"Aku akan membunuhnya! Aku akan membunuhnya! Gantung dia! Panggang dia! Tidak! Ikat dia, akan kuhancurkan mayatnya berkeping-keping! Akan kugantung jasadnya di gerbang kota biar burung gagak mematuki matanya!!"
"Mata Bonfret memerah menyala, otot di wajahnya terdistorsi, sambil mengaum dengan kemarahan di dalam tenda menghadapi Adrik dan Ruhr. Wajah tampan sang bangsawan ini berubah menjadi menyeramkan, sepasang matanya melotot, napasnya tersengal-sengal, otot pipi mengeras, kedua tinjunya terkepal erat. Bekas merah akibat ikatan tali kulit sapi masih terlihat di pergelangan tangannya. Gelisah bagai anjing gila, ia mondar-mandir di dalam tenda."
"Brengsek itu! Si rendahan kasar licik! Dia yang berusaha membunuhku! Aku akan membunuhnya! Aku ingin dia mati!!"
Melihat ekspresi wajah Adrik semakin geram, bekas luka di pipinya berdenyut-denyut, Ruhr di sampingnya merasa situasi memburuk. Jika si wajah tampan ini terus meneriakkan amarah, sang Jenderal Sombong mungkin akan menghunus pedang dan membelah tubuh Bonfret di tempat.
Si gemuk buru-buru maju memeluk Bonfret yang sedang mengamuk, berseru dengan suara keras: "Tuan Bonfret, Sir Bonfret, tenangkanlah diri. Mari kita klarifikasi dulu sebelum..."
"Apa lagi yang belum jelas?!" Teriak Bonfret melengking seperti gadis yang ketakutan: "Dia berani mengikatku dan mengurungku di gudang! Berani mendorongku sendirian ke medan perang! Itu percobaan pembunuhan! Dia ingin menghabisi nyawaku!!"
Adrik mendengus keras, berdiri sambil menekan gagang pedang di pinggangnya. Gerakan ini membuat Bonfret kaget, ia segera mundur beberapa langkah sambil menuding Adrik: "Kau! Kau mau apa! Adrik, jangan lupa identitasmu! Kau tentara Kekaisaran... Aku, aku adalah Pengawas Khusus! Kau... anak buahmu berani-berani melawanku..."
Adrik menahan dorongan untuk mengayunkan pedangnya. Tanpa memandang wajah tampan itu, ia melangkah keluar dari tenda dengan langkah besar.
Ruhl mendekat dan menepuk bahu Bonfret yang ketakutan. Bonfret langsung menggigil, tapi melihat senyuman di wajah Ruhl, semangatnya langsung bangkit kembali: "Jenderal Ruhl, kau harus menjadi saksiku! Anak buah Divisi Ketiga Belas ini, mereka semua ingin mencelakaiku! Orang-orang rendahan ini, para brengsek ini berencana membunuhku!!"
Senyuman di wajah Ruhl terlihat ramah, penampilannya yang tersenyum membuat Bonfret merasa lebih tenang.
"Hmm... Yang Mulia Bonfret, saranku jangan berteriak-teriak dulu. Bagaimanapun, kita masih berada di markas Divisi Ketiga Belas." Ruhl mengingatkan dengan sikap bersahabat, lalu merendahkan suaranya: "Lihatlah, meskipun Anda menerima perlakuan tidak hormat—oh, jangan buru-buru melotot—baiklah, aku akui perlakuan ini sangat menghina martabat seorang bangsawan. Tapi... setiap hal pasti ada sisi baiknya, bukan?"
“Sisi baik, sisi baik?!” Bonfret murka: “Jenderal Ruhl, apakah Anda juga sedang mengolok-olokku!”
“Tentu saja tidak.” Ruhl menggelengkan kepalanya keras-keras, lalu tersenyum: “Sepengetahuanku, Yang Mulia memang turun langsung ke medan perang, menghadapi Hasting dari Odin sendirian...”
