Si nona botak cantik ini tak lain adalah Xiao Heitian. Kami sudah tak asing lagi dengannya - baik di gua Myanmar utara maupun hutan pinggiran dunia Yin-Yang, kami pernah bentrok. Tapi setiap pertemuan, kami selalu lebih kuat dari sebelumnya, jadi kedatangannya kali ini tak terlalu membuat kami takut.
Awalnya aku khawatir gerbang darah itu akan memuntahkan ratusan Xiao Heitian. Tapi tidak. Xiao Heitian yang terbungkus dedaunan ini, seperti Mara, Apituo, atau Raja Iblis Nie Asuo yang memiliki racun api, adalah makhluk berepitet tinggi yang hanya ada satu di dunia. Begitu keluar, matanya menyapu sekeliling sebelum akhirnya terpaku pada Chi Limei.
Sesama jenis saling tolak, juga saling membenci, mungkin karena alasan inilah Xiao Heitian tidak menemukan aku atau lawan lama seperti Taoist Wuchen, melainkan langsung melompat dan berlari kencang menuju Chi Limei di sini.
Di belakangnya, berjejer prajurit setinggi dua meter lebih yang mengenakan helm tulang kelabu. Disebut prajurit karena berbeda dengan binatang buas yang sebelumnya asal menggerogoti, para pendatang baru ini tidak hanya memiliki penampilan mirip manusia tapi juga disiplin layaknya tentara. Mereka maju berpasangan, ada yang membawa tombak panjang, pedang-perisai, serta kapak besar pengawas formasi. Setiap 100 orang diikuti seorang jenderal yang menunggang kuda iblis raksasa dengan zirah hitam legam mengkilap, bagaikan kavaleri berat abad pertengahan.
Xiao Heitian mengabaikan pasukan iblis di belakangnya dan bertarung sengit dengan Chi Limei. Keduanya, satu memiliki pesona siluman angker non-manusia, satunya lagi keindahan dewa yang lepas dari dunia fana, sama-sama bintang langit langka. Pertarungan jarak dekat mereka penuh warna-warni seperti pemandangan indah.
Aku memahami gaya bertarung Xiao Heitian. Dia tidak memiliki senjata karena setiap bagian tubuhnya bisa berubah menjadi senjata. Meski secara visual terlihat seperti gadis cantik luar biasa, pada hakikatnya dia sangat berbeda dengan manusia. Pernah kulihat dia memakan manusia hidup-hidup. Mungkin dalam pandangannya, manusia hanyalah sebuah makanan, sama seperti cara kita memandang ayam bebek atau babi gemuk - dingin tanpa ampun. Namun sebagai lawannya, Chi Limei yang selalu terendam dalam kolam serangga itu justru memancarkan citra misterius yang ekstrem. Kini setelah bereinkarnasi, tubuhnya tak kalah kokoh dibanding badan Xiao Heitian yang bagaikan besi baja.
Keduanya saling pukul-memukul dengan keras. Pertarungan mereka begitu sengit sampai si berbulu tak sadar mimisan menonton adegan itu.
Selain memiliki kekuatan fisik setara Xiao Heitian, Chi Limei juga ahli Gu tingkat atas dengan pengalaman seratus tahun. Sejak awal abad lalu, wanita lemah ini telah menjelajah dari selatan, menaklukkan 36 gua dari Yunnan Selatan ke Sichuan Barat hingga perbatasan Hunan-Guizhou di aliran Sungai Jernih. Meski akhirnya dikalahkan Luo Shiba, prestasinya tetap mengagumkan. Setelah berlatih selama seabad, pemahamannya tentang racun Gu sudah mencapai level tertinggi di dunia. Selama bertarung, dia terus melepaskan racun Gu dengan teknik eksklusifnya.
Bubuk obat berwarna merah, kuning, merah muda, atau hijau dengan tingkat racun yang berbeda-beda. Tubuh Xiao Heitian terkadang terbakar api berkobar, terkadang diselimuti embun beku, sesaat kaku seperti mayat pucat, lalu tiba-tiba dipenuhi serangga merayap. Namun semua ini tak mampu menghalangi sedikitpun daya ledaknya, membuat pertarungan mereka terus berlanjut.
