"Ini apa?" Li Weis mengambil mutiara hitam, menimbangnya di telapak tangan, "Ada energi sihir di dalamnya? Sepertinya ada properti air."
"Memang ada energi sihir, ini adalah mutiara."
“Mutiara?” Li Weis menggelengkan kepala, “Jangan kira aku belum pernah melihat mutiara. Perhiasan mutiara yang kukirim melalui tanganku sendiri, jumlahnya tidak sedikit. Danau Tenang di Pulau Naga Biru, pernah kujelajahi dengan kapal. Bahkan dengan tanganku sendiri menggali mutiara dari kerang mutiara, warnanya putih, dan tidak sebesar ini.”
“Ini mutiara hitam, digali dari jenis kerang kima yang berbeda.”
“Kerang kima? Lagi-lagi produksi Kota Bunga?” Li Weis menangkap poin penting, hasil produksi Kota Bunga memang terlalu melimpah.
“Faktanya ombak membawa jenazah cumi-cumi raksasa. Di dalam jenazah itu ada kerang kima, dari kerang kima digali mutiara hitam. Kakak, terlepas dari apakah ini mutiara atau bukan, menurutmu berapa nilainya? Harta sihir properti air ini, dibanding mutiara putih biasa, jauh lebih berharga.”
“Kau mau memberikannya padaku?”
“Jangan serakah, hadiah ulang tahun sudah kuberikan. Mutiara hitam ini adalah harta pribadi yang selalu kubawa. Ia membantuku meredakan kecemasan – efeknya puluhan kali lipat dari mutiara putih. Aku ingin bertanya, apakah kau berminat membelinya? Ingat, energi tempurku elemen api, sedangkan kau energi tempur elemen air.”
“Benar juga, dibanding mutiara putih, mutiara hitam terasa lebih nyaman bagiku. Berapa koin emas yang kau minta? Di pasaran, mutiara putih seukuran ini harganya sekitar beberapa koin emas. Aku tawarkan 10 koin emas, setuju?”
“10 koin terlalu sedikit.”
“Tidak sedikit, Li Weis. Sehebat apapun efek penenangnya, ini tetap hanya aksesori.”
"Mungkin Penyihir baik bisa mengubahnya menjadi perlengkapan magis. Itu memiliki penyimpanan energi sihir yang bagus, cocok untuk membuat perlengkapan magis. Kota Bunga-ku tidak ada penyihir, tapi aku yakin Kakak pasti punya hubungan dengan penyihir. Kenapa tidak minta bantuan penyihir untuk membuat perlengkapan magis untukmu."
Li Weis menggelengkan kepala: "Jika energi sihirnya lebih kaya, memang bisa dibuat perlengkapan magis. Tapi energinya masih kurang, sulit membuat perlengkapan magis yang efektif."
"Ahem, sebenarnya..."
Liszt akhirnya mengungkapkan tujuan sebenarnya. Dia membuat gerakan melingkar seukuran mangkuk laut dengan tangannya: "Aku punya mutiara hitam sebesar ini, di dalamnya terkandung energi sihir yang melimpah, sangat cocok untuk perlengkapan magis. Energi sihir dengan atribut air ini alami cocok untuk Kakak."
"Mutiara hitam lebih besar? Sebesar ini?" Li Weis mulai kehilangan ketenangannya.
Mutiara hitam sebesar tinju memang langka, tapi paling hanya jadi perhiasan unik. Mutiara hitam sebesar mangkuk laut benar-benar berbeda. Jika benar ada mutiara hitam sebesar itu ditambah energi sihir pekat, pasti jadi bahan bagus untuk perlengkapan magis. Para penyihir pasti akan membayar mahal untuk meneliti barang langka ini.
"Lima ratus koin emas, mutiara hitamnya aku jual padamu."
"Aku ingin lihat dulu mutiaranya."
"Baik."
Liszt memanggil pelayan pribadinya Thomas, menyuruhnya mengambil mutiara hitam besar seukuran mangkuk dari Markus. Beberapa saat kemudian, mutiara hitam raksasa dengan bentuk bulat yang agak tidak beraturan itu tergeletak di atas meja ruang perpustakaan.
Mengelus-elus mutiara hitam raksasa itu.
Matanya Li Weis terus berbinar-binar.
Dibandingkan Liszt yang kurang pengalaman, dia lebih memahami nilai harta seperti ini. Maka dia menawar: "Seratus koin emas, aku beli ini. Meski energi sihirnya kuat, benda baru ini belum tentu punya nilai ekonomis. Aku tak mau ambil risiko membeli barang tak berguna."
Ucapannya masuk akal.
Liszt pun tak berani memastikan apakah mutiara hitam benar-benar bisa dibuat menjadi perlengkapan magis.
