan, "Tak perlu berterima kasih. Jika kau mati, aku pun akan lenyap. Jadi menyelamatkanmu sama dengan menyelamatkan diriku sendiri - ini bagian dari kewajiban. Yang membuatku terkejut adalah, meski kau berwatak lemah, ragu-ragu, dan kemampuanmu biasa saja, ternyata kau bisa menyerap energi primordial dari lima kuil utama di timur, selatan, barat, utara, dan tengah - bahkan menyusun Kuil Terakhir di ruang tak tentu ini... Tugas yang gagal diselesaikan oleh puluhan generasi reinkarnasi sebelumnya! Mereka akhirnya melebur kesadaran dan sirna dalam kekosongan. Meski aku mengetahui secuil kebenaran dan bertahan sampai kini, tetap gagal... Mungkin ini semua sudah diatur dalam perhitungan si tetua tua itu. Kehebatan manusia zaman sekarang takkan sanggup menyaingi para leluhur purba yang bisa mempengaruhi peristiwa ribuan tahun kemudian hanya lewat kalkulasi aliran Qi..."
Luo Shiba berbicara dengan lancar, tentang "si tetua" yang disebutkannya, di satu sisi meremehkan, di sisi lain mengagumi. Kombinasi dua emosi ini mencerminkan sifat angkuhnya yang luar biasa.
Dalam hati, aku bisa memperkirakan bahwa "si tetua" yang dimaksud mungkin adalah Raja dari Aliansi Besar Yelang dulu. Tapi aku tak berani banyak bicara, hanya mendengar Luo Shiba terus-menerus memaki. Tiba-tiba ia mengubah topik, menunduk dan bertanya padaku: "Kau tahu apa yang paling membuatku terkejut?"
Aku mengernyitkan dahi, bertanya bodoh: "Apa itu?"
Ekspresi Luo Shiba samar antara tersenyum dan tidak. Matanya terpusat seperti kacang, menatapku dengan suara dingin: "Yang tak kusangka sama sekali adalah kau bisa mengalahkan semua 17 boneka daging-darah ini. Tak kuduga ada jagoan sepertimu di antara keturunanku." Guruku adalah Nenek Long Laolan, di atasnya ada Xu Banggui. Sedangkan Xu Banggui, Xu Yingyu, dan Xu Yingzhi semuanya berguru pada Luo Shiba. Pria tua penuh pesona di hadapanku ini adalah Leluhur aliranku. Mendapat pujiannya, aku merasa tersanjung dan refleks merendah: "Ini semua hanya kebetulan saja..."
"Omong kosong!" Menghadapi kerendahan hatiku, Luo Shiba memaki habis-habisan. Katanya, apa maksudnya "keberuntungan"? Jalan ini kau tapaki selangkah demi selangkah, orang-orang ini juga kau taklukkan dengan pedang dan darah. Buat apa sok merendah? Pura-pura di depanku? Munafik!
Raungan Leluhur ini begitu dahsyat, hingga meski kami menjaga jarak, percikan ludahnya sampai beterbangan menyentuh ubun-ubunku.
Kuketahui wataknya yang memang selalu nonkonformis, tak terikat norma, dengan temperamen liar dan meledak-ledak. Bukan tipe orang yang mudah diajak berurusan. Makanya murid-muridnya ada yang menyimpan dendam atau sama sekali tak mau menyebut namanya. Tapi setelah merasakan langsung, baru kusadari betapa sulitnya melayani orang ini.
Setelah bertarung sengit cukup lama, kulihat Luo Shiba yang keluar dari patung batu masih memiliki kesadaran, tapi statusnya sebagai kawan atau lawan masih ambigu. Aku tetap waspada, sambil mengaktifkan pusaran energi Yin-Yang di perut untuk memulihkan tenaga dengan cepat, sambil berkelit menghindari serangannya. Setelah meluapkan amukannya, kemarahannya agak mereda. Melihat serangga gemuk yang berputar-putar di atas kepalaku, matanya berbinar: "Inikah telur ulat yang dibawa Salmon kembali, lalu berkembang menjadi Jin Can Gu?"
Refleks kumengiyakan, lalu tersadar. "Eh, Salmon itu siapa?"
"Salmon, Xu Banggui, kamu tidak mengenalnya?" Luo Shiba terlihat tertegun, sementara aku mengusap hidungku dan berkata mungkin iya, Jin Can Gu ini diwariskan oleh nenekku, sedangkan Xu Banggui adalah shifu-nya. "Siapa nenekmu?" Luo Shiba seolah sudah lama tidak berbicara, penuh pertanyaan, sementara aku tidak berani menyinggung leluhur yang terlihat menakutkan ini, menjawab semua pertanyaan: "Nenekku bernama Long Laolan."
