Sebelumnya, Yang Chengzhuo pernah mendengar bahwa setelah tim pengawas Piala Dunia menyelesaikan inspeksi di Santo Paulo, mereka mengungkapkan beberapa masalah. Menteri Pertahanan Brasil juga mengakui bahwa salah satu masalah besar adalah bandara Santo Paulo yang tidak mampu memenuhi kebutuhan Piala Dunia, terutama dalam hal personel dan layanan yang sama sekali tidak memuaskan.
Kemudian pada tahun 2012, Brasil mulai memasukkan hak kepemilikan dan hak operasi bandara ke pasar melalui lelang. Tiga bandara termasuk Bandara Internasional Santo Paulo berhasil dijual. Setera meraup lebih dari 10 miliar dolar AS, mereka mulai memanfaatkan modal swasta untuk menyelesaikan perluasan dan memodifikasi bandara. Namun percepatan pembangunan tetap terlihat tidak memuaskan.
Saat kunjungan terakhir Yang Chengzhuo ke Santo Paulo hanya dengan beberapa orang dalam tim ekspedisi kecil. Tapi kali ini, puluhan anggota tim Jerman yang tiba dengan pesawat khusus di Bandara Internasional Santo Paulo justru dihantam momok pemeriksaan keamanan - terpaksa menunggu lebih dari satu jam di bandara sebelum semuanya terselesaikan.
"Aku ingat, terakhir kali di sebuah majalah melihat, konon tingkat kesebalan Bandara Internasional São Paulo Brasil hanya kalah oleh Bandara Charles de Gaulle Prancis. Yang terakhir ini juga sering dikeluhkan dan dibenci turis global karena peralatan keamanannya yang terus-menerus bermasalah."
Setelah susah payah naik ke bus tim, para pemain mulai menghilangkan frustrasi yang mereka rasakan di ruang tunggu bandara. Mereka mulai bercanda tentang Bandara Internasional São Paulo Brasil, merasa bandara ini memang agak tidak pantas menyandang gelar bandara terbesar pertama Brasil.
Seluruh penumpang di dalam bus tiba-tiba ramai saling menyahut. Sebagian bercerita pernah dipaksa melepas sepatu di Bandara Madrid, sebagian lain mengisahkan berbagai hal memalukan yang pernah dialami di bandara-bandara tertentu. Tak disangka pengalaman mereka ternyata sangat beragam, diceritakan dengan mengalir deras sepanjang perjalanan, menciptakan suasana yang sangat meriah.
"Baiklah, Saudara sekalian pria tampan!" Yang Chengzhuo baru menyela setelah semangat diskusi mereka mereda, "Karena delay di sini sekarang, estimasi ulang latihan pun tidak memungkinkan. Hari ini aku beri kalian libur, tapi jangan keluar malam nanti. Bertahanlah di hotel! Kondisi keamanan Santo Paulo malam hari tidak stabil!"
Para pemain mendengarkan, terus-menerus mengangguk.
"Aku khusus menyelidiki di jaringan internet beberapa hari lalu. Tingkat kejahatan Santo Paulo mencapai 12 kasus kematian akibat kekerasan per 100.000 penduduk. Rio de Janeiro bahkan lebih parah, mencapai 34 kasus. Ya Tuhan, betapa banyaknya tindak kriminal di sini?"
"Ini sebenarnya sudah capaian peningkatan keamanan Santo Paulo demi Piala Konfederasi dan Piala Dunia. Kalau di masa lalu, mungkin jumlahnya jauh lebih tinggi!"
"Haha! Makanya jangan keluar malam! Kalau tidak, hati-hati tidak bisa kembali!"
"Konon, Area Barat dan Selatan relatif lebih aman karena merupakan wilayah permukiman orang kaya dan kelas menengah. Hotel Hilton Morumbi tempat kita menginap berada di Area Satu ini, tapi tetap lebih baik mengurangi aktivitas keluar!"
Di tengah canda tawa, sekelompok orang tiba di bawah jembatan kabel baja yang sangat tinggi.
"Cepat lihat! Itu Jembatan Oliveira, salah satu landmark paling terkenal di São Paulo!" Götze yang sudah memperhatikan dari jauh segera berteriak memanggil rekan satu tim begitu melihat jembatan besar itu.
Keunikan jembatan ini terletak pada dua dek berbentuk X dan menara gantung X-nya. Namun dari posisi Yang Chengzhuo dan rombongan yang sedang melintasi dek, yang terlihat hanyalah menara gantung berbentuk X.
