Piaget tinggal setengah hari di Pulau Kuda Hitam. Sebelum berangkat, ia berdiskusi panjang dengan Li tentang informasi peri laut.
Li tidak memilih untuk menyimpan rahasia. Mengembangkan lautan bagi manusia sekarang sangat sulit. Tidak ada tunggangan seperti paus pelangi, apalagi sirene seperti Ake. Menyelam pun hanya bisa dilakukan di perairan dangkal. Tapi menemukan peri serangga di zona pantai dengan menyelam hampir mustahil.
Tanpa Mata Magis, mencari Rumput Ulat dengan mata telanjang ibarat mencari jarum di tumpukan jerami.
Faktanya menurut catatan Piaget, banyak bangsawan besar yang tahu adanya peri di laut, tapi jarang yang mau mengembangkan – menanam peri laut juga harus di laut. Berapa biaya teknologi, jiwa, dan sumber daya yang dibutuhkan untuk bercocok tanam di samudera?
Lagipula tanaman laut kebanyakan alga. Selain untuk pakan ternak, sepertinya tidak banyak nilai gunanya.
Jika hutan rumput laut raksasa tidak mengandung ramuan ajaib, hanya rumput laut biasa, sama sekali tidak worth it bagi Li untuk bersusah payah mengembangkannya.
Daripada menghabiskan biaya produksi untuk menanam alga, lebih baik fokus ke pertanian di darat.
Tapi dengan adanya ramuan ajaib rumput laut raksasa, meski biaya penanaman di laut lebih tinggi, tetap memberi keuntungan besar. Apalagi produksinya sangat tinggi. Jadi secara keseluruhan, selain Li, hampir tidak ada yang bisa mengembangkan peri serangga di laut.
Tentu saja dia tidak takit berbagi teknologi.
Singkat kata.
Piaget berkeliling Pulau Kuda Hitam, pengalaman wisatanya mungkin tidak begitu menyenangkan. Waktu bergerak maju ke perayaan kelahiran Peri Besar tiga hari lagi, perasaannya terhadap Peri Rumput Laut Raksasa Pike juga tidak terlalu baik. Bukan karena gigi Pike merusak seluruh wajahnya, juga bukan karena Pike tidak bernilai.
Melainkan karena memikirkan peri laut yang tidak bisa dikembangkan, dan hampir mustahil menemukan peri rumput laut seperti Pike lagi, membuat hatinya muram.
Sebelum menginjakkan kaki di Pulau Kuda Hitam, dia datang dengan penuh semangat.
Memang Nyonya Marui yang mendorong dari belakang, dirinya sendiri juga sangat berharap mendapat sumber peri serangga baru. Sayangnya, keuntungan hanya dimiliki anaknya sendiri.
"Mengapa aku tidak pernah bertemu tunggangan Warcraft atau monster laut?!" Dia masih menggerutu, mengingat betapa tercengangnya dia saat pertama kali mendengar Liszt bercerita tentang sihir ajaib Paus Pelangi Rose - membran napas tujuh warna.
Yang memungkinkan manusia bernapas di dalam laut.
Ini benar-benar menginjak-injak lautan seperti daratan.
Api iri membara di hati Piaget, sayangnya objeknya adalah anak kedua sendiri, tidak bisa langsung menyerang untuk merebut. Bahkan jika bukan keturunannya sendiri, sepertinya sekarang dia sama sekali tidak bisa mengalahkan Liszt - Loki yang terbang di langit, Rose yang berenang di air, ditambah sekelompok Blizzard Frost, satu orang ini setara dengan satu pasukan.
Jadi dia hanya bisa menahan kesabarannya, bersandar di sandaran kursi, terus mendengarkan obrolan Liszt yang terlihat santai tapi sebenarnya sangat pamer.
Saat ini, keluarga sedang membicarakan kastil baru Liszt.
Liszt berkata: "Aku berencana membangun kastil lima lantai. Karena medan Pulau Kuda Hitam rata, tidak ada tebing curam yang bisa dijadikan perisai, jadi harus dibangun lebih tinggi. Meski agak kosong tinggal sendirian di kastil sebesar ini, kalian bisa berlibur ke kastilku."
"Sudahkah kamu memikirkan nama untuk kastil ini?" tanya Lolia.
"Belum terpikir."
"Sebut saja Kastil Ganggang Raksasa, seperti Kastil Tulip yang menggunakan nama Peri Besar," usul Li Weila.
