“Sepasang saudara kandung itu benar-benar tak menghargai siapa pun, bukan hanya kurang ajar dan tidak sopan, yang lebih parah mereka menjadikan kematian perang sebagai lelucon. Di meja makan, mereka mengusulkan untuk menceritakan beberapa lelucon untuk menghibur para hadirin. Orang-orang sekitar awalnya girang, mengira mereka akhirnya ingin mencairkan suasana yang kaku. Siapa sangka, lelucon yang diceritakan adalah cara memotong-motong hidup-hidup musuh, memenggal kepala jenderal, merebus dan mengeringkannya dengan angin, lalu mengubah tengkorak mereka menjadi gelas anggur...”
Putri Kelima kehabisan kata di tengah pembicaraan, matanya mulai memerah dan nyaris tersedu-sedu.
"Meski tidak sekali pun menyebut 'Dinasti Daye', setiap kata yang mereka ucapkan dipahami para hadirin sebagai kisah penghajaran kejam terhadap prajurit kami. Kami menghormati tradisi berpulang dengan damai dan memuliakan yang telah tiada, tapi mereka bahkan tak segan mempermainkan mayat-mayat itu dalam pesta istana. Setelah bercerita, rombongan Wei Utara malah menepuk-nepuk tangan sambil tertawa, menyebutnya lelucon terbaik yang pernah mereka dengar tahun ini..."
Wen Mingyun juga mendengarkan dengan gigi gemeretuk. Meskipun dia adalah pejalan waktu, tetapi telah hidup di sini selama 22 tahun. Tempat ini juga menjadi kampung halamannya, tempat perlindungan yang damai bagi orang tua dan keluarganya, sehingga telah menumbuhkan rasa memiliki.
Setiap orang normal yang mendengar perkataan seperti ini pasti akan dipenuhi api kemarahan. Mengambil kesenangan dari menyiksa mayat adalah perilaku binatang.
Apalagi dalam konflik antar negara, Wei Utara selalu lebih dulu memulai perang. Setiap musim gugur dan dingin ketika rumput gembalaan habis, merekalah yang datang ke Dinasti Daye untuk membakar, membunuh, dan merampok.
Dulu ketika Dinasti Daye berada di puncak kejayaan, Wei Utara hanyalah bawahan yang penurut. Setiap tahun mereka datang membawa persembahan upeti, memohon-mohon agar Dinasti Daye mau memberikan makanan.
Tapi ketika Dinasti Daye mengalami perpecahan politik selama beberapa generasi, sibuk berebut Tahta Naga hingga dikotori, kekuatan negara pun merosot. Si pemberontak ini segera menampakkan wajah aslinya, mulai mengasah golok dengan ganas untuk menyerang.
Baik dari segi keadilan maupun hutang budi, Wei Utara memperlihatkan perilaku orang picik yang tak beda dengan babi dan anjing.
"Mereka ada gangguan mental ya? Kalau memang berniat begini, ngapain mengirim utusan? Ini maksudnya mau berdamai atau malah menantang perang?" Wen Mingyun berkata dengan geram.
"Iya, waktu itu aku juga sangat marah. Berkali-kali pengen memotong ucapan mereka. Tapi sebelum ke pesta, aku sudah berjanji pada Kaisar bahwa di acara itu aku tidak akan bicara kecuali disebut namaku. Meski aku hidup egois, aku tahu Wei Utara datang dengan persiapan matang. Kalau aku sembarangan buka mulut, bisa-bisa terjebak perangkap mereka. Makanya aku terus menahan diri. Eh taunya belakangan kuku saya sampai putus, telapak tangan penuh bekas merah-merah. Waktu itu bahkan nggak kerasa sakit lho." Putri Kelima sibuk mengangguk.
"Terus gimana? Pasti ada banyak pejabat berbibir tipis dan fasih di pesta itu. Tidak mungkin membiarkan mereka berlaku semena-mena." Wen Mingyun buru-buru bertanya.
