Di bidang sepakbola, kita mengenal kisah ayah-anak seperti keluarga Maldini di AC Milan, cerita persaudaraan seperti saudara Neville di Manchester United, bahkan legenda saudara kembar seperti De Boer bersaudara dari Belanda yang sama-sama menjadi bintang bola basket ternama.
Saudara Bender lahir di Rosenheim di pinggiran tenggara München, tepat di sebelah kampung halaman Schweinsteiger, Kohlbermoor.
Sejak 1. FC Kaiserslautern membawa Schweinsteiger dari Rosenheim ke klub mereka dulu, sistem pengintaian tim mereka mulai sangat fokus pada proses seleksi talenta di area ini. Hasilnya, pada tahun 1999 mereka berhasil merekrut sepasang saudara kembar dari keluarga Bender di wilayah ini, dan sukses membina mereka menjadi perwakilan menonjol dari akademi sepak bola klub yang sukses.
Bagi saudara Bender, ada penyesalan karena ketika mereka tiba di 1. FC Kaiserslautern, pelatih terhebat dalam sejarah tim sudah meninggalkan kota ini. Namun dari sikap dan ucapan-ucapan semua orang di kota ini, mereka bisa merasakan rasa hormat dan kasih sayang yang mendalam terhadap pelatih kepala yang luar biasa itu.
Mereka tidak akan pernah melupakan kemeriahan ketika Yang Cheng datang ke Kaiserslautern untuk menonton pertandingan, disambut meriah oleh fans seluruh kota. Suasana itu benar-benar tidak kalah dengan saat tim merebut gelar juara. Hal ini memberi mereka guncangan emosional yang besar, karena mereka heran - kontribusi sepakbola sebesar apa yang harus diberikan kepada kota ini agar bisa mendapat penghormatan sedemikian besar dari warganya.
Setelah masuk ke tim, mereka mulai memahami kontribusi yang telah diberikan Yang Cheng bagi kota ini.
Sistem pembinaan pemain muda yang maju dan matang, memastikan setiap individu dalam sistem akademi bisa mendapat kesempatan berkembang dan menunjukkan kemampuan. Jaringan pengintaian bakat yang luas dan Pusat Pelatihan Nasional di dekatnya, semuanya memberikan kemudahan bagi Kaiserslautern untuk memilih talenta terbaik dari segala penjuru. Inilah yang menciptakan stabilitas perkembangan klub Kaiserslautern.
Skala "kota" ini menghambat perkembangan pesat 1. FC Kaiserslautern, tapi segala yang dilakukan Yang Chengzhuo untuk tim ini membuatnya memiliki dasar dan kekuatan untuk bertahan di papan atas Bundesliga. Sejak kepergian Yang tahun 1999 hingga sekarang, Kaiserslautern telah merebut 3 gelar juara liga dan 2 gelar minor piala, rekam jejak yang sungguh gemilang. Bisa dikatakan klub ini adalah yang terbaik di Bundesliga selain Bayern Munich, baik dalam prestasi maupun manajemen.
Yang lebih langka adalah filosofi permainan ofensif yang diwariskan sejak era Yang Chengzhuo. Gaya bermain yang mengutamakan teknisi dan kreativitas ini membuat Kaiserslautern dinobatkan sebagai tim dengan gaya bermain paling disanjungkan fans di seluruh Bundesliga. Popularitas klub pun meningkat drastis, jumlah fans mereka terus bertambah secara eksponensial.
Dari masa kejayaan Kaiserslautern era Yang Chengzhuo dengan Verón, Van Nistelrooy, Nedvěd dkk, hingga periode "Raja Tiga Piala" dengan Ballack, Deisler, Schweinsteiger, Kehl, sampai generasi ketiga yang kini diisi oleh saudara Bender dan banyak lulusan akademi klub, kecemerlangan Kaiserslautern terus bertahan.
Di balik semua pencapaian ini, ada kontribusi satu sosok legendaris!
"Aku benar-benar berharap bisa masuk timnas!" seru Lars sang kakak senior sambil menatap layar TV yang sedang menayangkan Cristiano Ronaldo menerima MVP Liga Champions. Bagi pemain muda Kaiserslautern yang belum terkenal ini, mimpi seperti itu terasa mustahil, namun ia tetap berharap suatu hari nanti bisa meraih penghargaan serupa.