“Aku dibawa dengan paksa!” Bonfret gemetar di kedua kakinya saat mengingat kejadian kemarin, sementara insiden ngompol di tempat umum membuatnya dipenuhi rasa malu, berteriak histeris: “Siluman itu ingin membunuhku!”
“Tunggu, jangan buru-buru...” si gemuk tersenyum sabar: “Aku mengerti kemarahanmu karena dipaksa ke medan perang, tapi... Coba pikir, orang lain tidak tahu Anda dipaksa! Lagipula... Bagaimanapun, fakta yang terlihat adalah: di medan perang, Sir Bonfret menghadapi pertempuran melawan Hasting dari Odin, sementara Hasting terluka dan mundur...”
“Itu bukan aku...” suara Bonfret semakin kecil.
“Tapi orang lain tidak tahu, terutama orang Odin.” Si gemuk menyeringai licik: “Lihatlah, melawan Hasting sendirian di medan perang, ini kehormatan besar! Bukankah tujuan Yang Mulia Putra Mahkota mengirim Anda ke garis depan adalah untuk...”
Ia menatap Bonfret, berbisik sangat pelan: “Jadi... orang yang melawan Hasting itu! Adalah Bonfret! Dan Anda... adalah Bonfret. Kesaksian ini telah didengar langsung oleh ribuan prajurit.”
Bonfret tertarik.
“Jadi, siluman itu untuk sementara tidak bisa dibunuh.” Ruhl tersenyum: “Setidaknya, kita harus menunggu sampai jasa militer ini benar-benar jatuh ke kepala Anda. Sebelum itu, dia juga bisa menjadi saksi. Lagipula… dia hanya pasukan kecil. Setelah situasi besar terkendali, bagaimana kita ingin menghukumnya? Apakah dia bisa kabur?”
※※※
Saat Ruhl keluar dari tenda, Adrik sedang berada di luar memberi instruksi pada beberapa ajudan. Melihat si gemuk keluar, Adrik menyeringit: “Sudah berhasil membujuk anak kecil itu?”
“Ha, dia memang anak kecil, anak manja yang dimanja.” Si gemuk mencibir: “Tapi anak kecil ini adalah orang yang… hm, tidur di samping Yang Mulia Putra Mahkota. Hanya beberapa kata bohong saja, tidak merepotkan kita.”
Adrik tetap menyeringit tanpa bicara.
Si gemuk menghela napas: “Aku tahu kau sangat bangga. Biarlah aku yang melakukan hal-hal seperti ini. Bagaimanapun, di mata orang, aku si kelinci pengecut ini tidak jauh berbeda dengan si kelinci penjual… sialan, si kelinci penjual pantat itu!”
Adrik menatap dalam-dalam ke si gemuk, tiba-tiba maju dan menepuk bahunya dengan keras, berkata serius: “Kau tentara yang luar biasa, Jenderal Ruhl.”
Kemudian dia menghela napas: “Aku harus periksa keadaan nak itu… kondisinya agak mengkhawatirkan.”
“Ruhr mengerang kesakitan sambil menggosok bahunya yang ditepuk, menatap Adrik yang pergi. Tiba-tiba ia berteriak dari belakang: “Hei, Adrik!”
“Apa?”
“Kau...” Si gemuk ragu sejenak, lalu menyusul beberapa langkah sambil meredam suaranya: “Jangan kira aku tak tahu, bocah itu sebenarnya...”
Kilatan tajam muncul di mata Adrik yang menatap Ruhr: “Kau juga sudah tahu?”
Si gemuk menghela napas: “Masak tidak? Usia kita tak beda jauh. Meski tak menyaksikan langsung peristiwa masa itu, kupastikan telingaku pernah mendengar...”
“Kalau begitu jaga rahasiamu!” Adrik segera memotong dengan tegas: “Orang yang tahu hal-hal ini sudah hampir punah. Aku tak tahu seberapa jauh pengetahuanmu, tapi... apapun yang kau tahu, kuburkanlah dalam-dalam. Ini bukan permintaan, tapi peringatan.”
