Cheng Yan mendapat pukulan hebat. Pemandangannya merangkak keluar dari Ningwu Yuan hari itu masih tercap dalam pikirannya, tak bisa diusir.
Bahkan setiap malam sebelum tidur, bukan lagi hantu wanita yang mengganggunya, melainkan Wen Mingyun yang selalu muncul dalam mimpinya.
Perempuan ini lebih mengerikan dari hantu.
Paling-paling hantu wanita cuma tinggalkan cap jempol darah di ranjangnya, atau memancarkan darah sekujur tubuh, tapi sebenarnya kerusakan psikisnya lebih parah.
Tapi perempuan ini, bisa mengangkatnya dengan satu tangan lalu mengayun-ayunkannya bagai menerbangkan layang-layang, bahkan menginjak-injaknya dengan gila-gilaan, sampai-sampai mengambil rok hendak memakaikannya padanya sambil memanggil "anak perempuan baik", membuat jiwanya nyaris copot saat itu juga.
Menghadapi hantu wanita, dia masih bisa memanggil master untuk bertapa atau sesekali membakar kertas sembahyang agar arwahnya tenang.
Tapi berhadapan dengan Wen Mingyun, tak ada mantra yang bisa digunakan, hanya pasrah seperti ikan di talenan.
Dalam mimpi, dia hanyalah mainan kecil di tangan ibu tirinya, disuruh ke timur tak berani ke barat.
Kesehatan fisiknya kembali menurun, bahkan saat ke sekolah pun tak bersemangat, terus-terusan murung seperti sayur layu.
"Kakak Yan, ada apa? Keliatan lemes sekali."
"Ayahmu belum pulih kesehatannya?"
Saudara-saudara seperguruannya tentu menyadari perubahan ini. Saat istirahat, mereka berkerumun sambil ramai bertanya tentang keadaannya.
Cheng Yan menggelengkan kepala: "Kondisi ayahku sudah jauh membaik, aku hanya kurang tidur belakangan ini. Lain kali aku akan suruh pelayan menyalakan dupa penenang, seharusnya tidak masalah."
Dikocok habis-habisan oleh ibu tiri sampai tak berdaya, bahkan terpaksa merangkak keluar halaman dengan memalukan, semua itu menjadi bahan tertawaan di seluruh Kediaman Adipati Weiguo. Tentu saja ia takkan mengaku terus terang tentang aib yang memalukan ini, biar nggak dipermalukan di hadapan bawahan.
"Kakak Yan, bagaimana kabar perempuan bermarga Wen itu? Apakah dia menyulitkanmu?"
"Iya, bukannya dulu kau bilang perempuan itu berani sekali, memanfaatkan penolakannya menyembah tablet ibumu untuk mencari masalah, bahkan membuat ayahmu terus membelanya? Harusnya kau beri dia pelajaran! Memang bagaimana hasilnya?"
“Kami sebelumnya bahkan membantumu mencari serangga, aku sampai mati ketakutan melihat laba-laba besar itu. Apakah ibu tirimu sampai ketakutan hingga merangkak? Kami sengaja mempermalukannya, terutama di hadapan ayahmu, membuatnya tak bisa angkat kepala, wajahnya pucat pasi. Umumnya pria tak akan menyukai hal seperti ini. Ayahku juga begitu, dia lebih suka selir yang sok lemah lembut. Tapi jika selir itu terlihat jelek, langsung saja dia buang...”
Beberapa pemuda setengah baya berkumpul, berbisik-bisik seolah punya obrolan tak habis-habisnya.
Para hadirin lebih waspada mengawasi Cheng Yan, raut wajah penuh antisipasi dan penasaran.
Jelas para playboy ini punya banyak ide gila. Dari pengamatan mereka terhadap interaksi pria-wanita, mereka mulai paham bahwa di dunia lain ini, perempuan berada dalam posisi payah. Sebagian besar harus bisa menjaga kestabilan suami agar bisa hidup bahagia, mengikat nyawa dan harta pada pria.
Cheng Yan merinding, sama sekali tak tahu harus berkata apa.