“Itu sudah pasti, ada hamba tua yang tidak bisa menahan diri, memarahi mereka habis-habisan dengan bahasa yang bertele-tele. Tapi pembicaraannya terlalu sastrawi, bahkan saya yang mendengar saja sulit memahaminya, apalagi bangsa barbar itu. Lalu ayahmu pun bicara, Tuan Wen berkata dia juga punya lelucon dari masa kecilnya yang diceritakan kakeknya. Dua orang asing datang ke negeri asing untuk berbisnis, satu dengan hati tulus menyatu mempelajari rasa malu, berdagang tanpa menipu tua atau muda, menjadi pedagang terkenal yang memimpin klannya menikmati hari baik.”
“Sedangkan yang satunya lagi pemalas dan rakus, tidak mau berusaha sendiri tapi iri melihat orang lain kaya, akhirnya pulang mencari sekelompok perampok untuk merampok, bahkan menjadikannya sebagai modal pamer. Hari baik hanya bertahan tiga tahun, lalu kepalanya dipenggal oleh anak buahnya sendiri dan diserahkan ke pemerintah, hanya karena pemerintah menawarkan hadiah. Kakek saat itu berkata padanya, jangan takut bermusuhan dengan orang-orang yang tak punya malu, karena mereka tidak punya batas toleransi. Sekumpulan binatang tanpa belenggu moral peradaban yang berkumpul, tak perlu lama-lama, mereka bisa mati sendiri karena ulahnya.”
“Alasan binatang tetap jadi binatang, meski mereka memakai jepit rambut phoenix dari emas, tetap tidak bisa jadi klimaks, hanya jadi bahan lelucon belaka.”
Semakin diceritakan, sorot matanya semakin berbinar, bahkan mulai memancarkan nuansa antusias.
Dia biasanya paling kesal mendengar para pejabat sastra ini bicara, semua hal selalu harus berputar tujuh delapan kelok baru sampai ke topik utama, dan suka sekali mengutip referensi klasik dan menggunakan bahasa sastra.
“Tapi kali ini, dia mengingat setiap kata yang diucapkan Wen Bohon dengan jelas, lalu mengulangnya secara lengkap.”
“Begitu kata-kata Tuan Wen terdengar, Putri di seberang langsung melompat-lompat marah. Langsung mencabut jepit rambut phoenix dari kepalanya dan menjatuhkannya ke tanah.”
Wen Mingyun langsung berubah marah menjadi senang setelah mendengar ini, bertanya dengan nada terburu-buru: “Lalu?”
“Lalu aku berdiri, memunguti jepit rambut itu dan memakainya di kepalaku sendiri. Kukatakan pada Yelisa terima kasih telah mengembalikannya. Tuan Wen segera berkata: Inilah jepit rambut phoenix yang pantas dipakai sang Phoenix, tidak membiarkan harta karun tertutup debu.”
Setelah Putri Kelima selesai berbicara, keduanya saling memandang lalu menepuk-nepuk tangan tertawa.
“Kau tak tahu, ini pertama kalinya ayahmu memujiku. Mulut cendekiawan itu memang bisa bikin orang mati kesal saat memarahi, tapi saat memuji juga luar biasa. Semua kata-kata indah yang bahkan tak kuhafal itu dilemparkan ke diriku, sampai aku merasa seperti mengambang di atas kapas. Rasanya lebih menyenangkan daripada mencari pria!”
Putri Kelima terlihat masih ingin melanjutkan, wajahnya tiba-tiba memerah seperti orang mabuk, seolah sedang mengingat kembali kesenangannya saat itu.
“Ah, sayang ayahmu terlahir di waktu yang salah. Kalau lebih muda, pasti akan kukejar untuk pertemuan romantis.”
Mendengar pengakuan jujur Putri Kelima ini, Wen Mingyun hanya bisa menggeleng antara ingin tertawa dan menangis.
Ia melambaikan tangan cepat-cepat: “Bagaimana bisa kau lupa begitu banyak kali dia memarahimu hanya karena sekali pujian? Ayahku dari keluarga bangsawan kalangan biasa, pasti akan tetap kolot. Kalau benar hidup sezaman denganmu, mungkin yang terjadi bukan pertemuan romantis, tapi saling mencaci!”
