Denílson berbalik perlahan. Di seberang tempat tidurnya, terpajang sebuah tiruan trofi emas Eropa miniatur!
Itu adalah hadiah perpisahan dari guru yang dihormatinya, Telê Santana, saat meninggalkan Brasil. Saat memberikannya, sang mentor telah menitipkan harapan besar padanya.
"Kuharap suatu hari nanti kau bisa membawa pulang Ballon d'Or sesungguhnya dari Eropa!"
Setiap mengingat guru yang penuh kasih dan berwibawa itu, wajah Denílson langsung dipenuhi sikap hormat. Dialah penemu bakat Denílson, pembentuk jati dirinya, bahkan izin diam-diamnya yang memungkinkan Denílson bergabung dengan 1. FC Kaiserslautern.
“Apakah kondisi raganya sekarang baik-baik saja?” Denílson bergumam pelan, namun meletakkan koper yang sedang dipegangnya.
Menghampiri tepi tempat tidur, Denílson mengambil replika piala Ballon d'Or di kepala ranjang itu, dengan hati-hati mengelap debu yang menempel. Ia sudah lama melupakan keberadaan piala tiruan ini, baru sekarang teringat kembali.
“Jika kamu ingin ke Eropa, pertama-tama harus belajar keteguhan dan kemampuan beradaptasi! Brasil dan Eropa adalah dua alam sepakbola yang sama sekali berbeda. Di sanalah inti sepakbola dunia sesungguhnya. Tapi Eropa memiliki gaya khas dan aturannya sendiri. Jika tidak bisa beradaptasi, atau bahkan tidak mau beradaptasi sama sekali, mustahil bagimu meraih sukses di sana!”
Di kepalanya bergema perkataan Santana saat ia berpamitan dulu. Denílson merasa hati bergetar hebat, seolah sang guru yang dihormati itu bisa meramal masa depan. Semua nasihatnya kini terasa seperti peringatan ilahi yang ditujukan untuk dirinya di masa kini.
Dengan lembut menaruh kembali piala, Denílson keluar dari apartemen, menuju ke telepon umum di jalan bawah gedung, langsung menghubungi nomor telepon rumah Santana di Brasil.
Bunyi "dudu" dari gagang telepon terdengar beberapa saat, tepat ketika Denílson mengira tak ada yang mengangkat, tiba-tiba sambungan terhubung.
"Halo, cari... siapa?" Suara di seberang terdengar lemah bahkan samar-samar, tapi Denílson jelas-jelas mengenali suara sang guru terhormati itu.
"Tuan Santana, saya Denílson de Oliveira!" kata Denílson dengan nada bergetar penuh emosi.
"Oh... kamu rupanya!" Suara di seberang terdapat nada kekecewaan, disusup desahan, "Tak kusangka kau benar-benar menelepon!"
Denílson terkejut bertanya: "Apa maksud Bapak?"
Santana tersenyum getir, "Beberapa hari lalu Yang Chengzhuo datang ke Brasil untuk menemui saya!"
Denílson membeku, untuk apa dia ke Brasil?
“Jangan salah paham, sebelumnya saat merampungkan transfermu, aku dan dia berbicara lama, saling bertukar kontak. Beberapa waktu lalu aku masuk rumah sakit karena kondisi tubuhku terganggu. Yang Chengzhuo sengaja datang ke Brasil menjengukku setelah tahu kabar itu, kami bahkan membicarakanmu!”
Deni terdiam sejenak, tiba-tiba teringat sesuatu dan bertanya khawatir: "Kau masuk rumah sakit? Masalah apa? Sudah sembuh belum?"
"Penyakit lama, kekurangan pasokan darah ke otak. Sekarang gerak-gerik agak terbatas, bicara pun sedikit melelahkan!" jawab Santana dengan senyum pahit.
Di usia 65 tahun, seluruh tubuh dipenuhi berbagai penyakit, sungguh membuat seseorang tak bisa mengelak dari penuaan.
"Tahu apa kata Yang Chengzhuo tentangmu?" tanya Santana.
Deni sangat ingin bilang tak mau tahu, karena menurut persepsinya, pasti Yang Chengzhuo menjelek-jelekkannya habis-habisan.
"Tapi Santana terkekeh, 'Dia menipuku. Dia bilang kamu baik-baik saja di Jerman, performamu menonjol, bahkan sudah menjadi pemain kunci lini depan tim. Terkekeh, dia pasti tak tahu aku selalu punya kebiasaan baca koran. Aku juga memantau 1. FC Kaiserslautern, dan mengikutimu. Manajermu bahkan pernah menghubungiku untuk urusan kepulanganmu.'"