“Sebenarnya dalam beberapa hari ini, bayangan psikologis yang ditimbulkan Wen Mingyun terhadapnya sama sekali tidak mereda. Bahkan karena bermimpi buruk terus-menerus selama beberapa malam, kondisinya semakin parah.”
“Dia rela memberikan apa saja untuk memaksakan keluar nama perempuan itu dari dalam pikirannya.”
“Malangnya saudara-saudara baik ini terus menerus mengejar-ngejar. Mata mereka yang berbinar-binar itu seperti serigala kelaparan yang mengawasinya.”
““Tentu! Begitu Xiao Ye mengikuti insting, hasilnya langsung terlihat. Kubuat dia menjerit-jerit memanggil ayah-ibu sambil terus merengek memohonku jangan mendekat. Bahkan dia berjanji akan menghormati tablet ibuku seperti leluhur sendiri dan berziarah dengan penuh respek!””
“Cheng Yan memejamkan dan membuka matanya, lalu langsung berkomentar sembarangan tanpa peduli konsekuensi.”
““Aha, pantaslah Kakak Yan!””
“Aku sudah tahu si perempuan itu tak layak diperhitungkan. Orang bermarga Wen kondisi kesehatannya buruk, karena selalu sekarat, makanya tak laku. Wanita jenis ini pasti punya sifat lemah, keberaniannya lebih kecil dari tikus. Jangankan dikasih laba-laba besar, bahkan Kakak Yan tak perlu bawa apa-apa. Cuma berdiri di hadapannya mainkan jurus tongkat, pasti bisa membuatnya ketakutan setengah mati. Kalian percaya atau tidak!”
“Pasti dong! Lihat saja betapa lihainya Kakak Yan kita! Hahaha...”
Sebenarnya Cheng Yan agak merasa bersalah. Bagaimanapun, ceritanya justru terbalik. Yang sampai ketakutan hingga merangkak dan terus-terusan berteriak jangan mendekat justru dirinya sendiri.
Tapi saat para pemuda ini menunjukkan ekspresi senang dan terpesona, bahkan berusaha mati-matian memuji-mujinya, semua perasaan bersalah itu lenyap seketika. Dia pun mulai sok jago lagi.
Siapa dia? Dia adalah Cheng Yan yang terkenal sebagai "jalan iblis" di seluruh ibukota.
Wen Sanniang hanyalah seorang perempuan kecil. Kekalahannya olehnya kan sudah diprediksi?
“Kalian semua tidak tahu betapa lemahnya orang bermarga Wen. Kalian pasti tahu akurasi panahku sangat bagus. Saat itu aku duduk di puncak tembok, dengan lemparan ringan, laba-laba besar itu langsung jatuh ke mangkuk tehnya. Langsung dia terisak-isak sambil pilek meler. Tanpa keringat setetes pun, aku sudah berhasil menahannya. Dia sama sekali tidak bisa menunjukkan sikap sebagai orang tua di hadapanku, malah memanggilku dengan sebutan Xiao Ye!”
Cheng Yan langsung membusungkan dada dengan bangga seperti merak yang sedang mengembangkan ekornya, memamerkan gaya serba bisanya.
Beberapa pemuda lainnya mendengar dengan mata berbinar. Di usia norak mereka yang penuh semangat muda, yang penting perasaan heroiknya terpuaskan. Mana mungkin mereka mau menyelidiki masalah logika di balik cerita itu.
“Ha-ha, waktu itu ayahmu mau menikahi istri baru, ibuku bilang ini pernikahan yang dianugerahkan langsung oleh Kaisar. Sekeras apa pun protesmu harus kau tahan! Ibu tirimu pasti akan menyalahgunakan kekuasaan.” Aku waktu itu langsung bilang, sama sekali tidak mungkin! Kakak Yan-ku bukan orang biasa!” Lu Ran berbicara penuh semangat, bahkan curhat rahasia ibunya sendiri dia beberkan tanpa sisa.
Cheng Yan langsung merangkul bahunya, menunjukkan keakraban persaudaraan.
