Di antara rombongan ini, sebenarnya siapa yang penglihatannya paling buruk ya?
Nyonya menyuruh si Pengawal Bayangan bernama Ying Shijiu menyamar jadi tuan, malah asyik mengobrol di sini. Sama sekali tak terlihat memperlakukan pria itu sebagai pengawal, lebih mirip percakapan suami-istri.
Adegan ini membuat para pengawal terus bergumam dalam hati: apakah Nyonya benar-benar tak bisa melihat melalui penyamaran tuan mereka?
Tapi ini bukan urusan para Pengawal bayangan. Entah Nyonya sudah melihat melalui penyamaran atau tidak, intinya mereka hidup dengan sangat bahagia. Berbeda dengan Tuan Muda yang seperti semut di atas wajan panas, sibuk mengobrol dengan yang satu dan memberi perintah ke yang lain, mati-matian ingin memisahkan keduanya dengan sia-sia.
Sekilas penilaiannya memang buruk. Ayah kandungnya sudah berdiri di hadapannya, tapi dia benar-benar percaya ini adalah Ying Shijiu.
"Kau menyuruhku masuk mobil sekarang, ada niat apa di balik ini? Kau juga pikir aku kalah dari dia? Aku takkan masuk! Masuk sekarang berarti menunduk dan mengakui kekalahan!" Cheng Yan akhirnya bereaksi.
Ambisius sejak lahir, dia sangat sensitif terhadap hal-hal yang berbau persaingan. Baru saja Ying Yi mengusulkan, hatinya langsung punya dugaan dan langsung menolak.
"Kalau begitu, harap hati-hati. Jalan di depan sulit, bawahan harus memimpin jalan di depan." Sudut mulut Ying Yi berkedut, lalu segera memberi hormat dan berpamitan.
Ah, kalau tak bisa menang, setidaknya bisa menghindar bukan?
“Dong dong” Suara ketukan lembut terdengar dari dalam kereta, Wen Mingyun membuka suara: "Cheng Tingyu, anakmu tidak naik, kau saja yang naik. Kebetulan tepat turunkan tirai kereta untuk mengobrol, biar nggak makan debu sepanjang jalan."
"Nyonya benar."
Pria yang sedang asyik mempermainkan itu, begitu mendengar ucapan ini, dengan putus asa langsung meninggalkan anaknya, turun dari kuda dan bersiap naik kereta.
Kusir menarik tali kekang kuda untuk memperlambat laju kereta. Pria itu menyerahkan tunggangannya kepada pengawal di belakang, bergegas mengejar. Sebelum kereta benar-benar berhenti, dia sudah melompat masuk sambil mengangkat tirai kereta dan duduk di dalam.
Hanya menyisakan Cheng Yan yang terbelalak, terdiam di atas kudanya.
"Apa makanan enak di Perbatasan Utara?" Wen Mingyun segera masuk ke suasana obrolan.
"Perbatasan Utara perang terus-menerus, musim dinginnya juga luar biasa dingin. Karena itu orang-orang di sana biasa menyantap rasa yang kuat. Selain itu banyak sapi dan kambing, berbagai produk susu dan sate daging sangat lezat. Tapi entah apakah cocok dengan selera Nyonya." Pria itu terlihat agak khawatir.
“Kau suka makanan di situ?” Wen Mingyun bertanya lembut.
“Suka! Di Jalan Utama ada Toko Bakpao Panggang Nyonya Wang, rasanya istimewa, berkuah dan lezat. Nanti saya ajak Nyonya kesana.” Pria itu mengangguk antusias merekomendasikan toko.
Wen Mingyun tersenyum manis, alis dan matanya melengkung indah.
“Baik, kalau kau suka, aku seharusnya juga menyukainya.”
Suaranya yang lembut bahkan bisa terdengar jelas melalui kereta.
Cheng Yan berteriak panik: “Hentikan! Cepat hentikan!”
Ia melompat turun dari kuda. Kusir segera menarik tali kekang. Cheng Yan tergesa ingin meniru aksi pria sebelumnya yang melompat masuk kereta.
Sayangnya tekniknya kurang mumpuni. Andai bukan karena kusir yang sigap menyangga, pastilah kepalanya terbentur kereta hingga berbunyi "dok!"
“Bukan kau bilang begitu naik mobil langsung menyerah? Ini pengakuan kalau kemampuanmu kalah?” Wen Mingyun menghentikan ucapannya, sengaja bertanya.
Cheng Yan segera memonyongkan bibir: "Aku bilang yang naik duluan berarti kalah. Sekarang jelas dia yang duluan, dia yang kalah. Jangan coba-coba curhat diam-diam, aku harus mewakili ayah mengawasi."
Meski belum berpengalaman dalam urusan asmara dan jarang punya kesempatan bercurhat dengan gadis seusianya, dialog antara Wen Mingyun dan Ying Shijiu tadi jelas terasa punya suasana yang luar biasa.
Walau tak mengakui Wen Mingyun sebagai ibu tiri, tapi perempuan ini toh istri sah ayahnya yang dinikahi dengan prosesi resmi. Jika ayah tak ada, dia harus tetap berjaga. Seandainya ibu tirinya kabur, ayah pasti akan membunuhnya.
