Udara dipenuhi aroma rumput hijau yang dalam. Di bawahnya hamparan padang rumput lembut. Di hutan pegunungan musim panas, vegetasi tumbuh subur. Kabut samar-samar masih menyelimuti hutan saat fajar, aliran energi lembab dan sejuk melingkupi sekujur tubuh.
Membuka mata, terlihat pepohonan besar di atas kepala. Sinar matahari pagi menyelinap sempurna lewat celah dahan, tak menyilaukan. Dahan-dahan dipenuhi rona hijau hidup.
Burung-burung fajar mulai berkicau dengan riuh "ji ji jiu jiu". Sesekali ayam hutan berbulu warna-warni melompati dahan.
Tak jauh mengalir aliran sungai jernih. Gemericik air pagi terdengar begitu merdu.
“Char menarik napas dalam-dalam, sorot matanya memancarkan secercah rasa sayang, lalu menundukkan kelopak matanya, menatap perempuan dalam pelukannya.”
“Sebuah lengan sehalus giok putih melilit leher Char, rambut keemasan terurai di dadanya. Wajah mempesona itu menempel di bahunya, napasnya teratur seolah masih terlelap. Bahkan dalam tidurnya, senyuman bahagia yang manis masih tersirat di wajah cantiknya. Hanya bekas air mata di sudut mata dan jejak ciuman di leher putihnya yang halus, seolah diam-diam bercerita tentang kekacauan badai yang terjadi tadi malam...”
“Di bawah jubah kulit yang berfungsi sebagai selimut tipis, tubuh telanjang kedua insan ini masih terjerat dalam posisi intim. Perempuan itu begitu pas menyatu dalam pelukan Char, hampir setiap lekuk tubuhnya yang anggun melekat erat dengan tubuhnya.”
“Meski sudah mengalami kepuasan tadi malam, saat terbangun dengan lekuk tubuh perempuan yang menggoda masih menempel pada dirinya, daya tariknya yang luar biasa tetap mampu mengguncang jiwa.”
“Char menarik napas dalam-dalam, membiarkan udara segar fajar berputar di paru-parunya sebelum menghembuskannya perlahan.”
“Huuuush...”
Kegilaan tadi malam masih terbayang jelas... Seolah semua yang terjadi begitu tiba-tiba.
Char masih mengingat dengan jelas, tubuh telanjang perempuan itu menerjang ke pelukannya. Di acara seperti itu, dalam suasana sedemikian, seorang perempuan menumpahkan isi hatinya dan mengungkapkan cinta diam-diam.
Senar Akal Budi di jantung Char akhirnya putus sepenuhnya!
Lalu... semua yang seharusnya terjadi, terjadi.
※※※
Sebenarnya... kapan semua ini mulai?
Kapan semua ini bermula?
Dalam hati Char jelas terpikir: Saat semua terjadi tadi malam, selain keterkejutan, ada kepuasan tersembunyi di hatinya. Seolah keinginan yang lama terpendam terpenuhi...
Seolah...
Seolah sejak lama, dirinya sudah mengincar perempuan ini?
Hmph, ya, memang begitu.
Saat tubuh itu menerjang ke pelukannya, selain terkejut, ada kerinduan dan harapan yang tersembunyi!!
Seolah semua ini terjadi sesuai keinginan hatinya?
Kalau begitu...
Dirinya...
Sejak kapan mulai diam-diam tertarik pada perempuan ini?
Sejak pandangan sekilas yang mengguncang di tepi danau pinggiran Kota Kekaisaran dulu?
Ataukah pelukan di halaman kecil Kota Danzer pada malam itu?
Ataukah saat melihatnya lemah terjatuh dalam pelukanku dan menangis hari itu, kelemahan tak berdaya itu akhirnya menembus jantungku?
Char tidak bisa membedakan, juga tidak ingin membedakan.
"Lagipula sudah kulakukan..." si kampungan bergumam pelan.
Dua tubuh yang tersembunyi di balik jubah kulit itu melekat erat, membuat pria yang baru bangun saat fajar tiba-tiba merasa bola Api berkobar lagi di hatinya.
Perempuan dalam pelukannya ini tak diragukan lagi cantik. Kecantikannya memiliki kenaifan layak perempuan muda, sekaligus kematangan seorang wanita - dua daya tarik karismatik yang unik ini menyatu menciptakan pesona yang membuat Char pun terpukau.