"Jangan diliat-liat sekarang. Nanti setelah kita masuk hotel dan melihatnya dari langit, pemandangannya akan jauh lebih megah!" kata Yang Chengzhuo sambil terkekeh.
Dia sebelumnya menginap di Hotel Hilton ketika di São Paulo. Dari lantai 27, melalui jendela kamarnya bisa memandang ke seluruh jembatan dengan jarak yang sangat dekat. Barulah dari situ seseorang bisa merasakan betapa megah dan uniknya Jembatan Olivier ini.
Kali ini, tim Jerman langsung membeli semua tiga lantai di Hotel Hilton - lantai 25, 26, dan 27. Lantai 28 ke atas tidak berpenghuni, sehingga area tim Jerman menjadi zona tertinggi yang bisa memastikan kedamaian tim dari gangguan dunia luar di São Paulo.
Setelah berbelok melewati struktur X di Jembatan Olivier, rombongan memasuki Hotel Hilton di seberang sungai.
Manajemen hotel yang telah mendapat informasi sebelumnya segera mengerahkan staf begitu melihat bus tim Jerman tiba. Para pemain timnas yang membawa barang pribadi itu diturunkan dari bus dan diantar masuk ke lobi utama.
Staf timnas sudah menyelesaikan prosedur check-in untuk seluruh anggota tim Jerman. Begitu tiba, mereka langsung menerima kartu nomor kamar dan kembali ke ruangan masing-masing untuk beristirahat. Memang mereka baru melewati penerbangan panjang yang melelahkan. Mereka juga berencana menikmati pemandangan Jembatan Oliveira dari kamar.
"Sial!" Bierhoff segera mendekati Yang Chengzhuo dengan senyum pahit.
"Ada apa?" Yang Chengzhuo merasa ekspresi anggota tim yang berkerut itu lucu sekaligus aneh.
Bierhoff menjelaskan sambil berjalan bersama Yang Chengzhuo: "Coba tebak, siapa yang tinggal di lantai bawah kita?"
"Siapa?" tanya Yang Chengzhuo sambil menekan tombol lantai 27 di lift. Kamarnya berada di lantai teratas.
"Timnas Jepang!" jawab Bierhoff.
Menurut jadwal pertandingan, laga perdana Jerman di Piala Konfederasi adalah melawan Jepang. Brasil vs Meksiko di Brasília, sementara Jerman vs Jepang di Rio de Janeiro. Yang mengejutkan, kedua tim ternyata sama-sama memilih markas di São Paulo dan bahkan menginap di Hotel Hilton.
"Bagus! Setidaknya ini membuktikan kita sudah menginjak-injak Jepang!" ujar Yang Chengzhuo sambil tersenyum.
Bagi Yang Cheng, timnas Jepang meski punya contoh mengalahkan Prancis di pertandingan pemanasan, ini sama sekali tidak membuktikan apa-apa. Tim Prancis bahkan berani kalah dari timnas kita, apalagi yang tidak berani?
Bierhoff tidak seoptimis Yang Cheng. Sejak pelatih kepala baru Zaccheroni naik panggung, rekam jejak Jepang terus tampil sangat bagus dan baik - merebut Piala Asia dengan performa yang tetap stabil.
Saat mereka sedang mengobrol, lift tiba-tiba berhenti di tengah jalan. Pintu terbuka, terlihat dua orang berdiri di luar.
Kebetulan, semuanya saling mengenal!
"Ha, Tuan Yang Cheng!" Rupanya musuh bebuyutan, pelatih AC Milan dulu Zaccheroni.
"Halo, Alberto!" Yang Chengzhuo juga tersenyum sambil menjabat tangan formal dengan Zaccheroni yang baru masuk.
Di samping Zaccheroni, wajah masam bak orang yang baru kehilangan "ayah" mistisnya - bukankah itu Sakura Masaya yang dulu dipecat Yang Cheng? Tak disangka kini tak bisa bertahan di Eropa, kabur ke timnas Jepang menjadi asisten Zaccheroni.
Sudut mata Yang Cheng melirik sekilas Sakura Masaya lalu mengabaikannya, sambil tersenyum lebar ke Zaccheroni, "Tak menyangka bisa bertemu di sini, Alberto! Kita sudah lama tidak berjumpa!"