Begitu mendengar penjelasannya, ekspresi mimpi di wajah Putri Kelima langsung menghilang, berganti dengan kenyataan.
"Kau benar. Ah, mulut para cendekiawan ini. Sebagai ahli mencari pria sepertiku yang tahu tak boleh percaya rayuan manis pria, tetap saja tak kuasa menahan diri." Ia menggelengkan kepala sambil menghela napas.
"Wajar. Mulut pria itu hantu pembohong. Perempuan harus lebih pandai membohong daripada mereka." Wen Mingyun menepuk bahunya.
"Terdengar situasi di lokasi terbalik dan skenario sudah dalam kendali kita. Mengapa kau masih tak senang? Apa ada hal lain yang terjadi setelahnya?"
Ternyata saat ia menyampaikan hal ini, senyuman Putri Kelima langsung sirna disertai kerutan alis yang dalam.
“Bisa juga karena apa, kelompok orang picik itu jelas-jelas mereka yang memprovokasi duluan, hasilnya ditekan oleh para politikus sipil, mereka langsung memfitnah lagi, bilang menteri Dinasti Daye kami ternyata sesuai reputasinya, cuma jago main bibir. Di medan perang, bukan dengan muncratin air liur bisa menang. Mereka langsung mengeluarkan pria kekar, bilang itu prajurit perkasa Wei Utara, menunjuk langsung mau adu fisik dengan juara militer Dinasti Daye.”
Putri Kelima sampai di bagian ini terus-menerus memutar mata, hanya bagian belakang agak terhenti bicara.
Wen Mingyun memandanginya dengan ekspresi tersulit ini, juga bisa menebak hasilnya.
“Kita kalah?”
“Ya, tidak hanya kalah, tapi juga kalah dengan telak. Berturut-turut menantang tiga juara militer, semuanya hancur lebur. Kemudian Kaisar menyuruh Cao Anjing Kecil maju, tapi pihak Wei Utara malah tidak mau menerima tantangan. Mereka bilang ingin bertarung secara terang-terangan, tidak mau berduel dengan tikus-tikus pengecut seperti Jinyiwei yang takut cahaya, karena akan merusak reputasi prajurit mereka. Cih! Brengsek prajurit! Penampilan mereka seperti babi yang belum dikebiri, pantaskah mengikat sepatu Cao Anjing Kecil? Berani-beraninya menyebutnya tikus! Apakah Cao Anjing Kecil bisa dihina sembarangan?” Putri Kelima meluapkan amarah dengan kata-kata kasar.
Dia boleh memarahi Cao Anjing Kecil, Ruyi juga boleh, bahkan seluruh Dinasti Ye boleh. Tapi pantaskah orang Wei Utara menghina?
Meski sedang membicarakan hal yang menyakitkan, tapi beberapa kalimat terakhir keluhan Putri Kelima ini benar-benar mengocok perut Wen Mingyun.
“Kalau Cao Anjing Kecil mendengar kau begitu membelanya, pasti dia akan merasa tersentuh.”
“Ah, meski dia berlutut mengucapkan terima kasih, aku tetap tidak senang. Bahkan setelah Tuan Wen bercanda untuk memancing mereka, tetap tidak berguna. Wei Utara menyebut nama Jenderal Wu Ming untuk bertarung, jelas-jelas sedang menyulitkan!” Putri Kelima mengerutkan sudut mulutnya, sama sekali tidak bisa tersenyum.
Saat mendengar empat kata “Jenderal Wu Ming”, Wen Mingyun pun tak bisa menahan diri mengerutkan alis.
Jenderal Wu Ming adalah legenda di Dinasti Daye, kehadirannya tiba-tiba muncul.
Delapan belas tahun silam, Daye dan Wei Utara masih berperang. Tahun itu badai salju datang dengan ganas, Daye juga sedang dilanda berbagai masalah. Baru mengalami gempa bumi, ditambah cuaca ekstrem ini, semakin memperburuk keadaan. Kas negara terkuras habis.