“Kau memang paling paham sifatku. Aku ini jalan iblis, mana mungkin Xiao Ye ini mau dirugikan! Jangankan titah pertunangan kekaisaran, Raja Langit turun pun aku takkan rukun dengan ibu tiri. Aku sudah punya ibu kandung, perempuan lain jangan harap merebut posisinya!”
Ucapan Cheng Yan terdengar tegas bagai patung perunggu, entah dari mana dia belajar, nuansa heroik aliran Jianghu terasa kental.
Langsung membuat para sahabat karibnya terpesona, serentak memberi tepuk tangan gila-gilaan.
“Kakak Yan, katanya semua urusanmu berjalan lancar. Kok masih tidak senang? Tadi si Kakek tua Li sudah melirikmu berkali-kali. Aku lihat diam-diam dia memutar matanya padamu.” Zhu Lin tak kuasa menahan tanya.
Kakek tua Li adalah pengajar kelas etiket mereka. Cheng Yan yang terus-menerus kehilangan fokus tentu diperhatikannya. Tapi menghadapi mahasiswa yang tidak takut dihukum seperti ini, dia malas mengurusnya.
Cheng Yan kembali pusing karena semua ucapannya hanyalah kebohongan. Di hadapan ibu tirinya, dia bukan saja tidak bisa berlaku sebagai anak, malah seperti cucu. Bahkan tiap malam dia mimpi ditendang-tendang seperti bola olehnya. Mana mungkin dia bisa merasa senang?
“Aku bukan sedih. Tapi sedang berpikir bagaimana cara mengerjainya di pertemuan berikutnya.” Batuk kecilnya menutupi nada bicara yang sengaja dibuat galak.
“Kakak Yan, bukankah dia sudah memohon ampun?”
“Memohon ampun itu bukan apa-apa. Selama dia masih memonopoli posisi ibu kandungku, itu sudah salah. Setiap hari dia bertahan di situ, setiap hari juga harus menderita!”
Cheng Yan berpura-pura mengangguk: "Benar, ucapan ini sangat masuk akal. Bantu aku merancang strategi, bagaimana caranya membuatnya lebih mempermalukan diri!"
Beberapa pemuda ramai bersuara sambil berdekatan, mulai merencanakan strategi.
Cheng Yan langsung lega. Meski sebelumnya berbohong, akhirnya topik berhasil dialihkan kembali. Niat awalnya memang ingin semua orang membantunya memikirkan cara mengganggu Wen Mingyun.
Memang, dalam pertarungan pertama mereka, dia kalah sangat menyedihkan. Tapi masih banyak waktu ke depan, tidak berarti dia akan selalu kalah.
Masih muda seperti dirinya punya kemungkinan tak terbatas. Wen Mingyun hanyalah batu sandungan kecil di jalan pertumbuhannya, yang pasti akan ditendangnya kapan saja.
"Aku ahli dalam hal ini! Dulu ibuku bertarung dengan selir, pernah kudengar diam-diam. Menurutku caranya sungguh brilian!" Lu Ran pertama kali mengangkat tangan berbicara.
“Baik pria maupun perempuan, semua memperhatikan gengsi dan formalitas. Kami para pria lebih banyak menjaga muka saat beraktivitas di Jianghu. Sedangkan kaum perempuan yang sehari-hari mengurung diri di rumah tangga, paling takut mempermalukan diri di hadapan keluarga ibu.”
“Benar, ibuku juga begitu. Setiap hari raya mengirim hadiah ke keluarga kakek, selalu diadu dengan beberapa bibinya, khawatir menjadi yang paling sedikit memberi di antara saudari-saudari.”
“Kakak Yan, kalau kau bisa membuat ibu tirimu dipermalukan habis-habisan di depan Keluarga Wen, pasti dia semakin tak bisa angkat kepala!”
Harus diakui, tiga orang biasa bisa menyaingi Zhuge Liang.
Para playboy ini memang buta dalam mempelajari barang serius, tapi bakat luar biasa dalam menjebak orang.
Bahkan taktik licik rumah tangga pun mereka paham.