Diam-diam ia mengencangkan lengan berototnya, merangkul erat pinggang ramping sang perempuan, merasakan lekuk tubuhnya yang luar biasa...
Tiba-tiba ada rasa gatal di pipi. Char mengangkat kelopak matanya, mendapati Dafeny telah terbangun. Sorot mata indahnya berkedip-kedip diam-diam mengamatiku.
Pipi Dafeny memerah menyala, sorot matanya penuh kehangatan - ada cinta diam-diam, keterikatan, pemujaan, rasa terima kasih...
Mana ada pria yang tak tergoda ketika perempuan cantik dalam dekapan memandanginya dengan sorot mata seperti itu.
Embusan napas Dafeny mengenai pipi Char, sensasi gatal-gatal itu hampir meresap hingga dalam hati.
Char menarik napas dalam-dalam, merangkul Dafeny lalu tanpa ampun mengecup bibir menggoda itu dengan liar, menikmati harum khas perempuan di sela-sela gigi dan bibirnya dengan bebas.
Setelah ciuman panjang yang hampir membuat Dafeny terengah-engah, dengan sorot mata berkabut ia akhirnya mendorong Char pelan, berbisik dengan nada marah yang tertahan: "Kamu... selalu sekejam ini?"
Char hanya tersenyum tipis, tak berkata-kata.
Dafeny meringkukkan tubuhnya lalu duduk sambil memeluk jubah kulit, leher anggun dan bahu putih bersinarnya terbuka di udara, membuat sorot mata Char berbinar-binar.
Perempuan itu seakan menikmati tatapan penuh cinta sang kekasih, dengan senyum manis ia menunduk memberi ciuman lembut di pipi Char, lalu bangkit berdiri. Terbungkus jubah kulit, kaki tanpa alasnya menginjak rumput dengan hati-hati, langkah demi langkah menuju sungai kecil.
Ujung kaki seputih salju menyentuh air sungai yang sejuk. Dafeny menoleh ke Char sambil tersenyum, senyuman yang kini terlihat lebih cerah, memancarkan keceriaan khas gadis muda disertai keluguan. Bahkan ia menjulurkan lidah dan membuat wajah lucu, memohon: "Aku... aku ingin mandi... Bisakah kau berpaling?"
Char tertawa terbahak, namun dengan tak tahu malu menggelengkan kepala. "Tidak!" serunya lantang.
Dafeny tampak keberatan. "Kumohon, Char, aku..."
"Tidak." Char menggeleng tegas. Lalu melontarkan kalimat yang lebih tak pantas: "Aku ingin melihatmu."
Wajah Dafeny semakin memerah. Ia melirik tajam ke Char. Namun Char benar-benar tak berniat mengalah, malah duduk tegak bak raja di singgasananya. Matanya melotot penuh kerakusan, menyapu setiap lekuk tubuh Dafeny.
Dafeny menghela napas pasrah. Di bawah sorotan mata Char, meski malu hingga ke tulang sumsum, getaran cinta dalam pandangan kekasihnya membuatnya luluh. Ia pun mengiyakan permintaan tak senonoh Char.
Bibirnya digigit-gigit. Perlahan, jubah kulit yang menyelimuti tubuhnya disingkapkan. Keindahan tubuh telanjangnya yang memesana pun terbuka di udara pagi yang berdekap sinar mentari—juga di bawah tatapan penuh hasrat sang kekasih.
Di tepian sungai jernih nan bening itu, tubuh sempurna bagai dewi itu berdiri tegak, tersinari cahaya fajar.
Dengan kaki telanjang perlahan melangkah masuk ke dalam air, di bawah tatapan rakus Char, Dafeny menahan malu dalam hati, membiarkan pandangan kekasihnya menyapu tubuhnya, lalu akhirnya tak tahan lagi dan "Syu!" tubuhnya menyelam dalam-dalam ke air.
Menoleh sambil berkata dengan nada kesal: "Kamu... sudah cukup melihatnya!"
Char menarik napas dalam-dalam, lalu berdiri dan melangkah gagah ke sungai, dengan sikap bengis menerjang masuk air. Tangannya merangkul erat Dafeny, berbisik di telinganya: "Tak cukup. Takkan pernah cukup memandangmu!"