Pertempuran memperebutkan sumber daya antar dua negara berlangsung sangat kejam dan penuh kekejaman.
Di tahun yang sama, muncul seorang penasihat militer bertopeng. Meski posturnya perkasa, suara seraknya yang seperti bebek jantan menunjukkan dia masih remaja dalam masa puber suara.
Dalam pertempuran terbesar antara dua negara, Dinasti Daye hampir mengalami kekalahan. Jika kalah dalam pertempuran ini, garis perbatasan akan mundur ribuan li, seluruh wilayah utara akan tak terkendali, dan Dinasti Daye berada dalam bahaya.
Penasihat militer kecil ini memimpin beberapa ribu pasukan, namun berhasil memukul mundur pasukan musuh yang sepuluh kali lipat lebih besar. Ia merobek celah di garis pertahanan Wei Utara, lalu setelah bergabung dengan pasukan utama, merencanakan strategi yang akhirnya menyerang langsung ke jantung markas musuh, memenggal kepala jenderal musuh di kemah utama.
Saat mundur, bala bantuan musuh tiba. Dengan wajah memerah marah, mereka berteriak: "Laporkan namamu! Esok akan kurenggut nyawa anjingmu!"
Sang penasihat kecil menoleh, berkata dingin: "Tak bernama marga, tak berkeluarga. Yatim-piatu tanpa masa lalu."
Tombak berumbai merah di tangannya dilemparkan dengan kekuatan penuh. Senjata itu melesat "swoosh" melewati kepala beberapa prajurit, akhirnya menancap di rongga mata si penyeru, menembus seluruh tengkoraknya.
"Kau tak punya esok."
Setelah mengucapkan kalimat itu, ia langsung menarik tali kekang kuda dan berlari cepat meninggalkan tempat itu. Meski pasukan bantuan musuh jumlahnya sangat banyak, tak seorang pun bisa menghentikannya.
Pemandangan ini terukir dalam di pikiran orang-orang yang hadir. Melalui para prajurit yang menyebarkannya dari mulut ke mulut, kisah ini menyebar dari Perbatasan Utara hingga ke ibukota, lalu merambat ke seluruh penjuru negeri.
Seluruh rakyat Dinasti Daye, dari kakek delapan puluh tahun hingga anak-anak berambut dikepang, semua tercengang oleh kewibawaannya.
Saat itu di setiap jalanan besar dan gang-gang kecil, orang-orang hanya membicarakan prestasi gemilangnya. Baik pendongeng di rumah teh maupun penghibur berbaju merah muda di rumah bordil, yang dibicarakan dan dilihat hanyalah sosok ini.
Dua kalimat jawabannya kepada musuh bahkan menjadi ungkapan populer. Anak tiga tahun di jalanan yang masih pakai celana terbang pun saat berkelahi teriak: "Tanpa nama marga, tanpa keluarga. Tanpa ayah-ibu, tanpa masa lalu."
Tentu saja perkelahiannya belum tentu menang, tapi hukuman dari orang tua pasti tak bisa dihindari.
Saat itu Wen Mingyun masih seorang gadis kecil berusia empat tahun, dengan sanggul ganda, diam-diam menghajar adiknya di rumah.
Ini pertama kalinya dia merasakan kekuatan idola versi kuno, yang sama kuatnya dengan zaman modern. Bahkan karena penasihat militer kecil yang muncul tiba-tiba ini terlalu misterius dan heroik, sampai seluruh rakyat menjadi penggemar fanatik.
Orang-orang tidak memanggilnya Wuming, tapi menggunakan homofon "Wu Ming" - Keperkasaanmu menggema di dunia, menggetarkan langit kesembilan.
Setelah itu ketika Kaisar memberikan penghargaan, gelar ini juga diberikan padanya sebagai bentuk pemenuhan harapan banyak orang.
Namun pahlawan besar bangsa seperti ini, bagi rakyat adalah objek penghormatan, tapi bagi penguasa yang berkuasa tentu sangat merepotkan.