*
Wen Mingyun duduk di kursi singgasananya, mengkomandoi pelayan untuk memindahkan barang ke kereta kuda.
Hari ini adalah hari ritual kunjungan pengantin barunya. Seharusnya dilaksanakan pada hari ketiga setelah pernikahan, tapi saat itu dia dan Cheng Tingyu sibuk berpura-pura sakit untuk memeras orang, sama sekali tidak sempat. Hari ini juga hari baik menurut kalender, jadi dia memutuskan untuk melaksanakan ritual tersebut.
Pasangan suami-istri itu merapikan penampilan, lalu berpegangan tangan naik ke kereta kuda.
Ini adalah kereta kuda Kediaman Adipati Cheng, standarnya jauh lebih luas dibanding milik Keluarga Wen. Bahkan bisa menaruh meja kecil di dalamnya, sungguh berkesan megah.
"Bagaimana perasaanmu setelah berinteraksi dengan si anak durhaka itu?" tanya Cheng Tingyu.
"Aku meminta terlalu sedikit uang." Wen Mingyun menghela napas panjang, tak bisa menahan diri meragukan, "Dengan wajah seperti itu, kau masih mau aku ajari dia bersinar? Kau terlalu percaya diri padanya. Mata Ayah kandungmu sudah tidak tertolong."
Cheng Tingyu sangat ingin meraih tangannya untuk bersama-sama mengeluhkan otak kosong Cheng Yan. Tapi baru mendengar bagian awal tentang uang, dia langsung gentar.
Maaf mengganggu, dia tidak pantas menyebut-nyebut uang.
“Bukan aku percaya pada dirinya, tapi pada dirimu. Nyonya memiliki keagungan naga dan phoenix, bahkan bisa bersaing dengan terang matahari dan bulan. Cheng Yan hanyalah anak kecil bermulut kuning yang tak berotak. Menaklukkannya kan cuma sekadar menggerakkan jari, perlu diragukan lagi?” Cheng Tingyu sengaja menurunkan suaranya, berkata dengan nada serius.
Wen Mingyun tak bisa menahan diri mengangkat alis. Hah, suara pria brengsek yang khas ini.
Pantas disebut pemain drama berpengalaman, memujiku setinggi langit hanya agar mau mengurus anak.
“Jangan terus memuji, nanti jatuh brak terhempas ke tanah. Tenang, sejak menerima uangmu, aku takkan kabur dari tugas. Tapi ingat, bagaimanapun cara menghajarnya, kau tak boleh kasihan. Dan saat mengajar, kau harus membelaku.”
“Sudah pasti.” Cheng Tingyu buru-buru berjanji.
Masak iya dia sekelas bodoh mau sekutu dengan Cheng Yan? Itu mah liga orang tolol!
Kereta kuda berjalan separuh jalan, tiba-tiba berhenti. Pengawal di depan mendekati jendela kereta, berbisik melapor: "Tuan, Nyonya, barusan pemimpin regu menyampaikan kabar—Tuan Muda mengendarai kuda mengikuti dari belakang, sepertinya punya agenda yang sama dengan kita."
"Dia mau ikut aku ke Keluarga Wen?" Wen Mingyun terkejut.
Pasangan suami-istri ini saling memandang, sama-sama melihat kebingungan di mata masing-masing. Ini jadwal perjalanan yang tak terduga.
"Bagaimana? Mau kusuruh pulang?" Cheng Tingyu meminta pendapatnya.
Cheng Yan mengikuti mereka ke Keluarga Wen tanpa pemberitahuan sebelumnya, melainkan menyelinap di belakang—jelas-jelas bermaksud membuat masalah.
Wen Mingyun mengangkat alisnya, melambaikan tangan dengan santai: "Tak usah khawatir, biarkan dia ikut."
"Karakter si anak durhaka ini emosional, yang paling parah otaknya tak bisa diajak berpikir. Bisa saja dia membuat hal memalukan yang tak terduga, mengobrak-abrik keluarga ibu, sampai menyeret nama baikmu. Lebih baik jangan diizinkan. Tunggu kita kembali dari kediaman Marquis Wen dulu baru—" Cheng Tingyu berusaha menasihati.