Mengenai persoalan era dulu, Zaccheroni juga terlihat agak canggung. Selama mengelola AC Milan, dia tak jarang dirugikan oleh Yang Chengzhuo. Bierhoff saat itu memang merupakan pemain bawahannya. Ketiga orang ini berkumpul, topik obrolan pun semakin beragam. Akhirnya mereka memutuskan tidak ke lantai 27, berhenti di tengah jalan untuk mencari tempat minum kopi sambil mengobrol.
Tempat yang mereka pilih ini persis menghadap ke Jembatan Olivier. Dari balik seluruh dinding kaca, pemandangan Jembatan Olivier terlihat jelas. Sudut pandang dan pemandangannya sungguh sangat indah. Berbincang dengan latar belakang seperti ini, suasana pun menjadi sangat nyaman.
Dulu Yang Chengzhuo mewakili Inter Milan sementara Zaccheroni mewakili AC Milan. Kedua pihak sering bertarung habis-habisan. Namun kini, setelah bertahun-tahun berlalu dengan lingkungan yang berbeda, kondisi psikologis semua orang telah berubah. Bagaimanapun, Yang Chengzhuo kini adalah pelatih legendaris nomor satu di dunia sepakbola, sedangkan Zaccheroni justru menunjukkan tanda-tanda kemunduran dalam karier.
Bierhoff adalah mantan pemain di bawah kepepimpinan Zaccheroni sekaligus manajer tim Jerman saat ini. Jadi ketiganya bisa mencairkan percakapan dengan mudah. Sebaliknya, Sakura Masaya yang memiliki dendam lama dengan Yang Chengzhuo - semua orang tahu. Setelah tim Jerman memenangkan Piala Eropa tahun lalu, dia mendapat tamparan membara. Kini terpaksa terasing di pinggir, maju bukan mundur pun bukan, gelisah mondar-mandir seperti duduk di ujung jarum. Sungguh sangat menghibur.
"Pertempuran pertama babak grup melawan Jerman, pertandingan ini akan sangat sulit!" Zaccheroni sangat memahami kemampuan Yang Cheng. Dia pernah menyaksikan langsung Piala Eropa dan merasakan tim Jerman di bawah kepemimpinan Yang Cheng semakin masuk ritme, performanya kian gemilang.
Senyum merekah di wajah Yang Cheng, "Alberto, timmu juga bukan main sederhana. Aku masih merenungkan strategi, belum menemukan taktik yang tepat."
Kalimat ini tidak sengaja menutupi sesuatu, juga tidak mengandung kejahatan, tapi entah mengapa Sakura Masaya yang mendengarnya malah menunjukkan ketidaksenangan, terutama saat melihat ekspresi senyum puas Yang Chengzhuo, langsung mengeluarkan suara "Hmph!" dingin.
"Tuan Sakura, apakah gigimu ngilu?" Yang Chengzhuo memalingkan wajah sambil menyeringai dingin ke arah anggota yang sekadar memperkuat kehadirannya ini. Dalam hati bertekad: Bapak saja sudah tidak mau mencari masalah, kamu ternyata masih berani menantang!
"Urusan gigiku tidak ada hubungannya denganmu! Hanya ingin memberitahu bahwa pertandingan ini sudah pasti kami menang!" Sakura Masaya bertubuh pendek tapi nada bicaranya besar yang menggiurkan, terutama aura kepastian yang terpancar saat berbicara.
Bierhoff langsung tidak senang. Saat masih bekerja sama dulu, dia sempat merasa orang Jepang ini agak berbakat, hanya saja bukan orang yang banyak bicara dan interaksinya tidak mendalam. Hingga akhirnya orang ini melewatinya dan langsung mencari masalah pada Yang Cheng, barulah dia benar-benar melihat jelas sifat asli orang ini. Tapi yang tak disangkanya, sekarang dia berani mengucapkan kata-kata seperti ini, bahkan secara terbuka mengirim surat perang!
Tepat ketika Bierhoff hendak berbicara, Yang Cheng sudah lebih dulu membuka mulut dengan senyum dingin, "Kamu yakin sekali ya?"
"Benar!" sahut Sakura Masaya.
Yang Cheng terkekeh, "Orang yang tidak tahu pasti mengira kamulah pelatih kepala timnas Jepang!"
Kalimat ini membuat Sakura Masaya merinding. Saat menoleh ke Zaccheroni, terlihat jelas ekspresi tidak senang pelatih Italia itu. Bagaimanapun ini kesempatannya berteman baik dengan Yang Cheng untuk bercakap-cakap, buat apa orang Jepang ini mengacau? Bahkan lancang mewakili dirinya mengirim tantangan ke Yang Cheng?
