“Baginda, hamba mohon maaf tidak bisa memenuhi permintaan ini.” Jenderal Wu Ming menolak secara terbuka.
“Mengapa?” Sang penguasa tertinggi terkejut, tak menyangka jawabannya begitu langsung.
“Ilmu bela diri hamba dipelajari di medan perang. Hanya untuk membunuh musuh, bukan untuk latihan tanding. Hamba juga tidak paham cara memberikan keringanan.”
Suaranya tetap tenang dan matang, namun bagi telinga Ye Liyang, ini adalah penghinaan tertinggi yang membuatnya langsung meledak.
"Apakah Jenderal meremehkan saya?" tanyanya dengan nada dingin.
Jenderal Wu Ming menggelengkan kepala: "Saya hanya menyatakan fakta."
Ucapan ini bahkan lebih menghina daripada anggukan persetujuannya. Ye Liyang langsung terlihat kepayahan, tangan yang menggenggam gelas anggur mulai memutih, jelas terlalu mengejan hingga tanda kebencian mencapai puncaknya.
Hari ini pengawal yang dibawanya cukup banyak, namun sama sekali tidak berani bersikap kurang ajar.
Seandainya Wu Ming belum kepulangan ke Beijing, dengan membawa pasukan pengawal sebanyak ini, pastinya sudah menjatuhkan gelas anggur tanpa mempedulikan gengsi keluarga kerajaan Dinasti Daye. Tapi hari ini tidak boleh.
Dia tak berani memperbesar masalah secara langsung, meski dalam tutur katanya sudah tak lagi menjaga kesopanan.
“Setelah memasuki ibukota, kudengar Jenderal Wu Ming yang dijuluki Dewa Perang hampir menguasai sepuluh keahlian, namun satu-satunya kekurangan adalah sikapnya yang memandang rendah orang lain dan terlalu tinggi hati. Awalnya kukira ini bisikan iri terhadap kemampuan beliau, namun kini terbukti kebenarannya.”
Ye Liyang yang licik, meski sudah marah setengah mati, masih tak lupa mengadu domba dengan menyeret nama keluarga kerajaan Dinasti Daye ke dalam masalah.
“Sang Pangeran keliru menilai.”
Menghadapi provokasi Pangeran Wei Utara ini, Wu Ming justru duduk stabil seperti sedang menjala ikan, menjawab dengan enteng seolah tak menganggapnya penting.
Ye Liyang hampir ambruk karena marah. Ia benar-benar tak paham, mengapa Jenderal Wu Ming yang bereputasi baik ini memiliki gaya bertindak yang begitu tak terkendali, seolah terlahir dengan bakat menyindir alami.
Seberapapun serius nada bicaranya, setiap ucapan yang keluar selalu berbau merendahkan seperti pandangan anjing pada manusia.
Level kebencian mencapai titik puncak.
“Pernyataan Jenderal Wu Ming ini tidak benar. Jika hanya Pangeran kami yang berkata demikian, tentu itu salah lihat. Tapi jika puluhan ribu orang di ibu kota juga mengatakan hal yang sama, mungkin ini bukan salah lihat lagi, melainkan kesalahan yang kau lakukan!” Utusan Wei Utara akhirnya tidak bisa menahan diri, membela pangerannya sambil menyindir Jenderal Wu Ming.
Suasana di dalam istana langsung sunyi senyap. Bahkan para menteri dari pihak Dinasti Daye pun diam seribu bahasa, seolah menunggu jawabannya.
“Lihat kaki nenekmu! Semalaman kau orang Wei Utara tidak berani bertempur langsung, cuma pamer kemampuan mulut doang. Sekarang masih pakai nada sinis ngomong nggak jelas! Waktu di Perbatasan Utara dulu, tiap hari digangguin. Lagi makan separuh jalan harus ninggalin sumpit buat hadapi tantangan perang. Kira-kira datang ke istana kekaisaran ini bisa makan tenang, eh masih saja cerewet kayak burung pipit! Babi panggangnya udah kedinginan semua!”
