Senja, Wen Mingyun dan Cheng Tingyu berpegangan tangan naik ke kereta kuda, sementara Cheng Yan tetap tinggal di jamban kediaman Marquis Wen.
Meski dia sudah minum obat dari dokter, hal seperti diare bukanlah sesuatu yang bisa dihentikan sesuka hati, sama sekali tak bisa dikontrol.
Bahkan saat mengira semuanya sudah usai, ketika sedang mengurus barang untuk pergi, detik berikutnya setelah naik kereta kuda, tiba-tiba dia keluar tergesa-gesa dan langsung menuju ke kamar kecil.
Wen Mingyun duduk di dalam mobil, berusaha menahan sudut bibir yang ingin terangkat. Setelah menenggakkan sup ayam biji kacang busuk sebanyak itu, semoga Tuan Muda Cheng Yan tidak sampai mengalami prolaps rektum.
Cheng Tingyu justru terlihat serius, wajahnya berkerut tanpa senyum sama sekali.
"Kau prihatin pada Cheng Yan?" tanya Wen Mingyun dengan suara lembut.
Cheng Tingyu mengangguk, tak kuasa menghela napas: "Kau lihat sendiri, anak yang bodoh sedikit tak apa, setidaknya masih bisa dipuji sifat lugunya. Tapi dia ini selain bodoh juga jahat, sampai mati pun tak mau mengakui kesalahan. Sampai akhir pun tak mau mengaku, bahwa dia ingin mengambil pakaian dalam itu untuk menjeratmu, sama sekali tak sadar betapa parah kesalahan yang diperbuatnya."
Kepalanya terasa nyeri berdenyut-denyut. Meski sebenarnya hanya pura-pura sakit dengan kondisi fisik sekuat banteng, namun setelah menerima pukulan kejam dari si anak durhaka, ia merasa akan segera masuk fase sakit parah.
Segala perbuatan buruk yang dilakukan Cheng Yan telah diamati dengan jelas oleh Pengawal Bayangan, yang kemudian melaporkan semuanya kepada Cheng Tingyu.
Tindakan Wen Qingli memukulnya sampai pingsan juga terjadi di bawah pengawasan Pengawal Bayangan. Namun sebelum tiba, sang tuan telah menegaskan: "Di kediaman Marquis Wen, tak perlu melindungi Cheng Yan. Bahkan jika keluarga Wen mengarahkan golok ke lehernya, itu hanyalah cara menakut-nakuti si anak tak berbakti. Dilarang keras mengikuti insting!"
Cheng Yan berniat menyelipkan pakaian dalam perempuan ke dalam kotak untuk mempermalukan Wen Mingyun di hadapan keluarga Wen. Tapi hari ini yang hadir bukan hanya orang tua, kakak, dan adik Wen Mingyun, melainkan juga kedua kakak iparnya serta tiga junior dari generasi muda.
"Jika Wen Qingli tidak mencoba mencampuri, dan benar-benar membiarkan Cheng Yan berhasil melaksanakan aksinya, saat pakaian dalam wanita itu ditampilkan di depan seluruh keluarga, pasti akan membuat orang malu dan marah campur aduk."
"Sekalipun di dalam diri Wen Mingyun terdapat jiwa manusia modern yang tidak terlalu menganggap penting reputasi wanita zaman kuno, hal ini tidak bisa mengurangi kejahatan yang dilakukan Cheng Yan."
"'Yang lebih membuatku kesal adalah kebodohannya melebihi kejahatannya. Kau percaya tidak, dengan otak selevel itu, dia sama sekali tidak memikirkan konsekuensi ini. Jika ditanya, dia pasti akan berkata: 'Ah, apa hubungannya ini dengan reputasi? Aku hanya ingin mempermalukannya, bukan mencari orang untuk menodainya. Jangan menambahkan tuduhan palsu kepadaku!''" Cheng Tingyu sambil berbicara sambil memelankan suaranya, meniru suara serak khas Cheng Yan dengan sempurna.
"Terutama dua kalimat terakhir, yang benar-benar menampilkan sosok Cheng Yan yang bodoh tak ketulungan sampai ke tingkat sempurna, seolah Cheng Yan sendiri yang sedang berbicara."
Wen Mingyun tidak bisa menahan diri, langsung menepuk-nepuk tangan sambil tertawa terbahak-bahak.