"Menarik, sangat menarik! Dulu aku dengar orang bilang kamu jago melatih fisik, tapi tak kusangka kamu juga ahli taktik bahkan bisa meramal masa depan. Begini saja, kuberi kau satu kesempatan. Tapi kalau kalah, gimana hitungnya?"
Sakura Masaya melirik Zaccheroni. Dalam hati ia sadar telah membuat pelatih kepala Timnas ini kesal, semua karena tadi tak bisa menahan amarah hingga menyela minat diskusi mereka. Kini ia terjebak situasi sulit, "Menurutmu gimana hitungnya?"
Yang Chengzhuo tersenyum, "Maaf terdahulu, secara status kita di sini sebenarnya aku bisa saja menolak tantanganmu. Tapi karena kamu nggak terima, mari kita bertaruh. Jika aku kalah, akan kumuat pengakuan kekalahan di koran dan minta maaf padamu. Kurasa selama ini kau gigih mengejarku seperti anjing gila hanya untuk kepuasan ini, bukan?"
Pikiran Sakura Masaya ditebak oleh Yang Chengzhuo dengan jelas bagaikan melihat telapak tangan, langsung mengangguk setuju, "Bagus, aku setuju. Jika aku kalah?"
Yang Chengzhuo berpikir sejenak, "Jujur, bagiku kau tidak bernilai ekonomis. Lebih baik begini: jika kalah, permintaanku sederhana - kutulis satu kalimat di jaket seragam tim Jepangmu. Lalu di setiap pertandingan Piala Konfederasi, kau harus memakainya sambil mengelilingi lapangan satu putaran sebelum dan sesudah pertandingan. Bagaimana?"
Bagi Sakura Masaya, ini bukan masalah besar. Justru Yang Chengzhuo yang mengeluarkan biaya lebih.
Seolah khawatir Sakura Masaya gentar, Yang Chengzhuo melanjutkan dengan nada bicara besar: "Untuk menghindari tuduhan menindas yang lemah, kuberi konsesi: hasil imbang akan dianggap kekalahanku!"
Kalimat terakhir ini benar-benar memaksa Sakura Masaya ke jalan buntu. Di bawah tatapan Bierhoff dan Zaccheroni, jika masih tak berani menerima tantangan ini dan mengakui kekalahan, mustahil baginya menjaga martabat di dunia sepakbola ke depannya.
“Baik, aku setuju!” Sakura Masaya mengangguk.
Yang Cheng terkekeh, “Tenang saja, saat pertandingan nanti aku sudah siapkan pulpen!”
Setelah berkata demikian, ia menoleh ke Zaccheroni, “Alberto, aku duluan. Kalau ada kesempatan kita bisa berbagi kenangan!”
Zaccheroni juga berdiri, terus-menerus mengangguk setuju sambil mengantar Yang Cheng pergi.
Begitu keluar dari kafe, Bierhoff menggelengkan kepala sambil tersenyum pahit, “Untuk apa kamu bersikeras bertarung dengan orang macam itu?”
Perjudian ini tidak memberi keuntungan bagi Yang Cheng. Bagaimana jika kalah? Rugi besar - harus memuat permintaan maaf di koran. Menang pun cuma bisa menulis satu kalimat di bajunya, apa gunanya?
“Aku tidak sepaham itu. Kukira ini bonus trofi ekstra, mengambil kambing dengan mudah!” ujar Yang Cheng sambil terkekeh.
Tapi keesokan harinya, dalam rapat mobilisasi tim, perkataannya sama sekali berbeda.
……
……
"Kemarin, saat sedang minum kopi, aku bertemu Sakura Masaya. Kalian pasti ingat siapa dia, kan?"
Begitu Yang Chengzhuo mengucapkan ini, ruang rapat markas Santo Paulo di Cotia langsung riuh rendah. Mereka yang tahu mulai menjelaskan kepada yang tidak tahu tentang hubungan antara Sakura Masaya dengan timnas Jepang.
"Orang Jepang itu menantangku secara terbuka, mengirim surat perang. Dia bilang pasti bisa mengalahkan kita! Aku tidak terima, akhirnya kutaruhkan taruhan ini!" kata Yang Chengzhuo dengan wajah khidmat.