Di satu sisi perlu Jenderal Wu Ming menjaga Perbatasan Utara, di sisi lain khawatir kondisi seperti sekarang akan terus berlanjut.
Rakyat tak tahu nama harum Yang Mulia, hanya mengenal prestasi Wu Ming.
Ini adalah pantangan besar Baginda Kaisar saat ini, bahkan di kalangan bangsawan kerajaan pun banyak yang protes. Ditambah lagi asal-usul penasihat militer muda itu tidak jelas. Beberapa tim investigasi dikirim, ada yang pulang dengan tangan kosong, ada yang hilang nyawa. Para hadirin semakin meragukan dirinya.
Wei Utara memanfaatkan kesempatan ini untuk mencari masalah. Banyak mata-mata menyusup ke Dinasti Daye, menyebarkan rumor bahwa alasan Dewa Perang Wu Ming memakai topeng dan tak berani menunjukkan wajah aslinya bukan karena buruk rupa, melainkan karena dia bukan orang Daye.
Sebenarnya dia berasal dari Wei Utara, bahkan masih memiliki darah keluarga kerajaan Wei Utara. Dia terpaksa kabur ke Daye setelah kalah dalam perebutan takhta kekaisaran.
Saat kabar ini menyebar di kalangan rakyat, pihak resmi Daye bersikap menggoda. Mereka tidak menghentikannya, bahkan ada oknum yang sengaja menambah bumbu cerita dan aktif menyebarkan rumor.
Arah angin mulai berubah. Rakyat yang tidak tahu kebenaran cepat terpengaruh ke sisi lain. Mereka memarahinya sebagai anak haram Wei Utara, menyebut bergabungnya ke Daye sebagai ambisi licik yang suatu saat akan menampakkan wajah jelek aslinya.
Tentu saja rumor semacam ini langsung runtuh setiap tahun ketika kedua negara berperang dan Dinasti Daye berulang kali diselamatkan oleh Jenderal Wu Ming.
Meskipun teori ambisi terus beredar setiap tahun dan memang menimbulkan kewaspadaan banyak orang, selama Jenderal Wu Ming terus membawa kemenangan bagi Dinasti Daye, ia tetap menjadi dewa perang.
Selama 18 tahun sejak kemunculan dramatis Dewa Perang Wu Ming, pemerintah setiap tahun memberikannya hadiah yang mengalir seperti sungai ke perbatasan, bahkan wewenang yang diberikan semakin besar, membuatnya setara dengan raja di Perbatasan Utara.
Fakta memang membuktikan hal ini. Di wilayah utara, tidak ada rumor yang mampu menembus reputasi dewa perang. Sebelum kedatangan Jenderal Wu Ming, mereka hidup dalam kesengsaraan dan terus terdesak mundur. Kehadirannya memungkinkan mereka bernapas lega di tengah pembakaran, pembunuhan, dan penjarahan oleh Wei Utara.
Mereka tidak peduli nama keluarga kaisar. Siapa yang bisa menyelamatkan nyawa mereka, dialah kaisar mereka.
“Selama delapan belas tahun ini, pemerintah tak pernah sekalipun memanggil Jenderal Wu Ming untuk audiensi, sementara Jenderal Wu Ming juga tak pernah meninggalkan Perbatasan Utara. Ini adalah hubungan tanpa kata yang terjalin di antara mereka.”
“Cukup baginya menghalangi Wei Utara untuk Dinasti Daye. Hadiah akan diberikan, gelar kehormatan pun tersedia, tapi jangan kembali ke ibukota. Keluarga kerajaan khawatir dia akan mengangkat lengan berseru dan langsung memicu pergantian dinasti.”
“Wei Utara benar-benar punya strategi licik!” Wen Mingyun tak bisa menahan diri menghela napas.
“Kaisar yang berkuasa sekarang bukanlah penguasa yang bijaksana. Mempertahankan pencapaian saja dilakukan dengan susah payah, bersikap sangat waspada, minim kharisma dan keberanian.”
