Setelah mendengar komentar sembarangan Yu Zhong ini, Wu Ming tidak membentaknya seperti sebelumnya. Malah mengaitkan sudut bibirnya, seolah-olah juga merasa ini memuaskan hati rakyat.
Hanya saja semua ekspresi di wajahnya ini tertutup rapat oleh topeng, sama sekali tak terlihat pemikiran sejatinya.
"Hahaha, bos, tadi kau lihat ekspresi kaum terpelajar kaku itu? Bagai kehilangan orang tua tercinta! Saat itu aku bahkan lebih marah dari mereka, seperti besi yang tak bisa ditempa menjadi baja. Tapi kini kusadari aku bukan satu kelompok dengan mereka, langsung merasa lega!" Yu Zhong baru menyadarinya sekarang, menepuk-nepuk paha sambil tertawa terbahak-bahak, jelas sangat berbesar hati.
Sudah lama ia tak menyukai para kakek keras kepala ini. Banyak di antara mereka di matanya hanya duduk makan gaji buta, setiap hari sibuk mengutip kitab suci dalam ritual tak penting, berdebat sampai muka memerah membara, seakan negara akan runtuh jika tak begitu.
Tapi begitu tiba urusan negara yang sesungguhnya membutuhkan mereka, malah pada mengkerut ke belakang. Sekali pun ada pertikaian, hanya gerakan bibir belaka.
***
Istana Qingyue, ruang dalamnya megah dan mewah, halamannya elegan. Rak penyimpanan koleksi pun dipenuhi berbagai harta langka.
Padahal sedang musim dingin bulan ke-12 penanggalan lunar, di taman kecil ini justru bermekaran tak terhitung bunga-bunga, jelas-jelas tukang kebun telah mengerahkan upaya keras untuk membuat bunga-bunga ini mekar di luar musim.
Segala kemewahan di sekitar ini menunjukkan bahwa ini adalah kamar seorang Selir Tercinta.
Yelisha mengenakan set gaun sutra, bersandar santai di kursi malas dengan sosok yang hampir tertidur.
Wajahnya merah padam, kedua kakinya telanjang, namun sama sekali tidak merasa kedinginan. Bokor tembaga di dalam istana menyala terang, cahaya apinya yang berbinar memantulkan kilauannya bagai mega senja.
"Nona, Yang Mulia Pangeran telah tiba," dayang istana masuk melapor.
Yelisha yang awalnya tidak bersemangat tiba-tiba duduk tegak, mengambil cangkir teh di samping tangannya lalu melemparkannya.
"Apa maksudmu Nona? Sudah kularang mengubah panggilan! Aku bukan selir Dinasti Daye, selamanya aku tetap Bunga Gesang dari Wei Utara!" Sifat ganas Yelisha masih belum berubah.
Cangkir teh langsung kena di kepala dayang istana, seketika terjadi perdarahan.
Bunga Gesang adalah bunga nasional Wei Utara, penyebutan Yelisha kini jelas menunjukkan ketidakpuasannya terhadap kondisi saat ini.
Dayang istana senior tak berani bersuara, hanya membersihkan serpihan cangkir teh dengan hati-hati.
Ye Liyang berjalan mendekat pelan-pelan, tak bisa menahan diri untuk memarahinya: "Lisa, jangan seperti ini. Ini bukan Wei Utara maupun kedutaan. Kau sudah menjadi perempuan kaisar Dinasti Daye, jangan lupa tugas yang ayahanda serahkan padamu."
"Tidak boleh aku menyesal? Kaisar apa? Cuma kakek tua tak berguna! Kakak, bawa aku pergi dari sini. Aku tak mau tinggal lagi di tempat ini." Yelisha bersikap semaunya.
Ye Liyang mengerutkan alisnya, jelas sangat tak puas dengan sikapnya.
"Kau minum-minum?" Dia mendekat beberapa langkah, langsung mencium bau alkohol yang tajam.
“Meminumnya, kalau tidak minum bagaimana bisa tidur dengan si kakek tua?” Yelisha mengangguk.
“Lisa, jangan lagi mengucapkan kata-kata seperti ini, ini istana dalam, hati-hati tembok punya telinga.”
Mendengar itu, Yelisha langsung menengadah tertawa terbahak-bahak, sama sekali tidak takir akan tersebar.
