Senja.
Matahari musim dingin memang singkat, langit cepat gelap. Bersamaan dengan desiran angin dingin, suara terompet militer yang berat terdengar dari luar kota.
Di utara Kekaisaran ini, di tengah zaman kacau, semua orang tahu – terang maupun diam-diam – bahwa nasib negara ini seolah telah mencapai ujungnya. Semua juga paham, di masa perang ini, bisa bertahan hidup sudah merupakan keberuntungan besar. Dalam penderitaan, tak ada lagi yang bisa diminta.
Hanya di kota kecil ini masih ada kedamaian, masih ada pasukan yang berkemah di dalam kota. Sosok yang awalnya disebut "Penjaga Kota", lalu "Administrator County", hingga akhirnya dipanggil "Marsekal" itu, rupanya masih cukup disegani. Di Kota Danzeer yang terhindar dari sapuan perang ini, bisa melewati hari dengan damai di tengah kekacauan, memang sesuatu yang langka.
Terutama dua kali sehari, pagi dan petang, ketika suara latihan pasukan dari markas luar kota bergema – awalnya suara terompet militer ini dianggap mengganggu, namun seiring waktu, orang-orang mulai terbiasa. Malah kini, mendengar terompet latihan pasukan itu telah menjadi hiburan tersendiri.
Setidaknya, masih ada pasukan yang berkemah di luar kota. Masih ada yang menjaga tanah ini. Itu semua menjadi simbol keamanan yang berharga...
Sosok itu Tuan Char sepertinya adalah pria yang sangat berkemampuan. Konon pernah bertugas di Kavaleri Rodrian, menorehkan jasa besar, mendapat apresiasi Kaisar, dan dihormati di pasukan. Setahun ini, telah mengumpulkan pasukan sebanyak ini, berhasil memukul mundur orang Odin yang liar. Semua orang bisa melihat dengan mata kepala sendiri, kekuatan militer di sekitar Kota Danzeer semakin hari semakin makmur, pantas disebut sebagai pasukan kuat dan kuda perkasa. Ditambah kontrol opini publik, serta sensasi seperti "Penyihir Besar Berjubah Putih Duoduo Luo" yang baru-baru ini tenar.
Tempat ini seakan menjadi wilayah paling aman di Utara Kekaisaran.
Konon di Selatan, County Siltan dihancurkan oleh orang Odin: tanah direbut, kota jatuh, desa dibakar, pria pemberani dibantai, sisanya dijadikan budak, perempuan dinodai oleh orang Odin yang kasar. Di musim dingin ini, demi menghemat persediaan makanan, orang Odin di Selatan konon membantai dan menguburkan para prajurit tua dan lemah dalam jumlah besar...
Segala legenda mengerikan ini membuat kedamaian di utara County Moore semakin berharga di zaman kacau ini. Bahkan setiap hari, tatapan warga yang melihat prajurit berpatroli di kota penuh rasa hormat dan terima kasih.
※※※
Suara terompet di luar kota bergema jauh dan serius, namun akhirnya perlahan mereda. Ini adalah latihan terakhir di markas luar kota sebelum matahari terbenam.
Setelah terompet selesai, Kota Danzeer akan menutup gerbang kota dan memberlakukan jam malam.
Di masa perang, beberapa hari sebelumnya pasukan besar telah berangkat berperang. Sebagai basis belakang, Kota Danzeer secara alami meningkatkan tingkat kewaspadaan beberapa level.
Sebagai sarang Char, di kemah militer luar Kota Danzeer terdapat Divisi Kedua dari Komando Wilayah Utara - meskipun divisi ini jauh kurang elit dibanding Divisi Pertama, baik dari peralatan maupun pelatihan agak mengecewakan, didominasi rekrutan baru ditambah persediaan yang tetap terbatas. Perlu diketahui, wilayah kekuasaan Char saat ini hanyalah County Moore yang kecil ini. Hampir semua sumber daya keuangan dan material dihisap habis-habisan. Dengan wilayah kecil ini namun memelihara dua divisi pasukan, jika di masa normal tentu sudah ambruk, satu-satunya hasil adalah kehancuran.