"Tadi sampai mana pembicaraannya?" Wen Mingyun tak meladeninya, melanjutkan pertanyaan.
Pria itu dengan lancar menyambung: "Nyonya bilang akan makan bakpao panggang bersama saya."
"Aku juga ikut! Aku juga suka bakpao panggang!" Cheng Yan segera menyela.
“Apakah ada perayaan yang sangat istimewa di Perbatasan Utara?” Wen Mingyun melanjutkan pertanyaannya.
“Ada. Di Perbatasan Utara saat tengah hari, diadakan kompetisi gulat dan panahan berkuda. Ini adalah lomba gabungan antara pemerintah dan rakyat, sangat megah. Mulai dari kakek 60 tahun hingga pemuda 16 tahun bisa ikut serta, penghargaan juga sangat melimpah. Nanti saya dan Nyonya akan menonton dari menara kota.” Pria itu kembali menjawab.
“Bagus, terdengar sangat meriah. Aku harus melihat dengan seksama kewibawaan pria tangguh Perbatasan Utara. Tapi apakah acara besar ini hanya untuk pria? Kudengar perempuan utara juga sangat tangguh, perempuan tak kalah dari pria.” Wen Mingyun mengangguk.
“Aku juga mau ikut! Tiga anggota keluarga harus lengkap dan rapi! Mengapa hanya pria di atas 16 tahun yang boleh ikut? Apakah di bawah 16 bukan manusia? Aku juga ingin latihan bertarung!”
Cheng Yan berusaha keras menyatu dalam topik pembicaraan mereka, dengan tekad baja untuk mengikatkan diri. Apapun rencana tujuan atau aktivitas yang dibicarakan, dia selalu bersikeras ikut serta, seolah menempelkan tulisan "perekat kulit anjing" di wajahnya.
"Saran Nyonya akan kuperhatikan. Setelah ada pertimbangan matang, baru akan kulaporkan kepada Gubernur dan Jenderal." Pria itu mengangguk.
"Berdasarkan apa hanya mempertimbangkan sarannya? Pertimbangkan juga punyaku dong! Cih, ngomong sama lu percuma!" Cheng Yan bereaksi dengan antusias mencari perhatian, tapi segera meludah usai bicara, baru menyadari telah salah alamat.
Pria di depan mata ini bukan ayah kandungnya, hanya tubuh palsu belaka.
Pria yang sejak naik kereta kuda tak sekalipun memandang Cheng Yan, kini akhirnya menolehkan kepala memberikan sorot mata.
Tatapan mereka bertaut. Cheng Yan tak bisa menahan diri mengkerutkan lehernya. Harus diakui, Ying Shijiu benar-benar bakat langka - tiruannya sempurna. Sekali lagi ilusinya muncul, mengira ini tatapan kecewa ayah kandung padanya.
“Liat apa liat, kalau berani liat lagi aku——” Dia memanjangkan leher, tak ingin orang melihat kondisinya yang gentar, malah mengangkat tangan membuat gerakan menyerang.
“Aku akan sampaikan dua ucapan ini pada Tuan, biar dia tahu perkataan yang selama ini tersimpan dalam hati Tuan Muda dan ingin diutarakan padanya.” Pria itu berkata dengan santai.
“Ha? Kau, kau berani ‘melapor duluan seperti penjahat’? Aku saja belum mengadukan keburukanmu pada Ayah! Menurutmu dia akan percaya pada anak kandungnya atau kata Pengawal bayangan?” Cheng Yan berubah pucat, wajahnya dipenuhi ekspresi absurd.
“Bagaimana jika ditambah dengan aku?”
Cheng Yan langsung melotot: “Kau mau satu formasi dengan Pengawal bayangan? Maka Ayah pasti lebih percaya ucapanku! Istrinya berani bekerja sama dengan tamu laki-laki untuk menghadapi anaknya sendiri, menurutmu apa yang ada dalam hatinya?”
“Siapa yang tahu? Lagipula aku bisa berbisik bantal, sedangkan kau tidak.” Wen Mingyun mengangkat bahu, berlagak tak ambil pusing.
Cheng Yan seketika memutar mata karena marah, suaranya hampir gemetar: "Perempuan ini, kok bisa tak tahu malu begini? Langsung ngomong soal bisikan bantal, tak karuan!"
Wen Mingyun sempat tertegun saat mendengar frasa "tak karuan", dikiranya Wen Bohon yang datang.
Ia tak bisa menahan tawa terbahak-bahak: "Aku sampai tidak percaya ini ucapanmu, Cheng Yan. Kau yang paling tak punya dasar hukum untuk bicara tentang tak karuan!"
"Sudah-sudah, jangan gelisah begitu, pemuda. Bukannya kau mau ikut kompetisi? Ying 19 ini bisa berpura-pura jadi ayahmu dengan sangat mirip sampai menipu banyak orang. Bukan cuma nada bicara dan ekspresi wajah yang serupa, pasti juga sudah mempelajari cara berpikir dan prinsip hidup ayahmu sampai detail. Reaksinya hampir 90% tepat. Anggap saja ini uji coba ajaib. Coba pengaruhi dia biar mengizinkanmu ikut kompetisi." Wen Mingyun melambaikan tangan, mengembalikan topik pembicaraan.