“Aku percaya, ini memang hal yang bisa dia lakukan. Tapi inilah yang mengerikan darinya, IQ-nya tidak mampu mendukung kekejamannya. Konspirasi jahat yang dia bayangkan, ketika benar-benar dijalankan, akibatnya jauh lebih serius dari yang dia pikir. Kali ini targetnya aku, dan berhasil dihentikan tepat waktu. Jika tidak dikoreksi, kau harus siap-siap orang tua menguburkan anak.” Wen Mingyun mengangguk, perlahan menyembunyikan senyumnya, nada bicara berubah serius.
Setelah mendengar itu, kepala Cheng Tingyu semakin pusing.
“Sejak kakeknya meninggal dunia, waktu itu aku terbaring sakit, waktu sadar lebih singkat daripada waktu pingsan. Keluarga cabang kedua terus memujinya berlebihan sampai dia jadi semena-mena tanpa rasa takut. Dia harus diajari takut. Hantu wanita sebelumnya cukup efektif, sesekali muncul di hadapannya——”
Cheng Tingyu paham akar masalahnya, tapi usulan yang dia ajukan kurang tepat, terkesan panik mencari solusi sembarangan.
Wen Mingyun langsung gelengkan kepala, memandangnya dengan helaan napas.
Dia termasuk agak paham mengapa Cheng Yan begitu kayu kaku, Cheng Tingyu benar-benar tidak bisa mengajari anak.
“Kau pernah dengar orang berandal bertobat karena ditakut-takuti hantu wanita? Jika benar ada hantu yang mengawasinya setiap saat, menghukumnya tegas bila tidak belajar dan berperilaku baik, mungkin masih masuk akal. Tapi ini kan palsu, mudah bocor. Dengan karakter Cheng Yan, menurutku ini bukan metode bagus, malah bisa berbalik efek.” Analisis Wen Mingyun logis dan terstruktur.
“Perkataan Nyonya sangat tepat. Adakah metode lain yang baik?” Cheng Tingyu langsung mengangguk seolah ayam mematuk beras.
“Yang kurang pada Cheng Yan selain hati takut, juga rasa malu layaknya orang biasa. Mungkin karena masa kecilnya dihadapkan pada strategi pujian berlebihan dari （putra kedua）, dia terlalu tinggi hati. Meski mendapat pukulan, selama tak ada yang berani menertawakannya, dia tetap merasa hebat. Langkah utamanya adalah membuatnya menyadari diri sendiri.”
Begitu kata-kata Wen Mingyun terdengar, Cheng Tingyu langsung menghela napas panjang dengan ekspresi wajah yang penuh kekecewaan.
"Ini terlalu sulit, Nyonya. Pertama-tama kau harus menyadari bahwa dia tidak punya bakat. Bagaimana membuat orang yang kepalanya kosong dan sangat sombong menyadari dirinya sendiri? Jika kau bilang dia bodoh, dia akan membantah itu mustahil karena merasa dirinya terlalu pintar. Dia punya logikanya sendiri yang sulit diubah."
Setelah tertegun sejenak, Wen Mingyun menjawab dengan nada panjang: "Apa yang suamiku katakan sangat benar."
Pria itu masih menyimpan secercah harapan terakhir, bertanya lembut: "Apakah Nyonya punya cara?"
"Kuburkan saja sekarang juga." jawabnya dengan kesal.
Setelah percakapan itu, kedua orang itu saling memandang dalam diam, melihat kelelahan di mata masing-masing.
Kecepatan kereta kuda tiba-tiba melambat, bahkan terkadang berhenti-sekali jalan.
Cheng Tingyu membuka tirai kereta dan bertanya: "Mengapa ribut di depan?"
"Tuan, Nyonya, di depan ada pengawal kerajaan yang sedang memeriksa kendaraan."
“Kenapa diperiksa lagi?” Wen Mingyun tak bisa menahan diri bergumam pelan.
Ia menyadari, pengawal kerajaan tidak sedang memeriksa, pasti sedang dalam perjalanan menuju lokasi pemeriksaan.
Kali ini pengawal kerajaan jelas membawa surat perintah Kaisar. Setiap kereta kuda akan diselidiki, bahkan termasuk keluarga kerajaan sekalipun.