“Bang——” suara gedebuk terdengar, akhirnya wakil jenderal yang duduk di samping Wu Ming yang pertama kali meledak. Ia menepuk-nepuk meja dengan kasar, membuat cangkir-cangkir melesat.
Arah pandangan para hadirin langsung tersedot ke arahnya. Lelaki ini bertubuh kekar, berbadan besar dan kekar, tampak seperti panglima perang yang perkasa.
Ia masih memelihara jenggot tebal. Jika bukan karena pakaian bersih yang dikenakannya, sepenuhnya mirip gaya khas orang liar.
“Yu Zhong, ini adalah aula. Kami adalah utusan, bukan di Perbatasan Utara yang memancing perang. Ikuti aturan!” Utusan Wei Utara langsung mengenalinya, saat itu juga membentak dengan kasar.
Dewa Perang Wuming termasyhur di seluruh dunia, mitra terkuat di sisinya tentu juga tak kalah tenar.
Rakyat sangat menyukai meneruskan cerita-cerita pendek ini, bahkan mengubahnya menjadi keajaiban, memberi mereka gelar-gelar yang gagah perkasa.
Contohnya, di bawah singgasana Dewa Perang Wuming ada Empat Dewa Perang dan Enam Komandan Kecil. Yu Zhong ini justru dijuluki "Jenderal Anjing Serigala" karena karakter dan gaya kerjanya yang sangat kasar dan ekspresif.
Ini bukan merendahkan, melainkan bentuk pilih kasih.
Simbol ini melambangkan Yu Zhong yang saat menghadapi musuh bagaikan serigala kelaparan yang ganas, pasti akan menghabisi sampai ke akar-akarnya. Sedangkan di hadapan Jenderal Wu Ming, ia berubah menjadi anjing yang setia, setiap hari ingin mengibas-ngibaskan ekor, menunjuk ke timur tak berani ke barat.
"Ngobrol aturan sama gue? Pantas kau?! Waktu pasukan Wei Utara membunuh, membakar, merampok gadis-gadis, kenapa tak pernah menyebut aturan? Dasar anjing kampungan! Cuma pakai baju bagus udah merasa jadi manusia, lupa aruh penasaran di perbatasan yang mati sia-sia setuju apa nggak!" Yu Zhong jelas membenci mereka sekali, baru beberapa saat bicara sudah mengumpat kasar.
Orang Wei Utara dimarahi sampai wajah mereka berubah pucat, beberapa panglima perang tidak bisa menahan diri untuk membalas: "Loe ngomong apaan sih? Kalau bukan di wilayah Dinasti Ye, loe gak bakal bisa sok jago sampe besok!"
"Ha, terbalik itu. Kalau bukan di ibukota, tapi di Perbatasan Utara, Kakek udah hancurin tengkorak kepalamu!" Yu Zhong membantah tanpa basa-basi.
Bagaimanapun mereka adalah musuh bebuyutan yang bertempur bertahun-tahun, saling memaki sudah jadi hal biasa, timbal balik.
Pertengkaran makin memanas, kata-kata kotor semakin keterlaluan. Tidak hanya orang tua mereka, bahkan nenek moyang 18 generasi dikutuk habis-habisan. Serangan fisik sampai membuat orang ternganga, benar-benar tak pantas didengar.
Bukan hanya sang penguasa tertinggi, bahkan menteri-menteri lain pun syok.
Sejak kecil mereka belajar sastra klasik, membaca kitab suci, menjalankan jalan gentleman. Kapan pernah mendengar ucapan kasar seperti ini?
"Ini pertama kalinya Istana Cahaya dipenuhi kata-kata kotor seperti ini. Tempat suci yang biasanya sakral seolah tertutup debu."
Ekspresi semua orang tampak tak bisa menatap lama, namun para panglima perang yang emosional itu tidak merasakannya. Suara kasar mereka yang lantang terus bergema hingga keluar istana, bahkan terdengar jelas oleh para pelayan yang berjaga di luar.
