"Nyonya Abi, saya dan Lili kecil mau ke kota nonton komedi. Ibu ikut juga?" Eileen mengangkat potongan besar daging kima dari keranjang untuk dijemur di luar kastil.
Doson yang kemarin makan banyak daging kima tidak hanya baik-baik saja, tapi malah semakin bertenaga.
Jadi daging kima memang bisa dimakan.
“Ya Tuhan! Mengapa Tuan begitu dermawan sampai memberi kalian libur.” Nyonya Abi sibuk merapikan berbagai bumbu di kompor, “Jika kalian mencintai pekerjaan sebagai pelayan wanita, seharusnya kalian tetap di dapur. Setiap hari selalu ada segudang urusan yang harus dikerjakan.”
“Tuan Carter bilang, Tuan sudah memesan bahwa makan siang hanya perlu satu steak goreng. Sedangkan kita pelayan bisa makan kacang dan roti, jadi tidak perlu banyak pekerjaan.” Lili kecil juga sedang memindahkan daging kima.
Satu kima beratnya lebih dari 500. Setelah cangkang 300 dibuang, masih tersisa daging lebih dari 200.
“Tuan Carter sama seperti Tuan, selalu memanjakan pelayan muda seperti kalian yang tidak bekerja dengan hati nurani. Ini bukanlah belas kasihan yang pantas dimiliki oleh kepala pelayan yang kompeten. Saat aku muda, dapur selalu sibuk sepanjang hari tanpa henti. Itulah sikap kerja yang seharusnya dimiliki pelayan dapur.”
“Ahem.”
Dari pintu terdengar batuk Carter. Tanpa disadarinya, pria itu sudah datang: “Meski aku bisa memahami keseriusan Nyonya Abi terhadap pekerjaan, tapi jangan selalu menegangkan tubuh. Pergilah jalan-jalan ke kota bersama para pemuda. Jarang-jarang ada kafilah dagang datang.”
“Maaf Tuan Carter, aku tidak bermaksud menghina Anda.” Nyonya Abi merasa agak malu. Baru saja membicarakan keburukan orang di belakang, langsung ketahuan.
“Tidak apa-apa. Faktanya, kau menyebutku penyayang, aku anggap itu pujian untukku. Pergilah bersama Eileen dan Lili kecil, tontonlah badut lucu di kota. Memikirkan mereka saja sudah membuatku ingin tertawa.”
"Tidak boleh begini, aku harus menyiapkan makan siang untuk Tuan."
"Kalau begitu harus kembali sebelum pukul sebelas, sekarang jam sembilan, masih ada waktu dua jam untuk jalan-jalan."
"Aku..."
Sebelum Nyonya Abi sempat menolak, Carter langsung memotongnya: "Anggap saja ini misi pekerjaan yang kuberikan padamu, bersenang-senanglah selama dua jam."
"Haha, Tuan Carter memang hebat." Eileen gembira menarik lengan Nyonya Abi, "Ayo, Nyonya Abi, aku tidak sabar melihat badut."
Lili kecil menarik lengan satunya Nyonya Abi: "Iya iya, ayo pergi!"
Nyonya Abi akhirnya setengah dipaksa keluar: "Aku tidak ingin jalan-jalan, tapi lebih baik aku mengawasi kalian berdua, jangan sampai kalian terlalu asyik bermain dan lupa kembali bekerja... Tunggu dulu, aku harus berganti pakaian dulu, berpakaian seperti ini tidak pantas keluar, bisa merusak martabat kastil."
Carter melihat keriangan tiga perempuan itu dengan senyum mengembang di sudut mulutnya.
Dibandingkan bekerja di vila kastil Pangeran, kastil di kota kecil ini lebih sibuk, tapi hidup lebih meriah. Semangat muda para pemuda membuatnya merasakan energi misterius dalam tubuhnya, seolah-olah menjadi lebih muda dari tahun lalu.
Mendengar suara langkah kaki.
Dia menoleh dan melihat Nyonya Mosen: "Apakah Maisie dan yang lain sudah pergi ke kota untuk jalan-jalan?"
"Ya, bersama Tom dan Thomas mereka pergi bersama. Tuan Carter, tidak ikut serta?"
“Nyonya Abi dan Eileen、Lili kecil sedang berganti pakaian, sebentar lagi akan pergi ke kota kecil untuk menonton pertunjukan komedi. Menurutku kamu sebaiknya ikut bersama mereka. Soal kastil, aku akan tinggal untuk melayani Tuan. Kamu tahu, bahkan Thomas sudah pergi, Tuan pasti membutuhkan pelayan pria untuk menyajikan air minum.”
“Kalau begitu aku juga akan tinggal. Jika ada urusan, kamu bisa memanggilku.”
“Yakin tidak mau ikut meramaikan suasana?”
“Sudah tua renta, menghindari keramaian saja tidak sempat, mana mungkin ingin ikut-ikutan.”
“Jangan bicara begitu, Nyonya Mosen. Aku merasa semakin bertahan hidup semakin muda.” Carter membusungkan dada, berusaha terlihat lebih bersemangat.
“Ya, Carter yang muda belia.”
……
"Annie, tomat sudah terjual lebih dari setengah?" John*Pikulan mendekati stan miliknya.