“Dua hari kemudian utusan Wei Utara akan memasuki ibukota. Pangeran dan Putri yang lahir dari Permaisuri Wei Utara juga ikut dalam rombongan. Karena itu pemeriksaannya sangat ketat. Mohon kerjasama dari semua penumpang kereta.”
Meski terhalang tirai kereta, Wen Mingyun tetap mengenali suara Cao Bingzhou.
Pasangan suami-istri itu saling memandang, masing-masing segera masuk ke dalam peran.
Saat tirai kereta dibuka, Wen Mingyun terlihat bersandar di dinding kereta dengan sosok yang lesu. Sementara Cheng Tingyu memegang sapu tangan brokat menutupi mulutnya, terkekeh ringan.
“Tuan Cao sendiri yang memimpin pemeriksaan. Pengawal kerajaan benar-benar bekerja keras.” Cheng Tingyu berkata dengan suara lembut.
Meski nada bicaranya tenang bahkan terkesan lemah seperti pasien, namun di telinga Cao Bingzhou terasa aroma tidak nyaman.
Hah, pasti ini sindiran bahwa Jinyiwei tidak fokus pada tugas, menggunakan sumber daya besar untuk urusan sepele.
Benar, dia sengaja melakukannya.
"Semua ini untuk berbakti pada Baginda dan koeksistensi damai kedua negara. Tuan Cheng seumur hidup belum pernah ke medan perang, belum melihat tumpukan mayat setinggi gunung. Tahun ini penyambutan utusan Wei Utara adalah prioritas utama. Jika perundingan berjalan mulus, mengurangi jumlah perang, bukan hanya berkah bagi prajurit perbatasan, tapi juga keuntungan besar bagi warga perbatasan!" Ucap Cao Bingzhou bernada sinis, menusuk seperti golok kecil.
Wen Mingyun menunduk diam, berpura-pura tidak paham permainan mata kedua pria ini.
Alih-alih, sorot mata Cao Bingzhou terus menyapu ke arahnya secara samar. Melihat kecantikannya yang biasa-biasa saja, dia teringat kekacauan di Kediaman Adipati Cheng saat upacara penyajian teh untuk pengantin baru. Hatinya jadi tak nyaman.
Apakah perempuan berubah drastis setelah menikah?
Padahal sebelum pernikahannya, dia begitu bersemangat saat bertemu dengannya. Tapi kini diam seribu bahasa, bahkan tak mengangkat wajah. Seolah tak berani menatap matanya.
"Saat pernikahan kalian, aku sedang menangani kasus di luar kota hingga tak bisa hadir. Belakangan kudengar desas-desus tak sedap tentang kediaman adipati. Bagaimana kabar Wen Sanniang?" Cao Bingzhou menahan diri berkali-kali, tapi akhirnya tak tahan memulai percakapan.
Wen Mingyun akhirnya mengangkat wajah, menatapnya sekilas dengan pandangan ringan. "Aku baik-baik saja. Terima kasih atas perhatian Tuan Cao."
Suasana dalam kereta kuda mendadak sunyi. Tatapan Cao Bingzhou tertancap terlalu lama di sosoknya sebelum akhirnya berucap perlahan: "Baiklah kalau begitu."
Nada suaranya yang agak melankolis membuat Cheng Tingyu menghela napas panjang.
"Tuan Cao, Cheng bukanlah orang yang berhati sempit. Tapi ada beberapa hal yang harus kusampaikan. Meski kau juga bermarga Cao, aku yakin kau tidak seperti pencuri Cao Mengde itu. Jangan terlalu lama mengawasi istri orang lain, biar nggak timbul masalah dan kesalahpahaman yang ngeribetin reputasi orang." Ucap Cheng Tingyu dengan nada peringatan yang samar.
"Nyonya Wen San bahkan belum bicara, Tuan Cheng perlu terburu-buru? Justru jadi kalah." Cela Cao Bingzhou dengan nada meremehkan.
Wen Mingyun menatapnya dengan pandangan aneh, sejujurnya, dia benar-benar tidak paham apa yang dipikirkan Cao Bingzhou.
Padahal sebelumnya mereka berdua saling serang habis-habisan. Dirinya selalu melawan Cao Bingzhou di setiap kesempatan, sementara pria itu membencinya sampai menggigit-gigit gusi. Tapi ketika proses pertunangannya dengan Cheng Tingyu berlangsung, sikapnya tiba-tiba berubah drastis jadi sangat aneh.