"Jangan polos, pasti bisa!" Sven Bender juga agak gugup, tapi terlihat lebih santai. Tapi jika mengamati pandangannya, tak sulit memahami bahwa sebenarnya dia sama sekali tidak rileks.
"Bos dan Kapten benar, Sang Kaisar sekarang butuh reformasi. Dia membutuhkan lebih banyak remaja, ini kesempatan kita!" Sven Bender menganalisis dengan wajah penuh kerinduan, "Dan jangan lupa, kita punya keunggulan alami yaitu berasal dari sistem pembinaan pemain muda Kaiserslautern yang tak dimiliki orang lain."
"Apa kamu mau menggunakan koneksi?" Lars bertanya sambil tersenyum ke saudaranya.
Sven Bender terkekeh, "Bagaimana mungkin? Aku hanya bilang kita lebih paham konsep taktik Sang Kaisar."
Memang benar. Mereka tumbuh di sistem pembinaan pemain muda Kaiserslautern yang memiliki DNA yang sama dengan Yang Chengzhuo, sehingga sangat sesuai dengan permintaan taktik pelatih legendaris itu.
Dengan gelombang ganas formasi 4231 yang diangkat Yang Chengzhuo, Brehme selama dua tiga musim terakhir juga melakukan penyesuaian taktik untuk 1. FC Kaiserslautern, berubah menjadi 451. Dua gelandang bertahan yang bertugas mengorganisir dan bertahan adalah Sebastian Kehl dan Sven Bender, sementara Lars Bender ditempatkan Brehme pada posisi gelandang serang kiri.
Kekuatan dan potensi kedua saudara initidak perlu diragukan lagi. Saat berusia 16 tahun mereka sudah menerima ajakan dari Chelsea. Di usia 17 tahun Ferguson menelepon, 18 tahun Wenger ingin merebut mereka dari tangan Kaiserslautern. Tapi akhirnya mereka memilih bertahan di Kaiserslautern, tetap bersama klub yang pernah menciptakan jutaan keajaiban ini.
Lars Bender seimbang dalam menyerang dan bertahan, ciri khasnya adalah kelengkapan permainan. Gerakannya aktif, tekniknya cukup mahal. Bisa mengisi berbagai posisi: tidak hanya gelandang serang kiri, gelandang kanan, gelandang tengah depan, gelandang bertahan, bahkan pernah bermain sebagai bek sayap. Seorang pemain serbaguna yang sangat langka.
Dibandingkan sang kakak, karakteristik Sven Bender lebih spesifik sebagai gelandang bertahan defensif. Di bawah bimbingan Kehl selama bertahun-tahun, kemampuannya berkembang pesat dengan fisik yang menonjol. Namun pertahanannya tidak hanya mengandalkan kekuatan tubuh, melainkan lebih mengutamakan pra-penilaian dan pandangan untuk menginterupsi garis umpan lawan. Dasar tekniknya yang kokoh memastikan bola tetap aman setelah intercept sukses, kemudian mengoper ke rekan setim atau bahkan memulai serangan balik secara langsung dan efektif.
Musim lalu di Bundesliga, Sven Bender tampil dalam 23 pertandingan dengan hanya menerima 2 kartu. Prestasi luar biasa untuk posisi gelandang bertahan. Namun ini bukan berarti kontribusinya kecil. Brehme sendiri berulang kali menegaskan bahwa dalam sistem dua gelandang bertahan Kaiserslautern, peran Sven Bender sangat vital.
Kedua bersaudara ini dianggap sebagai harapan masa depan oleh para pengamat sepak bola Jerman. Sebelumnya mereka telah masuk dalam daftar pertandingan pemanasan timnas Jerman dan Denmark, bahkan sempat mendapatkan kesempatan tampil.
Namun jelas terlihat, sifat pertandingan pemanasan itu hampir bisa diabaikan, lebih mirip observasi Yang Chengzhuo terhadap pemain-pemain di ambang timnas. Hampir semua yang terpilih adalah pemain pinggiran timnas dan beberapa pemain muda berpotensi. Jadi masuk ke skuad timnas edisi itu tidak terlalu bermakna. Yang benar-benar penting adalah bisa lolos seleksi timnas bulan September yang mempersiapkan diri untuk Kualifikasi Piala Eropa, yakni apa yang media sebut sebagai Era Sang Kaisar Pertama. Barulah ini yang berharga.