"Cukup! Ini Istana Cahaya, bukan pasar sayur!" akhirnya Baginda tak bisa menahan diri, menampar meja sambil berteriak.
Kedua pihak akhirnya diam, meski berbagai gerakan tubuh dan ekspresi wajah masih menunjukkan sikap saling meremehkan.
Wajah Sang Penguasa Tertinggi sangat muram. Ia ingin menyuruh pengawal kerajaan menyeret semua panglima tak tahu sopan itu keluar untuk dieksekusi.
“Tetapi Yu Zhong adalah tangan kanan Wu Ming, dan sebelumnya dalam latihan bertarung melawan Wei Utara, dialah yang pertama naik panggung, langsung menjatuhkan lawan hingga terjatuh, dalam sekejap meniup kesombongan orang Wei Utara.”
“Tidak hanya tidak bisa melakukan penekanan pada Yu Zhong, setelah ini juga harus mengatur pemberian hadiah.”
“Yu Zhong, makanlah makananmu.” Wu Ming menghantamkan meja, seketika Yu Zhong yang sedang berperilaku aneh itu kembali normal, kepala tertunduk menyantap makanan, bahkan sorot mata pun tidak diberikan ke orang Wei Utara di seberang.
“Suasana yang semula membara akhirnya benar-benar stabil.”
“Aiqing Wu, demi skenario besar, janganlah kau menolak.” Baginda menjaga kestabilan emosi, berkata dingin.
“Suaranya meski tenang, namun sama sekali tidak meninggalkan ruang kompromi, sekalipun harus memaksa agar dia mau bertindak.”
“Perintah Baginda, hamba tidak berani membantah.” Jenderal Wu Ming mengangguk.
“Sang Pangeran, tantanganmu kuterima. Tak kuhalangi kau pakai senjata atau senjata rahasia. Sentuh sehelai rambutku saja, itu sudah jadi kemenanganmu.” Dia berdiri dan berjalan ke tengah istana.
“Aku tak butuh kau mengalah!” Ye Liyang mendengus dingin, langsung melesat maju menyerang.
Dia mengepal tinju menghantam ke arah topeng Wu Ming. Wu Ming segera memiringkan kepala menghindar. Tapi ini gerakan palsu, sebenarnya kaki kiri Ye Liyang sudah terangkat dan menendang dengan keras.
“Plok!” Ye Liyang sudah terjatuh tertelungkup, mulutnya menyentuh lantai bagai anjing makan kotoran.
Istana kembali senyap. Banyak yang berkedip-kedip, hampir tak ada yang melihat jelas gerakan Wu Ming yang secepat kilat, tak memberi kesempatan lawan bereaksi.
“Hahaha, bagus!” Yu Zhong memulai tepuk tangan.
Dia jelas melihat trik licik Ye Liyang yang memainkan gerakan palsu. Tapi semua tipu muslihat itu di hadapan Wu Ming bagai anak kecil main golok besar—sangat menggelikan.
Saat Ye Liyang mengangkat kaki kiri untuk menendang, Wu Ming sudah lebih dulu menyepak pergelangan kaki kanannya. Tubuh Ye Liyang yang sepenuhnya bertumpu pada kaki kanan langsung terjatuh dengan keras setelah terkena tendangan, posisi terjatuhnya seperti kodok lumpur yang sangat tidak terhormat.
"Gerakan palsu Sang Pangeran terlalu kasar. Jika saya menggunakan gerakan palsu, sisi leher Anda sudah terkena pukulan berat. Leher manusia sebenarnya sangat rapuh." Wu Ming tetap berdiri di tempat, memandanginya dari atas ke bawah.
Ye Liyang duduk di tanah, secara refleks menatap balik ke arahnya.
Hampir seluruh wajah pria itu tertutup topeng, hanya menyisakan satu mata yang terlihat. Tatapan matanya yang hitam pekat tanpa sedikit pun fluktuasi emosi, seolah sedang memandang mayat.
