Keesokan harinya, surat penunjukan Jenderal Adrik dari Resimen Kavaleri ke-13 Pasukan Tetap Pusat Kekaisaran sebagai Wakil Menteri Urusan Militer di Markas Besar Militer Kekaisaran telah diserahkan ke Senat.
Tindakan Kaisar Cantos ini langsung menimbulkan keributan di kalangan penguasa ibu kota. Banyak orang yang peka mulai menebak-nebak, apa sebenarnya maksud Sang Kaisar Agung dengan keputusan ini.
Meski dalam kitab hukum pendirian Kekaisaran jelas tertulis bahwa pengangkatan menteri dan wakil menteri oleh Sang Kaisar harus melalui proses pemungutan suara di Senat terlebih dahulu, baru kemudian dilaporkan ke pejabat departemen terkait untuk ditandatangani.
Proses semacam ini sebenarnya sudah tinggal nama belaka sejak lama. Kemerosotan Senat telah mengalami proses ratusan tahun sejak awal berdirinya Kekaisaran hingga masa pertengahannya. Selama periode tersebut, para pemimpin Senat yang menganut prinsip demokrasi untuk membatasi kekuasaan kekaisaran telah berulang kali terlibat konflik sengit dengan keluarga kerajaan. Namun sistem "demokrasi pembatasan kekuasaan kekaisaran" ini sejak awal pendiriannya telah memiliki cacat bawaan yang tak terperbaiki - Senat sendiri tidak mengendalikan kekuasaan aktual sama sekali. Hal ini menyebabkan ketika kekuasaan kekaisaran terkonsentrasi, Senat hanya menjadi hiasan yang bisa berdiskusi tanpa hasil konkret.
Bisa dikatakan, konsep Senat pada awal berdirinya Kekaisaran memang baik. Namun cacat sistemik membuatnya berkembang menjadi demokrasi yang cacat.
Ketika kaisar benar-benar menguasai kekuasaan militer dan politik - jika menghadapi penguasa berkarakter lemah, Senat masih bisa sesekali bersuara. Namun jika menghadapi kaisar berkarakter tangguh dan berambisi kuat akan kekuasaan, Senat bahkan mungkin benar-benar berubah menjadi tempat diskusi kosong.
Oleh karena itu, sekitar dua ratus tahun lalu, seorang kaisar melakukan langkah lebih radikal: Kaisar saat itu secara paksa mengesahkan dekrit kekaisaran yang menyatakan hak istimewa kaisar untuk menerbitkan penunjukan khusus. Penunjukan ini cukup mendapat persetujuan Dewan Bangsawan, lalu bisa langsung menggantikan proses rekomendasi Senat dan diserahkan ke departemen terkait untuk ditandatangani dan disahkan.
Dan yang disebut Dewan Bangsawan, sebenarnya hanyalah kelompok bangsawan besar kekaisaran yang erat mengelilingi keluarga kerajaan—keluarga kerajaan adalah bangsawan terbesar di kekaisaran, sementara semua bangsawan lain, baik dari hierarki itu sendiri maupun kepentingan bersama secara umum, tentu akan bersatu dengan keluarga kerajaan. Bahkan pada akhirnya, mayoritas anggota Dewan Bangsawan yang disebut itu terdiri dari anggota keluarga kerajaan atau bangsawan yang memiliki hubungan pernikahan dengan kerajaan. Dengan demikian, setidaknya dalam hal penunjukan personel kekaisaran, praktis tidak ada lagi batasan terhadap kekuasaan kekaisaran!
Yang membuat kalangan penguasa berbeda di ibu kota terkejut kali ini adalah, Kaisar Tombak Berkuda ini tiba-tiba "kabel mana yang putus di otaknya", sampai-sampai menyerahkan dokumen penunjukan personel ke Dewan Senat?!
Dewan Senat?!!
Semua orang tahu bahwa sistem penunjukan personel melalui Dewan Senat telah ditinggalkan selama dua abad. Selama lebih dari 200 tahun, apalagi mengangkat seorang Menteri Urusan Militer yang terhormat, bahkan penunjukan pejabat kecil di departemen sepi pun tidak sempat disinggung oleh Dewan Senat.
Kaisar, apa sebenarnya yang dia inginkan? Apakah Kaisar Cantos sedang mabuk berat sebelum menandatangani dokumen penunjukan ini?
Atau jangan-jangan Kaisar Tombak Berkuda ini mulai pikun, ingin menjalin hubungan apa dengan Dewan Senat?
Berbagai tebakan ini bisa dimaklumi.