“Kebijakannya dalam menggunakan Jenderal Wu Ming sangat konservatif. Pernah juga menariknya dari jabatan dan menugaskan jenderal lain. Akibatnya tahun itu Wei Utara menang besar - tiga kota di Perbatasan Utara Dinasti Daye dijarah habis, salah satunya bahkan dibantai. Permusuhan berdarah bertambah satu catatan, aib keluarga kerajaan pun bertambah satu halaman.”
Sejak itu, berapa pun personel penyusunan pertahanan di Perbatasan Utara yang berganti, Jenderal Wu Ming tetap seperti paku besi yang tak bergerak, bagaikan penopang utama yang berakar kuat di wilayah utara.
Selama beberapa tahun terakhir, kedua negara saling berkonfrontasi tanpa ada yang bisa mengalahkan pihak lawan.
Bagi Dinasti Daye, ini merupakan kedamaian yang sulit diperoleh, di mana rakyat bisa hidup dalam ketenangan relatif.
Namun bagi Wei Utara, keadaan ini membawa kesusahan tak terkira. Biasanya mereka mengandalkan perampokan untuk bertahan di musim dingin. Kini tak bisa menang perang berarti tak bisa merampas barang. Musim dingin tiap tahun semakin parah, tapi jika mengerahkan pasukan ke perbatasan, pertempuran sengit akan terjadi lagi tanpa kepastian kemenangan.
Dibandingkan masa keemasan sebelumnya, keadaan sekarang bagai langit dan bumi. Karena itu mereka harus mencari cara untuk menggerakkan Wu Ming.
"Siapa bilang tidak? Misi diplomatik Wei Utara kali ini sama sekali bukan untuk berunding damai, tapi memaksa Kaisar. Pilihannya: kembalikan Jenderal Wu Ming ke ibukota, atau terima saja ejekan dari utusan Wei Utara." Putri Kelima menggelengkan kepala sambil menghela napas, wajahnya tampak seperti mengenakan topeng penderitaan.
Sebenarnya dia juga lupa menyebutkan satu poin, utusan Wei Utara yang membuat keributan ini tujuan utamanya adalah memecah belah hubungan.
Awalnya Kaisar sudah sangat waspada terhadap Jenderal Wu Ming, kini musuh terkuat mereka justru terus memuji-muji Jenderal Wu Ming di hadapannya, mengatakan betapa hebatnya dia, bahkan lebih terkenal dari penguasa, mustahil sang penguasa tertinggi bisa merasa senang mendengarnya. Kecurigaan dalam hati perlahan berubah menjadi kebencian yang menyakitkan.
Jika ditambah lagi dengan para pengecut di sidang istana yang loncat-loncat mengeluarkan akal licik, skenario ini semakin tidak menjanjikan.
"Lalu bagaimana arah angin sekarang?" Wen Mingyun tidak bisa menahan diri untuk menanyakan.
"Tidak tahu, Kaisar juga sedang dalam dilema. Tapi sejak kecil aku diajari, kapanpun dan di manapun, harga diri keluarga kerajaan tidak boleh ternoda." Putri Kelima menggaruk-garuk rambutnya yang sudah berantakan tanpa sadar, memperlihatkan betapa gelisahnya dia.
Meski Putri Kelima tidak mengatakannya langsung, percakapan ini sudah memberi banyak isyarat.
“Tanah boleh hilang, tapi gengsi keluarga kerajaan tidak boleh ternoda.”
Memang ada bau itu, ini mengingatkan Wen Mingyun saat membaca "Menara Merah" dimana keluarga Jia sudah bangkrut, namun tetap memprioritaskan gengsi bangsawan di atas segalanya.
Seberapapun hancurnya bagian dalam, penampilan luar yang dilihat orang harus tetap berkilau, meskipun kilau itu sudah menguar bau busuk menyengat.
Wen Mingyun dalam hati tidak setuju, tapi ia tetap membungkam diri.
Di zamannya, tak seorang pun berani mencampuri urusan keluarga kerajaan.
Bahkan Putri Kelima saat membahas hal ini masih berputar-putar, apalagi dirinya yang cuma rakyat jelata.