Baik Chi Limei maupun Xiao Heitian sama-sama MAHIR kelas atas. Namun dari interaksi pertarungan, sepertinya Xiao Heitian bukanlah tandingan Chi Limei. Hatiku sedikit tenang, namun perhatianku harus beralih dari pertarungan yang memukau ini.
Ini bukan sandiwara pertarungan satu lawan satu, melainkan PERANG - dimana darah terus mengalir setiap detik, baik dari musuh maupun kawan. Nyawa melayang setiap saat. Manusia Kerdil, Monyet Neraka Naihe, dan makhluk centaur sebelumnya hanyalah lauk pengantar nasi, atau mungkin pasukan tak resmi. Saat pasukan reguler dari jurang bergerak, tekanan yang dirasakan semua orang langsung meledak. Yang pertama terkena imbas adalah Formasi Sendok Emas Tak Bocor yang dibentuk sepuluh tetua Taoist Wuchen. Para tetua ini mengerahkan nyawa tua mereka, namun tetap terpaksa mundur. Pedang patah bendera robek, suasana seketika porak-poranda. Sekitar seratus orang di sekitar tewas, korban luka lebih banyak lagi. Hampir semua terluka, kecuali beberapa petugas koordinasi di belakang.
Aku juga terluka, rusuk kiri terkena pukulan tombak tulang sepanjang dua meter dari jenderal iblis yang mengendarai binatang buas seperti raptor pendek. Meski berhasil menghindari tusukan penuh tenaganya, tapi pukulan samping ini membuatku sulit bernapas.
Sebelumnya, Pedang Hantuku telah menyayat tenggorokan lebih dari 20 prajurit iblis berbaju zirah tulang. Plasma biru mereka menyiram hamparan salju di bawah kaki, menciptakan asap hitam yang bergulung-gulung seperti ombak.
Jenderal iblis yang melukaiku itu tak berakhir baik. Long Ge yang selalu berjaga di sampingku melesat ke udara dengan amarah balas dendam. Pedang panjangnya mengarah ke naga, pedang pendeknya ke jenderal. Setelah pertarungan singkat nan rumit, saat dia mendarat, dua kepala besar berguling di salju bersamanya.
Pertempuran kini memasuki fase kacau balau. Garis pertahanan kami jebol. Pasukan iblis berhamburan dari celah-celah, menyusup ke belakang garis kami. Situasi jadi saling menyusup antara kita dan musuh. Pertempuran berantakan semakin menjadi saat jumlah musuh terus bertambah, hingga akhirnya kami terkepung rapat.
Di titik ini, kusadari pertempuran tanpa akhir ini tak mungkin kami menangkan. Sehebat apapun kami bertarung, gelombang pasukan musuh pasti akan menenggelamkan kami. Dengan rekan-rekan yang terus berguguran dan musuh mengelilingi dari segala penjuru, kami benar-benar berada di ambang kekalahan.
"Mundur! Selama gunung hijau masih ada, tak perlu khawatir tak ada kayu bakar." Si Berbulu bekerja sama dengan Luo Feiyu menjatuhkan seekor jenderal iblis dari kudanya, memenggal kepalanya, lalu berteriak ke arahku. Saat itu, punggungnya terluka parah berdarah, tapi setelah menahan energi vital, lukanya berhenti mengucur. Aku menoleh ke Formasi Sepuluh Sesepuh di pusat badai. Meski ingin mengungsi, aku masih berhasrat memberi perlindungan pada para tetua itu, terutama Taoist Wuchen. Aku dan si kakek gila itu punya ikatan sehidup semati di alam baka.
Persis saat aku melirik ke sana, si nenek kurcaci bernama Kunlun Xiaotonglao akhirnya tak bertahan. Dihadang jenderal iblis setinggi tiga meter, tongkat bergeriginya mengayun deras - kepala sang nenek remuk berantakan. Otak putih dan darah merah menyembur membasahi tanah.
Dengan gugurnya satu orang, Formasi Sendok Emas Tanpa Celah mulai goyah. Dua orang lagi segera diterjang pasukan iblis yang mengerubungi, langsung digerogoti tenggorokannya. Dalam hitungan detik, tubuh mereka tersapu masuk ke perut iblis-iblis itu.