“Dengar ya dengar, aku tidak peduli. Lebih baik memprovokasi si kakek itu sampai marah, dia mengusirku dari istana, aku bisa kembali ke Wei Utara bersamamu.” Dalam keadaan mabuk limbung, emosinya meluap, ucapan yang keluar jelas sangat provokatif.
“Ambilkan ember air dingin.” Ye Liyang melambaikan tangan.
Dayang istana yang berjaga di dalam istana tanpa keraguan langsung pergi mengambil air.
Dua dayang istana senior yang mengawal Yelisha, meski telah memakai mantel seragam dayang Dinasti Ye, sebenarnya adalah mantan dayang pribadinya yang masih bagian dari Wei Utara.
Air dingin dijemput, Ye Liyang langsung mengibaskan tangan, “Syuur——” suara air menyiram kepala Yelisha.
Yelisha seketika merasa seluruh tubuhnya dingin membeku, gemetar ketakutan.
"Apa yang kau lakukan!" Dia melompat berdiri.
"Sudah sadar? Kalau sudah sadar jangan ucapkan omong kosong seperti itu lagi!"
"Apa yang salah dengan ucapanku? Aku hanya ingin pulang!"
"Mulai sekarang SINI adalah rumahmu. Jangan lupa, Catatan Gairah Tersembunyi ini justru usulanmu sendiri. Sebelumnya kau masih curang, merampas barang orang kemana-mana, akhirnya digigit anjing gila hingga wajahnya rusak. Ayahanda sudah mengeluarkan ramuan rahasia agar rencana tetap berjalan, masih juga belum puas?"
Ye Liyang memandangnya dengan ekspresi serius, berkata dingin penuh tuntutan.
Mendengar ini, Yelisha langsung layu seperti bunga.
Sebelumnya dia dikepung anjing-anjing gila, susah payah diselamatkan tapi sekujur tubuh penuh luka, bahkan wajahnya tak luput dari bekas gigitan. Meski tidak terlalu parah, bagi dirinya itu sudah sangat mengerikan.
Sejak sebelumnya dia disakiti oleh Wen Mingyun yang memberinya mahkota kepala palsu, lalu wajahnya dipenuhi serangga beracun hingga dipenuhi benjolan merah, dan butuh waktu lama untuk sembuh, sejak itu dia sangat memperhatikan penampilan wajahnya.
Oleh karena itu, setelah digigit anjing dan melihat bekas gigitan di wajahnya, bayangan psikologis rusak wajah muncul kembali, langsung tidak tahan dan hampir collapse.
Tepat pada saat itulah Ye Liyang mengusulkan bisa memulihkan kecantikannya, tapi dengan syarat harus segera menjalankan Catatan Gairah Tersembunyi.
Awalnya Yelisha enggan, masih ingin mengincar Cheng Tingyu agar Wen Mingyun menjadi janda hidup. Tapi Ye Liyang menarik tangannya untuk melihat cermin, saat itu juga dia menyatakan setuju.
Barulah terjadi adegan di pesta istana dimana dia menari untuk memancing perhatian Baginda Kaisar.
“Tapi cita-cita dan kenyataan berbeda jauh. Meski kaisar menguasai negara, yang dirasakan Yelisha darinya hanyalah kelemahan dan kerentaan. Meski dia matang dan berpengetahuan luas, serta memperlakukannya dengan cukup lembut.”
“Tapi di hati Yelisha sudah ada orang lain, yang tak bisa didapatkannya. Seperti hidangan di depannya yang sebenarnya tidak buruk, tapi dia lebih menyukai lobak yang menggoda di hadapannya. Makanan yang masuk ke mulut pun terasa datar tak berasa.”
“Dengarkan! Ini jalan yang kau pilih sendiri, merangkak pun harus kau selesaikan. Kecuali pasukan berkuda Wei Utara menginjak ibukota, seumur hidup kau tak mungkin kembali. Tapi kurasa dengan bantuanmu, suatu hari ayahanda akan duduk di posisi itu.” Ye Liyang melihatnya mulai tenang, meningkatkan nada peringatan untuk mencegah pikiran liar lagi.
“Kau harus memikat hati Kaisar Ye. Di istana yang dalam dan sunyi ini, sebagai kesayangan akan ada ribuan mata mengawasimu. Nanti bahkan marah ke dayang istana pun harus hati-hati.”