“Ye Liyang tidak bisa menahan diri mengusap lehernya. Dia tahu Wu Ming tidak berbohong, karena bagian itu masih terasa nyeri. Saat Wu Ming menjatuhkannya tadi, satu jarinya menekan arteri lehernya.
Meski hanya menggunakan tiga puluh persen kekuatan, rasa takut pasca-kejadian itu tetap menyergapnya.
"Jenderal kami ini selalu menjaga etiket. Cara bicara dan bertindaknya selalu memberi muka pada orang. Bagaimana menurut Sang Pangeran? Ini bahkan tak perlu tiga jurus, hahaha..." Yu Zhong tertawa terbahak-bahak, suaranya penuh kepuasan.
Mendengar itu, rasa terhina Ye Liyang semakin menjadi. Alih-alih menyerah, dia justru menyerang lebih ganas.
Kali ini dia tidak lagi tangan kosong. Dengan menekan saklar pelindung pergelangan tangan, sebuah belati tiba-tiba melesat keluar. Mata pisau tajamnya mengarah ke Wu Ming.
Tanpa beranjak dari posisi duduk, dia langsung mengangkat tangan menusuk ke depan. Gerakan tak terduga ini dilakukan dengan presisi mematikan.
"Satu tebasan ini asalkan sudah masuk ke tubuh Wu Ming, meski hanya meninggalkan luka dangkal, nama 'dewa perang' akan tercoreng, sekaligus bisa menekan pengaruh Dinasti Daye."
Hanya saja semuanya hanyalah khayalan kosong.
Meski dia sudah tidak melakukan gerakan berlebihan, bahkan melakukan serangan mendadak, tapi tetap tak bisa mengalahkan kecepatan Wu Ming.
"Krak—" suara berat terdengar, Wu Ming mengangkat kakinya langsung menendang gelang besi di tangan Ye Liyang. Ye Liyang mendengar suara patah tulang, rasa sakit menusuk seketika menerpa. Tangan kanannya terpental ke samping, seluruh tangan terpelintir dengan gerakan aneh, jelas sudah patah.
“Pukulan ini, aku bisa tidak menendang tangan Sang Pangeran, melainkan menginjak pergelangan tanganmu sesuai posisimu, membuat belati melukai Balik Paduka. Anda tidak memakai zirah, dada depan penuh celah kelemahan.” Wu Ming berbicara dengan santai, tetap menggunakan nada bicara tenang tanpa terburu-buru, seolah Tuan Wu sedang mengajar muridnya yang tidak becus.
Namun sebenarnya tidak demikian, ia sedang menjelaskan cara membunuh balik Ye Liyang.
Semua orang merasakan ancaman ini, meski nada bicaranya terdengar ringan, tekanan yang diberikan luar biasa besar.
Pada serangan pertama, orang Wei Utara masih meremehkan.
Sang Pangeran bukan tandingan Wu Ming, mereka sudah menebaknya sejak lama, bagaimanapun Wu Ming adalah hasil tempaan medan perang.
Tapi sebelumnya ketika Wu Ming menyebut tentang pukulan berat ke leher, mereka hanya mengira itu gaya-gayaan untuk memberi pujian kosong pada dirinya sendiri.
Saat serangan kedua ini dilancarkan, semua persepsi merendahkan itu langsung menghilang tak berbekas.
Dia benar-benar bisa membunuh Ye Liyang dengan mudah.
Ye Liyang terbaring di tanah seperti anjing mati, tubuhnya gemetar kesakitan, namun ia menggigit bibirnya dalam-dalam untuk menahan suara.
Di hadapan para pejabat kedua negara, ia boleh kalah, tapi tidak boleh menjerit kesakitan.
Jika tidak, kabar ini akan sampai ke telinga ayahnya, dan posisi putra mahkotanya bisa segera berganti pemilik.
