“Tuan pasti berpikir begitu.”
Terhadap sikap meremehkan Cheng Yan, pria itu justru tenang. Jawabannya tegas dan pasti tanpa menyisakan jalur mundur, seolah Cheng Tingyu sudah mengangguk menyetujui.
“Sok keras kepala. Kau kan bukan cacing dalam perut ayahku!”
Keluhan seperti ini tentu tak ada yang membantah. Buat sementara waktu, suasana dalam kereta kuda justru menjadi lebih harmonis.
“Ikut aku untuk apa?”
Kembali sampai di tempat istirahat, Cheng Yan mengikutinya dari belakang dengan jarak tidak jauh maupun dekat.
“Kau pikir aku mau ikut? Di hutan belantara begini, kau keluar sendirian, sudah pasti tidak aman.” Cheng Yan berteriak dengan suara keras.
Entah karena terlalu tegang atau tidak, teriakannya sampai pecah. Ia segera batuk kecil untuk menutupinya.
Wen Mingyun langsung menoleh mengambil, sementara remaja itu menegakkan lehernya dan saling memandang dengannya.
“Kau malu?”
“Siapa yang malu? Xiao Ye ini bahkan tidak tahu cara menulis karakter ‘malu’!”
Wen Mingyun menyeringai: “Lalu kenapa wajahmu merah? Merahnya sampai ke pangkal telinga.”
“Ini aku yang malu mewakilimu! Kau bahkan tidak punya dayang, bertindak sangat tidak nyaman ditemani para pria. Saat sampai di kawasan berikutnya, cepatlah beli seorang pelayan.” Cheng Yan memonyongkan bibirnya, bersikeras dengan logika seolah itu hal yang benar.
“Tak perlu pipinya memerah untukku, aku tak ambil pusing. Kau tak mau ikut, aku cari orang lain juga sama. Pengawal bayangan baik saat membunuh maupun menyelamatkan, tak ada perbedaan pria-wanita. Kau selalu kikuk setiap hari, lebih waspada dibanding nonaku yang diajari kitab wanita.” Wen Mingyun berkata dengan santai.
Kalimat ini malah membuat Cheng Yan lebih bersemangat: "Pengawal bayangan, bayangan mana yang kau inginkan ikut? Bayangan 19 itu? Kukasih tahu, meski ayah tak ada di sini, selama ada aku, kau harus bersikap seperti Nyonya Cheng!"
Wen Mingyun mencemooh pelan, tidak meresponsnya.
Beberapa hari terakhir Cheng Yan menderita, pemuda yang dulu bersemangat dan emosional itu kini jadi penuh kecurigaan.
Sepanjang perjalanan tergesa-gesa ini, ketika rombongan akhirnya tiba di Perbatasan Utara, Cheng Yan merasa dirinya hampir ambruk, setiap hari mengawasi ketat Wen Mingyun dengan saraf menegang, khawatir perhatiannya beralih dan melakukan hal tak pantas pada pengganti itu.
Akhirnya sampai di Kediaman Marquis Cheng di Perbatasan Utara, begitu kereta kuda berhenti, Cheng Yan langsung melompat turun. Kalimat pertama yang diucapkannya: "Ayahku di mana?"
Manajer Li memimpin rombongan penyambutan, membungkukkan tangan memberi hormat.
"Nyonya, Tuan Muda, perjalanannya melelahkan. Tuan Besar masih di pasukan, sampai saat ini belum pulang," jawabnya lembut.
Cheng Yan segera mengangkat alisnya: "Ayah ikut wajib militer? Pasukan mau menerimanya? Apa masuk pasukan di bawah komando Jenderal Wu Ming? Di tengah pertempuran, jangan-jangan malah harus balik menyelamatkannya?"
Ekspresi jijiknya terhadap kondisi fisik ayah kandungnya tak bisa disembunyikan, alisnya mengerut dalam-dalam.
Manajer Li terdiam sejenak sebelum berkata: "Kondisi fisik Tuan Besar sudah jauh membaik. Di pasukan, beliau tak perlu setiap hari turun ke medan perang membunuh musuh."