Yang paling membuat antara ingin tertawa dan menangis adalah Dewan Senat sendiri.
"Senat sudah dua ratus tahun tidak mengadakan rapat pengangkatan personel. Konon, ketika utusan istana mengirimkan dokumen yang ditandatangani Kaisar ke Senat, penjaga pintu Senat tiba-tiba melihat utusan istana berbaju brokat—mereka bahkan tidak mengenali pakaian resmi utusan itu. Senat sudah bertahun-tahun tidak menerima tamu dari istana.
Kedatangan utusan istana langsung membuat kekacauan besar di Senat yang biasanya sepi. Beberapa anggota tetap Senat yang sedang berada di lokasi buru-buru mengobrak-abrik lemari mencari pakaian terbaik, lalu bertengkar selama lebih dari setengah jam tentang tata cara menyambut utusan istana—ini pertama kalinya dalam dua abad terakhir! Akhirnya mereka terpaksa mencari referensi kasus berusia ratusan tahun dari arsip.
Ketika para senator akhirnya keluar menyambut, utusan istana sudah berdiri panas-panasan dengan muka kesal. Sementara para senator masih berdiri angkuh di ambang pintu, tidak memberi salam atau sikap ramah, malah membusungkan dada menghadang. Dari sikapnya, seandainya utusan nekat menabrak, mereka pun takkan minggir.
Ini maksudnya apa?
Utusan istana kesal, batuk kecil: "Saya membawa surat pengangkatan dari Kaisar, mohon Senat segera mengadakan rapat."
"Hmph!" Senator di tengah tiba-tiba mengaum keras sampai nyaris membuat utusan terjengkang, "Apakah Kaisar tahu, hak rakyat berasal dari kesejahteraan rakyat!!"
Otot di wajah utusan berkedut, tiba-tiba ia teringat perintah keras Yang Mulia Kaisar yang sepertinya menyebutkan pemandangan di depannya ini. Ia hanya bisa menundukkan kepala dan berkata: "Sang Kaisar mengetahui."
"Baik." Veteran pertama mengangguk puas, dengan senyum menjaga martabat sambil menggeser tubuh membuka jalan.
Veteran kedua masih berdiri di sana, tiba-tiba berteriak dengan suara bergemuruh: "Apakah Yang Mulia tahu, kekuasaan kaisar berasal dari rakyat!!"
Utusan mengatupkan gigi, menahan telinganya yang kesemutan akibat getaran: "Sang Kaisar mengetahui."
"Tidak buruk!" Veteran kedua menggeser tubuh membuka jalan.
Veteran ketiga ini tampak begitu tua hingga giginya hampir berjatuhan. Jubah sutranya meski terlihat mewah, bila diamati lebih dekat, penuh lubang ngengat dan mengeluarkan bau apek samar. Entah apakah ini barang yang baru saja dikeluarkan dari peti penyimpanan. Si kakek ini bahkan tampak kesulitan berdiri, napasnya tersengal-sengal. Sang utusan istana sampai khawatir, jangan-jangan orang tua ini kehabisan nafas dan segera dipanggil Sang Pencipta...
"Yang... Mulia... apakah... tahu... rakyat... datang... rencana... rakyat..."
Mulut kering yang renyah itu dengan susah payah menggetar-getar mengeluarkan beberapa kata, namun terdengar samar-samar. Utusan itu frustasi, si tua ini mungkin sudah setengah kaki masuk kubur, buat apa masih keluar? Tapi dia tak peduli apa yang diucapkan orang itu. Sebelum berangkat, Sang Kaisar telah berpesan: ritual masuk ini adalah tradisi kuno, tak perlu banyak tanya. Jika ada pertanyaan, cukup jawab "Sang Kaisar telah mengetahui".
Dengan suara lantang dia berseru. Si kakek tua mengangguk, hendak membalas "Ya benar." Tapi utusan yang sudah tak sabar ini lebih dulu menyelusup masuk lewat celah kerumunan.
Begitu masuk, langsung menyerahkan dokumen dengan kedua tangan ke tetua pertama. Dia menghela napas lega: "Surat resmi dari Sang Kaisar telah disampaikan. Jika perlu diadakan musyawarah, mohon segera diputuskan. Saya akan segera kembali melapor."
Usai bicara, melihat tiga tetua berbaris seolah hendak melakukan ritual kuno lagi, utusan yang sudah tak sabar ini segera menyelinap pergi.
Melihat utusan pergi, ketiga veteran itu serentak menghela napas. Yang paling tua langsung limbung, dua pengawal segera menyangga. Salah satu tetua membuka dokumen: "Hah? Jenderal Adrik diangkat sebagai Wakil Menteri Urusan Militer Kekaisaran?!"