Tawar-menawar tetap dilakukan. Setelah beberapa kali negosiasi, akhirnya mutiara hitam itu terjual seharga 280 koin emas. Mutiara hitam sebesar kepalan tangan di tangannya juga ikut dihitung sebagai barang tambahan dalam transaksi.
Setelah transaksi.
Sambil menghitung koin emas dengan puas, Liszt tersenyum: "Kakak, kabari aku setelah perlengkapan magisnya selesai. Aku ingin lihat fungsinya... Ini juga pertama kalinya aku kontak dengan mutiara hitam." Setelah fungsi jelas, sisa mutiara baru bisa dihitung nilai sebenarnya.
"Tidak masalah."
Saat bersiap meninggalkan ruang perpustakaan.
Liszt teringat sesuatu: "Ngomong-ngomong Kakak, apa Kastil Tulip baru-baru ini membeli buku baru?"
“Tidak sama sekali, kapan kamu jadi suka membaca? Aku lebih suka minum sampai subuh daripada duduk di ruang perpustakaan, melihat tulisan-tulisan yang membuat pusing itu.”
“Buku-buku menyimpan banyak pengetahuan menarik.”
“Pengetahuan?” Li Weis tertawa getir, “Liszt, kamu mau beralih profesi jadi Penyihir baik? Ini bukan ide bagus. Aku sering berurusan dengan para penyihir itu, mereka semua orang gila dengan tingkah aneh, mulut mereka penuh kata pengetahuan dan eksplorasi. Kejayaan ksatria hanya bisa direbut dari atas punggung kuda!”
Liszt bergegas keluar dari ruang perpustakaan.
Dalam buku ada rumah emas, dalam buku ada kecantikan. Sebagai Orang Berbudaya, dia tak ingin berdebat level rendah.
……
Kerja sama sudah dipastikan.
Liszt berpamitan pada Li Weis, meninggalkan Kastil Tulip.
Tapi dia tidak langsung pulang. Melalui jalan kecil, dia menuju kastil terpisah di samping Kota Karang – kediaman Nyonya Penelope. Datang ke Kota Karang, dia harus menjenguk neneknya.
Dinding kastil dipenuhi tanaman rambat.
Menambah nuansa kuno yang misterius, serta kesan seram yang tak terdefinisi.
Di lantai dua kastil terdapat panggung luas, dipenuhi bunga dan tanaman. Hidup Nyonya Penelope selain pergaulan bangsawan, sebagian besar dihabiskan untuk merawat tanaman ini.
Sambil menyiram bunga, obrolan pun mengalir: “Cepat sekali keluar dari kastil. Li Weis tidak mengajakmu lanjut merayakan di makan malam?”
“Kutolak. Masih banyak urusan di Kota Bunga yang membutuhkanku.”
"Seorang tuan tanah yang kompeten selalu membuat dirinya sibuk. Ketika seseorang sibuk, mereka akan merasa hidup bermakna, secara efektif mencegah kerusakan moral. Ayahmu sejak kecil selalu mengikuti kakekmu, sibuk sepanjang hari. Karena itulah dia bisa menjadi Count sebelum usia 30 tahun."
Nyonya Penelope berbalik badan sambil terus menyiram bunga: "Sayangnya sejak menikahi dua istri yang merepotkan, dia tak pernah bisa naik pangkat lagi... Kuharap kakakmu bisa sadar diri. Tapi si kecil itu juga bodoh. Putri bungsu Marquis Roderick benar-benar merepotkan."
Marquis Roderick, salah satu dari tujuh Marquis di Kadipaten Agung, menjabat sebagai Wakil Komandan Kavaleri Darah Biru.
Pantas saja Li Weis masih lajang, rupanya tertarik pada putri Marquis.
"Kakak sepupu Meio Bo sangat mencintai sang putri kecil. Kakakku juga menyimpan perasaan pada putri Marquis Roderick. Tampaknya semua punya ambisi."
"Kamu juga sama."
"Aku?"
"Jangan kira aku tua jadi tak dengar kabarmu. Athena*Salmon, bukan? Menurut Li Weila, dia gadis manis yang sangat mengagumimu. Tapi kau tolak dia? Padahal dia putri Viscount. Meski keluarga penjual ikan itu vulgar, tapi dengan koin emas mereka tetap bisa makan roti putih, bukan?"
"Heh."
Liszt tak ingin berkomentar lebih jauh.
Nyonya Penelope terus mengoceh tentang topik "pemuda tak tahu diri" semacam itu, tapi segera ia mengalihkan perhatian ke pot bunganya.
"Oh, Lian yang penyayang, nightshade-ku benar-benar akan mati!"