Untungnya ada dukungan besar emas dari orang-orang Zhaku, ditambah di masa perang Char tanpa tedeng aling-aling menerapkan sistem, menyita hampir semua material yang bisa disita: makanan, besi, semuanya diserahkan untuk dibagikan... Meski perintah ini kejam, di masa seperti ini rakyat tetap diam-diam menahan diri. Bagaimanapun, semua tahu di zaman kacau ini bisa bertahan hidup sudah merupakan keberuntungan besar. Meski sang Marsekal ini agak kejam dalam meminta uang dan makanan, membangun pasukan seperti ini juga untuk kemampuan mempertahankan diri. Jadi meski hidup menderita, tetap bisa ditahan.
Untuk membuat persenjataan, hampir semua peralatan besi disita. Saat pengumpulan, barang-barang seperti pisau dapur dan wajan besi milik warga biasa juga termasuk dalam daftar penyitaan.
Saat senja seperti ini, di dalam kota terlihat beberapa keluarga berkumpul untuk berbagi satu wajan saat memasak.
Konon, untuk mengumpulkan besi, bahkan pelindung pintu gerbang kantor komandan county pun dicopot.
Di masa damai, praktik seperti ini dianggap sebagai mobilisasi militer yang berlebihan. Tapi di situasi seperti sekarang... tidak ada pilihan lain.
Bertahan, diam-diam bertahan. Hidup bisa lebih sederhana, makanan seadanya, tanpa peralatan besi, menghemat persediaan untuk pasukan.
Asalkan... benar-benar bisa menjamin kedamaian, itu sudah cukup.
Setidaknya, tinggal di Kota Danzeer ini dengan makanan di wajan dan atap di atas kepala, masih jauh lebih baik daripada nasib County Syltan di selatan yang dikuasai orang Odin - pria jadi budak atau hantu gentayangan, perempuan disiksa barbar Odin, orang tua dan lemah dibantai.
Setelah terompet terakhir berbunyi, gerbang Kota Danzeer perlahan mulai tertutup.
Prajurit patroli di kota mulai berjaga-jaga. Semua rumah menutup pintu dan jendela. Setelah matahari terbenam, jalanan dilarang untuk pejalan kaki.
Kemeriahan perdagangan di wilayah perbatasan seperti dulu, sudah tak terlihat lagi.
※※※
Kantor komandan county, yang sekarang telah berubah menjadi kediaman Marsekal, di halaman belakang, Adeline berdiri di pelataran, hanya berdiri dengan tenang, matanya memandang langit di selatan, angin dingin menerpa pipinya yang halus, menyusup melalui celah kerah bajunya, dingin menusuk tulang.
Adeline menunggu lebih dari cukup hingga cahaya terakhir matahari benar-benar tenggelam, baru kemudian menghela napas perlahan. Sepasang sorot mata yang cerah itu, melintas bayangan kekecewaan samar.
Di belakangnya, di ambang pintu ruangan, Dafeny, sang Permaisuri Kekaisaran Bizantium yang sekarang, berdiri di tepi pintu, memandangi Adeline dengan tenang.
Kepalanya mengenakan syal, menutupi seluruh rambut pirang berkilau miliknya. Wajah cantiknya yang dahulu mampu mengguncang negara, setelah mengalami penyiksaan penyakit berkepanjangan, kini tampak pucat. Dagunya terlihat lebih runcing, lubang mata lebih dalam, kulit wajah kehilangan cahaya merah darah, namun justru menambah keindahan lemah lembutnya.
Melihat Adeline termenung ditiup angin di pelataran, sang Permaisuri akhirnya tidak berbicara untuk menghibur.
Dia sudah terbiasa.
Sejak Char pergi berperang, Adeline hampir setiap malam berdiri di pelataran memandang ke selatan dengan tatapan kosong, hingga matahari terbenam, baru mau kembali ke kamar.
Pada dua hari pertama, Dafeny masih berusaha menghibur, khawatir sahabatnya yang sudah seperti saudari sejak kecil ini benar-benar jatuh sakit karena kedinginan. Namun setiap nasihatnya sia-sia. Berdiri di angin dingin sambil memandang ke selatan hingga matahari terbenam justru menjadi semacam penghiburan psikologis yang unik bagi Adeline.