，。
“Tak apa, kau berhasil menghadangnya kali ini. kali dia pasti akan mencari kesempatan untuk ikut kembali. . Lagipula, Keluarga Wen adalah wilayahku.”
“Dengarkan Nyonya, tak perlu dihiraukan dia.” Cheng Tingyu memberi perintah kepada pengawal di luar kereta.
Kereta kuda kembali bergerak. Wen Mingyun berusaha menekan sudut mulutnya yang terangkat.
Anak baik, aku belum sempat mencarimu, kau sudah mengirim diri ke depan pintu. Beranilah datang!
Ternyata, saat kereta kuda tiba di pintu masuk kediaman Marquis Wen, baru saja kedua orang itu turun, segera setelah itu Cheng Yan tiba dengan menunggang kuda.
Dia langsung melemparkan tali kekang kuda kepada penjaga pintu kediaman Wen, sikapnya sangat tegas.
Keluarga Wen yang sedang menyambut di ruang depan untuk menunjukkan keseriusan mereka, saat berpapasan dengan Cheng Yan yang masuk dengan sikap sok jagoan, spontan saling pandang bingung.
Ritual kunjungan pengantin baru tiga hari, belum pernah dengar ada yang membawa anak tiri sekalian.
"Tentu jika ibu kandung dan ibu tiri adalah saudari kandung dari ayah yang sama, masih bisa diterima. Tapi masalahnya Cheng Yan sama sekali tidak ada hubungan dengan Keluarga Wen."
"Sudah lama mengagumi Tuan Wen, hari ini saya juga ingin melihat." Cheng Yan yang pertama kali berbicara, bahkan memberi hormat.
Hanya panggilan yang diucapkannya benar-benar tidak enak didengar.
"Anak baik, kau harus memanggilnya kakek." Wen Mingyun tanpa basa-basi memperbaikinya.
Cheng Yan mengangkat alisnya dan mendengus dingin: "Kakek saya adalah Jenderal Qin yang termasyhur, menjaga negara dan melindungi rakyat, bukan pengecut yang bersembunyi di balik retorika di istana. Kakek saya masih hidup sampai sekarang, jika saya memanggil orang lain sebagai kakek, bukankah itu pengkhianatan terhadapnya!"
"Tuan Muda Cheng benar. Saya juga tidak punya cucu seperti Tuan Muda. Bagaimanapun, cucu saya mulai belajar pada usia 4 tahun, usia 7 tahun sudah bisa membuat puisi dengan rima sempurna dan struktur rapi, sampai gurunya terpana dan memujinya sebagai anak jenius."
"Terhadap sikap Cheng Yan yang tidak memberi muka ini, Wen Bohon sama sekali tak menganggap serius. Malah sambil tersenyum ia merapikan janggutnya, tampak seperti kakek tua yang ramah."
"Awalnya Cheng Yan ingin merendahkan Wen Bohon. Kakek tua ini pernah ia lihat - bobotnya sekitar 100-an kati, di mana 100 kati terkonsentrasi di bibirnya. Sungguh tipe orang yang paling tak ia sukai."
"Tapi fakta membuktikan, kali ini ia tak salah lihat. Bibir orang itu memang luar biasa lincah."
"Dalam perang mulut melawan Wen Bohon, ia selalu kalah telak. Bahkan kesempatan membantah pun tak ada."
"Sebab dibandingkan Tuan Muda Xu yang baru 7-8 tahun, kemampuannya memang mengejutkan payah."
"Ah, bisa baca buku buat apa? Nanti jadi kutu buku semua!" Cheng Yan membela diri dengan logika.
"Wen Bohon tak menyindirnya. Cheng Tingyu dan Wen Mingyun pun mendekat untuk memberi salam. Para dewasa asyik mengobrol, tak ada yang meladeninya."
"Cheng Yan memonyongkan bibir, tak menyembunyikan ekspresi jijik sambil memutar matanya."
Benar-benar kediaman cendekiawan, baru menginjak ubin Keluarga Wen, sudah tercium bau asam yang menyengat, sungguh tidak sedap.