Jelas sang putri juga tak mengharapkan jawaban, setelah puas mengeluh ia menghela napas panjang: "Ini pun di luar kendaliku, hari ini aku datang untuk meminta saranmu."
“Antara kita masih pakai kata 'minta saran'? Kayaknya ini pekerjaan kotor ya.” Wen Mingyun menyambut candaan itu sambil tersenyum.
“Setuju, menjamu Ye Lisha si ayam liar itu, mana mungkin jadi pekerjaan bagus. Mungkin karena aku memanfaatkan situasi untuk merebut kembali jepit rambut phoenix itu, dia sangat kesal dan langsung minta aku mengadakan pesta. Katanya sering dengar wanita bangsawan Dinasti Daye sering menggelar berbagai pesta, dia ingin melihat sendiri, dan memaksa aku menemani jalan-jalannya.”
“Awalnya aku ingin menolak, tapi Kaisar malah menyetujuinya. Bagaimanapun sebelumnya mereka memohon perang ke Jenderal Wu Ming tapi ditolak, tidak baik menolak lagi. Cuma aku yang jadi korban. Wanita sembrono itu jelas punya niat jahat, entah masih menyimpan rencana busuk apa lagi!”
Putri Kelima mulai menggaruk-garuk rambutnya, wajahnya penuh kekesalan.
Sejak utusan Wei Utara masuk ibukota, seluruh istana dalam kondisi tegang. Kaisar pun aura kemarahannya sangat terasa, sering meledak emosi hingga semua orang di istana merasa terancam.
Di saat seperti ini, meski dia putri yang paling dimanjakan Kaisar, tak berani mendatangi sialnya.
Pesta kali ini harus sempurna, jangan sampai Yelisha mengungkap duri, juga harus waspada terhadap provokasinya, jangan biarkan Putri Kelima mempermalukan diri sendiri, kalau tidak pasti kena imbas.
Dalam hal yang menyangkut harga diri keluarga kerajaan ini, jika Putri ayam liar itu berani menginjak-injaknya, Kaisar pasti tidak akan membiarkannya begitu saja.
Ini sama sekali tidak bisa disamakan dengan kecaman akibat aksinya mencari pria.
"Pingting, lebih baik jangan panggil dia ayam liar lagi." Wen Mingyun tidak bisa menahan diri untuk mengoreksi.
Putri Kelima seketika membelalakkan mata, tidak senang berkata: "Bukan kan, kau malah membelanya? Kuperingatkan, dia itu kejam, keturunan penjahat bawaan, sama sekali tidak punya simpati. Masih kuhargai dengan sebutan ayam liar!"
“Bukan membela dia, tapi setiap kau menyebut ayam, aku langsung teringat Cheng Tingyu. Sekadar julukan Cheng Wenji yang kubuat untuknya, harus kujaga konsistensi sampai akhir.” Wen Mingyun menggelengkan tangan berkali-kali.
“Kamu benar!” Putri Kelima langsung mengangguk, “Lalu kita panggil dia apa?”
“Namanya Ye Lisha, menurut ceritamu dia sampah masyarakat. Bagaimana kalau kita sebut Daun Busuk?” Bakat memberi nama menyebalkan Wen Mingyun memang tak perlu diragukan.
Putri Kelima langsung bertepuk tangan setuju: “Ini bagus! Kakaknya yang setengah mati itu kita panggil Ranting Kering. Saudaranya bisa jadi idiom: Ranting Kering Daun Busuk!”
Untuk konten pesta, Wen Mingyun memberi beberapa ide. Hampir setengah hari mereka berdiskusi baru dapat konsep kasar.
“Aku pulang dulu, suruh pelayan mempersiapkan ini. Ada masalah kita hubungi lewat surat. Pesta ini diadakan di kediaman putriku, tapi karena ada Daun Busuk, lebih baik kau jangan datang. Biar dia nggak nyari masalah.”
“Baik, jika ada kebutuhan, cari aku kapan saja. Hal lain aku tidak bisa membantu, tapi dalam mengganggu orang aku masih punya sedikit kepercayaan diri.” Wen Mingyun melambaikan tangannya padanya.