Manajer Li mencoba menjelaskan, namun ucapannya belum selesai sudah dipotong oleh Cheng Yan: "Oh, aku tahu. Dia kerja administratif. Tapi meski cuma menulis, Ayah harus jaga kesehatan. *Sekali-kali* jangan sampai urusan pekerjaan membelitnya sampai tidak bisa pulang ke kediaman. Kediaman ini tidak bisa tanpa dia Ah!"
Saat mengucapkan paruh kalimat terakhir, Cheng Yan tak bisa menahan diri menekankan nada, bahkan memberi kode mata pada Manajer Li.
Sayangnya Manajer Li tidak menangkap maksudnya. Lu He yang tiba lebih dulu di Perbatasan Utara sudah menyambut, buru-buru menyangga Wen Mingyun turun dari kereta.
"Nyonya, Daun Maple Merah mana?"
"Dia di belakang. Sudah kusuruh orang jemput, dua hari lagi sampai." Wen Mingyun menepuk-nepuk tangannya, berbisik menenangkan.
Mata Lu He langsung memerah: "Nyonya, Budak ini menderita sepanjang perjalanan. Sungguh menyesal berpisah dengan Nyonya. Seharusnya kita tidak berpisah jalan waktu itu..."
“Dia terus berbisik-bisik, lingkaran hitam di bawah mata jelas terlihat. Jelas selama ini tidak mendapat kabar Wen Mingyun, sampai susah tidur dan makan.”
“Manajer Li, bagaimana cara mengurus rumah mewah di Perbatasan Utara ini, coba jelaskan padaku.”
Setelah Lu He benar-benar tenang, barulah Wen Mingyun berbicara dengan Manajer Li. Manajer Li saat itu sama sekali tidak menyembunyikan apapun, memberikan penjelasan lengkap tentang situasi.
“Rumah ini sudah dibeli sebelumnya. Setelah menikahi Nyonya, Tuan langsung menyuruh orang merenovasinya. Ada paviliun air dan taman untuk Nyonya merebus salju dan teh, juga lapangan berkuda dan area perburuan agar Nyonya bisa bebas berkuda dan memanah. Kami mempekerjakan beberapa koki istana yang masing-masing ahli di aliran masakan berbeda. Setelah Nyonya mencicipi semuanya, terserah mau mempertahankan berapa orang.”
“Kompleks rumah ini dibangun sepenuhnya dengan gaya arsitektur Perbatasan Utara, dilengkapi gudang bawah tanah untuk menyimpan asinan sayur dan daging pada masa normal, serta dapat menjadi tempat perlindungan dari serangan musuh saat perang. Kamar tidur Anda direplikasi persis dari kediaman marquis Cheng di ibukota. Jika Anda menyukai gaya lain, hamba siap merevisinya sesuai permintaan.”
Manajer Li sama sekali tidak membahas tradisi lokal maupun protokol sosial, malah terus-menerus menjelaskan detail konstruksi bangunan ini.’
Cheng Yan tertegun menyimak penjelasan. Sepanjang perjalanan menelusuri kompleks kediaman Cheng di Perbatasan Utara yang megaknya tak kalah dari kediaman di ibukota, bahkan sarat dengan ornamen khas lokal. Dari ruang depan hingga koridor utama, seluruh area bernuansa ilmu bela diri yang mencerminkan budaya militeristik masyarakat Perbatasan Utara.
Namun ketika memasuki area halaman belakang, seolah ada garis pemisah tegas yang membentang bagai portal menuju dunia lain.
“Berbeda dengan keluhuran halaman depan, halaman belakang tampak elegan dan anggun, sangat memperhatikan detail. Hampir setiap langkah menawarkan pemandangan baru, di mana-mana terlihat kecerdasan para pengrajin. Paviliun, menara, jembatan kecil dengan aliran air, berbagai jenis pemandangan lengkap tersedia.”