“Pangeran, lanjutkan?” Wu Ming mendesak.
“Wu Ming, kau sudah mematahkan pergelangan tangan Sang Pangeran, bagaimana bisa melanjutkan?” Utusan Wei Utara segera menyela.
Namun Ye Liyang bangkit dari tanah dan memotong dengan suara dingin, “Lanjutkan.”
Ia meminta pengawal Dinasti Daye meminjamkan pedang, dan Kaisar segera menyetujui.
Sebenarnya Sang Kaisar sangat khawatir. Masuk ke istana untuk menghadap, selain pengawal dalam yang diizinkan Kaisar, semua orang dilarang membawa senjata. Namun Pangeran Wei Utara jelas-jelas tidak termasuk dalam larangan itu.
Sekalipun dia telah membuang semua pedang dan golok yang tampak di permukaan, pasti masih banyak senjata rahasia dan mekanik tersembunyi di tubuhnya. Jika berani mendekat, mungkin saja bisa membunuh Kaisar Da Ye.
Namun latihan bertarung kali ini sudah berhasil diwujudkan oleh Kaisar sendiri, sehingga dia tidak bisa menghadangnya.
Ye Liyang menarik napas dua kali, lalu segera mengangkat pedang dan menyerang.
Bukan berarti dia tiba-tiba menjadi jujur, tetapi di hadapan kekuatan mutlak Jenderal Wu Ming, segala konspirasi dan senjata rahasia menjadi sia-sia malah memperlihatkan kelakuan picik. Karena itu Ye Liyang terpaksa melepas taktik tersebut.
Tangannya menggenggam pedang pusaka, tapi pikirannya sebenarnya kacau seperti lem kanji.
Meski telah menguras semua jurus yang pernah dipelajari, tetap tidak menemukan cara untuk mengalahkan Wu Ming.
Tebasan pedangnya yang mengerahkan tenaga maksimal, justru ditahan dengan mudah oleh Wu Ming yang bertangan kosong - dua jarinya yang terangkat berhasil menghentikan pedang itu tanpa bisa bergerak sedikit pun.
Ye Liyang hampir putus asa. Di hadapan Wu Ming, ia benar-benar seperti anak kecil yang baru belajar berjalan, sama sekali tak berdaya. Wu Ming bahkan tak perlu bersusah payah melawannya, seolah hanya sedang bermain-main.
"Hati tak tenang saat membunuh musuh sama dengan menyerahkan diri pada kematian. Yang Mulia harus melatih mental dulu sebelum belajar bela diri. Seberapa kuat pun musuhnya, jangan sampai muncul rasa gentar, kalau tidak—" Sambil berkata, ia menjentikkan bilah pedang hingga berbunyi "ding——".
"Cuma akan jadi bahan tertawaan."
Tiga jurus telah dilewati. Tanpa ragu, Wu Ming kembali ke meja dan duduk. Dengan santai ia mengangkat teko anggur, menuangkan sendiri lalu meneguknya.
Yu Zhong menepuk meja sambil tertawa terbahak-bahak: "Benar-benar bahan tertawaan, Pangeran Wei Utara! Kini kau tahu semua rumor itu brengsek belaka. Jenderal kita adalah orang baik nomor satu, rendah hati, waspada, fokus pada fakta. Tak pernah berkoar kosong, apalagi meremehkan orang! Jika ada yang merasa jenderal kami sombong, itu cuma bukti kau sendiri orang tak berguna yang tak pantas diperhatikan!"
Suara kasar dan lantangnya bergema di dalam istana, mengguncang gendang telinga hingga terasa sakit.
Ucapan ini mengandung penghinaan yang menusuk, membuat orang-orang Wei Utara menggeretakkan gigi namun tak mampu membantah.
Karena tak ada yang bisa mengalahkan Wu Ming. Jika terus menerus merangkul, hanya akan mempermalukan diri sendiri.
"Panggil tabib istana. Bagaimana perasaanmu, Pangeran? Masih bisa bertahan?" sang penguasa tertinggi berpura-pura menunjukkan kepedulian.