Bersamaan dengan sorak-sorai kedua bersaudara ini menyaksikan siaran langsung TV, dering ponsel di sofa jauh pun bergema.
Bersaudara Bender langsung menoleh serempak. Dua ponsel Google dengan desain sama persis tergeletak di meja - satu di kiri dan kanan. Yang berdering adalah ponsel sebelah kanan milik Sven Bender.
"Punyaku!" Adik langsung melompat mengambil ponsel. Wajahnya seolah dipenuhi kejutan. "Kak, telepon dari asosiasi sepakbola!" Ia mengayunkan ponselnya dengan gesit namun tetap mencengkeram erat, khawatir tak sengaja terlepas.
“Lars!” Lars langsung berseri-seri, segera melompat ke sana. Benar, panggilan itu berasal dari Kantor Pusat Asosiasi Sepak Bola Jerman.
Terakhir kali mereka masuk timnas, nomor telepon inilah yang menghubungi. Mereka khusus menyimpan nomornya di buku telepon. Tak disangka benar-benar menelepon lagi.
"Cepat angkat!" Suara Lars terdengar agak asam. Satu panggilan ini hampir pasti berarti... Sebagai kakak, dia lebih paham daripada siapapun. Dalam hati, debaran jantungnya tak karuan: Kalau adiknya ditelepon duluan, apakah giliranku akan menyusul?
"Halo!" Sven Bender langsung mengangkat sambil terkekeh menyapa.
"Halo, saya Paulus Bayer!" Sambutan dari seberang terdengar sopan.
Satu kalimat itu membuat kedua saudara bersemangat. Siapapun yang terpilih, ini kebahagiaan bagi mereka. Paulus Bayer sebagai asisten pelatih utama timnas saat ini bertugas memberi kabar ke setiap pemain yang masuk daftar skuat sekaligus mengatur jadwal latihan.
"Halo, Tuan Bayer!" Suara Sven Bender gemetar tak tertahan.
“Selamat, Tuan Bender. Anda masuk dalam daftar skuat timnas akhir Agustus. Kami harap Anda bisa segera bergabung di Frankfurt setelah menyelesaikan pertandingan melawan Bayern Munich, untuk memulai persiapan Kualifikasi Piala Eropa.” Paulus Bayer tersenyum sambil menyampaikan pesan resmi.
“Baik, terima kasih Tuan Bayer!” Sven Bender menjawab dengan sopan.
“Nanti Anda bisa berangkat bersama Ballack dan Kehl.” Paulus Bayer tertawa ringan. Ia pernah bekerja di 1. FC Kaiserslautern, sehingga masih memiliki kesan baik pada pemain dari sini.
“Mengerti!” Sven Bender merespons.
“Baiklah, pastikan semua persiapan sudah lengkap. Selamat tinggal!” Setelah berkata demikian, Paulus Bayer langsung mematikan telepon.
“YA!!!!!!” Sven Bender dengan wajah bersemangat mengangkat kepalan tangannya, langsung berlari dan memeluk erat kakaknya, “Aku lolos seleksi Sang Kaisar edisi pertama, Kak! Kali ini benar-benar terpilih di timnas!!”
Lars Bender merasa pahit, tapi tetap terukir senyuman tipis, mengangguk ke arah adiknya, "Selamat, Sven!"
Setelah kegembiraan mereda, Sven Bender segera menyadari sesuatu, menepuk bahu sang kakak, "Tak apa, Kak. Mungkin mereka memberi kabar saya dulu, sebentar lagi pasti giliranmu!"
Lars Bender mengangguk gugup, "Berharap begitu!"
Namun kenyataannya, sepanjang malam kedua bersaudara itu mengawasi telepon Lars Bender ketat, tapi tak kunjung berdering.
Hal ini membuat keduanya merasa kecewa, terutama Lars yang paham betul: ini artinya dia gagal terpilih Kaiser edisi pertama. Meski bukan akhir segalanya untuk karir timnasnya, tetap saja kekecewaan menyelimuti mereka. Esok harinya, saat persiapan menghadapi Bayern di Bundesliga putaran kedua, selama latihan pengenalan lapangan di Stadion Fritz Walter, pandangan Lars tak henti tertambat di tribun Sang Kaisar.
