Sebuah halaman di depan rumah petak rendah yang rata. Tembok pembatasnya terbuat dari kayu-kayu tua yang ditancapkan. Lantai beton tipis di tanah itu sudah rusak akibat injakan lalu lalang, penuh lubang-lubang yang menggenangi air saat hujan.
Di samping tangga besi berkarat empat tingkat menuju pintu rumah petak, berdiri seorang remaja kurus lemah berambut pirang. Dengan celana pendek biru dan bertelanjang kaki di atas jalan beton, ia terus menendang bola ke tembok sebelah tangga: kaki kiri, kaki kanan, mengontrol bola dengan dada...
Wajah remaja itu selalu dihiasi senyum berkilauan dan murni, karena ia selalu bisa menendang bola tepat ke lingkaran yang telah ia latih hingga membenam dalam di tembok - dentuman benturan bola dan dinding terdengar berirama di permukaan yang rata.
Di sudut jauh halaman, duduk seorang anggota senior yang sesekali melambaikan tangan sambil meneriaki remaja itu, memberi petunjuk tentang kesalahan teknik kaki saat menendang. Sang veteran yang pernah menjadi pemain profesional ini sangat dihormati di kota kecil.
Dari dapur yang jendelanya menghadap halaman, sorot wanita Jerman sibuk menyiapkan makan malam sembari menunggu suaminya pulang. Sedang dari balkon seberang, terlihat dua gadis kecil berponi ekor kuda sedang berebut menonton TV di ruang tamu.
Tidak tahu sudah berapa lama berlatih, remaja itu berhenti dengan keringat bercucuran. Menginjak bola, menyilangkan kedua tangan di pinggangnya, wajahnya penuh kebanggaan saat menatap sang kakek. Terutama ketika melihat sang kakek mengacungkan jempol, ia kembali tersenyum lebar menampakkan gigi putihnya yang bersinar dengan kenaifan polos.
Matahari terbenam tepat menyinari kota kecil Lorrach yang penuh kedamaian. Cahayanya menyapu halaman rumah yang hangat itu, menyepuh senyum bocah lelaki dengan kilau keemasan yang begitu menyilaukan.
……
Tidak tahu sudah yang keberapa kalinya, Sebastian Deisler terbangun dengan tenang dari mimpinya.
Tak ada keringat dingin, tak ada kegelisahan. Hanya jejak air mata kering di sudut mata yang masih tersisa.
Dari tempat tidur ia bangkit, tubuhnya meringkuk. Dahinya menyentuh lutut, sepasang mata yang mengerikan memancarkan kilatan samar dalam kegelapan ruangan.
Setiap kali bangun, dia ingin menangis, tapi air mata tak pernah keluar!
Dia teringat tahun 1989 saat reunifikasi Jerman, namun ayahnya terpaksa pensiun dini karena serangan jantung, membuat lingkungan keluarga mereka tiba-tiba memburuk. Pada usia 10 tahun, saat Piala Dunia Jerman, seluruh keluarga berkumpul di ruang tamu untuk bertepuk tangan memberi semangat pada tanah air.
Dia teringat ayahnya, pria Jerman yang pensiun dini karena cedera. Lelaki itu hampir menanggung semua beban keluarga, menggunakan ketidakberuntungannya sendiri untuk memacu dan memotivasi Deisler, mendorongnya berusaha meraih impian sepakbola. Tapi mereka selalu bertengkar sengit dengan ibu karena hal-hal sepele rumah tangga.
Masih teringat, ketika dia memutuskan kabur dari rumah yang mulai kehilangan kehangatan ini, ketika ingin berusaha mencari impian sepakbolanya dan pergi ke Borussia Mönchengladbach, orang tuanya malah mengunci diri di kamar, meledakkan pertengkaran paling sengit yang pernah disaksikannya, bahkan mereka mengajukan proposal perceraian.
Akhirnya demi sang anak, pernikahan tidak bubar, tapi hubungan mereka menjadi seperti orang asing. Hal ini membuat Deisler mulai membenci rumah yang telah berubah dingin itu. Ia bersembunyi sendirian di Borussia Mönchengladbach, bahkan saat liburan pun enggan pulang. Meski mendapat perundungan dari rekan setim di kamp pelatihan Mönchengladbach, ia diam menahan dan menggigit gigi bertahan.
Semua demi satu kesempatan: kesempatan menjadi pemain profesional!
Ia ingin mandiri, ingin mencari nafkah dengan kedua tangannya sendiri dan mengubah segalanya di rumah. Maka saat kontrak dari 1. FC Kaiserslautern datang, hampir tanpa ragu ia menyetujui dan kabur dari Borussia Mönchengladbach tanpa menoleh kembali.