Setelah dua hari berlalu, di hati Dafeny yang menyaksikan adik kesayangannya begitu khawatir dan terikat perasaan, kekhawatirannya sendiri justru perlahan berubah rasanya. Entah sejak kapan, seutas kekaguman muncul dari dalam hati, dan tak bisa lagi disembunyikan.
Ya, ini kekaguman. Kekaguman yang sesungguhnya.
Emosi ini bahkan tak bisa dipahami oleh Dafeny sendiri.
Mungkin, ini hanyalah kekaguman yang polos.
Entah itu ikatan batin atau kecemasan.
Setidaknya, di hati adikku ini masih ada seseorang yang dirindukan.
Setiap hari ia memandang ke selatan. Setidaknya, di selatan masih ada pria yang ditunggunya.
Sedangkan diriku sendiri, seolah hidup dalam linglung.
Ikatan batin?
Masih adakah orang atau hal yang melekat di hatiku?
Ayah? Klan?
Dalam hati Dafeny tersembunyi sebuah pikiran yang selama bertahun-tahun mungkin bahkan tak ingin diakuinya sendiri. Sejak ayahnya demi tujuan politik menikahkannya ke keluarga kerajaan, menjadikannya putri mahkota yang terhormat, tampak megah berkilauan namun sesungguhnya telah mendorong putrinya masuk ke pusaran dingin ini.
Mungkin, sejak saat itulah benih dendam terhadap ayah mulai tumbuh dalam hatinya!
Hmph, memang dendam.
Veteran pasukan pun apa? Jenderal termasyhur generasi ini pun bagaimana? Merajai dunia politik pun lalu apa?
Pada akhirnya, bahkan tak bisa mempertahankan putri sendiri, mendorong anak perempuannya bagai barang dagangan, sebagai tawaran, sebagai modal transaksi, ditukar demi keamanan keluarga dengan kerajaan?
Lalu suami?
Mengingat "suami" nominalnya itu, Dafeny merasa bahkan tak punya tenaga untuk tersenyum pahit.
Sepertinya, di seluruh lingkaran bangsawan kekaisaran, dirinya hanyalah lelucon besar belaka.
Kecantikan kelas satu pun apa? Ratu kecantikan nomor satu pun lalu bagaimana?
Suami itu... Pernahkah sekali pun ia memandang langsung dirinya?
Setiap perempuan, setiap gadis, sejak usia semerbak bunga, siapakah yang tak pernah bermimpi? Siapakah yang tak berfantasi tentang seseorang di masa depan yang akan menyayanginya bagai koleksi premium berharga?
Namun mimpinya sendiri mungkin telah tercekik mati sejak awal!
Lainnya?
“Sudahlah, sudahlah.”
Terkadang, dalam hati Dafeny bahkan hampir tak tahan berpikir: Seandainya aku benar-benar mati, lalu bagaimana?
Sepertinya... juga seperti ini. Di dunia ini, dirinya bisa dikatakan tanpa ikatan sama sekali, hidup atau mati, jantung tetap kosong.
Seseorang tanpa ikatan, meskipun terhormat, cantik—apakah masih ada perbedaan antara hidup dan mati?
Saat Dafeny menyenderkan tangan di pintu sambil menghela napas panjang penuh makna, Adeline akhirnya menoleh dan memberinya senyum tipis.
“Anginnya sangat dingin, masuklah.” Si Menyedihkan sepertinya tak hanya khawatir untuk diri sendiri, tapi juga untuk saudari ini: “Tubuhmu belum pulih sepenuhnya, setiap hari menemani aku berangin-angin di sini. Kalau penyakitmu kambuh lagi, harus bagaimana?”
Sambil berkata, dia mendekat dan memeluk Dafeny dengan lembut. Tubuh lembutnya bersandar pada sahabat yang dianggapnya seperti kakak kandung ini, wajahnya menempel di bahu Dafeny, menyentuh lehernya, lalu tiba-tiba berbisik pelan: “Aku... aku sangat khawatir.”