Hari ini memang hari ritual kunjungan pengantin baru, Wen Qingli juga izin tidak masuk kuliah.
Sejak Cheng Yan muncul di sini, Wen Qingli terus mengamatinya, hingga interaksi-interaksi berikutnya, dia tak bisa menahan diri menghela napas panjang.
Ekspresi meremehkan di wajah pemuda ini terasa sangat familiar, samar-samar mengingatkannya pada diri sendiri di masa lalu.
Terbaca jelas satu informasi: belum pernah merasakan pukulan kejam saudari ketiga.
Setelah cukup sering dipukul, tak akan lagi ada tatapan merendahkan seperti anjing liyar, sikap manis penurut akan terukir dalam tulang sumsum.
Mereka pun duduk, percakapan di meja makan berlangsung ramai. Chen Jie jelas khawatir pada anak perempuannya, tapi di hadapan menantu laki-laki, banyak pertanyaan tak pantas diajukan, sehingga beberapa ucapan terdengar sekadar formalitas.
Percakapan seperti ini terdengar di telinga Cheng Yan, secara alami terasa munafik dan membosankan. Dia sama sekali tidak bisa duduk tenang, sesekali menendang-nendang dan menggerakkan kursi singgasananya.
Sebenarnya meskipun dia adalah jalan iblis, bagaimanapun juga pernah menerima pendidikan anak bangsawan. Aturan dasar seperti ini tidak sampai tidak dipahaminya. Hanya saja kedatangannya kali ini memang bertujuan untuk mempermalukan Wen Mingyun. Dia sama sekali tidak mau berkoordinasi, dengan jelas menampilkan empat kata "tidak mau berusaha, telur busuk" di wajahnya.
"Bawahan, ini pertama kalinya Cheng Yan datang ke kediaman Marquis Wen. Bawalah dia berkeliling. Ingat ucapan kakak sebelumnya: Dia masih anak-anak. Jika terjadi pertikaian, pertahankan senyumanmu." Wen Mingyun berbicara lembut, jelas ingin menyingkirkannya agar tidak membuat malu di sini.
Cheng Yan langsung bersinar matanya, jelas sangat diharapkan.
Wen Qingli mengundurkan diri. Kedua orang itu meninggalkan ruang depan dengan posisi saling mengikuti.
“Pamanku juga masih hidup, jadi aku tak bisa memanggilmu paman. Tapi aku merasa sangat cocok denganmu, tidak seperti orang-orang tadi yang mulutnya penuh moralitas tapi bicaranya bertele-tele. Aku panggil kamu Kakak saja, ya? Bagaimana setuju?”
Cheng Yan yang proaktif mengajak bicara tidak hanya menunjukkan keramahan ekstra, tapi juga diam-diam mengkritik orang-orang di ruang depan sambil memuji dirinya.
Sudut mulut Wen Qingli berkedut. Saat menoleh, matanya menangkap sorot mata besar pemuda itu yang berkedip-kedip penuh harap, membuat bulu kuduknya merinding.
Sekalipun tidak memanggilnya paman, tapi sebagai adik kandung Wen Mingyun, secara generasi Cheng Yan harus menghormatinya sebagai orang yang lebih tua. Mustahil menyebut saudara.
Ditambah sorot mata pemuda itu yang bergerak tak karuan, jelas-jelas menunjukkan rencana licik. Hampir saja terang-terangan bilang mau bikin ulah.
Wen Qingli mengangguk. Sekarang dia paham - ini jelas anak bodoh.
“Saat tidak ada orang, terserah mau panggil apa. Tak perlu sungkan.”
Cheng Yan segera menaruh tangan di bahunya, menunjukkan sikap persaudaraan yang akrab: "Kakak Wen, aku memang tidak salah menilai! Di keluarga Wen, hanya kau satu-satunya lelaki bergagah!"
Seolah merasa Wen Qingli sudah berhasil diambil hatinya, tanpa sungkan ia mulai berkeliling taman sambil mengajukan berbagai pertanyaan—khususnya tentang hadiah balasan yang dikirim Wen Mingyun.