Kedua lainnya terdiam membeku. Bahkan si kakek tua yang nyaris roboh tadi tiba-tiba berdiri tegak, mata membelalak memandang kedua rekannya.
Setelah lebih dari setengah hari, ketiga orang itu tiba-tiba menunjukkan ekspresi girang: "Kemenangan besar! Kemenangan besar!! Cepat! Segera keluarkan perintah panggilan! Kumpulkan semua anggota Dewan Tetua, hari ini harus sampai ke tangan semua orang! Kemenangan besar!! Kaisar menyerahkan penunjukan sepenting ini ke Dewan Tetua, ini adalah kemenangan besar demokrasi dan hak sipil atas kekuasaan kekaisaran!!!"
Ketiganya menunjukkan ekspresi terpesona. Setelah tertawa terbahak-bahak sejenak, yang berdiri di tengah akhirnya menghela napas pelan sambil termenung: "Ha... Dengan dasar urusan ini, dana bulan depan seharusnya bisa cair lebih cepat. Hmm, belakangan ini setiap hari hanya makan sawi putih, sudah mulai bosan. Sekarang, bisa makan daging ya?"
Dua anggota dewan lainnya mendengarnya, wajah mereka langsung menunjukkan ekspresi simpati. Tiba-tiba suasana menjadi riang gembira, bahkan yang paling tua pun mengayunkan tangan dan kakinya. Terdengar seorang anggota dewan terus bergumam: "Daging, makan daging..."
Tiga anggota dewan yang biasanya dihormati ini berperilaku seperti itu, membuat beberapa pelayan muda di samping mereka bingung. Para pelayan muda ini tidak pernah mengenyam pendidikan, konsep seperti demokrasi dan hak sipil tentu sama sekali tidak mereka pahami. Namun melihat tingkah tiga tuan mereka.
Hmm... Apakah demokrasi ini berarti bisa makan daging?
※※※
Pengangkatan jabatan yang baru diadakan pertama kali dalam dua ratus tahun ini langsung menggemparkan seluruh Kota Kekaisaran. Setelah surat panggilan dikeluarkan hari itu, tercatat ada 163 anggota dewan yang masih aktif dengan hak suara. Tapi setelah panggilan ini, baru diketahui jumlahnya jauh berkurang.
Aslinya, Senat yang sudah punah ini, sehari-hari hanya mempertahankan sekitar tiga puluh lebih anggota tetap untuk melakukan pekerjaan rutin——yang disebut pekerjaan itu tak lain adalah kumpulan elite sosial Ibu Kota yang berkumpul secara berkala di kompleks Senat ini. Dengan dalih "membatasi kekuasaan kekaisaran dan menerapkan demokrasi", mereka mengkritik kebijakan negara terkini. Jujur saja, ini cuma tempat mereka mengeluh dan berwacana kosong. Banyak di antara mereka yang berkata "Seandainya aku jadi perdana menteri akan..." atau "Jika aku menteri militer akan mereformasi..." atau "Andai aku hakim agung kekaisaran akan menegakkan hukum..."
Tak perlu dikatakan, di sini sedikit yang benar-benar kompeten. Kebanyakan adalah orang-orang bodoh yang sok pintar tapi penuh keluhan. Seperti kata pepatah: manusia mengejar yang tinggi, air mengalir ke yang rendah. Sudah bertahun-tahun Senat merosot, tanpa kekuasaan maupun pengaruh, mana mungkin bisa mempertahankan talenta sejati?
Tapi pertemuan rutin ini punya satu keuntungan: tak sedikit elite sosial yang suka gaya-gayaan sok intelek, mengaku peduli urusan negara dan rakyat——mereka cuma kalangan kelas dua atau tiga. Lingkaran dalam kelas satu? Mustahil masuk. Di sini mereka cuma bisa berkoar kosong, mengeluh tentang nasib tak dihargai. Meski dari kalangan menengah, banyak yang kaya raya, bahkan beberapa masih menyandang gelar kebangsawanan kecil-kecilan.
Setiap kali berkumpul, mereka selalu mengadakan penggalangan dana. Hasilnya dipakai untuk membiayai operasional harian Senat.
Selain itu, untuk menunjukkan "warna demokrasi dan hak rakyat" mereka, Senat juga mengirimkan keanggotaan dengan hak resolusi ke pihak swasta - para tokoh terkemuka dari berbagai industri, sarjana terpelajar, elite, dll. Tentu saja, pemandangan seperti ini hanya terlihat lebih dari dua abad yang lalu, sekarang sudah tidak ada lagi.