Dafeny menghela napas, memeluk adik ini dengan lembut. Setelah berpikir panjang, akhirnya kata-kata penghiburan tetap tak terucap. Hanya berkata pelan: “Ayo masuk.”
Di dalam ruangan tentu saja hangat. Perapian yang menyala membuat kehangatan cahaya api menyebar ke seluruh ruangan.
Begitu masuk ke kamar, Adeline langsung menghentakkan kakinya ke lantai, lalu menyodorkan secangkir air hangat ke tangan Dafeny. Matanya menatap Dafeny sejenak sebelum berbisik, "Sejak dia berangkat ekspedisi, kau pindah ke sini untuk menemaniku. Dua hari terakhir terkena angin, wajahmu mulai pucat lagi. Ini salahku. Mulai besok, takkan kubiarkan kau kena angin lagi."
Dafeny memegang erat cangkir hangat di tangannya, namun rasa bingung tiba-tiba menyelinap di hatinya saat memandangi Adeline di hadapannya.
Perasaan aneh tak terduga mulai menggeliat dalam dadanya.
Selama bertahun-tahun, dalam hubungan mereka berdua, dirinya selalu berlaku seperti kakak perempuan. Adeline yang manja itu bagai adik kecil yang terus menerus dijaganya. Tapi kini, perlahan-lahan, sang "adik" yang dulu kekanak-kanakan itu mulai menunjukkan kedewasaan. Bukan hanya mulai punya kepedulian, tapi juga tampak paham cara merawat orang lain.
"Dia memang kejam. Begitu mudah memutuskan ekspedisi, tanpa memikirkan betapa kau merindukannya..." Dafeny menggeleng pelan, "Laki-laki memang selalu dipenuhi ambisi. Dia pun rupanya tak berbeda."
Tiba-tiba dia teringat sesuatu, "Dia menghilang beberapa hari lalu, lalu buru-buru kembali hanya untuk berangkat perang. Apa dia bicara soal pernikahan? Kau sudah menempuh ribuan li untuknya. Setelah sekian lama, setidaknya status resmi harusnya diberikan. Bagaimana kalian mengadakan pernikahan sederhana di kota ini? Sekasar apapun, pasti bisa diatur... Menunda-nunda begini..."
Adeline menggelengkan kepala, wajahnya tenang, berkata lembut: "Dia pasti punya pekerjaan yang harus dilakukan, begitu banyak beban menindihnya, seluruh hierarki, puluhan ribu tentara, nyawa ratusan ribu rakyat semuanya menindihnya, hatinya sudah penuh, bagaimana aku bisa menambah masalah ini untuk mengganggunya."
Dafeny menundukkan kepala berpikir sejenak, tiba-tiba berubah pucat: "Dia terus menunda tidak mengadakan pernikahan denganmu, apakah karena tidak yakin? Di masa pertempuran kacau, dia mungkin takut sesuatu terjadi padanya, tidak berani membebanimu... Jika benar begitu, berarti dia masih memikirkanmu dalam hatinya, hah..."
"Bukan begitu." Adeline tersenyum tipis, berkata lembut: "Jika dia benar-benar berpikir seperti itu, meski aku akan tersentuh, tapi lebih akan marah. Karena aku sudah meninggalkan segalanya ke sini untuk mengikutinya, sudah tidak ada lagi pikiran lain dalam hatiku. Entah dia Marsekal atau tukang kuda, aku akan tetap mengikutinya. Peduli apa beban atau tidak. Char bukan orang yang ragu-ragu, kalau ada hal yang belum dia pahami, dia akan ragu, tapi begitu sudah jelas, bertindak lebih tegas dari siapapun. Dia sudah jelas bilang padaku, berkata..."
Di sini, Si Menyedihkan memerah wajahnya, suaranya semakin pelan, berbisik: "Dia bilang, seumur hidupku, aku sudah ditakdirkan menjadi perempuan miliknya. Ini tak bisa diubah bahkan oleh dewa sekalipun. Takkan pernah berubah lagi, takkan pernah! Di tengah Pertempuran Kacau, ada yang hidup dan mati. Hal-hal ini sudah dia pikirkan, sudah aku pikirkan juga. Bahkan... bahkan jika terjadi sesuatu, sekalipun mati, aku tetap perempuannya, dia tetap lelakiku. Takkan pernah berubah. Sebenarnya, sebelum ekspedisi militer, sudah aku bilang padanya: Jika dia mengalami musibah di depan, aku pun takkan hidup sendirian di dunia ini. Sekalipun pergi ke dunia lain, aku harus tetap bersamanya! Mengikutinya!"