Ekspresi ini membuat Bierhoff yang mengawasi dari samping bertanya-tanya: Kenapa lebih serius dari langit runtuh? Berbeda 180 derajat dengan raut santainya kemarin. Apa anggota ini belajar transformasi wajah?
"Jika kalah, aku harus minta maaf di koran. 18 tahun karir kepelatihanku, tak pernah sekalipun mengaku kalah! Jika kali ini kita kalah dari Jepang di pertandingan pertama grup, benar-benar habis muka!" Yang Chengzhuo sengaja melebih-lebihkan situasi.
Sebenarnya, nanti dia bisa saja menyampaikan pernyataan yang lebih diplomatis, misalnya mengakui bahwa kemampuan teknis tim lebih rendah, memuji program kebugaran Sakura Masaya yang menonjol, atau mengakui kekurangannya dibanding pelatih Jepang itu. Pernyataan seperti itu justru akan menunjukkan kharisma tanpa membuatnya kehilangan muka. Tapi sengaja dia melebih-lebihkan situasi, membuat para pemain yang tidak tahu duduk persoalan merasa seolah kekalahan dalam pertandingan akan menghancurkan reputasi pelatih kepala.
Siapa Yang Chengzhuo?
Di dunia sepakbola Jerman kontemporer, Yang Chengzhuo adalah figur bagaikan Tuhan. Siapa yang tega membiarkannya dihina seperti ini?
Harus diakui, tanpa prestise dan pengaruh sebesar ini di internal tim, serta dukungan banyak pihak, Yang Chengzhuo mungkin tidak akan berani menggunakan metode motivasi seperti ini. Tapi jurus ini sebenarnya dipelajarinya dari Ferguson.
"Bos, tenang saja! Kami akan mengalahkan mereka!" Schweinsteiger berdiri dengan wajah merah padam.
"Benar! Kami akan menghabisi si Jepang kecil itu!"
"Hajar habis-habisan!"
"Yang terbaik adalah menangkan mereka sampai malu tak karuan, bunuh diri dengan harakiri!"
"Hah-hah-hah, orang Jepang sekarang sudah tidak populer lagi semangat bushido!"
Ruang rapat langsung kembali riuh rendah.
Yang Chengzhuo menampar kedua telapak tangan dengan keras, membuat semua orang kembali diam.
"Teman-teman, yang harus kalian ingat bukan hanya Jepang!" Ekspresi Yang Cheng sangat khidmat, setiap kata diucapkan dengan tekanan kuat, "Yang juga harus kalian ingat adalah Spanyol, dan klub-klub lainnya!"
"Tahu? Setelah kita mengalahkan Spanyol dan merebut Piala Eropa, selama setahun ini banyak yang meragukan kemenangan kita - bilang itu cuma kebetulan, mencuri saat kondisi Spanyol kurang baik, performa mereka drop! Jutaan orang menganggap kita cuma berpikir untung-untungan. Aku juga sangat tidak senang dengan ini!"
“Tapi ucapan mereka sama sekali tidak salah! Di masa lalu, kita sudah kalah dari Spanyol 3 kali berturut-turut dalam tiga turnamen besar. Dua di antaranya adalah final Piala Dunia dan Piala Eropa. Kita hanya menang sekali. Jika dilihat dari skor pertandingan sepakbola, dalam kondisi tertinggal 3 gol, kita hanya bisa membalas 1 gol. Skor tetap 1-3. Kita masih tertinggal!”
“Jika kali ini kita kalah lagi, itu akan membuktikan semua sindiran dan ironi orang-orang! Membuktikan bahwa kita memang lebih rendah dari Spanyol! Membuktikan bahwa Piala Eropa kita menang hanya karena keberuntungan, bukan andalan kekuatan!”
“Aku harap, dalam Piala Konfederasi ini kalian bisa membuktikan diri lewat setiap pertandingan, dengan kemenangan-kemenangan! Beri tahu semua orang bahwa gelar Piala Eropa kita benar-benar pantas! Kita tidak kalah dari Spanyol! Kalau bisa mengalahkan mereka sekali, kita punya kekuatan dan keyakinan cukup untuk mengalahkan mereka kedua kalinya!”
“Aku yakin! Apakah kalian punya keyakinan?”
“Ada!” Para pemain serentak meneriakkan jawaban.
Yang Chengzheng dan Bierhoff, Ballack saling berpandangan, dalam hati mereka semua paham, gelombang semangat yang sedang melanda ini bisa dimanfaatkan!