Yelisha melihatnya semakin keterlaluan, menoleh melihat dayang istana yang tertekan, seketika kehilangan semangat.
"Bahkan marah pun tidak boleh, ini jelas-jelas seperti dipenjara, aku tidak mau——" protesnya masih belum puas.
"Mau tidak mau harus! Jangan buat ayahanda marah, ibu masih menunggu surat darimu."
Ye Liyang kehilangan kesabaran, langsung menjadikan ibu sebagai perisai manusia. Seketika Yelisha mengatupkan mulutnya.
"Dan jangan berpikir untuk mendekati Cheng Tingyu! Mulai sekarang jauhi orang sakit-sakitan itu. Aku yakin banyak selir di istana yang berharap kau berselingkuh dengan pria luar, agar bisa membuangmu ke Istana Dingin. Kalau bisa mengaitkan hubungan dengan Wu Ming sampai Baginda memenggalnya, baru itu namanya kemampuan!"
Sebelum pergi, Ye Liyang masih sempat memotong mimpinya.
Yelisha mendengar kata-kata terakhirnya, tak bisa menahan tawa menyeringai. Jelas dia paham hitungan licik apa yang direncanakan.
“Kalau Baginda sampai memotong Wu Ming karena ini, aku juga tak tertolong, aku tidak sebodoh itu.” Diam-diam dia memutar matanya.
Wu Ming mati, tiang penyangga Perbatasan Utara ambruk, naga tanpa pemimpin, Wei Utara menyerbu Ye besar-besaran. Tapi apa hubungannya dengan dirinya? Saat itu dia juga sudah mati, kemewahan sama sekali tak bisa dinikmati. Dia sama sekali tak mau melakukan kebodohan merugikan nyawa ini.
***
Baginda sangat memanjakan Selir Li yang baru ini. Setelah masuk istana, hampir tiap hari Baginda menginap di istananya. Meski Selir Kaisar terus mengingatkan untuk membagi 'hujan embun', Baginda tetap berprinsip sendiri.
Di usia Baginda yang sudah begini, tidak ada Ratu Janda yang menekan dari atas, Permaisuri meninggal muda, hanya Selir Kaisar yang bisa menasihati sedikit.
Tapi Baginda sama sekali tak mau mendengar. Karena tak bisa mengendalikannya, Selir Kaisar terpaksa menyasar Selir Li, langsung memanggilnya untuk menghardik.
Setelah terus-menerus dihardik beberapa kali, Baginda mulai tidak senang. Namun beliau paham betul aturan istana - bila protesnya terhadap teguran Selir Kaisar kepada Selir Tercinta diungkapkan secara terbuka, pasti laporan-laporan di persidangan akan membanjir, mencaci habis-habisan bencana kecantikan dan selir kesayangan yang meruntuhkan negara.
Baginda mendatangi kamar Selir Kaisar, sama sekali tidak menyebut Selir Tercinta. Tapi beliau memeriksanya dengan sinis mulai dari hiasan istana, pakaian yang dikenakan sang selir, hingga pelayan istana yang melayaninya. Setiap pelanggaran kecil dibongkarnya.
Satu per satu beliau mengorek semua kesalahan. Setelah beberapa ucapan bernada ringan terlontar, wajah Selir Kaisar langsung berubah pucat. Masalah pelanggaran protokol ini sebenarnya bisa dianggap sepele atau serius.
Dilihat dari sisi kecil, ini hanya ketidaksengajaan yang bisa diperbaiki lain kali.
Tapi bila diperbesar, ini bisa dianggap sebagai niat memberontak. Sebagai selir biasa yang menggunakan barang khusus Permaisuri, ambisinya jelas terlampau besar.
Baginda hanya menyantap satu kali makan malam, bahkan tidak menginap semalam, langsung pergi dari kamar Selir Kaisar.
Syukurlah malam itu Dia tidak mencari Yelisha, melainkan tidur sendirian.
Selir Kaisar sama sekali tidak sempat mengurus masalah pemujaan eksklusif terhadap Selir Li. Setelah selesai menangani kasus pelanggaran protokol, saat kedua kalinya mengajak Selir Li berdiskusi, sikapnya sudah jauh lebih lembut. Sikap otoriter yang sebelumnya memaksakan kekuasaan telah hilang, berubah menjadi ramah dan penuh keterpaksaan.