Wajah Dafeny berubah, berteriak kaget: "Bagaimana bisa kamu punya pikiran seperti ini?! Perang tak memiliki mata, bagaimana jika... sekalipun Marsekal Jenderal Besar, di tengah perang, siapa yang bisa menjamin pasti selamat?! Jangan sampai ada pikiran absurd seperti ini di hatimu!!"
Namun wajah Si Menyedihkan tak berubah, sorot matanya justru semakin lembut, berkata pelan: "Hm, kamu memarahiku... Dulu saat aku ungkapkan isi hati ini padanya, aku juga khawatir dia akan menghardikku. Tapi tahukah kamu? Kakak Dafeny, dia tidak memarahiku."
"...Apa?" Hati Dafeny terasa berat: "Dia... dia tidak memarahimu? Lalu dia bilang apa?"
Si Menyedihkan seolah tersenyum, berkata lembut: "Dia mendengar kata-kataku, terdiam sejenak, lalu berkata padaku: 'Bagus! Inilah perempuan milikku Char! Sekalipun mati, kau tetap milikku! Takkan ada yang bisa merebutmu! Demi ucapanmu ini, aku harus bertahan hidup. Tenang, di dunia ini, belum ada senjata yang bisa membunuh priamu! Sekalipun dewa ingin membunuhku, Laozi akan bertarung habis-habisan, merangkak pun akan kembali hidup ke sisimu.'"
Setelah mengucapkan ini, senyum Si Menyedihkan semakin lebar, kebahagiaan dalam sorot matanya tak coba disembunyikan. Memandangi Dafeny, ia berbisik lembut: "Kakak, dengar! Pria ini selalu bicara dan bertindak kacau-balau, absurd dan mengerikan. Tapi, justru karena itulah aku menyukainya, mencintainya!"
Dafeny terdiam, hatinya dipenuhi kebingungan. Samar-samar, ada rasa kehilangan yang tak terungkap.
Ucapan seperti itu terasa absurd sampai puncaknya. Ingin menegur, tapi seolah tak ada satu baris pun yang bisa diucapkan.
Kedua makhluk ini - satu brengsek, satu absurd. Tapi kebahagiaan manis dalam kata-kata mereka... itu...
...adalah sesuatu yang benar-benar kukagumi!
Yang satu berkata: Aku mau mati untukmu.
Yang lain menjawab: Baik, mari mati bersama.
Sungguh absurd sampai tingkat tertinggi, tapi jika bukan karena cinta yang mendalam, bagaimana mungkin mengucapkan kata-kata seperti ini?
Apakah dengan memiliki ikatan dan cinta dalam hati, kebahagiaan absurd seperti ini benar-benar bisa ada?
“Si Menyedihkan memandangi penampilan Dafeny yang terdiam, lalu mendekat dan menggenggam tangan perempuan itu dengan lembut sambil berkata lembut: 'Kakak baik, jangan pernah mengulangi ucapan ini pada siapa pun. Apalagi... apalagi pada ibu angkat Char, Tuan Merlin. Sejujurnya, aku masih sangat takut padanya.'”
Dafeny menjawab dengan setengah hati sambil tertawa pahit: 'Aku sendiri tidak berani bertemu Tuan Merlin itu. Jika saja dia tidak sedang pergi dari kota, mana mungkin aku berani pindah ke sini untuk menemanimu... Percayalah, tidak akan ada kesempatan bagiku untuk membicarakan ini dengannya.'”
Si Menyedihkan tersenyum tipis.
Kedua gadis itu saling berpegangan tangan, mata bertemu mata. Dafeny menatap bola mata Si Menyedihkan, hatinya dipenuhi rasa tak tentu antara kekhawatiran dan kekaguman, membuatnya terdiam sejenak.