"Tak apa, istirahat total beberapa hari saja. Jangan sampai mengganggu semangat para hadirin." Ye Liyang susah payah membuka senyuman tipis.
Justru di saat seperti ini, dia tak boleh pulang lebih awal.
Jika kabur begitu saja karena luka di tangan, para menteri Dinasti Daye pasti akan semakin mengejeknya - babak belur dihajar Jenderal Wu Ming lalu kabur pontang-panting sambil menggemgam ekor.
*
Di dalam Kediaman Adipati Cheng, Wen Mingyun baru berkedip sebentar. Cheng Tingyu yang digendong pelayan telah menghilang di balik tembok. Saat dia mengejar, sosok itu sudah tak terlihat lagi.
Dia mencengkeram kerah baju pelayan yang menggendongnya, bertanya dengan nada dingin: "Mana orangnya?"
"Hamba tidak tahu, Nyonya."
"Penipu harus menelan seribu jarum!" Suaranya menusuk bagai es.
Pelayan berbaju hijau tua menelan ludah. Meski tak ada jarum di mulutnya, tenggorokannya terasa mengganjal aneh.
"Hamba sungguh tidak tahu. Begitu belok sudut ini, Tuan langsung menghilang. Apa yang Nyonya lihat, hamba pun melihat hal sama. Tak ada dusta."
Wen Mingyun melepaskan diri dari gendongan pelayan, tak lagi berharap mendapat jawaban dari mulut pengkhianat ini.
Bibirnya menyunggingkan senyum sinis: "Kita lihat sampai kapan Cheng Tingyu bisa terus berakting!"
Alih-alih melanjutkan pencarian, wanita itu mengangkat ujung roknya dan bergegas menuju ruang baca Cheng Tingyu.
Para pengawal pintu berpura-pura menghalangi, tapi saat Wen Mingyun mengeluarkan peluit dan membunyikannya untuk memanggil Pengawal bayangan yang sedang bertugas, ia berhasil menyusup masuk.
"Cepat, cepat! Jika Nyonya sampai mengejar kita, kita semua tamat."
Adapun Cheng Tingyu yang dicarinya mati-matian, saat ini sedang terjatuh di punggung pelayan sambil terus mendesak.
Keduanya bersembunyi di sebuah kamar di halaman barat daya yang sudah ditutup, menutup pintu rapat-rapat sebelum akhirnya lega.
"Sudah, jangan teriak lagi, orangnya nggak ngejar."
Si pelayan tiba-tiba berubah sikap dari yang semula sopan menjadi kesal, bahkan langsung menurunkan orang yang digendongnya.
Cheng Tingyu langsung melirik ke sana-sini dengan sikap pengecut yang sungguh tidak enak dipandang.
Pelayan itu langsung mengeluarkan suara "tsk", "Jangan pakai wajah tuan untuk ekspresi licik begini! Kalau ketahuan, kau pasti akan menyesal!"
“Kau pikir aku mau? Simbol sensor□□ ini menempel ketat di wajah, setetes keringat pun tidak boleh keluar. Kalau tidak, isiannya bisa bocor.”
Cheng Tingyu di depan mata ini, suaranya sudah berubah total dari berat dan memikat sebelumnya, malah terkesan terburu-buru dan asing.
Si pelayan menampar tengkuknya: "Sudah kubilang, jangan buat ekspresi seperti ini!"
"Cheng Tingyu" memonyongkan bibir, lalu mengelupas lapisan kulit dari wajahnya, memperlihatkan wajah biasa yang masih terlihat hijau.
Dialah Pengawal Bayangan ke-11 dari pasukan Pengawal Bayangan. Posturnya mirip Cheng Tingyu, ditambah lagi kemampuannya mengobrol yang lebih baik dibanding anggota lain yang hanya seperti labu bermulut gergaji. Karena itulah ia terpilih menjadi body double sang tuan.