Lengan berototnya mengencang, mengangkat perempuan dari air. Dafeny berteriak kaget, tapi segera menyadari niat pria itu. Pipinya merah padam, matanya berbinar kelembutan, pasrah dalam pelukan. Kedua tangannya merangkul leher Char.
Char menidurkan Dafeny di tepi sungai, lalu perlahan membungkuk...
Saat fajar di tepi sungai, segera terdengar lagi erat napas berat pria dan erangan lemah perempuan...
Berbeda dengan kekacauan seperti angin kencang dan badai tadi malam, hujan pagi ini justru berlangsung dengan lembut. Dari awal hingga akhir, setiap gerakan Char dipenuhi kelembutan dan kedalaman perasaan yang bisa jelas dirasakan Dafeny, seolah ingin menebus kekasaran semalam.
Ketika pasangan yang tenggelam dalam kebahagiaan ini akhirnya mengakhiri gairah pagi mereka, setelah mandi dan berpakaian rapi, matahari sudah tergantung di atas kepala.
Dafeny dengan tubuh lemas bersandar di pelukan Char, kepalanya menempel di dada Char, berbisik pelan: "Hutan ini indah... Bisakah kita tinggal lebih lama di sini?"
Char tersenyum lembut, mencium aroma rambut Dafeny dalam-dalam, lalu berkata lembut: "Baik! Kau bisa tinggal selama yang kau mau."
"Tidak perlu... Tidak perlu lama, sehari saja." Dafeny menengadah melihat langit, membentangkan jemari rampingnya yang pucat di bawah sinar matahari, seolah transparan.
Sorot mata perempuan muda itu menyiratkan melankoli samar.
"Char... Apakah kau mencintaiku?"
"Hmph!"
Char mengangguk tanpa ragu.
"Benarkah?"
"Benar-benar!"
"Kalau begitu..." Dafeny menatap Char: "Apakah kau rela melakukan apapun untukku, memenuhi semua permintaanku?"
Char ragu sejenak, Dafeny buru-buru berkata: "Oh, aku, aku tidak ingin membahas masalah Adeline, aku..."
"Aku berjanji!" Char mengangguk dalam-dalam: "Aku akan mau melakukan apapun untukmu, memenuhi semua permintaanmu!"
"Kamu tidak takut aku memintamu meninggalkan Adeline dan memilihku?" Dafeny menatap Char.
Char tersenyum, telapak tangan besar yang kasar menutupi wajah halus Dafeny: "Aku tahu kamu bukan perempuan seperti itu. Jadi aku percaya padamu."
"Hmm." Dafeny seolah tersenyum: "Ingat kata-katamu sekarang, kau akan memenuhi semua permintaanku, melakukan apapun untukku."
Keduanya tetap di hutan ini satu hari penuh lagi.
Alasan Dafeny adalah keindahan hutan ini - faktanya alasan ini sangat lemah.
Ini hanyalah hutan dan pegunungan biasa, tanpa pemandangan khusus yang istimewa.
Tapi Dafeny ingin tetap di sini, Char tidak akan menolak keinginannya. Faktanya, di mata sepasang kekasih baru ini, saat ini adalah momen madu menyatu dengan minyak, tak peduli meski hanya ada gunung dan sungai biasa, bahkan seandainya berada di daerah terpencil atau gurun tandus, dalam suasana hati mereka saat ini, mungkin terasa seperti surga duniawi.
Hari ini berlalu sangat cepat. Sepanjang siang, mereka berdua hanya duduk berpelukan di tepi sungai. Dafeny bercerita lembut pada Char tentang berbagai kenangan masa kecilnya - saat pertama kali mengenakan rok indah, mengejar kupu-kupu di pelataran rumah, hingga alasan dia pernah menangis...
Meski hanya urusan remeh-temeh gadis kecil, Char mendengarkan tanpa setitik pun rasa bosan. Selama Dafeny mau bercerita, dia akan tetap duduk di sampingnya, memeluk pinggang ramping nan lembut sang kekasih, menyimak dengan penuh perhatian.
Ketika matahari perlahan terbenam, sorot mata Dafeny yang menatap sisa cahaya senja kembali menampakkan kesedihan.
Tiba-tiba dia menoleh, menatap tajam ke arah Char sambil menggeleng pelan: "Hari ini... terasa begitu singkat..."