Tiba di kota yang lebih dekat dengan Lörrach ini, Sebastian Deisler akhirnya merasakan perhatian pelatih kepala. Namun setelah bertahun-tahun, hatinya telah dibekukan. Ia mulai menolak orang dan urusan dunia luar, tak bisa memupuk rasa percaya pada sekelilingnya. Ketakutannya: begitu ia mempercayai, begitu emosi muncul, segalanya akan pergi meninggalkannya.
Persis seperti keluarga penuh kehangatan di masa lalu itu!
Interval waktu kunjungan orang tua semakin lama semakin jarang, dari seminggu sekali awalnya, kemudian dua minggu sekali, sampai akhirnya bahkan sebulan hingga setengah tahun sekali. Saat dia memutuskan bergabung dengan 1. FC Kaiserslautern, mereka hanya mengangguk dingin dan berkata, "Oh, Kaiserslautern? Kami tahu!"
Hanya itu! Karena mereka terlalu sibuk dengan masalah mereka sendiri!
Awalnya Deisler mengira kehidupan ini akan berlalu begitu saja, tapi tak disangka dia masih bisa merasakan keharuan, mendapatkan pengakuan, bahkan mulai menumbuhkan perasaan yang disebut kepercayaan terhadap orang lain.
Yang Chengzhuo, pelatih kepala asing yang secara intensif memasuki hidupnya beberapa bulan terakhir. Dengan usia muda dan gejolak semangat, dia sangat menghargai Deisler. Tak hanya menyetujui permintaan yang nyaris kritis dengan membawanya dari kamp pelatihan Borussia Mönchengladbach ke Kaiserslautern, tapi juga berusaha mati-matian memberikan bantuan.
"Percakapan demi percakapan, bantuan diam-diam yang diberikan berkali-kali, harapan yang kembali menyala setelah kekecewaan yang berulang—Deisler tak bisa tidak percaya bahwa Yang Chengzhuo benar-benar menginginkan kebaikan untuknya, mempercayainya sepenuh hati."
Terhadap pelatih kepala ini, ia merasa sangat malu karena terus gagal mengatasi hantu batinnya, membuat sang pelatih kecewa berulang kali!
Namun saat menyaksikan Yang Chengzhuo nekat melanggar aturan demi dirinya—menerobos masuk ke lapangan, bahkan secara impulsif menyerang pemain lawan hingga akhirnya dihukum keluar oleh wasit—kata-kata terakhirnya sebelum meninggalkan lapangan membuat Deisler dilanda penyesalan yang dalam.
"Apakah aku pengecut?" Dalam kegelapan, Deisler bergumam pada diri sendiri. Air mata telah tak terkendali mengalir deras di pipinya. Saat ini, ia benar-benar merasa ingin mati!
……
……
Pagi berikutnya, Deisler yang tak bisa tidur semalaman datang ke Lapangan Latihan Tillingen bagai mayat berjalan.
Karena datang sangat pagi, saat ia tiba, tim pelatih sedang melakukan persiapan fasilitas latihan di lapangan. Diam-diam ia berdiri di pinggir lapangan mengawasi, matanya menyisir kerumunan mencari sosok yang ingin disaksikannya.
Namun penyesalan, ia tak menemukan siluet Yang Chengzhuo.
Peristiwa kemarin mengguncang dunia sepakbola Jerman. Stasiun televisi dan koran memberitakan insiden Yang Chengzhuo menerobos lapangan hingga mendorong pemain lawan. Asosiasi sepakbola bahkan akan membuka kasus penyelidikan. Jika parah, bukan tak mungkin ia dihukum skors panjang!
Menunggu belasan menit di pinggir lapangan tanpa kehadiran Yang Chengzhuo membuat Deisler panik. Ia tahu, Yang Chengzhuo selalu datang satu jam lebih awal ke lapangan latihan. Tapi hari ini...
Pikirannya liar melayang. Ia khawatir Yang Chengzhuo akan meninggalkan tim karena amarah, atau seperti dirinya, tak tahan tekanan hingga melakukan hal nekat...
"Tuan Bayer!" Untuk pertama kalinya, Deisler memberanikan diri menghampiri Paulus Bayer.
Yang terakhir terkejut, karena ini hampir pertama kalinya Deisler aktif berbicara dengannya. Dia membeku selama beberapa detik sebelum akhirnya menyadari situasi, namun Deisler sudah lebih dulu memulai pembicaraan.
"Permisi, tentang Tuan Yang Chengzhuo..."
Paulus Bayer tersenyum getir, menunjuk ke gedung pelatihan di kejauhan. "Dia udah dari dulu datang, tapi kondisi hatinya tidak baik. Tidak mau bertemu siapa pun. Latihan hari ini akan kita yang bertanggung jawab."
Hati Deisler terasa perih. Rasa bersalah muncul secara spontan. Dia tentu tahu alasan di balik kondisi hati pelatihnya itu.
"Bisa kita bicara?" tanya Paulus.
Deisler ragu sejenak, lalu mengangguk.