Setiap kali melewati suatu area, Manajer Li selalu bisa menjelaskan kepada Cheng Tingyu.
“Meski musim panas di Perbatasan Utara singkat, Tuan bilang Anda menyukai berperahu di danau. Beliau pun menyuruh membuat kolam besar. Saat musim panas nanti, kami akan menanam bunga teratai memenuhi kolam sehingga Anda bisa memetik biji teratai dengan perahu. Di musim dingin juga tidak sia-sia - permukaan danau membeku, hamparan salju putih di mana-mana. Anda dan Tuan bisa merebus teh di sekitar tungku di paviliun depan, menikmati keunikan tersendiri.”
“Di depan adalah Taman Plum. Bunga plum di Perbatasan Utara berbeda jenisnya dengan yang di ibukota. Warga utara juga lebih menyukai plum merah. Jenderal Wu Ming pernah berkata, setiap jengkal tanah di Perbatasan Utara hampir terendam darah. Meski bau amisnya tak tertahankan, janganlah takut atau putus asa, karena tanah ini bisa menumbuhkan bunga plum merah pekat terindah se-Dinasti Daye, sekaligus melahirkan rakyat paling tangguh dan pemberani. Kemenangan akhirnya akan menjadi milik kita.”
Sekelompok orang memasuki Taman Plum. Benar saja, pemandangan pertama yang menyambut adalah hamparan merah pekat. Bunga plumnya relatif kecil, namun saat berkumpul bersama, warnanya memancar begitu menyala-nyala, tak bisa diabaikan.
Bagai api berkobar yang bermekaran di tengah hawa dingin, seolah-olah bunga lain di hadapan plum merah ini mengaburkan keindahannya, tak berani bersaing.
Wen Mingyun melihatnya sampai terlalu asyik, tak bisa menahan diri menghela napas, "Jenderal Wu Ming ini benar-benar seorang yang pemberani dan cerdik. Ia tak hanya membawa kemenangan untuk Perbatasan Utara, tapi juga menanamkan karakter yang mengesankan bagi rakyat Perbatasan Utara yang terjebak dalam penderitaan perang."
Meskipun Wu Ming adalah jenderal yang selalu menang, hanya mengandalkan dirinya seorang takkan bisa mempertahankan daerah sini di Perbatasan Utara.
Hanya dengan membuat rakyat yang hidup di tanah ini menjadi sekuat baja, semangat membara, bahkan jika suatu hari ia tiada, tempat ini tetap bisa bertahan terus.
"Sebelum Jenderal Wu Ming datang, Perbatasan Utara ibarat pasir berhamburan. Meski Wei Utara hanya punya puluhan prajurit, mereka bisa dengan mudah membuka gerbang kota. Semua orang seperti burung ketakutan, hancur berantakan sampai tulang punggungnya patah. Meski berkumpul ribuan orang, tetap mudah dikalahkan, terdisintegrasi dan kabur. Kini sama sekali berbeda." Manajer Li jelas-jelas mengagumi Jenderal Wu Ming, tak kuasa menahan diri menambahkan beberapa pujian.
“Jenderal Wu Ming benar-benar layak disebut dewa perang! Menggunakan plum merah sebagai metafora untuk rakyat Perbatasan Utara, membuat mereka seperti bunga plum merah yang tetap tegak menjalani hidup di tanah yang dipenuhi darah dan kebencian. Paman Li, apa lagi di kediaman ini yang terkait dengan Jenderal Wu Ming? Cepat ceritakan, aku suka mendengarnya!” Cheng Yan berseru dengan mata berbinar-binar penuh semangat.
Remaja pemberontak ini tiba-tiba berubah menjadi murid yang manis penurut dan rajin belajar begitu menyangkut hal-hal tentang Wu Ming.
Bahkan esai-esai sekolahnya yang biasanya ngawur tiba-tiba bisa ditulis dengan indah ketika memuji Wu Ming, sampai-sampai mengeluarkan kata-kata sastrawi yang bertele-tele seperti ini.