Setelah mengantar Putri Kelima pergi, Wen Mingyun duduk, lalu dengan santai meneguk dua cangkir teh, baru berjalan santai menuju lapangan latihan.
Kediaman Adipati Cheng bagaimanapun adalah keluarga panglima perang turun-temurun. Meski kini penghuni yang masih hidup di kediaman marquis bisa dihitung jari bakat panglima perangnya—semuanya lunglai seperti tumpukan lumpur—tapi lapangan latihan militer yang wajib ada masih dirapikan dengan rapi.
Dia baru saja masuk ke dalam, langsung mendengar teriakan minta tolong yang lemah: “Siapa yang datang? Cepatlah datang! Selamatkan aku! Jika tidak segera datang, Xiao Ye akan mati dikerjai!”
“Kau ingat ya, kalau aku mati, kau harus pergi mengadu ke ayahku. Barang apa yang dia pilih-pilih matian untuk dinikahi ini? Ini bukan perempuan, jelas-jelas gadis siluman jelmaan babi hutan. Pantatnya bisa membuatku mati terimpit, tinjunya bisa menghancurkanku, tendangannya bisa membuatku naik ke langit, bahkan hembusan nafasnya bisa membuatku terlempar lima enam kali. Hik hik hik——”
Suara serak Cheng Yan seperti bebek semakin parau. Dibandingkan kondisi sebelumnya yang selalu berteriak "Aku nomor satu di dunia", sekarang dia benar-benar mewarisi mangkuk warisan ayah kandungnya - Cheng si Ayam Terjangkit Wabah.
Wen Mingyun mendengar ini langsung berhenti, lalu berbalik badan untuk kembali.
Belum sempat berkedip, terdengar teriakan Cheng Yan: "Eh, kenapa kau pergi? Ini aku! Tuan Muda Cheng Yan, cepatlah masuk menyelamatkanku! Aku masih punya uang pribadi, semuanya akan kujadikan hadiah untukmu."
Wen Mingyun mengangkat alis, ada uang yang dikirim ke depan pintu, tidak mengambil itu namanya kura-kura.
Ia menekan suaranya dengan nada aneh berkata: "Kamu bayar dulu, baru mau kerja."
"Hei, brengsek! Berani-berainya tawar-menawar denganku——" Cheng Yan hendak memaki, tapi mendengar langkah kaki semakin menjauh, langsung berubah nada: "Aku bayar! Di bawah batu besar seberang gazebo tepi kolam teratai, ada 5 tael perak. Itu uang daruratku. Kalau kau selamatkan aku, Tuan Kecil akan kasih tambahan 5 tael lagi!"
Masalah penyelamatan ini membuat otak berkarat Cheng Yan akhirnya bekerja, masih tahu memasang umpan.
Siapa pun yang benar-benar menginginkan uang, pasti akan menyelamatkannya demi mendapat bayaran kedua.
Sayangnya Wen Mingyun bukan tipe orang seperti itu. Dia mengikuti instruksi mengambil uang pertama, lalu tanpa ragu membalik semua batu besar di sebelah kolam bunga teratai, berhasil mendapatkan empat kantong perak dengan total 200 tael perak.
Wen Mingyun mengeluarkan suara "tsk" sambil menimbang-nimbang perak, lalu pergi menemui Cheng Tingyu dan langsung membaginya separuh.
"Untuk apa kau kasih aku perak?" Dia masih terlihat linglung, "Jangan-jangan kau menyesal sudah memarahiku duluan? Aku kasih tahu, tidak boleh! Karena kau yang duluan memarahiku malam itu, kau harus bertanggung jawab padaku. Aku tidak akan membantumu membohongi Cao si anjing gila itu. Anjing miskin bahkan rebutan dimarahi pun kalah cepat!"
Wen Mingyun: ……
Apa ini barang hantu!
Dia benar-benar menyesal sudah membagi uang dengannya. Rela dikejar-kejar hanya untuk kena marah, otak seperti ini pantaslah sebagai orang yang melahirkan Cheng Yan.