Para sesepuh yang seumur hidupnya pahlawan ini tak tahan menyaksikan nasib mengenaskan kawan-kawannya. Mereka nekat menyerbu, membantai iblis-iblis yang sedang asyik melahap. Tapi tindakan itu justru memperlebar celah formasi, menyebabkan dua tetua lagi tumbang di hamparan salju yang sudah terinjak-injak jadi lumpur, jiwa pahlawannya sirna ditelan angin.
Melihat para Sesepuh yang selama ini menjadi tulang punggung tiba-tiba berkurang lebih dari separuh, hati aku serasa terkoyak. Sebelumnya bukan tak pernah menyaksikan pengorbanan, entah itu Pak Ouyang Zhijian di masa lampau, atau Pendekar Sabre Karakter Tunggal yang gugur dengan gagah berani di Markas Besar Iblis. Kematian mereka penuh keheroikan dan mengharukan. Namun kini para ahli ternama se-dunia ini justru tewas dengan cara seperti ini, sunyi senyap tanpa gema.
Memikirkan ini, darahku tiba-tiba mendidih sampai ke antara alis. Entah kenapa, dengan gila-gilaan aku memukul-mukul perutku sambil berteriak kencang: "Tuan Jin Can Gu, mohon muncul!"
Teriakan ini tak membangunkan si cacing gemuk, malah membuat perutku sakit tajam bagai usus yang putus. Kegilaanku semakin menjadi, dengan cara melukai diri sendiri secara bertubi-tubi, aku berusaha membangunkan si cacing gemuk. Saat teriakan keenam, kesadaran raksasa akhirnya bangkit.
Persis ketika Taoist Wuchen tertawa terbahak-bahak sambil dikeroyok lima Jenderal Iblis ganas, aku merasa dari anus sampai mulutku menyambung menjadi garis lurus, sementara lambung terasa kosong.
Seberkas garis emas menyembur dari mulutku melesat ke arah Taoist Wuchen. Detik berikutnya, lima Jenderal Iblis beserta Naga Kerdil di bawah pantat mereka roboh bersamaan, tubuhnya berubah menjadi ribuan serangga kecil yang menggeliat-geliat.
Setelah siuman, cacing gemuk menjelma menjadi garis emas yang kemudian melilit menjadi benang kusut. Namun dengan kekuatan seperti ini, ia berhasil menghalau seluruh pasukan iblis yang menyerbu. Setiap yang berani melangkah ke area cahaya keemasan ini, semuanya tumbang di tanah berlumpur. Racun Gu kali ini sepuluh bahkan ratus kali lebih ganas dibanding yang digunakan Chi Limei sebelumnya.
Dulu Luo Shiba pernah berkata pada Chi Limei: "Begitu Jin Can Gu nasib dasarku selesai dipersiapkan, 36 gua Miao tak akan terkalahkan di dunia." Perkataannya ini ternyata bukan sekadar omong kosong.
Saat cacing gemuk menunjukkan kekuatannya untuk melindungi mundurnya Taoist Wuchen dan yang lain, Chi Limei akhirnya menghentikan perkelahiannya dengan Xiao Heitian. Ia muncul di belakang nona cantik botak itu, merobek dedaunan yang menutupi tubuhnya, lalu menggambar formasi Fu di punggung mulus Xiao Heitian menggunakan bubuk obat.
Saat goresan terakhir selesai, Chi Limei melantunkan mantra dan menekan lembut—Boom—
Xiao Heitian berubah menjadi kembang api yang melesat ke langit. Api hitam yang tak terhitung jumlahnya menggerogoti tubuhnya—otot terbakar dulu, lalu tulang. Baru setelah semuanya menjadi debu beterbangan, nyala api itu dengan enggan menyebar menghilang.
Dan di saat kritis ini, tiba-tiba muncul cahaya berwarna-warni di langit. Cahaya ini mengambang beberapa saat sebelum akhirnya terkumpul di atas kepala kami, lalu membentuk pintu cahaya kecil. Kemudian pintu itu terbuka, seorang kakek tua berjanggut uban merayap dari arah sana dan terjatuh ke tumpukan salju di depan kami. Dengan susah payah bangkit, ia melirik ke sekeliling lalu tertawa canggung ke arah kami: "Bagus, bagus! Tidak terlambat datang, bagus sekali!"