"Masih ada banyak hari esok." Char tersenyum ringan.
Kembali ke api unggun, mereka berbaring berpelukan.
Yang mengejutkan Char, malam itu Dafeny menunjukkan antusiasme yang berapi-api!
Memang, pasangan yang baru pertama kali mencicipi asmara biasanya sedang dalam tahap paling bergairah. Tapi gairah Dafeny tetap saja membuat Char terperanjat!
Sepanjang malam, perempuan ini dalam pelukan Char, seolah sepenuhnya membuang kemegahan dan keanggunan yang biasa ditunjukkannya, bagai menjelma menjadi kucing liar kecil yang terus mencakar dan menggigit, menggunakan hampir seluruh semangatnya untuk menggoda Char, lalu menyambut setiap benturan sang pria.
Dia seolah tak kenal lelah, seolah ingin meluapkan semua gairahnya dalam satu malam ini.
Sebenarnya bagi gadis sepertinya, hal-hal semacam ini pada dasarnya masih sangat canggung, teknik-teknik godaannya pun kaku dan bahkan agak menggelikan. Tapi di mata Char, selama dilandasi cinta, wanita dalam pelukannya terlihat begitu mempesona, bahkan kikukan polosnya pun terasa sangat menawan.
Seorang perempuan yang rela melakukan segalanya hingga tingkat seperti ini untuk menyenangkan prianya, apa lagi yang bisa diharapkan?
Hampir menjelang tengah malam, Char sudah tak ingat berapa kali mereka bercinta. Barulah gadis dalam pelukannya itu kelelahan total, tubuh lemahnya merosot dengan tulang-tulang terasa lumer, bagai segumpal air musim semi.
Dafeny benar-benar kehabisan tenaga. Dia bahkan tak bisa menggerakkan jari kelingkingnya. Tapi tubuhnya masih melilit Char bagai gurita, bahkan saat tertidur pun tangannya tetap erat merangkul leher Char.
“Semalaman bercinta hingga hampir mati, seharusnya penuh kebahagiaan dan kehangatan. Tapi gairah ini menyimpan aroma putus asa yang samar...”
Akhirnya, ketika langit mulai terang lagi—meski tubuh Char kuat—aktivitas seperti ini menguras stamina. Pria memang secara alami lebih dirugikan daripada wanita. Meski Char sekuat baja, kemarin malam Dafeny bertarung habis-habisan dengan kegilaan. Saat subuh tiba, Char akhirnya mulai kelelahan.
Dia tertidur pulas.
Saat terbangun, dia mendapati Dafeny telah membuka matanya entah sejak kapan, sedang memandangnya dengan tenang.
Char tersenyum hendak berkata sesuatu, tapi tiba-tiba Dafeny dalam pelukannya membuka mulut.
Nada suaranya tiba-tiba kehilangan keintiman dan cinta yang mereka bagi kemarin.
"Pagi."
Meski hanya satu kata, Char menangkap sesuatu yang tak biasa di dalamnya.
Dafeny lalu bangkit duduk. Di bawah pengamatan Char, dia diam-diam mengenakan bajunya. Setelah berpakaian rapi dan menyisir rambutnya, dia berbalik.
Saat ini, meski masih tersenyum, senyumannya telah kembali seperti Dafeny yang anggun dan mulia sehari-hari—seorang Permaisuri Kekaisaran!
"Jenderal Char, tolong antarkan aku kembali."
Jenderal... Char?
Wajah Char membeku.
Dia... memanggilku apa? Jenderal?!
Char mengerutkan kening, hendak meraih Dafeny, tapi tiba-tiba Dafeny mundur menghindar, senyumnya perlahan menghilang dari wajah. Dengan ekspresi datar dia berbisik, "Jenderal Char, waktu sudah larut, sudilah Anda mengantarku..."
"Ada apa denganmu?"
Char yang masih mengenakan baju luarnya berdiri: "Kamu memanggilku apa tadi?"
"Jenderal Char." Dafeny menggertakkan gigi, menarik napas dalam-dalam. Suaranya bergetar samar: "Sudah kukatakan... yang kuminta tidak banyak, bukan besok atau seumur hidup... Sehari kemarin saja sudah cukup. Kebahagiaan sehari itu telah berlalu, sekarang... sudah kulupakan semuanya!"