“Jangan pukul lagi, nanti jadi bodoh. Aku mohon, jangan tunggu sampai bocor, nanti kau bilang saja ke tuan bahwa aku ceroboh, tak paham situasi, cepat ganti aku dengan orang lain. Banyak urusan di kediaman marquis, waktu itu Tuan Muda dipukul kebetulan aku yang jaga, kali ini Nyonya dan Nyonya Shizi bertarung di arena, bahkan mau muntah darah dan sengaja menabrakku, siapa yang berani tangani ini!”
Ying Shiyi ingin menangis tapi tak keluar air mata, kini dia jadi cerewet tak karuan, penuh keluhan tapi tak tahu mulai dari mana.
Sejujurnya awalnya saat dia menyangga Nyonya belum ada masalah, tapi saat jarak semakin dekat, tercium aroma dupa di tubuh Nyonya, seberani apapun Ying Shiyi tak bisa terus berpura-pura.
"Tahan lagi, si bos sudah pergi menjemput tuan. Begitu bebas, dia pasti segera datang."
Wen Mingyun menunggu sampai malam tiba, barulah Cheng Tingyu muncul.
Di tangannya tergantung lentera teratai, cahaya lentera memantul di dinding membentuk bayangan bunga teratai yang sedang mekar, sangat indah.
"Nyonya, aku datang." Ujarnya sambil tersenyum riang.
“Belum mati, n?” Wen Mingyun menatapnya dengan pandangan panjang.
“Tahu Nyonya menunggu, aku ingin mati tapi tidak tega.” Dia menyambung pandangan perempuan itu, seketika menyimpan senyuman, wajahnya berubah serius.
Wen Mingyun mendengus dingin: “Basa-basi. Siang tadi siapa yang menemuiku?”
Pertanyaannya langsung menusuk.
Pria itu diam, suasana membeku. Setelah ragu sejenak, ia berkata dengan nada tak pasti: “Seharusnya... aku?”
“Kau tanya aku, aku tanya siapa lagi!” Wen Mingyun menjawab kesal.
“Aku tak ingin menebak urusanmu, apalagi terseret rahasiamu. Yang kunanti di sini hanya ingin kau tahu: Aku sangat menyukai versimu siang tadi. Telapak tangan yang hangat dan lebar, menopang bahuku dengan tenaga penuh rasa aman.”
“Saat berpura-pura pingsan pun, lenganmu masih melindungi tengkukku. Perhatian dan kelembutan yang sempurna sampai detail terkecil.”
Suara Wen Mingyun yang awalnya dingin, perlahan berubah menjadi lembut.
Ekspresi wajahnya juga berubah dari wajah dingin menjadi senyuman penuh, bahkan ia menopang dagunya dengan satu tangan, matanya berbinar-binar, jelas terlihat sangat menyukainya.
Ekspresi wajah Cheng Tingyu menjadi kaku sedikit demi sedikit setiap mendengar kalimat tambahan.
"Nyonya marah ya? Baik siang maupun malam, hanya ada satu aku. Aku tahu siang tadi tak bisa menunjukkan sikap baik di depan kakek dan bibi kedua, tak segera memberimu dukungan, jadi hatiku merasa bersalah dan tak berani menemuimu. Aku bersembunyi dan membuat lentera teratai ini, baru berani membawanya setelah selesai sebagai permintaan maaf, sudilah Nyonya menerimanya."
Ia batuk kecil, memaksakan senyuman lalu menyerahkan lentera dengan kedua tangan.
Lentera ini memang sangat rumit dan indah, sudah diperhatikan Wen Mingyun sejak ia pertama masuk.
"Dan ketika mendekat, hidungnya juga mencium aroma bunga teratai. Sumbu lampu di dalam lentera berbentuk bunga teratai yang sedang mekar, sehingga bisa memproyeksikan bayangan yang anggun di dinding."
Benar-benar hadiah yang penuh perhatian.
