“Bersedia mengabdi hingga mati untuk Yang Mulia!”
Di lobi Tulip yang telah memulai upacara penganugerahan gelar, bergema teriakan gemetar penuh semangat dan kegembiraan.
Lima Knight Bumi yang telah mengumpulkan cukup jasa perang, memegang medali simbol gelar ksatria bangsawan, air mata membara menggenang di sudut mata. Usaha beberapa generasi akhirnya terwujud di era mereka, kemuliaan menyelimuti tubuh dengan kebanggaan tak terkira.
Mengenang masa lalu.
Leluhur Keluarga Tulip pun berawal dari rakyat jelata, bahkan nenek moyang yang lebih tua lagi tak diketahui berasal dari budak tani negara mana. Buyut berkekuatan ilahi bawaan yang selamat kembali dari medan pertempuran, diangkat menjadi ksatria bangsawan dengan hak waris abadi, lalu berkembang setahap demi setahap hingga menjadi keluarga Count seperti sekarang.
Ksatria bangsawan adalah titik awal evolusi aristokrat. Meski jalan ke depan tak selalu mulus dan risiko gugur di medan perang selalu mengintai, kini telah ada jalan jelas - meneruskan warisan ayah dan membuka terobosan baru.
Lima ksatria bangsawan baru dengan khidmat melakukan ritual kesetiaan ksatria standar kepada Count yang duduk di kursi utama.
Count menerimanya dengan lapang dada.
Kemudian.
Upacara ini segera memasuki klimaks sesungguhnya. Ksatria pengawal Count membawa tongkat peradaban logam simbol kekuasaan dan medali viscount simbol kemuliaan, memasuki lobi dan berdiri di samping. Seorang ksatria pengawal lain membawa pedang Li William.
Count bangkit dari tempat duduknya.
Berjalan dua langkah, berkata dengan suara berat: "Anak laki-lakiku, juga pengikutku, Liszt*Tulip. Aku akan membalas keberanian dengan kemuliaan, loyalitas dengan cinta, pengkhianatan dengan balas dendam, cahaya kejayaan ksatria menjadi saksi!"
Liszt melangkah maju, mengikuti prosedur yang ditetapkan, berlutut dengan kedua lutut, tubuh tegak, memandang sang Pangeran dengan tenang tanpa ekspresi sukacita maupun duka.
Ksatria pengawal yang membawa pedang menyerahkan senjata tersebut, sang Pangeran mengambilnya secara alami.
Menaruh mata pedang di bahu kiri Liszt, berseru dengan khidmat: "Berdasarkan performamu di medan pertempuran, serbuan gagah berani, ketidaktakutan akan hidup mati, serta pencapaian kemuliaan gemilang yang membawa banyak jasa perang bagi Kepulauan Karang..."
Mengangkat bilah pedang ke bahu kanan: "Kini, dengan statusku sebagai Pangeran Kepulauan Karang, kukukuhkan kau sebagai Viscount-ku, Tuan Tanah Pulau Kuda Hitam, mengelola seluruh kekuasaan di sana, menanggung hidup para ksatria, untuk melayaniku!"
Pedang diserahkan kembali kepada ksatria pengawal. Ia mengambil tongkat peradaban logam simbol kekuasaan, menyerahkannya dengan khidmat kepada Liszt.
Liszt menerima tongkat tersebut dengan kedua tangan, menancapkannya kuat-kuat ke lantai.
Bruuk.
Logam bersentuhan dengan lantai, mengeluarkan suara berat.
Menggunakan tongkat sebagai penyangga tubuh untuk berdiri, membungkuk melakukan ritual kesetiaan ksatria: "Aku akan mengelola Pulau Kuda Hitam, menanggung hidup para ksatria, untuk melayani Tuanku."
Li William mengangguk perlahan, mengambil medali berbentuk perisai lainnya.
Kira-kira sebesar telapak tangan bayi, berbentuk medali tembaga dengan warna kuningan pucat. Di bagian depan terdapat ukiran pola dan motif simbolik Viscount, jika diamati lebih dekat menyerupai bunga Tulip. Di bagian belakang tertera tulisan ular "Pulau Kuda Hitam" dalam tiga karakter yang rapat. Pengerjaannya tidak terlalu halus, terkesan cukup kasar.
Namun ini merupakan bukti kemuliaan identitas bangsawan.
"Mulai sekarang, Anda akan berjalan di muka bumi dengan status Viscount. Rakyat jelata akan bersujud saat bertemu, rekan sejawat akan memanggil gelarmu. Sedangkan aku, Tuan Tanahmu William Li*Tulip, akan memanggilmu dengan penuh keakraban... Liszt*Tulip!" Sang Pangeran menggantungkan medali Viscount di dadanya.
Seketika.
Para bangsawan yang berkumpul di lobi serentak berseru: "Viscount Liszt!"
Diikuti para ksatria tanpa gelar yang membungkuk memberikan penghormatan sambil berseru: "Yang Mulia Viscount!"