Awalnya Wen Qingli mengira si tuan muda ini khawatir ibu tirinya membawa terlalu banyak barang kembali ke keluarga ibu, sehingga berusaha menjelaskan dengan tenang.
Tak disangka Cheng Yan sama sekali tidak peduli jumlah barang, melainkan sangat memperhatikan di mana barang-barang itu diletakkan.
"Baru saja diangkut masuk, untuk sementara disimpan di halaman ruang samping. Belum sempat diatur ke gudang."
Begitu mendapat jawaban ini, Cheng Yan langsung puas hati. Setelah bercakap-cakap seadanya, ia mengajukan alasan perut sakit untuk pergi.
Wen Qingli yang menyaksikan akting minusnya ini benar-benar kehilangan kata-kata—jelas-jelas ini trik kabur ke toilet.
"Karena kasihan dia agak mirip diriku dulu, Wen Qingli tidak bisa menahan diri memberi nasihat: 'Adikku sayang, hal terpenting jadi adik adalah punya kesadaran diri. Perempuan itu susah dihadapi, apalagi yang pintar tapi picik, usianya lebih tua beberapa tahun darimu, bahkan bisa jadi kakakmu. Jangan sampai kau terseret. Kalau ketemu, cukup mengangguk-angguk sambil membungkuk, jadi anjing kecilnya yang manis, biar bisa dapat makanan enak.'"
Cheng Yan gelisah ingin kabur, tak disangka si 'saudara' ini malah terus menariknya sambil mengoceh hal-hal tak dipahami yang bikin tambah kesal.
"'Kakak, aku cuma tanya toilet di mana, malah ngomongin kakak-kakakan. Aku nggak punya kakak. Kalaupun ada, dialah yang harus nurut aku. Masa iya dia berani semena-mena?'" ujarnya dengan wajah masam.
Wen Qingli langsung kehabisan kata. Ya ampun, ngapain dia kasihanin orang bodoh.
"Liatlah, si bego ini sampai omongan manusia aja nggak ngerti."
Dia asal tunjuk sebuah tempat, bahkan pelayan penunjuk jalan pun tidak disediakan. Ternyata Cheng Yan juga tidak membutuhkannya, setelah mendengar langsung berbalik badan dan kabur.
Keluarga Wen hari ini sangat ramai, di mana-mana penuh dengan orang yang lalu lalang. Dalam perjalanannya ke ruang samping, beberapa kali hampir menabrak orang.
Momen paling menegangkan adalah ketika tamu baru datang berkunjung ke Keluarga Wen. Baru saja ia melangkah keluar, nyaris bertabrakan berhadapan muka dengan tamu tersebut, buru-buru menghindar dengan memanjat pohon sehingga lolos dari malu.
Tamu baru itu adalah Putri Sulung Keluarga Wen, Wen Mingzhu. Di belakangnya mengikuti seorang anak laki-laki berusia 7-8 tahun. Meski masih bocah, gaya berjalannya sangat teratur seperti sarjana tua.
Walau belum pernah bertemu, Cheng Yan langsung mengenali bocah ini sebagai cucu kandung yang dipuji Wen Bohon sebelumnya - Tuan Muda Kediaman Marquis Xu.
Ia memonyongkan bibir sinis: "Anak laki-laki baik-baik diajari jadi pengecut."
Semakin banyak tamu yang datang semakin baik! Nanti setelah rencananya berhasil, Wen Mingyun akan dipermalukan di hadapan lebih banyak orang.
Akhirnya memasuki ruang samping, di halaman tergeletak beberapa kotak berjajar rapi, persis hadiah yang dibawa pulang Wen Mingyun hari ini.
Setelah menyelidiki sekeliling dengan cermat, ternyata tidak ada satupun penjaga di sekitar sini. Ia tak bisa menahan kegembiraan diam-diam.
Heh, memang rumah mewah kaum terpelajar yang kaku. Seharian cuma tahu membuat puisi dan pantun, tidak fokus pada tugas. Penjaga pun tidak ada, sama sekali tidak punya kesadaran disiplin.
