Liszt fokus mengawasi pembangunan villa pemandangan laut, bahkan pelatihan anjing dilakukan di tepi pantai.
Hanya ketika Kakak Li Weila datang, dia menyambut lalu dengan berat hati memotong sedikit kulit ular untuk dibuatkan zirah kulit, dijual seharga 50 koin emas.
Harga yang setara dengan setengah hadiah.
Berhasil mendapatkan kulit Warcraft laut tingkat menengah untuk zirah kulit, Li Weila pergi dengan riang gembira.
Dia melanjutkan pengawasan pembangunan villa pemandangan laut, struktur dua lantai. Pembangunan rumah batu dan pondok kayu berjalan sangat cepat. Harus diakui efek karet benar-benar luar biasa. Jommar* yang telah dinaikkan status menjadi satu-satunya arsitek Pulau Kuda Hitam, bekerja sepenuh hati memutar otak untuk merealisasikan "lubang otak" Liszt.
Liszt bukan arsitek, jadi sama sekali tidak mempertimbangkan prinsip mekanika struktur.
Jommar harus mempertimbangkan dengan cermat penempatan setiap dinding, apakah mampu menahan beban lantai teratas - untungnya ini hanya villa kecil dua lantai.
Selain itu ada jalan papan kayu layang yang membentang dari villa pemandangan laut hingga ke area yang tidak tergenang saat pasang.
Seluruhnya menggunakan duri kayu besi yang tahan terhadap melepuh dan erosi, direkatkan dengan lem karet, tergantung di atas pantai - bisa disebut sebagai jembatan sepanjang ratusan meter.
Memandangi villa pemandangan laut yang sedikit demi sedikit terbentuk, di hati Liszt terpampang beberapa tulisan: "Punya uang, bisa semaunya."
Villa semacam ini membutuhkan sumber daya manusia dan material yang jelas-jelas tak terjangkau bagi bangsawan biasa. Hanya Liszt dengan wilayah kekuasaannya yang kaya hasil alam - karet, kayu besi, batu, pasir bisa dibilang gratis, sedangkan budak tani hanya dibayar satu dua keping tembaga per hari.
Lagipula menggunakan karet untuk membangun rumah adalah kemewahan yang berlebihan.
Barang bernilai strategis seperti ini seharusnya bukan untuk keperluan membangun jembatan, jalan, atau rumah.
Ketika villa pemandangan laut selesai dibangun sepenuhnya, waktu telah memasuki pertengahan April. Energi sihir dalam tubuh delapan anak kecil semakin penuh, siap melepaskan mantra kapan saja.
Kali ini dengan kehadiran ayah Doson sebagai contoh, tidak perlu lagi Liszt membimbing mereka melepaskan mantra.
Tapi pelatihan ketat tetap diperlukan untuk memastikan kepatuhan mutlak saat mereka melepaskan mantra.
"Badai, api, batu-batu yang keras, Ombak, secepat kilat, Cahaya, Es, Bayangan - berbaris rapi!" Liszt berdiri di pantai memimpin latihan baris-berbaris Blizzard Frost hari ini.
Delapan anak kecil segera berjejer rapi, mata penuh harap menatap Liszt.
Liszt sangat puas dengan kecepatan mereka membentuk formasi, sudah bisa berbaris sesuai urutan dalam waktu singkat.
"Seluruh pasukan, duduk!"
Delapan anak kecil langsung duduk menjulurkan lidah, menunggu perintah selanjutnya.
"Mulai dari Badai, hitung mundur!"
"Guk!"
"Guk!"
"Guk!"
"Wu... Wu..."
"Guk!"
"Guk!"
"Guk!"
"Guk!"
Tujuh Blizzard Frost mengeluarkan "Guk" yang tepat, tapi satu di antaranya malah melolong seperti serigala, membuat Liszt marah: "Ombak, maju ke depan!"
Ombak langsung menundukkan telinganya, melangkah keluar.
Dengan wajah dingin Liszt memberi perintah: "Berdiri di samping!"
Ombak tak berani melawan, hanya bisa lari ke pinggir pantai sambil menundukkan kepala dengan lesu. Ia memandangi Liszt yang membagikan satu dendeng ke masing-masing dari tujuh Blizzard Frost lainnya. Air liurnya menetes, tapi sama sekali tak berani protes karena itu akan mengundang hukuman lebih berat.
Di tempat yang lebih jauh, Doson tengah berjemur di atas pasir. Tupo bersandar mesra di sampingnya.
Kini Tupo sudah sepenuhnya jinak dan sesekali bisa diajak jalan-jalan. Sayangnya masa emas untuk melatihnya sudah terlewat. Kini ia tak bisa lagi menerima instruksi, hanya bisa ditarik jalan tanpa menyakiti orang——atau lebih tepatnya, ia hanya alat pembiakan bagi Doson.
Anjing serigala besar di kandang anjing sudah mengalami isolasi reproduksi dengan Doson.
Tupo adalah harapan terakhir, tapi sepertinya dia juga sudah terisolasi secara reproduksi. Setelah melahirkan delapan anak kecil, beberapa kali dikawinkan lagi dengan Doson, tapi perutnya tetap tak menunjukkan tanda kehamilan.