Nada suaranya gemetar namun tak gentar!
※※※
Keduanya saling memandang beberapa saat. Char meledak marah: "Kamu jadi gila apa?!"
Ia mencoba mendekat, tapi tiba-tiba Dafeny mencabut pisau pendek!
Mata pisau berkilauan itu menghadang di leher mulusnya sendiri!
Ditariknya napas panjang, wajahnya dingin bagai es. Suaranya pun membeku.
"Jenderal Char... tolong antarkan aku pulang!"
Tubuh Char kaku sejenak. Matanya menatap tajam: "Kamu... kamu gila? Tiba-tiba berubah jadi orang lain? Bukan Dafeny yang kukenal?" Tangannya meraih pisau.
Dafeny dengan gesit menghindar lagi.
“Aku tidak gila! Aku Dafeny! Putri keluarga Minas! Juga permaisuri Kekaisaran!” Air mata berkilat di mata Dafeny, tapi wajahnya tetap dingin: “Jenderal Char... Tolong jalankan perintahku!”
Char tiba-tiba mengaum marah, berlari mendekat, merampas pisau dari tangan Dafeny lalu melemparkannya keras-keras ke tanah. Dengan kasar ia memeluk erat tubuh perempuan itu ke dalam dekapan.
Tapi tubuh perempuan dalam pelukannya, meski masih memesona, seakan kehilangan kehangatan dan kemesraan seperti kemarin.
Char bisa merasakan dengan jelas tubuh Dafeny yang kaku dan dingin bagai es!
“Jenderal Char, apakah Anda masih belum puas?” Dafeny menyeringai sinis: “Ingin lagi? Atau ingin merasakan lagi 'aroma'-ku? Aku bisa penuhi! Tapi setelahnya, Anda harus penuhi permintaanku!”
Tiba-tiba ia merobek kerah bajunya, menampakkan bahu putih mulus. Matanya menyala dingin: “Mau? Ayo! Aku akan puaskan!”
Amarah membara di dada Char, tapi tatapan dingin Dafeny membuatnya bingung menyalurkan kemarahan. Dengan mengaum, ia memutar badan lalu menghunjamkan tinjunya ke batang pohon besar!
Pohon besar itu ambruk dengan gemuruh, di tengah beterbangannya serpihan kayu, Char melototi Dafeny dengan deras: "Kenapa! Katakan padaku, kenapa! Mengapa begini?!"
Dafeny hanya diam, memandangi Char dengan tatapan dingin.
Setelah sekian lama, tiba-tiba Char mengepal tinjunya dengan keras, memandang Dafeny: "Cukup! Kenakan bajumu! Terkutuk kau!!"
Menghadapi perempuan yang seharian kemarin masih berpelukan mesra dalam dekapanannya, kini tiba-tiba berubah sikap dingin bagai penampakan wajah lain, amarah karena merasa dihinakan muncul mendadak dalam hati Char.
"Aku tahu maksudmu! Juga tahu apa yang kau rencanakan! Kau gila!! Lebih gila dari perempuan sinting mana pun!" Char maju langkah demi langkah menghampiri Dafeny, matanya memancarkan kemarahan: "Inikah yang kau inginkan! Ya?!"
Melihat kemarahan dalam sorot mata Char, tiba-tiba hati Dafeny melemah. Suaranya gemetar: "Kau... kau pernah berjanji padaku! Kau akan memenuhi semua permintaanku, melakukan apapun untukku, aku..."
Char tidak berbicara.
“Aku adalah putri keluarga Minas, takdir orang sepertiku, kamu takkan pernah bisa mengerti, Char.” Dafeny berkata lembut: “Satu hari kemarin sudah menjadi kebahagiaan terbesar dalam hidupku, aku sudah mencicipinya, keinginan terpenuhi, ini sudah cukup... Aku sudah hidup untuk diriku sendiri, meski hanya sehari singkat, tapi rasa seperti ini sudah kualami. Terima kasih... Ya, maaf.”
Char akhirnya mengangkat kepala, memandangi Dafeny, sorot matanya tiba-tiba dingin membeku.
“Cukup.” Dia menarik napas dalam-dalam: “Kenakan bajumu, kita pergi sekarang... Yang Mulia Permaisuri... Yang Mulia!”
