Tie Zhu duduk di pinggir jalan kecil desa, menatap langit biru dengan pandangan kosong. Tie Zhu bukan nama aslinya, melainkan nama panggilan sejak kecil karena tubuhnya kurus-kering. Ayahnya takut ia tidak bisa bertahan hidup, sehingga memanggilnya dengan nama pengharapan sesuai tradisi.
Nama aslinya adalah Wang Lin. Marga Wang termasuk marga besar di beberapa desa sekitar, dengan leluhur berprofesi sebagai tukang kayu. Terutama di kota kabupaten, keluarga Wang cukup terkenal dan memiliki beberapa toko khusus yang menjual produk kayu.
Ayah Tie Zhu adalah putra kedua dari selir dalam keluarga, sehingga tidak bisa mewarisi urusan penting keluarga. Setelah menikah, ia meninggalkan kota kabupaten dan menetap di desa ini.
Berkat keahlian kayu yang luar biasa, kondisi ekonomi keluarga Tie Zhu tergolong sejahtera. Kebutuhan pokok tercukupi, dan bahkan di desa mereka dihormati banyak orang.
Sejak kecil, Tiezhu sangat cerdas, suka membaca, dan punya banyak ide. Hampir diakui sebagai anak ajaib di desa. Setiap mendengar pujian orang, keriput di wajah ayahnya merekah, tersenyum sumringang.
Ibu pun sangat memperhatikannya. Bisa dikatakan sejak kecil, Tiezhu hidup dalam kasih sayang orangtua. Ia tahu harapan mereka tinggi. Anak seumurannya sudah turun ke sawah, tapi ia tetap di rumah membaca.
Semakin banyak buku yang dibaca, semakin banyak ide yang muncul. Dunia di luar pegunungan membuatnya rindu. Menatap ujung jalan setapak, Tiezhu menghela napas, menutup buku di tangannya, lalu berjalan pulang.
Ayah duduk di halaman, memegang pipa tembakau. Setelah menghirup dalam-dalam, ia berkata pada Tiezhu yang baru masuk: "Tiezhu, bagaimana progres belajarmu?"
Tiezhu membalas sekenanya, ayahnya mengetuk-ngetuk pipa tembakaunya lalu berdiri sambil berkata, \"Tiezhu, kau harus rajin belajar. Tahun depan sudah ujian kabupaten, masa depanmu tergantung pada ini. Jangan sampai seperti ayah, terjebak di desa seumur hidup, hah.\"
\"Sudah, kau setiap hari mengomel. Menurutku, Tiezhu kita pasti lulus ujian.\" Ibu Tiezhu menempatkan rantang makanan di meja halaman sambil memanggil suami dan anaknya untuk makan.
Tiezhu mengangguk, lalu menyendok nasi seenaknya. Sang ibu memandangi anaknya dengan penuh kasih, menyisipkan beberapa potong daging yang tak seberapa ke mangkuknya.
\"Ayah, Paman Keempat segera datang kan?\" Tiezhu mengangkat kepala bertanya.
\"Kira-kira hari-hari ini. Adikmu itu lebih sukses daripada ayah.\" Ayahnya menghela napas, \"Bu, sayuran gunung untuk Si Keempat sudah dibungkus kan?\"
Ibu mengangguk, terharu berkata: "Tie Zhu, Paman Keempatmu ini orang baik. Beberapa tahun ini berkat bantuannya, ukiran kayu buatan ayahmu bisa terjual dengan harga pantas. Kalau nanti kamu sukses, jangan lupa membalas budi Paman Keempatmu."
Sedang berbicara, tiba-tiba suara kuda terdengar di luar pintu. Disusul gemeretak roda gerbong menekan tanah, suara lantang yang ceria menggema dari luar.
"Kakak Kedua, Buka pintu, ya."
Tie Zhu terkejut dan senang, segera berlari mendorong pintu gerbang pekarangan. Terlihat seorang pria paruh baya kekar berdiri di luar pintu dengan pandangan tajam bercahaya. Melihat Tie Zhu, ia tertawa lebar sambil meraba kepala anak itu, "Tie Zhu, baru setengah tahun tak bertemu, kau sudah tumbuh lebih tinggi."