Stan terletak di sisi barat daya kota kecil. Area ini telah dibersihkan menjadi lapangan datar yang luas. Kafilah dagang yang datang ke kota kecil semuanya diatur berjualan di sini, melakukan transaksi dan perdagangan.
Di luar masih ada beberapa toilet kayu.
Pasukan patroli dan pegawai administrasi kota berteriak berulang kali: "Tuan Lord menetapkan, semua orang dilarang buang air sembarangan! Pelanggar akan didenda dan dihukum cambuk! Untuk ke toilet, ikuti petunjuk panah ke toilet luar. Lingkaran di bawah dengan panah ke atas (♂) adalah tanda toilet pria, lingkaran di atas dengan tanda salib di bawah (♀) adalah tanda toilet wanita, jangan sampai keliru!"
John sudah lama terbiasa dengan peraturan ini.
Dia sudah lama tidak buang air besar di jalanan, di rumah sudah disiapkan ember kotoran, semua tahi dan air seni yang dikeluarkan disimpan. Setelah difermentasi, langsung digunakan untuk memupuk kebun tomat——ini adalah sihir bercocok tanam yang diajarkan Tuan Lord, petani yang menggunakan pupuk sihir ini panennya bisa meningkat 20-30%!
Sebelumnya pejabat kota kecil juga mengorganisir akuisisi kotoran.
Sekarang sudah tidak bisa dikumpulkan lagi, setiap rumah tangga menyimpan kotorannya sendiri untuk memupuk sawah mereka. Setelah panen, Tuan Lord yang murah hati dan penuh belas kasih hanya memungut pajak sesuai rasio, tidak seperti Ksatria Pajak dulu yang ingin menyita semua hasil panen budak tani.
Sejak kedatangan Tuan Lord, John merasakan bukan hanya dirinya sendiri, tapi juga tetangga sekitar mengalami perubahan drastis ke arah yang lebih baik.
Tentu saja, dialah yang paling beruntung.
Karena Tuan Lord memberinya hadiah satu Nardas akibat ulat tomat yang muncul di tanaman tomatnya!
"John, kamu tidak pergi kerja di tim konstruksi hari ini?" tanya Anne penasaran pada suaminya. Sekarang pekerjaan pertanian tidak banyak, suaminya bekerja serabutan di tim konstruksi dengan gaji satu keping tembaga per hari.
"Tim konstruksi libur, tidak ada yang mau kerja hari ini. Mereka semua datang ke sini... Distrik Komersial." John menunjuk ke kejauhan, "Lihat, Wenger juga membawa anak laki-lakinya jalan-jalan."
"Baiklah, kamu pergi tonton pertunjukan lawak saja. Aku habis jual tomat mau ikut nonton pertunjukan lawak juga, sudah lama tidak melihat."
"John tidak pergi, malah berkata: 'Ngomong-ngomong Anne, tadi aku lewat sana lihat ada yang jual anak kucing. Aku mau beli satu. Kamu tahu kan, sejak kita punya persediaan makanan, tikus mulai merajalela. Pencuri kotor ini selalu mencuri makan kita!'"
"'Benarkah? Ada orang jual anak kucing? Kalau gitu tunggu di sini ya. Habis aku jual tomat, kita pergi bersama beli anak kucing. Harus pilih yang paling jago tangkap tikus!'"
"Setelah ragu sebentar, John menambahkan: 'Sebenarnya aku juga ingin beli seekor kuda muda. Aku mau Jack kecil bisa belajar naik kuda sejak dini. Dengan begitu dia bisa lebih cepat jadi ksatria pengawal Tuan Lord.'"
"'Ya ampun John! Kamu tahu harga seekor kuda muda berapa?'"
"'Lima puluh koin perak! Tapi Anne, itu kuda muda!' John berusaha meyakinkan dengan penuh harap. 'Kalau lewatkan kesempatan ini, entah kapan lagi kita bisa punya kuda. Aku rela menanam tomat seumur hidup untuk Tuan Lord, tapi Jack kecil tidak suka. Dia ingin jadi ksatria pengawal.'"
"'Tapi John, kamu harus paham. Lima puluh koin perak masih bisa kita bayar. Tapi kuda muda perlu makan banyak setiap hari. Satu kuda bisa habiskan makanan untuk beberapa orang. Apa kita sanggup menanggung hidupnya?'"
"'Aku sanggup!'"
John menatap dengan sorot mata penuh keyakinan: "Kebun tomat di rumah ini yang terbaik, selalu memberi penghasilan stabil. Aku juga bisa kerja kasar. Sudah kutanya pengurus tim bangunan, asisten Yang Mulia Yesaya. Katanya, pekerjaan di kota kecil ini akan makin banyak. Tuan Lord punya ambisi besar untuk membangun kota ini. Asal aku terus kerja kasar, kita bisa menanggung hidup anak kuda!"
"Kamu serius, John?"
"Tentu, percayalah, Anne."
Anne memandang sorot mata suaminya yang teguh, akhirnya tak tegas menolak: "Baiklah, tapi kau harus janji, kita tak akan diseret ke liang kubur oleh anak kuda itu, ya?"
"Aku janji!"