Sayangnya Yelisha sama sekali tidak menerimanya. Bagaimanapun, Selir Kaisar adalah ibu kandung Putri Kelima, kebencian ini masih membara.
Dia tidak hanya tidak patuh, tetapi juga menghadap Baginda untuk meratap. Setelah Baginda menghiburnya, Dia kembali mencari-cari kesalahan di tempat Selir Kaisar.
Setelah keributan ini, Selir Kaisar pun tak berani lagi membuat masalah. Untuk sementara waktu, popularitas Selir Li tak tertandingi.
Kondisi istana saat ini bisa dibilang menjadi ujian jalan bagi Dinasti sebelumnya. Sikap Baginda Kaisar telah jelas bagi para hadirin. Tak seorangpun berani mendatangi sialnya di saat seperti ini. Baginda sedang larut dalam perasaan. Mengajukan nasihat keras sekarang hanya akan membuatnya marah, tanpa hasil apapun.
Para hadirin membentuk kesepakatan tanpa kata: Tak mengapa. Usia Baginda sudah lanjut, keinginan sesaat untuk bersenang-senang itu wajar. Semua orang ingin mencicipi hal baru.
Setelah kesegaran ini berlalu, Baginda mungkin akan kehilangan tenaga dan bosan padanya. Saat itulah kita bisa menasihati dengan sah untuk menjauhkan Baginda dari Selir Consort.
Sayangnya, kenyataan justru bertolak belakang dengan harapan mereka. Kasih sayang Baginda pada Selir Consort kian menguat setiap hari. Bahkan tersiar kabar Baginda memerintahkan tabib istana membuat pil perangsang demi beberapa malam mesra bersama sang selir.
Situasi semakin tegang, para pejabat kini menyadari bahwa putri Wei Utara ini benar-benar permaisuri iblis perusak negara. Dia tidak hanya membuat Kaisar yang seusia ini tergila-gila, tetapi bahkan saat menghadapi perundingan damai dengan Wei Utara, sikap Kaisar menjadi tidak tegas. Bahkan Kaisar mulai mempertimbangkan kepentingan Permaisuri Li, seolah dirinya terkena guna-guna.
Untuk meredakan ketegangan, Kaisar memerintahkan perburuan musim dingin. Banyak pejabat di ibukota menerima undangan. Perburuan kali ini mewajibkan kehadiran keluarga dan berlangsung selama lima hari, persiapan yang jelas sangat megah.
Sebagian besar hewan akan hibernasi di musim dingin, tapi area perburuan kerajaan memang sengaja mengurung hewan sepanjang tahun. Mereka tahu persis letak gua hewan karnivora besar. Jika diperlukan, mereka akan melepas beberapa dari hewan ternak yang dikurung - yang penting Kaisar pulang dengan puas.
Wen Mingyun duduk di depan cermin perunggu merias diri. Dari kotak perhiasannya, dia memilih sepasang anting. Hongfeng segera mengambilnya dan memakaikannya padanya.
"Kau tidak ikut perburuan musim dingin kali ini?" tanyanya dengan lembut.
Cheng Tingyu sedang berbaring di ranjang, tangan menopang dagu, sunyi memandanginya merias wajah. Mendengar pertanyaannya, langsung melambai tanda pelayan mundur.
“Saat itu Ying Shisan yang mewakili aku. Sebenarnya aku tak ingin kau pergi, perburuan musim dingin kali ini terlalu cerdik waktunya, ada yang sudah sejak lama mengasah kuku ingin memanfaatkan kesempatan melahirkan masalah, takut tak bisa damai.” Pria itu menerbangkan lebih rendah suara, ekspresi serius, jelas hal ini parah.
“Kalau begitu aku tak usah pergi?” Dia memilih gelang di dalam kotak perhiasan, bertanya santai satu kalimat.
"Kau sudah jelas ingin pergi, kalau mau ya pergi. Keramaian sebesar ini kalau tidak kau lihat, pasti akan kau sesali. Selain itu aku juga tahu bosan selalu mengurung diri di rumah tangga, kau tunggu sebentar lagi, setelah urus orang-orang Wei Utara ini, aku akan bawa kau pergi dari daerah yang mengurung ini." Cheng Tingyu turun dari ranjang, menawar bersama memilih perhiasan.
Wen Mingyun terkejut sejenak, langsung memutar kepala melihatnya.
“Kau akan membawaku pergi dari ibukota?”