"Kau yang bikin sendiri? Bohong itu!" Wen Mingyun menatapnya, jelas-jelas tak percaya.
"Lentera ini benar-benar buatan tangan. Mulai dari desain sketsa, pemilihan bahan, pola di kertas minyak, sampai ukiran bunga - setiap goresan adalah karyaku sendiri. Aku bersumpah di langit, jika ada setengah kata dusta, biarlah disambar petir dan Cheng Yan dihujani pertanyaan sepanjang hari sampai tak bisa bersinar selamanya."
Dia mengangkat tangan mengucapkan sumpah serapah dengan wajah sungguh-sungguh, janji yang penuh kelicikan beracun.
Wajah Wen Mingyun mulai cerah. Dia tahu pria paling memperhatikan pendidikan anak, bermimpi ingin Cheng Yan sukses. Sumpah seberat itu membuktikan dia jujur tentang lentera.
Dia menerima lentera itu, menatap cahaya lilin yang menyala di dalamnya, perasaannya membaik.
"Baiklah, lentera ini kuterima. Anggap saja kau tulus." Nada suara Wen Mingyun kembali lembut, bagai hembusan angin musim semi yang menyejukkan hati.
Cheng Tingyu diam-diam menghela napas lega, dalam hati bersukacita karena masalah ini akhirnya berhasil diselesaikan.
Lentera teratai ini memang buatannya, hanya saja bukan dibuat hari ini melainkan tiga hari lalu, awalnya ingin dijadikan hadiah ulang tahunnya. Kini demi meredam amarahnya, khusus dikeluarkan lebih awal untuk menghiburnya.
"Kini langit telah gelap, aku akan kembali ke kamar dulu menunggumu. Segeralah datang, ingat harus versi dirimu yang siang tadi~" Wen Mingyun berdiri, membawa lentera berjalan keluar.
Saat mengucapkan kalimat ini, intonasinya sedikit naik penuh nuansa menggoda. Bahkan saat melewatinya, ia sengaja mengedipkan mata padanya dengan manja yang tak terucapkan.
Cheng Tingyu tersetrum oleh senyumannya, seluruh tubuhnya serasa kesemutan, dalam hati seolah ada tangkai bunga yang mekar.
Namun saat mendengar kalimat terakhir, seketika bunga yang sedang bermekaran itu layu.
"Tunggu, kenapa harus 'aku yang jujur'? Bukankah aku yang berdiri di hadapanmu ini sudah cukup?" Pria itu berkata dengan wajah memerah.
Wen Mingyun sangat piawai menggenggam kendali atasnya.
Mendengar ucapan bernada marah itu, Wen Mingyun menahan senyum di wajah.
Bocah kecil! Sudah sampai tahap ini masih ingin berkelit, kau kira aku tak punya cara?
"Tidak boleh. Rasanya berbeda." Ia mengamatinya dari atas ke bawah, jelas-jelas membandingkan dengan cermat, akhirnya menggelengkan kepala dengan ekspresi menyesal.
Usai mengucapkan ini, sebelum pria itu bereaksi, ia mengambil tangan pria itu dan meletakkannya di bahunya sendiri, membuat telapak tangan pria itu menempel pada pundak. Ia memejamkan mata merasakan detil sensasinya.
“Siang hari, telapak tanganmu lebih hangat dan berenergi. Cuma dengan menyangga sedikit saja, hatiku langsung berbunga.” Dia berkamuflase seolah tenggelam dalam kenikmatan.
Cheng Tingyu gemetar kesal, senyumnya lenyap seketika. Perasaannya campur aduk.
“Apa yang perlu dibicarakan sampai harus ke ruang baca?”
“Tentu tidak. Bukan cuma pembicaraan, beberapa hal juga tak pantas dilakukan di ruang baca.” Wen Mingyun mengangguk, mengangkat tangan merapikan kancing bajunya.
Gerakan perempuan itu lembut, diiringi aroma dupa samar yang seolah menyiratkan sesuatu.