Keheningan tiba-tiba pecah oleh suara yang bergema dari atas kepala mereka, membuat kedua gadis itu terkejut!
"Bagus! Meski ucapanmu gila, tapi justru cocok dengan selera Perempuan Gila Merlin itu. Jangan takut memberitahunya - malah dia akan semakin menyukaimu. Aku paling paham sifat wanita sinting itu. Hah! Kau dan si brengsek kecil memang pasangan yang serasi!"
Bersamaan dengan teriakan itu, bayangan pria muncul tiba-tiba di tengah ruangan!
Sosok itu muncul secara spontan tepat di hadapan kedua gadis.
“Rambutnya berwarna perak keabu-abuan yang tidak jelas, pakaiannya lumayan rapi, jenggotnya bersih dan teratur. Dari penampilannya, usianya sudah tidak muda lagi. Tapi sepasang matanya yang luar biasa tajam dan bersinar sama sekali tidak seperti bola mata yang dimiliki orang sepuh.”
“Kehadiran mendadak orang tua ini membuat kedua gadis terdiam sejenak. Dafeny hendak berteriak kaget, tapi orang ini hanya mengangkat tangannya perlahan. Seketika napasnya tersekat, teriakan kagetnya terpaksa ditahan di tenggorokan, tak bisa keluar sama sekali.”
“Jangan berisik. Aku bukan orang jahat... Eh, maksudku aku si orang tua ini juga bukan orang baik-baik.”
Si kakek tua itu menggaruk-garuk rambut tengkuknya sambil tertawa pahit, “Aku ini teman lama Merlin, cuma mau berkunjung. Ngomong-ngomong, aku juga punya sedikit hubungan dengan brengsek kecil itu, si Char.”
Teman lama Merlin?
Kalimat itu sedikit menenangkan hati kedua gadis. Kali ini, justru Si Menyedihkan yang terlihat lebih tenang dibanding Dafeny. Ia menatap tajam orang tua di depannya, tiba-tiba bertanya, “Kalau Tuan memang teman Tuan Merlin, kenapa tidak masuk lewat pintu, malah dari... dari langit...”
Ekspresi si kakek menjadi aneh, “Di kota ada para spirit itu. Aku tidak akur dengan mereka. Bisa-bisa langsung berkelahi kalau ketemu. Lagi pula sebagai tamu, tidak baik membuat tuan rumah kesulitan. Lebih baik aku menyelinap masuk, menghindari para makhluk itu.”
Si Menyedihkan mengangguk pelan.
Sejujurnya, dia toh lebih memahami Char dibanding Dafeny, dan tentu lebih tahu temperamen dan sifat Merlin, "ibu angkat" Char ini. Jika Merlin bertindak sangat tak normal, maka bisa ditebak, teman-temannya pastilah orang-orang dengan cara aneh juga?
Meski si kakek tua ini tampak aneh, raut wajahnya ramah, benar-benar tak terlihat berniat jahat.
Dafeny tetap tak tenang, secara refleks menarik Si Menyedihkan ke sisinya, maju setengah langkah melindungi di depan adik perempuannya.
Walau dia sendiri perempuan lemah, jika lawan benar-benar berniat jahat, mana mungkin dia bertahan. Hanya kebiasaan bertahun-tahun yang membuatnya refleks menjaga adiknya ini.
Tindakan ini membuat si kakek tua tersenyum tipis, lalu aktif mundur dua langkah, asal duduk di sebuah posisi dalam ruangan sambil mengangkat tangan: "Sudah, duduklah. Saya bilang tak ada niat jahat, ya memang tak ada. Jika saya datang untuk menyakiti orang, seluruh pasukan pengawal kotamu pun takkan bisa menghentikanku."
Ucapannya sombong, tapi Dafeny dan Si Menyedihkan tak berani menganggapnya menggombal.
Karena bisa menjadi sahabat lama Merlin... bisa disebut kenalan lama dengan sosok Top-Tier seperti Merlin, pastilah bukan orang sembarangan!!
Justru Si Menyedihkan yang tiba-tiba matanya berbinar, menatap si orang tua ini mencoba bertanya: "Boleh tahu, apakah nama Tuan adalah... Yaslan?"