Tribun Kaisar tidak memiliki perbedaan besar dengan tribun lain di stadion Fritz Walter. Yang membedakan adalah tribun ini merupakan area eksklusif bagi pengikut setia Setan Merah Bundesliga. Kursi-kursi di tribun ini berwarna merah menyala, namun di bagian atas setiap kursi terukir mahkota dan nama Kaisar Yang Chengzhuo, sebagai bentuk penghargaan dan kenangan klub terhadap pelatih legendaris tersebut.
Fans Kaiserslautern menganggap kemampuan menyaksikan pertandingan di tribun ini sebagai kebanggaan tersendiri. Bagi mereka, tribun ini adalah wilayah paling suci yang tak boleh dinodai.
"Bodoh amat, mikirin apa?" Brehme memperhatikan suasana hati Lars Bender yang murung, lalu mendekati pemain muda itu.
"Nggak ada apa-apa, Bos!" jawab Lars Bender dengan datar.
Brehme mengangguk, ia cukup tahu karena Asosiasi Sepak Bola Jerman telah mengumumkan daftar skuat Kaisar Edisi Pertama di situs web resmi. Banyak pemain yang masuk daftar pertandingan pemanasan sebelumnya menghilang dari daftar ini, bahkan beberapa mantan anggota timnas yang setia kini ditolak oleh Yang Chengzhuo.
"Dulu saat memimpin 1. FC Kaiserslautern, tim kami dipenuhi bintang-bintang seperti Verón, Nedvěd, Ballack, Lúcio, Van Nistelrooy, Deisler... Sekarang nama-nama ini terdengar mengerikan, tapi saat itu mereka belum terkenal. Siapa sangka mereka bisa menjadi bintang elite dunia setelah bergabung dengan Kaiserslautern."
Lars Bender terus-menerus mengangguk. Inilah kehebatan Yang Chengzhuo yang paling dikagumi - kemampuannya mencetak bintang top di setiap tim yang dilatihnya. Tak heran banyak pemain merasa terhormat bisa bermain di bawah komandonya.
"Tapi mungkin banyak yang tidak tahu, bahwa Tuan Yang Cheng memiliki standar yang sangat tinggi untuk pemain. Kau tahu, banyak yang merasa intensitas latihan kami sudah berat, tapi berani kujamin, latihan kami masih jauh lebih ringan dibanding Real Madrid. Kesenjangan dalam rutinitas inilah yang akhirnya terlihat di lapangan, karena kekuatan pertandingan terbentuk dari akumulasi bertahun-tahun, bukan letusan sesaat."
"Tuan Yang Cheng sangat selektif. Hanya pemain yang memenuhi kriteria khususnya yang akan dipilih. Keberhasilanmu masuk daftar pelatihan timnas sebelumnya sudah membuktikan apresiasi dan kepercayaannya. Kalau sekarang tidak terpilih lagi, artinya ada aspek yang masih kurang atau belum cukup menonjol."
Brehme menepuk bahu Lars dengan mantap. "Usiamu baru 21 tahun! Pelan-pelan saja. Kesempatan masih terbuka lebar. Tapi yang terpenting, tunjukkan performa terbaikmu! Biarkan mereka yang duduk di tribun menyaksikan sendiri kemampuanmu!"
Setelah mendengarkan, Lars Bender tak bisa menahan diri untuk mengangguk mantap. Menurutnya, Brehme memang benar. Setidaknya, masuknya adiknya, Sven Bender, membuktikan sikap Yang Chengzhuo terhadap pemain muda. Sedangkan ketiadaan namanya sendiri pasti karena ada hal-hal yang belum cukup baik.
"Kerja bagus, anak muda. Belajarlah dari Ballack, tiru senior-seniormu. Banyak hal berharga dari mereka yang layak kalian pelajari—bukan cuma sepakbola, tapi juga keinginan menang dan semangat juang mereka di lapangan."
Usai berkata demikian, Brehme tak lagi bertele-tele. Langsung menyuruh Lars kembali berlatih. Namun sambil memandang punggungnya yang menjauh, Brehme teringat ucapan Yang Chengzhuo yang pernah disampaikan sebelumnya.
Tim Jerman saat ini dan banyak pemainnya sebenarnya sudah memiliki cukup teknik dan fisik. Bisa dikatakan semua syarat menjadi bintang top sudah terpenuhi. Tapi tetap saja ada kesan bahwa mereka seperti kehilangan sesuatu.
"Mereka kurang napas penentu!" Saat itu, Yang Chengzhuo menyampaikan penilaiannya kepada Brehme.
