Setelah sehari penuh |kepanikan, |Tuan Besar Xia Ya |beruntung. |Pasukan pengejar tak kunjung menyusul.
Semakin jauh mereka |berjalan, semakin sirna |ancaman. |rombongan pun mulai tenang.
Saat |fajar, Xia Ya membakar rumput kering menjadi |abu. Ia oleskan abu itu ke |luka-nya - trik |survival untuk |menghentikan perdarahan dan |mencegah |pembusukan saat |obat langka.
|Hingga malam kedua, |keberuntungan Xia Ya mencapai |puncak. Seekor |serigala ganas menghadang mereka.
Binatang malang itu tumbang oleh |tombak api Xia Ya, berubah jadi |daging panggang wangi. Sisa daging menjadi |logistik - sayangnya |beban di punggung |Putri Peri Goblin kian berat.
Tanpa |belas kasih, Xia Ya memperlakukan |Oaks layaknya |budak.
Sang Ratu Goblin tidak keberatan dengan hal ini, karena bagi bangsa goblin, begitu identitas berubah menjadi "Suosuo", tidak ada lagi yang namanya hak asasi manusia—oh ya, mungkin goblin juga tidak mengerti apa itu hak asasi manusia.
Mereka berjalan di padang gurun selama lebih dari lima hari, akhirnya melihat garis cakrawala di kejauhan yang mulai dihiasi oleh rona hijau kehitaman yang membentang...
Gunung! Akhirnya melihat gunung!
Seketika rombongan bersorak gembira, Xia Ya bahkan hampir tak tahan meninju dadanya sambil berteriak keras.
Tiga hari terakhir ini sangat menyiksanya, semakin jauh mereka melangkah, bahkan seorang pemburu berpengalaman seperti dia mulai khawatir apakah mereka tersesat.
Bagaimanapun, untuk menghindari pengejar, mereka menjauhi sungai—padahal sungai itulah seharusnya koordinat terbaik untuk menentukan rute.
Menurut kabar dari goblin, gunung akan terlihat setelah tiga hari perjalanan, tapi mereka berjalan selama lima hari.
Jika dua hari lagi belum menemukan gunung, bisa jadi goblin malang itu akan menerima amarah Xia Ya karena memberikan informasi rute palsu.
Meski gunung sudah terlihat di kejauhan, tapi seperti peribahasa "melihat gunung tapi kuda mati kelelahan", butuh waktu setengah hari bagi rombongan untuk mencapai hutan di kaki gunung.
Melihat hutan hijau yang rimbun, Xia Ya yang bersemangat melompat kegirangan sambil berteriak-teriak.
Bagi Xia Ya yang tumbuh besar di hutan dan pegunungan, melihat gunung dan hutan memberinya perasaan familiar yang tak terucapkan. Di pegunungan, setiap sudut adalah sumber makanan, wilayah perburuan, dan sumber daya yang bisa dimanfaatkan.
Tepat saat Xia Ya bersorak gembira, Kelianchong tak kuasa memberi sedikit pencerahan padanya.
"Hei, Xia Ya." Kelianchong menghela napas—sejak hari itu ketika Xia Ya memaksanya memakan satu-satunya makanan yaitu telur semut merah, Kelianchong tak pernah lagi bertengkar mulut dengannya atau memanggilnya "si kampungan". Jika dipikir-pikir, bahkan terkesan ramah saat berbicara.
"Apa?" Xia Ya menoleh sambil membusungkan dada. Luka di bahunya telah sembuh—fakta ini membuat Kelianchong dan goblin terkesima.
Konstitusi fisik pria ini bagaikan monster... Bahkan memunculkan kecurigaan bahwa mungkin dia adalah hasil persilangan manusia dan iblis. Setidaknya sulit menemukan manusia dengan fisik luar biasa seperti ini!
Beberapa lukanya—bekas cakaran serigala haus darah di punggung yang paling awal—telah pulih total bahkan bekas lukanya mengelupas. Luka panah di bahunya juga hampir sembuh total, keropeng darah yang mengelupas sebagian memperlihatkan kulit baru yang hanya sedikit lebih gelap, sama sekali tak terlihat aneh.
Sungguh membuat kesal. Bagian kaki si Malang yang terluka oleh jerat pemburu belum sembuh, sekarang berjalan pun harus dipapah, tapi si kampungan ini sudah bisa bergerak dengan lincah.
Setelah ragu sejenak, si Malang tetap tak tahan mengingatkan Xia Ya: "Lihatlah, gunung sebesar ini, ke mana kita harus mencari Long?"
Xia Ya terdiam.
Dia menengadah memandang ke depan…
Hutan di kaki gunung ini saja terlihat tak berujung, membentang dari kaki hingga puncak, hijau subur dan lebat. Pegunungan di atasnya berjajar tak putus, satu gunung menyambung gunung lain… Jika benar-benar menyisir setiap gunung, mungkin butuh dua tiga tahun belum tentu selesai!
Xia Ya bukan tipe yang terjebak dalam pola pikir rigid. Dia menghela napas: "Lagipula mencari harta karun itu urusan keberuntungan. Jika benar tak ketemu, sudahlah. Kita jelajahi gunung beberapa hari, kalau ada temuan bagus. Jika tidak, mungkin para pengejar sudah jauh. Nanti, putar balik saja."
Xia Ya tersenyum: "Atau, langsung saja kita seberangi gunung ini. Kira-kira sebulan cukup sampai seberang. Katanya di sana adalah wilayah Kekaisaran Odin. Aku kan hidup sendiri, bisa pergi ke mana saja. Paling-palan numpang lewat di Odin."