Pria itu meletakkan tangan di bibirnya, membuat gerakan "ssst": “Masih rahasia untuk sementara, hanya kau yang tahu. Akan kubawa kau menunggang kuda mengarungi dunia, mendaki puncak gunung memandang bintang-bintang, menyusuri sungai kecil memetik buah-buahan, bangun bersama fajar, menari di bawah sinar Ming Yue, menjadi sepasang Yuan Yang liar yang bahagia.”
Saat mengucapkan ini, matanya berbinar seolah dipenuhi bintang-bintang, senyum samarnya membuat orang terbuai.
Wen Mingyun terhanyut dalam pemandangan indah yang dia lukiskan, seolah kini ia sudah duduk di puncak gunung tinggi, menatap langit yang bertabur bintang.
Tuhan tahu sudah berapa lama ia terkurung di ibukota ini. Meski kondisi transmigrasinya terbilang baik, namun terbatas oleh zaman sebagai putri bangsawan, jarak terjauh yang bisa ia datangi hanyalah perkebunan pemandian air panas di pinggiran ibu kota, tempat lain mustahil diimpikan.
“Bintang dan bulan juga bisa dilihat, tapi hanya sepetak kecil langit dan bumi di halaman sendiri, duduk di bangku batu menatap ke atas, bagaikan katak di dasar sumur, langit yang terlihat hanya selebar ini.”
Adegan yang ia gambarkan membuat hatinya sangat tergiur.
“Bebek liar apa? Kita bukan berselingkuh, tiga perantara dan enam hadiah nikah semuanya ada, apa kau masih menyimpan niat nakal lainnya?” Wen Mingyun memiringkan kepala menatapnya, alisnya terangkat perlahan, mengamati dengan saksama.
“Aku sedang menguji Nyonya, takut kau kabur, tidak mau ikut aku.” Cheng Tingyu memilih satu hiasan kepala mutiara, melepas hiasan yang sudah terpasang di rambutnya, lalu menggantinya dengan yang ia pilih.
“Hiasan giok terbang berdampingan ini lebih cocok untukmu.”
“Selama perburuan musim dingin, hati-hati sekali, ikutlah Putri Kelima. Jika bertemu Yelisha, lari saja jika bisa, jangan bersama dia, biar tidak terluka tanpa sengaja.” Cheng Tingyu merapikan rambut awannya, berbisik lembut di telinganya.
Wen Mingyun mengangguk, menyatakan sudah paham.
Hanya daun telinganya yang terasa panas, pria itu sudah menggigit sisi telinganya. Wen Mingyun merasakan telinganya kepanasan, darah di seluruh tubuhnya mengalir deras ke atas, seketika menjadi sensitif.
Ia buru-buru mengangkat tangan merebut kembali telinganya.
"Jangan menggigit sembarangan, kalau lapar cari sendiri makanannya!" ujar Wen Mingyun dengan kesal.
Ia bahkan tak berani menatap, kalau tidak pasti akan ditertawakan. Saat ini kulit wajahnya terasa panas, pastinya wajahnya sudah merah menyala.
Cheng Tingyu terkikik: "Aku tidak lapar, hanya mencoba. Daun telinga Nyonya sangat sensitif, disentuh sedikit langsung memerah."
Ucapan-ucapannya saat ini persis seperti preman tua.
Wen Mingyun seketika mengangkat tangan hendak meninju. Cheng Tingyu langsung menangkap pergelangan tangannya, memutar mengikuti tenaganya satu putaran, langsung memeluknya dalam dekapan, lalu menyambar bibir merahnya untuk dicium.
Dia ingin meronta dan melawan, tapi pria itu dengan paham situasi mengangkat tangan, perlahan memijat daun telinganya, menyerang titik sensitif baru yang ditemukannya. Seketika Wen Mingyun merasakan darah dalam hati mengalir deras ke kepala.
Perjuangan itu lenyap tak berbekas di bawah serangan bibir dan lidahnya. Suasana perlahan memanas, tak hanya tangannya merangkul leher pria itu, sang pria pun dengan malas merangkul pinggang rampingnya.
Meski masih pagi musim dingin yang dingin, dalam kamar terasa seperti terbakar api, hampir membakar sekeliling.
“Ayah.” Terdengar teriakan panik Cheng Yan dari luar.
Suasana mesra dalam kamar lenyap seketika. Wen Mingyun langsung mendorongnya pergi.