“Mereka tumbuh dalam sistem yang terstruktur sejak kecil, mendapat pembinaan dan pendidikan ilmiah, bagaikan bunga-bunga di rumah kaca yang kekurangan ujian dan tempaan alam. Meski memiliki kemampuan teknis hebat dan bakat menonjol, namun tak pernah bisa menampilkan performa yang memukau atau meyakinkan.”
Yang Chengzhuo juga mengungkapkan kekhawatirannya. Menurutnya, transformasi pemain muda menjadi bintang elite sebenarnya bergantung pada semangat ini. Dengan semangat tersebut, mereka akan selalu haus menunjukkan performa terbaik, berambisi mengalahkan lawan, dan ini akan menjadi dorongan besar bagi kemajuan mereka.
Tanpa semangat ini, meski punya bakat alami dan kemampuan teknis, mungkin di usia muda mereka tampak berbakat. Namun seiring kedewasaan, perlahan-lahan akan menjadi biasa-biasa saja.
"Tim Jerman dibandingkan dengan tim elite seperti Spanyol dan Italia, sebenarnya hanya kurang satu napas penuh gengsi!"
Setelah penjelasan Yang Chengzhuo, Brehme langsung merasakan perbedaan yang jelas. Sebagai pelatih di Bundesliga, ia sangat paham situasi liga saat ini. Meski teknik dan presisi diagung-agungkan, dengan penekanan pada permainan menyeluruh dan pergerakan tanpa bola, nyatanya klub-klub Bundesliga menghadapi masalah umum: memudarnya semangat juang bergelora.
Lihatlah daya saing klub Bundesliga di Liga Champions selama bertahun-tahun ini. Memang ada kesenjangan kemampuan tim secara menyeluruh, tapi bukankah masalah semangat juang juga berpengaruh? Tidakkah faktor spiritual turut berperan?
"Puluhan tahun lalu, Anda memberikan harapan cerah bagi sepakbola negara ini. Kini, semoga Anda bisa menghadiahkan sifat asli yang luar biasa pada sepakbola nasional, seperti saat Anda membangun 1. FC Kaiserslautern dulu!" ujar Brehme dengan nada penuh penyesalan.
Dia juga paham, alasan Yang Chengzhuo memanggil kembali Ballack bukanlah karena makna kompetitif di bidang sepakbola, melainkan lebih pada tingkat spiritual. Bagaimanapun, Ballack tidak hanya mewakili sepakbola - semangat juang dan usaha pantang menyerahnya adalah hal yang sangat dibutuhkan namun masih kurang dari Timnas Jerman saat ini. Inilah alasan sebenarnya Yang memanggilnya.
Dapat diprediksi, seiring dengan semakin matangnya karakter tim Jerman ini, Yang Chengzhuo akan perlahan-lahan mengeluarkan para veteran seperti Ballack, Deisler, Kehl dkk dari timnas, lalu memasukkan lebih banyak pendatang baru muda. Dengan demikian, seluruh Timnas Jerman akan dipenuhi kemampuan bertarung, gairah, dan keinginan untuk menang.
Inilah hal-hal yang paling dikuasai Yang Chengzhuo. Dari Kaiserslautern, Inter Milan, Liverpool, hingga Real Madrid - berulang kali ia berhasil membangkitkan tim-tim yang tenggelam dalam kebingungan untuk kembali memancarkan kilatan yang menyilaukan. Harapannya, di Jerman pun ia bisa menunjukkan keajaiban yang sama.
Memikirkan hal ini, Brehme tak bisa menahan harapan dan penasaran terhadap masa depan timnas Jerman era Kaisar ini. Dia sangat ingin tahu bagaimana Yang Chengzhuo akan memodifikasi tim Jerman saat ini, mengingat selain tingkat spiritual, di Tingkatan taktik pun tim ini memiliki kelebihan dan kekurangan yang sama banyaknya.
Di saat baik performanya sangat memukau, di saat buruk justru mengecewakan. Bagaimana memaksimalkan aspek positif dan menutupi kelemahan, ini jelas menjadi ujian besar bagi kemampuan taktik Yang Chengzhuo. Apalagi ini bukan klub yang bisa melakukan rekrutan transfer—di timnas, penyesuaian hanya bisa dilakukan dalam kerangka personel yang ada.
Tidak diragukan lagi, kesulitan yang terakhir jauh lebih besar dibandingkan yang pertama.