※※※
Char duduk termenung di dalam tenda. Sharba dan Cato baru saja pergi. Mayat Kevin telah dikuburkan, sementara teman-teman dekatnya di Pasukan Pengawal sudah selesai meratap.
Tapi Char sama sekali tak menitikkan air mata. Bahkan ketika Sharba dan Cato datang menjenguk karena khawatir, ekspresi Char tetap tenang. Seolah sosok yang menjerit histeris di gerbang kemah hari ini bukan dirinya.
Char duduk di tempat tidur, memegang selembar kain kasar di tangannya, mengusap garpu apinya berulang kali. Ia begitu asyik sampai tidak menyadari kedatangan Adrik, baru mengangkat kepala ketika Adrik sudah berdiri tepat di depannya.
"Tetap duduk." Adrik menekan bahu Char, menatap perban yang melilit tubuhnya: "Lukanya bagaimana?"
Char tertawa Hehe: "Nggak bakal mati."
Senyum kampungannya tetap polos dan lepas seperti biasa, bahkan sorot matanya sama sekali tak menyisakan kesedihan. Adrik menghela napas, melirik garpu api di tangan Char. Ekspresinya berubah sesaat sebelum memalingkan wajah: "Kau..."
"Aku baik-baik saja, Jenderal." Tiba-tiba Char berbicara dengan nada santai.
"Hmph?" Adrik terkejut.
"Beneran baik." Nada Char tegas: "Ini perang, pasti ada yang mati. Aku mengerti——cuma kali ini kematiannya Kevin, besok mungkin giliranku. Memang sudah jalannya, jadi..."
Ketenangannya yang nyaris dingin itu membuat kening Adrik berkerut: "Benar begitu pikiranmu?"
“Benar.” Ekspresi Char santai: “Hari ini saat melihat Kevin mati, saat itu aku merasa sangat marah. Bahkan ingin mengambil senjata dan berlari keluar gerbang kamp, menghabisi semua orang Odin. Tapi sekarang... Aku tidak marah lagi.”
Sampai di sini, Char bahkan tersenyum! Senyumannya riang dan santai, tapi sorot mata dingin yang tak biasa itu membuat Adrik waspada.
“Ayah angkatku pernah mengatakan satu hal——hmm, meski si tua itu juga bukan orang baik, beberapa ucapannya tetap masuk akal. Katanya: Menghadapi hal yang tak bisa diubah, terus-menerus bersedih atau marah atau mengamuk, ini semua tindakan pihak yang lemah.”
Char menghela napas seolah mengeluarkan kekusutan di dadanya, ia menyipitkan mata sambil tersenyum: “Jadi, bukan berarti aku tidak marah, atau tidak sedih——hanya saja aku tidak membiarkan diriku seperti itu. Aku... memilih untuk bertindak!”
“Bertindak? Melakukan apa?” Adrik memandang Char dengan heran.
Char mengerutkan kening, ekspresinya sangat serius, jawabnya pelan: “Membunuh, membunuh orang Odin. Inilah rencanaku. Aku akan melakukannya langkah demi langkah——sampai suatu hari nanti mereka habis semuanya.”
“Tapi...”
“Aku tahu ini sulit.” Char menyeringai mengejek: “Hmph, untuk orang Odin, jumlah mereka memang banyak, tapi hari ini aku bunuh sedikit, besok aku bunuh sedikit, perlahan-lahan kubasmi sampai aku tak sanggup lagi... Ada pekerjaan yang harus dilakukan, itu lebih baik daripada menyia-nyiakan waktu untuk berduka.”
Hari ini bunuh sedikit, besok bunuh sedikit, sampai tak sanggup lagi...
Adrik menarik napas dalam-dalam, dia terpana oleh sikap dingin yang melekat secara bawaan dalam nada suara Char!