“Tuan Muda, tunggu sebentar! Budak akan memberitahu.” Rupanya Hongfeng sedang menghadang.
Cheng Yan menunjukkan keraguan sesaat, sebenarnya karena ada hal mendesak, ingin acuh tak acuh memaksa masuk, bagaimanapun sebelumnya dia bahkan pernah langsung memasuki ruang baca.
“Tapi ini adalah halaman Wen Mingyun.” Pemuda itu teringat kembali gambaran Cheng Tingyu dan Wen Mingyun yang bergulingan bersama sebelumnya. Meskipun itu hanyalah permainan Wen Mingyun untuk memperdayainya, gambaran itu meninggalkan trauma tak terhapuskan di hati pemuda yang masih lemah ini.
Hongfeng mengira tidak bisa menghentikannya. Tak disangka, Tuan Muda hanya terlihat berkunang-kunang sejenak, lalu berdiri di tempat menunggu dengan aura kemanisan yang penurut.
“Raja, Nyonya.” Saat Hongfeng masuk hendak memberitahu, Cheng Tingyu sudah melambaikan tangan mengizinkan.
“Biarkan dia masuk.”
Saat Cheng Yan masuk, bara arang di dalam kamar mengeluarkan asap menyengat yang membuat pusing, namun udara juga membawa aroma dupa halus yang membangkitkan perasaan bahagia.
Cheng Tingyu mengenakan jubah luar dengan serampangan, sambil memutar-mutar kipas lipat di tangannya.
Wen Mingyun duduk di depan meja rias, merapikan rambutnya dengan cermin perunggu.
Kedua orang ini jelas-jelas berjauhan, namun Cheng Yan tetap merasa risi, seolah ada perasaan lengket dan lembek yang terpancar.
"Mau apa? Bicara! Jangan melirik-lirik ke sana kemari!" Cheng Tingyu kesal. Siapa pun yang urusan bagusnya diganggu pasti tak akan senang.
Bajingan kecil ini setelah masuk kamar juga tak kunjung bicara, sorot matanya terus menyapu tubuh pasangan suami-istri kami seperti pencuri yang merasa bersalah.
"Aku kapan melirik? Apa di sini ada sesuatu yang tak boleh kulihat?" Ia menegakkan lehernya membela diri.
Cheng Tingyu segera membuka kipas setengah dan menghantamkan di dahinya: "Katakan cepat kalau ada urusan!"
"Ajak aku ikut perburuan musim dingin."
Tetap saja tak bisa berdiplomasi, baru buka mulut langsung ke inti masalah.
Tapi melihat raut wajah ayah kandung yang semakin suram, dengan sorot mata penuh ancaman, otak kecil Cheng Yan yang hampir berkarat itu tiba-tiba berputar kencang. Suaranya langsung melunak.
“Perburuan musim dingin kali ini pasti ramai, aku juga sudah lama tidak keluar rumah, hampir sakit karena terkurung. Ayah, biarkan aku pergi refreshing sebentar ya?”
Sikapnya melunak sedikit, menggerutu dengan suara lemah yang sekilas terdengar seperti sedang manja.
“Bukan melarangmu keluar. Kau bisa main dengan teman-teman licikmu. Perburuan musim dingin adalah acara resmi Baginda, di mana bangsawan-bangsawan terkemuka berkeliaran. Keluar tenda saja bisa menabrak keluarga kerajaan. Dengan sifatmu yang mudah tersulut ini, bisa-bisa kau pecahkan kepala orang. Ayahmu kini cuma rakyat jelata tanpa uang atau kekuasaan. Apa aku ingin mati muda dengan membawamu?”
Cheng Tingyu tidak menerima alasannya, menolak dengan penjelasan yang sistematis dan berdasar.
Cheng Yan mengedipkan mata, mengangkat tangan menunjuk Wen Mingyun: “Lalu kenapa kau bisa bawa dia? Masalah yang dia buat tidak kalah banyak dariku!”
“Siapa bilang? Aku hanya mengganggumu, tak pernah buat onar. Di luar aku selalu menahan diri dan sopan, tidak sampai mengundang Dali datang, juga tidak membuat pengawal kerajaan menekanku kembali. Kau sendiri yang tak bisa pergi, jangan menyeret orang lain ke kubangan.” Wen Mingyun berkata dengan kesal.