“Si Menyedihkan” tersenyum lembut: “Hah, dulu kau bilang sudah membuat perjanjian dengan iblis di Kota Api Liar, kau bilang ini soal kredibilitas pria yang harus ditepati.”
Xia Ya tersenyum kecut: “Kredibilitas tentu penting, tapi... kalau benar-benar mau menukar nyawa hanya untuk lima koin tembaga, itu bukan keberanian pahlawan, tapi otak bermasalah. Semangat kepahlawanan harus dibedakan situasi dan kondisinya.”
Lihat, si kampungan ini memang bukan orang baik.
Berhenti sejenak, Xia Ya menegakkan postur: “Hei, Si Menyedihkan, karena kau pernah menyelamatkanku di sungai, sebagai balasan kuberi janji: jika bertemu Long, tak akan kujadikan kau umpan!”
“Oh?” Mata “Si Menyedihkan” berbinar, tatapannya semakin lembut.
Tapi kalimat Xia Ya berikutnya...
“Jika bertemu Long, takkan kujadikan kau umpan. Kita masing-masing lari dengan kemampuan sendiri. Yang cepat selamat, yang lambat dimangsa Long. Mari kita lihat takdir Tian - asal kau bisa lari lebih cepat dariku...”
“Si Menyedihkan”: “......”
Lari lebih cepat darimu? Dengan kakiku yang terluka ini? Bahkan saat sehat pun, mana mungkin bisa mengalahkan kecepatan hentaimu?!
Gigi “Si Menyedihkan” kembali gemeretuk.
Brengsek kampungan! Bajingan! Baru saja membuatku tersentuh sedikit, langsung mengeluarkan ucapan sampah lagi!
Tapi setelah kemarahannya mereda, di dalam hati si Orang Malang selalu ada perasaan seolah-olah... Melihat Xia Ya, meskipun mulutnya mengeluarkan kata-kata kasar dan licik, tapi jika benar-benar menghadapi bahaya, kemungkinan besar dia tidak akan meninggalkannya sendirian.
Entah mengapa, tapi Orang Malang memang memiliki keyakinan itu.
※※※
Setelah memasuki hutan, Xia Ya segera mengambil sebatang kayu bercabang untuk dijadikan tongkat bagi Orang Malang. Dirinya sendiri juga mengasah ujung kayu dengan pengait api menjadi tombak runcing, sementara si malang Oks tetap memerankan peran sebagai kuli angkut, hanya saja bebannya jauh lebih ringan.
Setelah berjalan hampir setengah hari di dalam hutan, saat senja tiba, Xia Ya sedang mencari ranting kering untuk membuat api ketika tiba-tiba mendengar suara aneh dari kedalaman hutan.
Suara itu awalnya samar, tapi setelah Xia Ya membuka beberapa semak belukar, terdengar lebih jelas.
Orang Malang dan Oks yang mengikuti dari belakang Xia Ya juga mendengar suara itu.
Suara itu melengking panjang, seolah-olah ditarik dengan nada merintih penuh kelemahan dan jerit sekarat, mirip seperti teriakan burung hantu di malam hari.
Orang Malang langsung merinding, menundukkan lehernya: "Hei, Xia Ya, jangan-jangan itu semacam monster gaib?"
Xia Ya menyimak dengan saksama sejenak, lalu memalingkan pandangan sambil tersenyum: "Bukan! Sepertinya ini jerit kesakitan seseorang. Ngomong-ngomong, dulu saat aku menemukanmu, suaranya juga seperti ini."
Wajah si Malang memerah, baru hendak berkata sesuatu, Xia Ya sudah melangkah mantap ke depan.
Setelah berjalan ratusan langkah, di depan hutan muncul area yang agak terbuka. Jelas terlihat ada jejak-jejak injakan dan penghancuran total di rumput sekitarnya.
Begitu ketiga orang menepis semak, mereka langsung melihat... sumber suara itu tepat di tengah-tengah tanah lapang!
Ini seorang manusia!
Seorang pria berambut keemasan panjang penuh serpihan rumput dan tanah. Sedang melakukan jerit terakhir dengan lemah.
Saat ketiganya mendekat, wajah orang itu terlihat jelas... dan...
Mereka hanya bisa melihat wajahnya saja!
Pasalnya, orang malang ini terkubur seluruh tubuhnya di bawah tanah, tanah mencapai lehernya, hanya menyisakan kepala di permukaan.
Melihat kepala pria ini, meski teriakannya menyayat hati, Xia Ya hampir tak tahan ingin tertawa.
Ia melangkah tegap mendekat, berdiri tepat di depan si Malang, menyentuh kepala lawan dengan ujung sepatu: "Hei!"
Kepala itu langsung bersemangat, mengangkat kelopak mata penuh harap ke arah Xia Ya, berteriak kaget: "Dewa yang sebenarnya memberkati, puji Yang Agung Penguasa, cahaya-Nya ada di mana-mana! Akhirnya ada yang datang menyelamatkanku..."
“Kamu……” Xia Ya berjongkok, mengamati senjata ini.
“Aku manusia!” Kepala ini terlihat frustasi, meski wajahnya penuh debu, tapi matanya bersinar luar biasa kuat. Xia Ya belum pernah melihat orang dengan tatapan semenantang ini! Meski dalam kondisi kacau, nadanya mengandung keganjilan: “Apa kau tak melihat aku manusia? Jangan buang waktu, cepat gali aku keluar, aku benar-benar hampir mati lemas.”
Sambil berkata demikian, ia meludahkan dahak berdebu dengan keras: “Siapkan juga baju untukku, para brengsek itu menelanjangi tubuhku saat menguburku...”