Pada hari Cheng Tingyu menghadap Kaisar untuk melamar, dia bahkan lebih tidak masuk akal dengan memunculkan sandiwara dua pria memperebutkan satu wanita.
Meski senang melihat dirinya begitu diterima, Wen Mingyun sama sekali tidak memahami bagaimana pola pikir Cao Bingzhou bisa berubah.
"Suami salah paham, aku punya dendam lama dengan Tuan Cao. Dia mungkin belum terbiasa melihatku sesunyi ini. Apakah Tuan Cao ingin mendengarku memarahimu?" Wen Mingyun mengangkat tangan, menoleh sebentar sambil merapikan rambut pendek di dahinya ke belakang telinga.
Gerakan ini teramat lembut, meski hanya sekadar merapikan rambut biasa, namun ketika dilakukan Wen Mingyun memancarkan daya tarik yang berbeda.
Tangannya bagai memiliki kait kecil yang menggaruk-garuk dalam hati, menimbulkan rasa gatal yang tak tertahankan.
Bukan hanya Cao Bingzhou yang tertegun, Cheng Tingyu pun memandanginya dengan tatapan tak berkedip.
Setelah melihat berbagai ekspresinya yang hidup, akhirnya mereka menemukan saat kelembutannya justru paling menyentuh jiwa.
"Aku—" Cao Bingzhou berdiri tak karuan sejenak.
Dia merasa suasana sekitar seperti membeku, bahkan membuatnya merasa tegang. Padahal sejak menjabat sebagai Komandan Pasukan Pengawal Kerajaan, kondisi seperti ini sudah jarang dialaminya. Bahkan saat gagal menyelesaikan tugas dan melapor ke hadapan Baginda, tak pernah separah ini rasa paniknya.
Otaknya seperti berkarat, tiba-tiba berhenti berpikir.
Cheng Tingyu tak memberinya kesempatan bicara, langsung meraih tangan Wen Mingyun sambil berkata terburu-buru: "Jangan marahi dia, marahi aku."
Sudut mulut Wen Mingyun berkedut. Awalnya dia hanya ingin mengusik Cao Bingzhou, tapi kenapa orang ini ikut-ikutan.
Ia tak bisa menahan diri melototi Cheng Wenji. Apa kena marah itu urusan bagus? Kok malah berebut seperti kompetisi untuk posisi kerja.
“Tuan Cheng ini lucu sekali. Wen Sanniang bilang akan memarahi aku, bukan kau. Ngapain rebut-rebutan? Nggak ngerti prinsip siapa datang dulu dilayani lebih dulu?” Cao Bingzhou langsung merasa tersinggung bagai ditusuk titik lemah, mulai membela diri dengan argumen logis.
Perasaan ini muncul lagi. Padahal dialah yang pertama berkenalan dengan Wen Sanniang, eh Cheng Tingyu malah ikut campur dan memboyongnya pulang.
Kini bahkan urutan kena marah aja direbut. Kali ini tanpa gangguan Putri Kelima, dia HARUS mempertahankan haknya.
“Ketua, ada masalah? Di belakang ada kereta kuda istana yang sudah beberapa kali minta jalan.”
Wen Mingyun sedang bingung mencari cara menghadapi situasi ini ketika seorang pengawal kerajaan berlari dari belakang, tergesa-gesa mendesak, akhirnya membantunya keluar dari situasi sulit.
Ternyata Cao Bingzhou mengerutkan alis dengan wajah kesal. Di dalam kereta keluarga Cheng cuma ada dua orang ini, nggak ada masalah apa-apa.
Dia pun tak berani memperpanjang masalah, khawatir nanti malah jadi bumerang.
“Tidak apa-apa, kalian periksa dulu. Aku akan menyusul setelah berbicara sebentar。”Cao Bingzhou melambai tangan mengusir anak buahnya.
Cheng Tingyu segera mengingatkannya: "Tuan Cao, urusan dinas harus diutamakan. Kau tidak akan mencampuradukkan urusan pribadi dan dinas, bukan?"
Cao Bingzhou meliriknya dengan sinis, "Apa 'mungkin' lagi! Dengar nada bicaranya yang tak jelas itu, tak ada sedikitpun jiwa kesatria. Entah apa yang Wen Sanniang cari dari orang sakit-sakitan ini."