Jika ingin terus membudidayakan Blizzard Frost...
Mungkin harus melanggar etika dengan melakukan perkawinan sedarah——menjodohkan delapan anak kecil (lima jantan tiga betina) satu sama lain, atau melibatkan Doson dalam prosesnya.
Di Bumi, banyak anjing ras murni dikembangbiakkan dengan cara kawin sedarah - anak jantan dikawinkan dengan induk betina, anak betina dengan induk jantan, kakak beradik, atau kakek dengan cucu perempuan, demi menjaga kemurnian varietas keturunan. Liszt pernah menonton dokumenter tentang hal ini, sebagian besar anjing ras murni memiliki masalah kesehatan serius.
Karena itu sejak awal, Liszt sama sekali tidak berniat melakukan perkawinan sedarah.
Anjing serigala di kandang pelatihan digunakan sebagai sarana pelampiasan nafsu hewani, mengenai isolasi reproduksi, mungkin akan ada cara untuk mengatasinya di kemudian hari.
Dua jam setelah pelatihan.
Ia membubarkan Delapan Anak Kecil, para pelayan pria di belakangnya masing-masing menarik dua ekor Blizzard Frost kembali ke kastil, mengikatnya kembali ke sarang anjing.
Tupo juga dibawa pergi, penjara anjing telah dibongkar, ia memiliki sarang baru yang terpisah.
Hanya Doson yang diizinkan tetap mengikuti Liszt, kepatuhan terhadap perintah tertanam dalam ingatannya, ia tidak pernah sembarangan menyakiti orang sehingga jarang lagi diikat dengan rantai.
Menyusuri jalan papan kayu tinggi, Liszt langsung menuju villa pemandangan laut.
Di kursi goyang pondok lantai dua, Sirene Ake sedang asyik membaca sebuah buku sihir, baru mengangkat kepala saat mendengar suara, tersenyum manis: "Kakak, kamu datang."
"Bagaimana kehidupan di laut beberapa hari ini?"
"Agak kurang terbiasa, lebih nyaman tinggal di dalam rumah." Ake berkata serius, "Dulu di laut, selalu bersembunyi seorang diri di dalam kerang. Sekarang punya rumah, Ake seperti memiliki dunia kecil sendiri. Terima kasih Kakak telah memberikan rumah besar untuk Ake!"
Mungkin inilah sifat wanita, memiliki ketertarikan alami terhadap rumah.
Bisa juga karena daya tarik peradaban. Manusia purba awalnya tinggal di alam liar dan gua. Setelah peradaban berkembang, tak ada yang mau lagi tinggal di gua-gua liar.
"Sudah kuasai Waterwheel Wall?"
"Hm, lihat Kakak." Ake meletakkan buku sihir, tangannya melambai lembut. Di depannya segera terpampang cakram air berbentuk lingkaran yang berputar seperti roda. "Aliran air berputar cepat bisa membentuk perisai bertahan berkarakter kuat, mampu menahan dampak ledakan sekejap."
Li mencabut Pedang Darah Merah, menguji kekuatan Waterwheel Wall. Ternyata memang kuat dengan elastisitas yang mendorong pedangnya keluar.
Menurut penilaian pengalamannya, setidaknya perlu menggunakan satu jurus seni tempur untuk menghancurkan Waterwheel Wall ini.
Ake semakin menunjukkan gaya cendekiawan, melanjutkan penjelasan: "Berdasarkan informasi dari buku sihir yang Ake baca, Waterwheel Wall dan Water Vortex adalah bentuk pemecahan dari sihir tingkat lebih tinggi Water Wave Shield. Ake sedang mempelajari Water Vortex. Setelah kuasai, kurang lebih bisa meneliti Water Wave Shield."
“Luar biasa, Ake-ku.” Liszt mengacungkan jempolnya. Sirene kecil yang dulu masih lugu, kini hendak menantang Penyihir Besar.
Ia tak lagi mengganggu Ake yang sedang mempelajari sihir, hanya menempatkan seekor naga api energi sihir kecil di sampingnya.
Rumah di tepi pantai memang cenderung lembab. Rencananya, efek terbakar dari naga api kecil ini akan mengusir kelembaban dan menjaga ruangan tetap kering. Juga menciptakan lingkungan ideal untuk mengonsumsi obat - terbatas pada satu rumah saja, soalnya naga api ini ibarat pemanas. Musim panas segera tiba, bisa membuat orang mati kepanasan.
Setelah mengonsumsi obat, mencatat data-data, badan terasa berenergi dan segar.
Liszt berpamitan pada sirene Ake, kembali ke kastil untuk makan siang. Ake yang sudah lama membaca buku sihir menguap lebar, makan beberapa buah raspberry, lalu kembali ke cangkang kerangnya dan berenang ke laut. Ia suka berenang di laut siang hari untuk menyegarkan jiwa-raga.
Tanpa terasa, ia sudah sampai di tepi pulau yang dipenuhi hutan bakau.