Kalau dibiarkan, mereka bisa bertengkar mulut sampai setengah hari.
Cheng Yan memonyongkan bibir, tak lagi merangkul. Ia menatap dengan pandangan menyelidik pada pria di depan mata itu, seolah-olah ada keraguan.
“Dia kan palsu. Ngomong panjang lebar ke boneka mekanis buat apa? Cuma buang-buang waktu, keliatannya juga bodoh banget. Kau pasti lagi mempermainkan aku!” Dengan tegas ia menolak mengutarakan alasannya.
Jelas terlihat akhir-akhir ini trauma psikologisnya akibat sering dihajar Wen Mingyun. Seketika ia mencium bau perangkap, langsung menolak mentah-mentah.
Wen Mingyun menyangga dahinya, mengakui ini memang kesalahannya.
Selama periode saling bergantung ini, ia tak tahan menggoda si anak secara berlebihan.
Bukan maksudnya jadi bahan tertawaan, tapi reaksi kesal Cheng Yan itu... bikin ketagihan!
Emosinya mudah tersulut tapi juga cepat mereda. Cukup belai bulu halus sambil menghibur, tak lama langsung bisa dibujuk.
Pasti bukan cuma dirinya yang berpikir begitu. Cheng Tingyu pun kerap menggoda anaknya. Bahkan belakangan Wen Mingyun mulai merasakan kebahagiaan memelihara anak.
“Kali ini benar-benar Tidak mengusikmu, aku tulus.” Dia mengangkat kedua tangan tanda menyerah.
“Kau mengakui sebelumnya memang mengusikku ya? Tidak boleh, barusan kau juga bilang akan mengadakan kompetisi wanita. Kau yang usul dulu, anggap saja memulai dulu.” Cheng Yan seketika menemukan celah. Sudut bibirnya melengkung tinggi, senyuman penuh kemenangan di wajahnya tak bisa disembunyikan.
“Baiklah, aku yang duluan.” Wen Mingyun mengangguk, langsung menyetujui dengan setengah hati.
“Suami, lihatlah adat istiadat masyarakat Perbatasan Utara yang keras. Pria-wanita tua-muda semua menghargai ilmu bela diri. Di masa khusus malah hampir seluruh rakyat jadi pasukan. Ajang besar seperti ini seharusnya milik semua warga Perbatasan Utara. Bagaimana bisa menyingkirkan sebagian orang? Bagaimana kalau pria di bawah 16 tahun diikutsertakan bersama wanita untuk bersaing meraih peringkat teratas?” Batuk kecilnya terdengar, bisik lembutnya mengusulkan.
Pria itu menyimak dengan seksama. Jemarinya mengusap-usap dagu, beberapa saat kemudian mengangguk pelan: “Setuju. Begitu tiba di Perbatasan Utara, akan kusampaikan laporan resmi.”
Dia menyetujui dengan sangat blak-blakan, Cheng Yan yang tadinya bersiap membuktikan kemampuannya langsung mentok.
“Bagaimana bisa kau menyetujui?” Cheng Yan menepuk meja.
“Usulan Nyonya sangat baik. Perbatasan Utara selalu dalam periode perang yang sering. Acara semacam ini meski megah tapi menghabiskan banyak pengorbanan. Justru karena khawatir hati rakyat tak kompak, acara untuk semua umur tak diadakan. Kini dengan mengelompokkan wanita dan para pemuda, sebenarnya lebih praktis. Meski diorganisir juga tak butuh banyak tenaga dan energi.” Pria itu berkata dengan alasan yang sistematis dan berdasar.
Cheng Yan sama sekali tak percaya: “Jangan kau bohongi aku! Apa karena dia memanggil 'suami' dengan nada bicara yang lembut?”
Setelah mengatakan itu pada pria itu, dia segera memutar kepala dan mengeluh pada Wen Mingyun: “Ini melanggar aturan! Apa bedanya dengan bisikan bantal? Aku bahkan tak punya kesempatan tampil. Kubilang kau melempar batu bata untuk memancing giok, bukan langsung menghancurkan mangkuk dengan batu bata!”
“Urusanmu apa dengan aku menghancurkan mangkuk atau tidak? Yang penting usulku diterima. Nanti saat ada kompetisi, kau mau ikut atau tidak?”
Bibir Cheng Yan bergerak-gerak, jelas ingin menyombongkan diri bahwa dia tidak menghargai, tapi tetap tak bisa mengucapkan kata-kata seperti itu.
“Ah, masih terlalu dini bicara ini. Barang palsu saja yang menyetujui. Tunggu manusia nyata yang berjanji baru bicara. Lagipapa kau tiba-tiba percaya pada ayahku? Dia saja kabur dari ibukota ke Perbatasan Utara. Apa dia masih bisa menentukan urusan kompetisi di sini?” Ia memonyongkan bibir, tak tahan mengguyurkan air dingin.