"Wen Sanniang, kita sudah sepakat! Kali ini aku yang duluan. Jika hendak memarahi, marahilah aku dulu, jangan biarkan dia menyerobot!" Suaranya mendesak, bahkan tangannya terangkat seolah ingin menggenggam tangan Wen Mingyun. "Kau adalah Wen Sanniang sejati yang tak pernah mengubah nama atau marga, jangan sampai dikendalikan pria payah seperti Cheng Tingyu!"
Tapi begitu melihat adegan pasangan suami-istri bergandengan tangan, tangannya langsung menarik kembali dalam sekejap.
Tidak bisa menggunakan tindakan untuk memberitahunya tentang keseriusannya, Cao Bingzhou hanya bisa menatap matanya dengan ekspresi serius dan fokus di wajahnya, seolah ingin mendapatkan janji darinya.
Wen Mingyun sepenuhnya dipaksa untuk mengangguk, "Baik, akan memarahimu dulu."
Setelah mendapat jawaban pasti darinya, Cao Bingzhou baru menurunkan tirai kereta dan memberi isyarat untuk membiarkan mereka lewat.
Kereta kuda mulai bergerak stabil dan bayangan Cao Bingzhou tak terlihat lagi, namun suasana di dalam kereta tidak membaik, malah memicu pertanyaan protes dari Cheng Tingyu.
"Mengapa harus memarahinya dulu? Dalam pertikaian ayam dan anjing, tanpa uang, ternyata kau lebih menyukai anjing kecil?"
Wen Mingyun mengerutkan alis, "Kau serius?"
"Tentu, aku sangat memperhatikan. Ayam tidak boleh kalah dari anjing." Ia segera mengangguk.
Sudut mulut Wen Mingyun berkedut, mana ada orang yang dengan sukarela menyamakan diri sebagai ayam sampai segitunya.
“Tenang saja, ayam tidak kalah oleh anjing, tapi kalah oleh uang.” Ia segera menenangkannya dengan khidmat.
Cheng Tingyu mendengar paruh pertama kalimat itu, sudut mulutnya sedikit terangkat memperlihatkan senyuman. Namun saat mendengar paruh kedua, ekspresinya langsung lunglai.
Tapi sekarang dia sudah tidak punya uang TAT
“Bagus, aku sangat kaya. Orang seperti Cao Bingzhou jelas tidak suka cari uang, cuma suka membunuh. Si miskin yang hampir tak ada apa-apa di rumah ini diam-diam punya banyak musuh, semua menunggu hari dia mati untuk menyalakan petasan. Ayam akan selalu menang.”
Cheng Tingyu menarik napas dalam-dalam, seketika menjadi stabil kembali.
Harus diakui, pria yang pernah melewati badai kehidupan memang tahan banting.
Meski sekarang miskinnya sampai bunyi gemerincing, dia masih bisa mengucapkan omong kosong "Aku sangat kaya" ini bahkan tak berkedip sedikit pun. Saat menatapnya dengan fokus, terlihat sangat tulus.
“Ya, ya, yang penting kaya.” Wen Mingyun segera mengelabui biar urusan berlalu.
Dia sama sekali tak ingin berlarut-larut dalam topik ini, padahal tadi memarahi Cao Bingzhou jelas-jadar sedang mempermainkannya.
Utamanya karena perubahan sikap Cao Anjing Kecil yang tiba-tiba mirip masokis (M yang bergetar), semakin dimarahi justru semakin antusias.
Tak disangka-sangka, candaannya malah memicu persaingan dua pria ini—apakah sifat masokis itu menular?
Semakin Wen Mingyun merenungi, perasaannya secara aneh membaik.
Dua pria berebut ingin kumaki, apakah karena hobi mereka terlalu aneh atau aku terlalu berbakat?
Tak perlu dipertimbangkan, pasti skenario kedua.
*
Malam yang sejuk bagai air di kediaman Marquis Wen, Cheng Yan akhirnya berpindah dari jamban ke kamar tamu. Sayangnya ia tak bisa tidur di ranjang, melainkan harus duduk di atas tong kotoran dengan mata terpejam hampir tertidur.
Nasibnya memang ditakdirkan untuk berdekatan dengan tong kotoran selama beberapa hari ke depan.