Si brengsek ini, cuma karena melihat aku bisa pergi, jadi iri di hatinya.
Begitu Wen Mingyun menyebut masa kelamnya, Cheng Yan langsung kehilangan argumen. Tapi menyerah begitu saja membuatnya tidak rela, akhirnya terpaksa menggunakan peribahasa sebagai perisai manusia.
“Ternyata pepatah tua tidak salah: Ada ibu tiri, pasti ada ayah tiri.”
Ucapan ini membuat Wen Mingyun dan Cheng Tingyu tertegun sejenak. Ini pertama kalinya Cheng Yan mengucapkan kata-kata seperti ini.
Mengingat sebelumnya dia bahkan tidak mau mengakui status Wen Mingyun sebagai ibu tirinya, apalagi mengucapkan kalimat yang setajam golok di leher ini.
“Kalau sudah tahu pepatah itu benar, tunggu apa lagi? Pulanglah.” Cheng Tingyu menyahut tanpa basa-basi.
Alis Cheng Yan mengernyit erat, tidak bisa menahan kegalakan. Kenapa tidak mengikuti logika umum saat mengeluarkan kartu?
Ini jelas-jelas taktik provokasi. Menurut nalar seharusnya Cheng Tingyu yang membuktikan diri bukan ayah tiri dengan mengajakku ikut. Kenapa malah sama sekali tidak masuk perangkap?
Wajah Cheng Yan memerah menahan malu. Jelas terlihat segudang keluhan ingin diluapkan, tapi merasa akan kalah kalau diucapkan.
"Jangan kau goda dia! Susah payah dia merancang taktik provokasi ini, kau malah tidak mau masuk perangkap. Otak sekecil biji kacang ini tak akan mampu menemukan cara kedua. Sudahlah, anak baik. Kalau dipaksakan, otakmu bisa shao (terbakar)!" Wen Mingyun melihat sosoknya yang tersiksa berjuang mengeluarkan kata-kata, tak kuasa menahan tawa terbahak-bahak.
Mendengar ini, raut wajah Cheng Yan semakin suram.
“Siapa yang otaknya sebesar kacang tanah, menurutku malah milikmu hanya sebesar biji wijen! Ayah, lihatlah ucapannya yang begitu kasar. Kalau di luar rumah bertemu pejabat tinggi berpengaruh seluas langit, pasti akan marah mendengar perkataannya. Dia lebih bisa membuat masalah daripada aku!” Cheng Yan seolah menemukan celah, langsung membela diri dengan logika.
“Bahkan jika dia tak berotak, aku tetap mau membawanya. Kau sudah 14 tahun, masih tak bisa lepas dari pelukan orang tua?” Cheng Tingyu berkata dengan tenang.
Terutama kalimat terakhir, bagi Cheng Yan yang sedang terburu-buru membuktikan kedewasaannya, ini jelas merupakan penghinaan dan provokasi.
Wen Mingyun menjentikkan jari, “Pemuda, sampai sekarang belum juga kau paham? Harusnya kau meminta siapa yang akan membawamu? Ayahmu ini hati sekeras batu, standar pemilihannya lebih strategis.”
“Aku tak boleh memintanya, lalu harus meminta padamu?” Cheng Yan membalas dengan kesal.
“Mengapa tidak memintaku? Aku bisa membawamu, tapi kau harus menunjukkan sikap yang benar.” Wen Mingyun balik bertanya.
Cheng Yan awalnya tidak mempedulikannya, hatinya mengeras seperti guci rongsokan yang siap dihancurkan. Namun melihat ekspresi Wen Mingyun yang sungguh-sungguh saat ini, sama sekali tidak terlihat seperti sedang menggoda, membuatnya tertegun seketika.
"Kau benar-benar bisa membawa aku pergi? Tidak bohong atau menyulitkanku?"
"Aku tak pernah sengaja menyulitkanmu. Setiap kali kau yang mengeluarkan jurus kacau duluan, baru aku terpaksa melawan balik. Jangan samakan aku dengan perempuan jahat." Wen Mingyun membela diri.
"Lalu sikap seperti apa yang kau mau agar mau membawaku?" Nafsu Cheng Yan jelas tergoda, tapi kewaspadaannya terhadap perempuan ini tak bisa ditahan. Ia terus mendesak: "Jangan-jangan kau mau aku berlutut dan membenturkan kepala di hadapanmu?"