Dengan gesit ia memanjat tembok masuk. Satu per satu kotak dibuka, akhirnya berhenti di depan sebuah kotak kayu. Di dalamnya tersusun rapi kotak-kotak kecil yang indah, seharusnya hadiah untuk diberikan ke masing-masing orang.
Ada suplemen nutrisi untuk para senior, peralatan kaligrafi, serta beberapa hiasan rambut mutiara.
Nampaknya nanti Wen Mingyun akan membagikan hadiah-hadiah ini satu per satu di hadapan semua orang.
Cepat-cepat ia meraba ke dalam dekapan, mengambil sesuatu dan melemparkannya ke dalam kotak, lalu dengan teliti meratakan permukaannya.
Itu adalah sepotong pakaian dalam warna lotus, dihiasi sulaman bunga teratai kembar. Saat menutupi kotak-kotak ini, sekilas terlihat seperti dekorasi biasa.
Tapi jika dibuka di depan keluarga Wen, Wen Mingyun pasti akan dipermalukan sampai ke Sungai Huangpu.
Dia baru hendak menutup peti, tiba-tiba lehernya terasa sakit tajam. Pandangannya gelap seketika, lalu tak sadarkan diri.
Bahkan senyum licin masih tersungging di wajahnya, sambil membayangkan skenario indah setelah rencana liciknya berhasil.
Wen Qingli mengambil pakaian warna lotus itu sambil mengernyitkan alis, akhirnya menghela napas panjang penuh beban.
Paling menakutkan orang bodoh yang tak sadar diri, malah hendak menyakiti orang lain.
Lihatlah, inilah akibatnya tertangkap basah.
*
Di ruang depan, obrolan hampir usai. Wen Bohon mengajak menantu laki-lakinya ke ruang baca, menyisakan ruang pribadi untuk para perempuan keluarga.
Ibu dan anak ini saling bercurhat. Pertanyaan-pertanyaan seperti "Apakah menantu baik padamu?" semuanya berhasil dihindari Wen Mingyun dengan alasan yang dicari-cari.
Sebenarnya pikiran Wen Mingyun sudah melayang jauh, dia tak percaya Cheng Yan yang buru-buru mengejar ke sini bisa menahan diri untuk tidak mencari masalah.
"Ibu, aku mau bicara sebentar dengan bawahan dulu baru kembali."
Melihat Wen Qingli memberi gestur di luar pintu, perempuan itu langsung berlari kecil keluar setelah melemparkan ucapan itu.
"Ah, ngapain kau ngobrol sama Qingli! Dia cuma pria yang belum menikah, mana paham kehidupan setelah pernikahan!" Chen Jie berkata kesal.
"Cheng Yan mana?" Wen Mingyun langsung membuka topik.
"Sudah kupukul sampai pingsan." Wen Qingli menjawab sambil menjelaskan garis besar kejadiannya.
Wen Mingyun mengangkat alisnya, mendengus dingin: "Memang cuma segini kemampuanmu. Kalau suka sekali dengan baju perempuan, biar kuperkenankan keinginan anak sialan ini. Baju-baju yang dulu kukirimkan untukmu masih ada?"
Menatap sorot mata sinis saudari ketiganya, Wen Qingli reflex mengkerutkan lehernya lalu mengangguk cepat: "Masih. Hadiah dari kakak, mana mungkin tega kubicarkan."
“Dia mendekat, berbisik beberapa patah kata di telinganya, seketika rencana kejam itu terbentuk jelas.
Wen Qingli menelan ludah ketakutan, meski rencana ini bukan ditujukan padanya, namun kesan menekan ini tetap membuatnya kembali bermimpi buruk akan kejadian dulu.
Ah, Cheng Yan, Cheng Yan, sebelumnya sudah kuminumati agar mendengarkan ucapan perempuan ini, semua ini adalah pengalaman senior yang dirangkum dengan darah dan air mata!
"Rapikan baik-baik anak baikku ini." Sebelum berpulang, Wen Mingyun masih sempat berbisik pesan.