Wen Qingli mengetuk pintu dan masuk. Begitu pandangan Cheng Yan bertemu dengannya, api kemarahan langsung berkobar di dadanya. Namun alih-alih langsung memaki-maki, ia malah buru-buru mengangkat celananya.
Dalam kondisinya sekarang, memang mustahil baginya untuk memakai celana. Lagipula di dalam kamar tak ada orang lain, jadi ia pun membiarkan dirinya telanjang bulat. Siapa sangka tiba-tiba ada yang masuk begini.
"Hei, kau masih berani datang?! Sudah kuduga orang bermarga Wen seperti kalian, tak ada yang baik..." Ujarnya dengan penuh amarah.
Wen Qingli bahkan tak mengedipkan kelopak matanya. Dengan tenang ia meletakkan sebuah bungkusan di atas meja.
"Tengah malam membuat hati manusia mudah melembut. Ini terakhir kalinya aku membantumu secara sukarela. Kelak saat kau membuatnya marah sampai menangis berguling-guling pun tak bisa mendapat maaf, bukalah bungkusan ini. Isinya sangat berguna." Katanya sambil menggelengkan kepala dan menghela napas.
Kenangan masa lalu yang memalukan itu selalu muncul di tengah keheningan malam.
Sebelum Cheng Yan sempat bereaksi, pintu kamar sudah tertutup rapat.
“Bicara apa sih, aku sama sekali tak paham, Xiao Ye mana mungkin sampai memohon ampun!” Dia memutar matanya dengan kesal, sama sekali tak percaya.
Tapi akhirnya rasa penasaran yang menggerakkan, dia menarik ikat pinggang dan berdiri, mendekati meja lalu membuka bungkusan itu. Di dalamnya ternyata semua barang-barang perempuan.
Tak hanya ada beberapa potong gaun sutra indah, bahkan ada bedak, pemerah pipi, hiasan kepala, dan perhiasan rambut.
Cheng Yan tak bisa menahan diri menggigil, kenangan buruk siang tadi kembali menghantam sarafnya yang rentan, membuatnya ingin mati karena geram.
Sementara di Kediaman Adipati Cheng, Wen Mingyun sudah terlelap di ranjang, sedangkan Cheng Tingyu kembali bangun dan berdiri di luar.
Di tengah halaman, meja batu masih memajang dua tablet dan barang upeti, hanya kali ini ditambah semangkuk sup ayam yang masih menguap panas.
“Kakakmu dan Nona Istri, hari ini Cheng Yan melakukan kesalahan lagi. Dia berani memasukkan obat ke dalam sup ayam. Di depan para hadirin aku sudah bilang, 'kesalahan ayah yang tidak mengajari anaknya'. Setelah kembali pasti akan menjalani hukuman. Aku selalu menepati janji. Kakak, hari ini sup ayam berisi bahan tambahan ini kupersembahkan untukmu.”
Cheng Tingyu sambil berbicara menyendokkan sup ayam dan menuangkannya di samping tablet leluhur, berputar mengelilinginya.
“Kakak, kau harus banyak minum ini. Aku tahu kau juga terpaksa, terbaring sakit dan tidak bisa membimbing Cheng Yan. Tapi kini aku benar-benar menderita, harap kau bisa merasakan sedikit dari sup ayam ini.”
Pengawal Bayangan melihat tuannya terus berceloteh, bulu kuduknya merinding. Tamat, tuan hampir dipaksa gila karena urusan membesarkan anak.
“Sudah ketemu dukun santetnya?” Cheng Tingyu masih mengincar hal ini.
“Belum, Tuan. Kita sudah punya uang.”
Saat Ying Yi mengucapkan dua kata pertama, wajah Cheng Tingyu langsung lunglai. Tapi ketika mendengar lanjutannya, seketika kembali bugar.
“Berapa banyak?” Dia bertanya dengan tergesa.
Ying Yi menyerahkan sebuah kotak kayu, di dalamnya kira-kira berisi uang kertas senilai lima ribu tael.
“Ini utang batch pertama yang tiba, pemilik restoran besar berkata, beberapa hari lagi akan ada lebih banyak uang...”
Penjelasan Ying Yi nyaris tak didengar Cheng Tingyu, dia langsung menggendong uang kertas itu masuk ke ruang dalam.