Kini Senat telah berubah menjadi tempat sepi, bahkan kualifikasi keanggotaan resolusi mereka terkadang sulit didistribusikan!
Mengapa?
Kualifikasi resolusi ini sehari-hari tidak ada gunanya! Di Senat yang besar ini, pekerjaan sialan apa yang perlu diputuskan? Tapi untuk keanggotaan resolusi ini, setiap tahun masih harus membayar iuran, siapa yang mau?
Akhirnya, standar keanggotaan terus diturunkan sampai tidak bisa lagi, namun kualitasnya tetap bervariasi - begitu sudah diturunkan, ingin dinaikkan kembali menjadi sulit.
Oleh karena itu, ketika perintah pengumpulan ini turun, Kota Kekaisaran langsung gempar. Namun sampai malam hari, lebih dari seratus anggota resolusi dalam daftar belum lengkap tercatat. Seorang pelayan Senat buru-buru melapor:
"Anggota tertentu telah meninggal dunia bertahun-tahun yang lalu."
"Anggota tertentu sudah pindah rumah seluruh keluarga."
"Anggota tertentu telah memeluk gereja, mengabdikan sisa hidupnya untuk melayani dewa, tidak peduli urusan duniawi."
Setelah dihitung akhirnya, mengesampingkan mereka yang sudah tua, sakit, lalu meninggal, menghilang tanpa jejak, atau yang melampaui urusan duniawi... Hasil sensus terakhir yang masih berada di Kota Kekaisaran, dalam keadaan hidup, bisa bernapas, mampu bergerak, dan otaknya normal dari anggota resolusi ini—ternyata hanya delapan puluh delapan orang!
Tiga anggota senat saling memandang, sama-sama menunjukkan ekspresi frustasi.
Kalau begitu... sudahlah! Delapan puluh delapan ya delapan puluh delapan! Ada lebih baik daripada tidak sama sekali.
Kemudian dikirimkan surat undangan bertanda tangan tiga anggota senat ke kediaman Jenderal Adrik di Kota Kekaisaran, menjanjikan pertemuan musyawarah keesokan harinya.
※※※
Keesokan paginya, tiga anggota senat yang semalaman tak bisa tidur karena antusiasme—peristiwa besar yang belum pernah terjadi selama dua ratus tahun akhirnya mereka alami! Seandainya Yang Mulia Kaisar benar-benar mengalami gangguan pikiran, semoga para dewa memberkati, gangguan semacam ini lebih baik sering terjadi!
Sambil membayangkan diri mereka sebagai anggota Senat yang mengalami peristiwa bersejarah dua abad, pastinya nama mereka akan tercatat dalam buku sejarah!
Namun antusiasme itu seketika memudar ketika ketiga anggota senat menunggu para anggota resolusi yang datang memenuhi panggilan musyawarah pagi itu... Tiga orang itu serentak terdiam!!
Ini... ini... sialan! Inikah anggota Dewan Suci yang mengusung kekuasaan rakyat sebagai prinsip dasar?!!
Berdiri di tangga Senat, ketiga anggota itu serentak tercengang:
Di pintu masuk utama Senat, sebuah kereta sapi menyumbat tangga pintu utama. Roda kereta itu terperosok dalam lubang tanah di jalan. Kusir yang semula duduk miring dengan kaki terlipat kini sudah melompat turun, sambil menarik kepala sapi dengan sekuat tenaga. Sapi itu terus mengeluarkan suara "moo-moo" yang keras.
Kerumunan orang berbagai profesi sudah berjejal di depan pintu. Begitu pintu Senat terbuka, mereka langsung berhamburan mendekat: "Pintu dibuka! Cepat-cepat!"
"Tunggu! Tunggu dulu!!!" Salah satu dari tiga anggota Senat yang lebih muda itu panik, buru-buru memanggil pelayan: "Tutup pintunya! Yang di luar, sebutkan nama dan pekerjaan kalian satu per satu!"
Seorang wanita muda berbaju katun kecil memeluk anaknya dengan dada berisi: "Suamiku pandai besi. Dia ada pekerjaan hari ini, jadi saya mewakilinya... Eh, saya tidak punya nama."
Seorang pria kekar berbau amis darah dengan pisau pemotong daging terselip di pinggang: "Aku tukang potong babi!"
Seorang pria paruh baya berlengan baju kotor tanah: "Saya tukang kebun."
Pemuda kurus pendek itu melotot: "Ayah saya sudah meninggal, saya mewakilinya."