Liszt tersenyum menyangkal: "Sebenarnya, aku lebih menyukai nama Kastil Duri." Ia menjentikkan jari, seketika suara "Wuwa!" bergema di kastil. Peri kecil duri Jela langsung terbang mendekat, hinggap di bahu Liszt sambil menguap.
Dia melanjutkan: "Pak adalah peri laut yang tidak suka tinggal di kastil. Sedangkan Jela adalah peri kecil pertamaku, lebih bermakna menggunakan namanya untuk kastil ini."
"Wuwa!" Jela tidak mengerti perkataan Liszt, tapi itu tidak menghalanginya untuk menyambut perkataan tersebut.
Di antara semua peri.
Liszt paling menyukai Jela, meski sifat Jela buruk.
"Ini adalah Elf Kecil pertamanya, sekaligus merasakan secara langsung ketidakpatuhannya pada takdir, meronta-ronta dari ulat duri yang tak dihargai, keluar dari kepompong menjadi kupu-kupu, menjelma menjadi Elf Kecil yang menanam ramuan ajaib." Dia masih ingat saat melihat Jela mengulurkan tangan dari bawah kulit ulat duri Fase Kepompong Gemuk yang kelabu, getaran jiwa yang menyentuh hati nurani itu.
Ia sudah terbiasa dengan kebiasaan Jela yang kasar membolak-balikkan makanannya dalam setiap pesta, makan sedikit lalu membuang sebagian.
Jela bukan yang termulia di antara para peri, namun di hatinya dialah yang paling istimewa.
Nyonya Penelope melihat Jela, berpura-pura menghela nafas berkata: "Oh, si malang Parkerku, tidak hanya gagal menjadi marga keluarga, bahkan kastil pun tak menyandang namanya." Ia agak kecewa karena Liszt tidak mengubah marga, mendirikan keluarga baru, dan meraih kemuliaan.
"Kastil ini akan disebut Kastil Duri." Liszt juga tak ingin berdiskusi lagi, "Tapi setelah Pelabuhan Kota kecil berkembang menjadi kota, aku akan menamainya Kota Rumput Laut Raksasa."
……
Keramaian makan siang tak perlu dijabarkan panjang lebar, di tengah sanjungan 'cahaya kejayaan ksatria bersinar', hidangan demi hidangan tersaji di meja makan — bersulang riang, berakhir dengan sukacita.
Setelah makan.
Hadirin juga menikmati drama panggung baru yang diaransemen ulang "Lagu Pujian Kesetiaan Ksatria Walxi", dengan pemeran utama perempuan Avril*Topeng yang meninggalkan kesan mendalam.
Tepuk tangan bergemuruh.
“Terutama Nyonya Penelope, sangat menyukai bentuk baru drama panggung ini: 'Sangat menghibur! Dibandingkan pertunjukan badun yang monoton, drama ini lebih menyentuh hati nurani. Ini adalah seni setara melodi piano. Aku bahkan ingin tinggal di sini dan menonton pertunjukan mereka setiap hari.'"
Liszt menjawab: "Ini adalah repertoar yang disusun oleh Kelompok Teater Pulau Kuda Hitam. Untuk sementara kami masih berusaha melatih pemula. Setelah pertunjukan mereka matang, aku akan mengirim mereka untuk tampil di Pulau Karang. Yang Mulia bisa menyaksikan penampilan spektakuler mereka di rumah sendiri, dengan repertoar yang lebih beragam."
"Ini sungguh luar biasa! Aku sudah tidak sabar melihat mereka tampil di Pulau Karang." Nyonya Penelope berkata sambil menyuruh pelayannya melempar segenggam uang tembaga ke panggung——ini adalah sumber penghasilan utama pertunjukan badut yang mengandalkan tip penonton.
Namun Liszt sudah tidak berencana menggunakan metode pemasukan seperti ini.
Dia memilih menyewa rumah dan merombaknya menjadi teater, membangun panggung besar di dalam ruangan, kemudian menjual tiket dengan target pasar kelas atas.
Setelah menyaksikan "Lagu Pujian Kesetiaan Ksatria Valsi", perayaan kelahiran Peri Besar resmi berakhir. Liszt sendiri mengantar rombongan kereta meninggalkan kastil. Dia tahu nama Peck akan menyebar ke seluruh Pulau Karang dan pulau-pulau terpencil lainnya seiring kepergian rombongan.
Sedangkan namanya sendiri akan kembali menjadi topik obrolan di kalangan bangsawan Kadipaten, mengingatkan mereka bahwa di dunia ini memang ada jenius.