Wen Mingyun masih tidur nyenyak ketika tiba-tiba merasa ada yang mendorongnya.
“Jangan bergerak.” Bicaranya kesal sambil membalikkan badan tak ingin melanjutkan percakapan.
Tapi suara gemerisik di telinganya tak kunjung berhenti.
Bahkan dia merasakan angin sejuk menyapu wajahnya, seolah ada yang mengipasi wajahnya dengan sesuatu.
Wen Mingyun menahan diri berulang kali, akhirnya tak bisa tidur lagi, membuka mata dengan setengah hati.
Cheng Tingyu menepuk-nepuk selembar uang kertas di hadapannya, berkata tegas dan pasti: “Nyonya, aku beli hakmu untuk memarahiku dulu.”
“Gila.” Wen Mingyun tidak tahan, bergumam pelan lalu memalingkan tengkuknya ke arahnya.
Cheng Tingyu memegang sisa uang kertas dengan ekspresi terpana, kebahagiaan datang terlalu mendadak.
Seratus tael per lembar, lima ribu tael berarti lima puluh lembar. Dia mengira akan menghabiskan beberapa lembar, tapi tak disangka hanya satu lembar sudah membuat Wen Mingyun berhasil melanggar janjinya dan langsung memarahinya.
Uang memang barang yang luar biasa.
Anjing miskin takkan pernah menang melawan ayam kaya.
*
Seluruh ibukota dalam status siaga, meski pasar tetap beroperasi namun patroli di setiap jalan diperketat. Bahkan rakyat jelata pun merasakan suasana tegang yang menyelimuti ibu kota.
Dalam kondisi seperti ini, rombongan utusan Wei Utara tiba.
Tentu saja untuk memasuki kota dalam, pengawal rombongan tidak boleh melebihi 200 orang. Selain hadiah yang dibawa, pasukan berkuda mereka sedikit.
Namun sekalipun demikian, rombongan utusan Wei Utara tetap memberikan ancaman terselubung kepada Dinasti Daye.
Rombongan diplomatik memasuki kota dengan puluhan kereta kuda. Kereta utama yang memimpin terlihat sangat mewah, dengan ruang interior yang luas dan dinding eksterior yang dihiasi berbagai permata berkilauan. Saat melintas di bawah sinar matahari, kilauannya hampir membutakan mata.
Cara pamer ala orang kaya baru seperti ini seharusnya menjadi bahan ejekan para bangsawan terpelajar Daye yang menjunjung formalitas. Namun setelah mengetahui asal-usul permata-permata tersebut, tak seorang pun bisa menertawakannya.
Permata-permata itu adalah hasil jarahan Wei Utara dari Daye sebelumnya. Bahkan pada setiap keping permata, masih terlihat sisa-sisa darah sporadis yang menempel.
Wen Mingyun juga merasakan ketegangan tersembunyi di ibukota, namun hal ini berada di luar jangkauannya. Ia memilih fokus tinggal di kediaman marquis untuk menghajar anaknya.
Setelah pesta istana pertama usai, Putri Kelima langsung menuju gerbang Kediaman Adipati Weiguo.
Tanpa mengirimkan surat permohonan terlebih dahulu, ia datang secara langsung. Penjaga pintu kediaman adipati pun tidak ada yang berani menghalangi.
“Ruyi, Ruyi, kau di mana?” Putri Kelima berlari kecil masuk sambil memanggil namanya dari kejauhan.
“Aku di sini!” Wen Mingyun duduk di ayunan sambil melambaikan tangan padanya.
Putri Kelima segera mendekat dengan alis berkerut dan mulut terkunci rapat, menunjukkan ketidaksenangan yang jelas.
“Kenapa tak bahagia?” tanyanya.
“Apa lagi kalau bukan orang-orang barbar Wei Utara itu? Sungguh tak tahu aturan! Mereka yang mengirim utusan untuk berunding damai, tapi berlagak angkuh. Putri Yelisha yang bahkan tak berwajah Han itu berani memakai tusuk konde emas Sembilan Phoenix - harta karun Dinasti Daye yang hanya boleh dipakai Permaisuri! Sekarang benda suci itu malah menghiasi kepala ayam hutan!” Amarah Putri Kelima meluap saat menceritakan detail kejadian di pesta istana malam itu tanpa tedeng aling-aling.