……
……
Terakhir... ada seorang pemuda pucat dengan semburat kebiruan di wajahnya. Meski berada di bawah terik matahari, auranya tetap terasa dingin dan mistis: "A... Aku... Aku adalah... Aku..."
Pada titik ini, hati ketiga anggota majelis sudah dingin. Mendengar orang terakhir di rumah ini berbicara terbata-bata, salah satu anggota majelis tak tahan lagi, mengerutkan kening dengan geram dan berteriak: "Sebenarnya kau ini bekerja sebagai apa?"
"Aku..." Pria pucat beraura feminin itu tiba-tiba malu-malu: "Aku... aku dari rumah bordil..."
Tiga anggota majelis belum paham. Tukang jagal sebelumnya tiba-tiba tersenyum, menuding pria itu: "Ah, ternyata seekor kelinci."
……
Ketiga anggota majelis ini, pada saat ini rasanya ingin mati saja!!
Senat yang terhormat, simbol hak rakyat yang didirikan sejak awal berdirinya Kekaisaran, justru merosot ke tingkat seperti ini?!
Rakyat jelata biasa masih bisa dimaklumi! Tapi... tapi... bahkan kelinci sialan dari rumah bordil juga jadi anggota dewan penentu Senat?!
Ketiga anggota majelis saling pandang. Akhirnya, anggota di tengah batuk-batuk kecil, mengerutkan kening: "Jangan ribut! Ini keterlaluan!! Dari mana kalian mendapatkan keanggotaan ini! Menurut peraturan Senat, yang layak jadi anggota harus memiliki tingkat pendidikan tertentu. Lihatlah kalian..."
Anggota majelis ini menghentakkan kaki keras-keras, mendengus: "Semua diam! Dengarkan aku! Di antara kalian, siapa yang bisa membaca aksara Bizantium, bisa membaca dan menulis, majulah ke depan!"
Tapi pertanyaan ini diulang tiga kali. Yang terlihat hanyalah para hadirin di bawah saling pandang, saling menatap, tak satu pun yang benar-benar melangkah maju.
Sang veteran itu dipenuhi kemarahan dan kepedihan di hatinya, hendak mengeluarkan beberapa desahan sedih, tiba-tiba pria bermuka hijau yang feminin dengan aura yin itu mengangkat tangannya dengan ragu: "Itu... aku..."
Sang veteran berseri-seri: Ternyata masih ada yang bisa membaca! Bagaimanapun, punya itu lebih baik daripada tidak sama sekali!
Namun, ketika pria feminin ini melanjutkan perkataannya, ucapannya adalah:
"Aku... meski tidak bisa membaca, tapi bisa berhitung! Dari satu sampai seratus, tidak masalah."
Bisa menghitung? Dari satu... satu... sampai seratus??
Seandainya sang veteran ini tidak memiliki ketahanan mental yang cukup, mungkin kepalanya sudah menghantam tangga sampai mati di tempat!
Berhitung?! Di dalam Senat yang berisi elit-elit terpilih dari generasi ke generasi, ada sejarawan peradaban Benua, peneliti, penemu, politisi, ahli strategi militer, bahkan banyak seniman...
Tapi sekarang, seorang yang hanya bisa "menghitung dari satu ke seratus" justru menjadi anggota resolusi dengan tingkat literasi tertinggi?! Jika para senior generasi sebelumnya tahu, mungkin mereka akan bangkit dari makam karena marah!
Memikirkan ini, hatinya dipenuhi kesedihan, semangat dan harapan yang tersisa sebelumnya sudah sirna tak berbekas!
Sang veteran bermuka merah padam: "Menghitung sampai seratus?! Hmph, kau masih bisa menghitung sampai seratus!!"
Kalimat sarkasnya sama sekali tidak ditangkap oleh pria bermuka hijau itu: "Ah, iya! Biasanya aku bisa menyelesaikan empat transaksi sehari, dalam sehari bisa dapat penghasilan seratus koin tembaga."
Sang veteran tersenyum dingin: "Oh, kalau begitu, setiap... transaksi...mu menghasilkan dua puluh lima koin tembaga?"
Pemuda bermuka hijau yang feminin dengan aura yin itu tiba-tiba terlihat heran: "Yi? Tuan tua ini, bagaimana Anda tahu?!! Ah, jangan-jangan... jangan-jangan Anda pernah ke tempat saya... Hmm, tapi saya kok tidak punya kesan sama sekali dengan Anda..."
"...Plak!" Semburan darah segar.
"Aduh! Yang Mulia Veteran! Yang Mulia Veteran... Aiyo! Cepat panggil orang! Yang Mulia Veteran!!"