Luo Shiba mengangguk, berkata oh, ternyata gadis kecil itu, dulu dia memang bibit yang bagus, tahun-tahun itu aku bahkan berpikir untuk menjadikannya murid kesayangan setelah dewasa...
Perkataan Luo Shiba membuatku terkejut, aku mengangkat kepala dan berkata: Leluhur, bukankah kamu tahu nenekku adalah cucu muridmu? Lagi pula, kamu berada dalam tubuhku selama bertahun-tahun, tidakkah kamu mengenali serangga gemuk ini?
Perilaku Luo Shiba agak tidak normal, benar-benar di luar dugaan. Menghadapi pertanyaanku, Luo Shiba bersuara dingin: "Kau pikir aku ini dewa yang mahatahu? Siklus reinkarnasi, kau kira ini mainan anak kecil? Kau sama sekali tidak mengerti! Ketika kau benar-benar menjadi seperti aku nanti, barulah tahu semua kebenaran ini — semoga saja kau tidak berakhir seperti mereka, menjadi boneka daging dan darah tanpa pikiran!"
Saat berbicara, ia melambaikan tangan. Altar tiba-tiba bergetar dan seluruh pemandangan mulai berubah samar-samar seolah ilusi. Pada detik berikutnya, semua mayat di lantai termasuk genangan darah dan serpihan daging lenyap. Bersamaan dengan itu, patung-patung batu muncul kembali di sekitar altar di tengah kepulan asap hitam, sama persis seperti sebelumnya tanpa perbedaan.
Setelah menyelesaikan semua ini, Luo Shiba baru berbicara datar: "Warisan Raja bukanlah kekuatan, melainkan harta pengetahuan yang terakumulasi selama ribuan tahun. Ini semua di luar pemahamanmu. Altar di ruang kosong ini selain untuk komunikasi langsung dengan Langit, lebih merupakan sangkar besi. Untuk menerobos sangkar ini dan merebut kendali darimu, dibutuhkan kemampuan luar biasa dengan konsumsi energi besar. Kalau bukan karena beberapa kali kudeteksi ancaman kematian, kau kira aku akan menyelamatkanmu?"
Kurasakan ada sesuatu yang tersembunyi dalam perkataan Luo Shiba, tapi tak berani menggali lebih dalam. Kutanyakan keraguan yang mengganjal di hati: "Leluhur, sebenarnya di manakah tempat ini? Apakah ini Istana Naga Dongting?"
Fakta bahwa Luo Shiba tewas di Istana Naga Dongting saat mencari cara mengendalikan Jin Can Gu telah lama dikonfirmasi. Karena itulah kuduga tempat ini mungkin merupakan bagian bawah tanah Istana Naga Dongting. Adapun alasan kenapa aku bisa sampai ke sini dari kampung halaman, masih perlu penyelidikan lebih lanjut.
Namun Luo Shiba memandangiku seperti melihat monster, tertawa terbahak-bahak. Aku tak mengerti dan bertanya: "Kenapa? Bukankah begitu?" Luo Shiba mengusap dagunya berkata: "Yelang kuno memiliki lima kuil besar: timur, selatan, barat, utara, dan tengah. Setiap kali kau mengunjungi satu kuil, energi Jingyan akan menyatu dengan tubuhmu. Ketika kau mengumpulkan lima aura berbeda ini, ditambah dengan bahan katalis yang kutinggalkan dulu, maka delapan belas siklus reinkarnasi dalam jiwamu - termasuk aku - akan terbangunkan. Ini juga akan membangun kembali kuil persembahan jiwa tempat Raja Yelang dulu berkomunikasi langsung dengan para dewa. Dan tempatmu sekarang ini adalah kuil jiwa tersebut..."
"Bahan katalismu?" Mendengar pengakuan Luo Shiba, amarahku meluap. Kutunjuk dia sambil berteriak: "Jadi orangtuaku yang digantung di balok penyangga itu ulahmu?!"
Luo Shiba merasakan kemarahanku, tapi hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala. Tanpa penjelasan lebih lanjut, dia langsung melompat dari Menara Yanci dan menggosok-gosokkan tangannya: "Lupakan dulu ini. Pewarisku, menurut ritual, kau harus mengalahkanku dulu agar bisa menghindari nasib jatuh ke jurang. Ayo, penerusku!"