Dengan medali Viscount di dada dan tongkat peradaban logam di tangan, Liszt berbalik. Matanya menyapu seluruh ruangan dengan semangat berkobar, yakin dirinya kini menjadi Viscount keempat di Pulau Karang dan pemilik wilayah ketiga. Dengan ini, upacara penganugerahan gelar yang singkat namun menggugah berakhir, kemuliaan yang semestinya telah diraih.
Selanjutnya adalah pesta kemenangan.
"Liszt, aku bangga padamu." Sang Pangeran menghampirinya sambil mengangkat cangkir, "Semoga di waktu mendatang Anda dapat mengelola Pulau Kuda Hitam dengan baik, meraih lebih banyak kejayaan, membuat Keluarga Tulip termasyhur berkat namamu."
“Ayah, aku akan terus mendisiplinkan diri, berjuang tanpa lelah, dan terus meraih kemuliaan.”
Li Weis juga datang membawa cangkir sake: "Semoga kita saudara laki-laki terus berjuang bahu-membahu, bersama-sama memperjuangkan kemuliaan Keluarga Tulip."
"Tentu saja!"
Kemudian penasihatnya Gorret datang dengan gembira, mengangkat cangkir sake tinggi-tinggi: "Untuk tuan tanahku, kemuliaan Keluarga Tulip, penguasa Pulau Kuda Hitam Liszt, kupersembahkan rasa hormat yang paling setia!"
Markus dan yang lain segera datang memberi penghormatan dengan bersulang kepada Liszt.
Meneguk besar-besar Bunga Indah, malam ini Liszt memutuskan untuk membuka hati dan menerima semua: "Aku bersamamu!"
……
"Aku bangga padamu, anakku." Nyonya Penelope memeluk dengan lembut dan memberikan berkatan nenek saat Liszt bersiap berangkat di pagi hari.
"Terima kasih, Nenek."
Li Weila juga memberinya pelukan: "Kerja bagus, adik laki-lakiku tersayang, kau selalu membawa kejutan untuk kami."
Nyonya Marui dan Li Dun juga datang berpamitan, setidaknya di permukaan terlihat hangat, dan ia membalas dengan senyuman hangat.
Kemudian mendengarkan nasihat di hadapan senyuman lega Yang Mulia: "Ketika utusan wilayah kekuasaan istana tiba, aku akan meminta Penasihat Jacob menemani utusan untuk mengukur Pulau Kuda Hitam. Ini adalah wilayahmu, kelola dengan baik. Jika ada kesulitan, mintalah bantuan pada keluarga."
"Aku tahu, Ayah."
"Segera selesaikan pembangunan Pulau Kuda Hitam dan kastilmu. Aku berharap bisa memiliki sebuah ruangan di dalamnya."
"Nenek, Anda, Nyonya Marui, Li Weis, Li Weila, Li Dun, semuanya akan memiliki sebuah ruangan di kastilku. Selamat datang kapan saja di Pulau Kuda Hitam."
Pangeran Piaget menepuk bahu Liszt, memandangi anak laki-lakinya yang jauh lebih tinggi dengan senyum terkembang: "Pergilah, aku tahu kau merindukan urusan Pulau Kuda Hitam."
Liszt menganggukkan kepala, membalikkan badan dan menunggangi Loki Burung Darat, bersiap untuk berangkat.
Tiba-tiba Nyonya Penelope berteriak: "Hei, anak muda, tunggu sebentar! Aku punya pot tanaman untukmu. Ksatria muda yang diberkati cahaya kejayaan ksatria, mungkin ini akan membawa keberuntungan." Pelayan pribadinya dengan susah payah mengangkat pot setinggi pinggang berisi pohon.
Beberapa buah oval berwarna ungu kemerahan tergantung di rantingnya.
Liszt menghela napas melihat kebiasaan nenek memberi pot tanaman - tak setiap pot bisa memunculkan peri serangga.
Namun dengan senyum, ia menyuruh ksatria pengawalnya memindahkan pot tanaman ke kereta kuda.
Rombongan akhirnya berangkat. Kini seluruh Kota Karang tahu Viscount Pulau Kuda Hitam telah dilantik. Nama Liszt tak lagi sekadar "anak kedua Keluarga Tulip", melainkan gelar kebangsawanan sejati.
Punggung Burung Darat terasa stabil, memungkinkannya memanggil misi asap kapan saja.
"Kabut mengepul membentuk rangkaian panjang tulisan ular. Sekilas terlihat misi belum selesai, tapi setelah diperiksa dengan cermat oleh Liszt, ternyata misi telah terselesaikan."
Hanya saja hadiahnya sungguh luar biasa membuat terperangah.
"Menyelesaikan misi, hadiah: satu peri serangga ara, satu peri serangga rumput asap, satu peri serangga pohon teh hijau, satu peri serangga ercis, dan satu peri serangga blackberry masing-masing."