"'Aku tahu, Yang Chengzhuo hanya tak ingin membuatku kecewa, ingin membuatku bahagia. Aku hargai niatnya. Tapi saat mendengar rumor kamu akan meninggalkan 1. FC Kaiserslautern, aku berpikir: Akankah kamu masih meneleponku?'"
Denílson benar-benar merasakan dorongan untuk menangis saat itu. Betapa dalamnya penghormatannya pada pelatih senior ini. Namun...
"'Apapun yang terjadi di masa depan, kamu selamanya orang yang paling kuhormati!' tegas Denílson.
Santana tersenyum lega, "Aku tahu, kamu anak yang baik, Deni, tapi menurutku kamu harus dengarkan nasihatku, tetaplah di Eropa, jangan mudah ingin kembali, nanti semua usahamu sia-sia belaka!"
Seolah berbicara panjang lebar membuatnya kelelahan, Santana terengah-engah beberapa kali, berhenti sejenak, baru melanjutkan, "Masih ingat ucapan-ucapanku padamu di hari perpisahan dulu?"
"Hmm!" Deni mengangguk.
"Sebenarnya, itu semua bukan perkataanku. Itu hasil obrolanku dengan Yang Chengzhuo. Dia sangat yakin padamu, selalu percaya kamu bisa sukses di Eropa. Tapi syaratnya, kamu harus aktif beradaptasi dengan gaya khas sepakbola Eropa, seperti yang dilakukan Ronaldo dan lainnya."
Deni benar-benar membeku total pada saat itu.
"Dia seorang pelatih kepala yang sangat khusus, muda, penuh gairah, sekaligus ambisius. Selalu jelas mengetahui apa yang diinginkannya. Karena itu aku yakin, selama kamu bisa beradaptasi dengannya, kesuksesan akan kamu raih di tim yang dia latih!"
Ucapan Santana membuat Denílson tercekam dalam keheningan dan kebimbangan. Ia menyadari, kesan baiknya selama ini tentang Yang Chengzhuo ternyata berbeda dengan gambaran Santana.
Manakah yang merupakan citra sesungguhnya dari Yang Chengzhuo?
……
……
Setelah menutup telepon Santana, Denílson berangkat ke Thionville [catatan: nama daerah fiktif] di belakang stadion Fritz Walter dengan segudang pertanyaan.
Tim yang terus-menerus bermain imbang membuat fans meninggalkan stadion lebih awal. Ditambah libur latihan, seluruh kawasan Thionville terlihat sunyi sepi bagai kota mati.
Dari kejauhan terlihat di lapangan latihan, Yang Chengzhuo bersandar pada tiang gawang, duduk di rumput, di kepalanya sedang merenungkan sesuatu.
Ketika Denílson mendekat, hal itu seketika mengganggu Yang Chengzhuo.
Yang Chengzhuo terkejut, tidak menyangka Denílson akan muncul di saat ini.
"Ada apa?" Nada bicara Yang Chengzhuo agak kasar, kondisi hatinya sedang tidak baik.
"Aku baru menelepon ke Brasil, berbicara lama dengan Tuan Telê Santana!" Denílson berjongkok, mengambil sobongan rumput dan menggenggamnya di tangannya.
Yang Chengzhuo menarik kembali sikap dinginnya, menghela napas penuh penyesalan.
Telê Santana, seorang maestro seni yang sangat dihormati!
Pernah ada yang mengatakan, dalam sejarah sepakbola Brasil hanya ada dua orang agung: Raja Sepak Bola Pelé dan Telê Santana, maestro di bidang kepelatihan. Dialah yang menjadikan sepakbola Brasil sebagai personifikasi seni.
"Bintang-bintang gemilang seperti Zico, Socrates, Falcão lahir dari pola permainan yang dibentuknya. Timnas Brasil di bawah komandonya dijuluki sebagai Brasil terkuat sepanjang masa. Bahkan pelatih-pelatih seperti Parreira, Zagallo, dan Scolari sepakat bahwa Santana adalah figur paling tak terbantahkan dalam sepakbola Brasil."
"Sebagian pelatih adalah strategis berbakat, sebagian lain pemimpin berkarisma, ada pula yang seperti ayah berwibawa. Telê Santana tidak hanya memiliki semua keunggulan itu, tapi juga mengangkatnya ke tingkat lebih tinggi. Ia mentransformasi sepakbola menjadi seni tingkat tinggi, menyebarkan pengaruh seni sepakbola samba ke seluruh penjuru dunia!"
"Dia juga adalah panutanku!"
Yang Chengzhuo bergumam sendiri mengutip evaluasi media-media otoritatif tentang Telê Santana dari kehidupan sebelumnya. Barulah setelah membaca penilaian-penilaian inilah ia benar-benar mempelajari sosok pelatih kepala legendaris tersebut.