Raut wajah Manajer Li menjadi kaku. Ia batuk kecil lalu berbisik, “Tuan muda, halaman ini tidak ada hubungannya dengan Jenderal Wu Ming. Semua dibangun Tuan Besar untuk Nyonya dengan pengorbanan besar. Nanti saat melihat halaman Anda, silakan tanya lagi. Untuk sekarang, kita harus mempertimbangkan perasaan Nyonya terlebih dahulu.”
“Bagaimana pendapat Nyonya tentang Taman Plum ini?”
Dengan beberapa kalimat, dia mengalihkan perhatian Cheng Yan dan segera beralih ke Wen Mingyun.
“Indah, aku sangat menyukainya.”
“Senang Anda suka. Mari ikuti saya ke kebun buah di depan. Raja mengatakan Anda paling suka berbagai macam buah. Meski tanah di Perbatasan Utara gersang dan kualitasnya kalah dengan ibukota, setiap daerah memiliki ciri khasnya sendiri. Di sini ada buah Zhu Guo yang seluruhnya merah terang, rasanya manis asam...”
Manajer Li kembali mengundangnya melanjutkan tur, mulutnya tak berhenti berkata-kata.
Wen Mingyun juga menyimak dengan seksama, sesekali mengangguk setuju. Raut wajahnya santai dan bahagia, jelas dia sangat puas dengan segala yang dilihatnya.
Cheng Yan melirik ke kiri-kanan, tak bisa menahan diri memonyongkan bibir. Entah mengapa, hatinya dipenuhi rasa kesal.
“Paman Li, pembangunan halaman ini memang bagus, tapi menurutku, Ayah cuma sekadar menyebut sepatah dua patah kata, urusan perencanaan yang rumit ini pasti hasil diskusi Paman dengan para pengrajin. Mengingat sifat aslinya yang bahkan kamar bacanya saja dibuat sederhana, jelas dia bukan tipe yang punya pikiran kreatif seperti ini. Tak perlu Paman tutupi lagi, kan?” Nada suaranya meninggi, jelas-jelas bernada memancing keributan dengan sentuhan rasa iri.
“Tuan Muda, jangan sembarangan bicara! Aku ini orang kasar, setengah hidup sebelumnya cuma anak petani miskin jadi tentara, tak punya keahlian selain berperang. Berkat kebaikan Tuan dan Raja yang memberi jalan hidup, aku bisa belajar sedikit huruf, bekerja di kediaman ini. Karena kesetiaanku, diangkat jadi pengurus. Tapi sebenarnya untuk urusan mewah begini, aku tetap dua mata jadi gelap.” Manajer Li buru-buru menjernihkan situasi.
“Paman Li, Anda tak perlu merendah. Penjelasan yang sangat detail seperti ini pasti membutuhkan banyak pikiran. Nyonya bukan orang pelit, katakan saja langsung, biar beliau memberikan hadiah!” Cheng Yan masih tak percaya.
“Nyonya, Tuan Muda, alasan saya paham semua ini adalah karena Tuan terus menyebut-sebut setiap kali kembali ke kediaman marquis. Beliau bahkan menggambar sketsa yang tersimpan di ruang baca. Nanti bisa saya ambilkan untuk dilihat berdua. Dengan kepribadian Tuan, mustahil beliau berbohong untuk hal seperti ini.” Manajer Li bersikeras.
Kali ini Cheng Yan tak bisa membantah lagi, sebab Cheng Tingyu memang tak perlu memalsukan hal-hal seperti ini.
“Tak kusangka ayah ternyata punya hobi santai seperti ini, hah.” Ia terkekuk-kekuk dua kali, tapi terdengar lebih mirip dengus dingin.
Manajer Li langsung menyesal, ingin menampar mulutnya sendiri.
Ia terlalu fokus menyampaikan sikap khidmat Tuan terhadap Nyonya, sampai lupa mempertimbangkan perasaan Tuan Muda. Bagaimanapun ini adalah ibu tiri, wajar ia merasa ibunya sendiri tersakiti.