Orangtua Tie Zhu buru-buru berdiri. Ayahnya tersenyum, "Paman Keempat, kuduga waktumu hampir tiba. Masuklah! Tie Zhu, cepat ambilkan kursi untuk pamanmu!"
Tie Zhu dengan gembira mengiyakan, lalu buru-buru lari ke dalam rumah mengeluarkan bangku kayu. Dengan seksama ia mengelapnya menggunakan lengan baju sebelum menaruhnya di samping meja makan, matanya berbinar penuh harap memandang sang pria paruh baya.
Pria paruh baya itu mengedipkan mata padanya, bercanda, "Tie Zhu, kali ini kau rajin sekali. Aku ingat waktu kunjungan terakhir, kau tidak seperti ini."
Ayah Tie Zhu melotot ke arahnya, menegur sambil tertawa, "Dasar bajingan kecil! Dari tadi dia terus mengomel menanyakan kapan kau akan datang."
Melihat pipi merah Tie Zhu, pria itu tersenyum, "Tie Zhu, Paman Keempat tidak melupakan janji untukmu." Sambil berbicara, ia mengeluarkan dua buku jilid benang dari dalam jubahnya dan meletakkannya di meja.
Tie Zhu bersorak girang, mengambil buku-buku itu dan membalik-balik halamannya dengan sukacita yang tak terbendung.
Ibu Tie Zhu memandang putranya dengan penuh kasih, lalu berkata pada pria itu, "Lao Si, kakakmu selalu merindukanmu. Tinggallah lebih lama kali ini."
Pria paruh baya itu menggelengkan kepala, "Saudari Er, keluarga sedang sibuk akhir-akhir ini. Besok pagi aku harus segera kembali. Setelah urusan ini selesai, aku akan datang lagi mengunjungi kalian." Sambil berkata demikian, dia memandang penuh permintaan maaf ke arah kakak keduanya.
Ayah Tie Zhu menghela nafas, "Lao Si, jangan dengarkan istriku. Besok kita selesaikan pengiriman barang dulu. Urusan keluarga yang paling penting. Masih ada kesempatan untuk berkumpul nanti."
Pria paruh baya itu menatap Ayah Tie Zhu, "Kak, Tie Zhu tahun ini sudah lima belas tahun ya?"
Ayah Tie Zhu mengangguk, "Setelah tahun baru, si brengsek kecil ini genap enam belas. Ah, waktu berlalu begitu cepat, sudah lebih dari sepuluh tahun." Matanya memancarkan kasih sayang saat memandang anaknya.
Pria itu diam sejenak, wajahnya menjadi serius, "Kak, Saudari Er, ada sesuatu yang ingin kusampaikan. Sekte Heng Yue tahun ini menerima murid baru. Keluarga mendapat tiga kuota rekomendasi, dan salah satunya jatuh ke tanganku."
Ayah Tie Zhu tertegun, "Sekte Heng Yue? Yang penuh dengan dewa-dewa itu?"
Pria paruh baya itu tersenyum dan mengangguk, "Kak, itu memang sekte para dewa. Keluarga kita termasuk keluarga terpandang di sekitar sini, jadi punya hak rekomendasi. Anakku seperti yang kau tahu, tidak pandai akademis tapi jago bermain pedang. Kurasa para dewa takkan menerima anakku. Kuberikan jatah ini pada Tie Zhu yang sejak kecil cerdas dan suka belajar, mungkin dia bisa diterima."
Ibu Tie Zhu tersentak gembira, buru-buru berkata, "Lao Si, ini... ini..."
Pria paruh baya itu mengelus kepala Tie Zhu, "Kakak, Kakak ipar, mari kita putuskan begitu saja. Biarkan Tie Zhu mencoba. Jika benar diterima, itu rejekinya."
Tie Zhu memandang bingung ke orang tua dan pamannya. Ia tak paham pembicaraan mereka. Dewa? Apa itu dewa? Setelah ragu sejenak, ia bertanya pelan.
Pria paruh baya itu dengan wajah serius menatap Tie Zhu, berkata: "Tie Zhu, dewa adalah makhluk yang bisa terbang di langit. Setiap dari mereka memiliki kesaktian luar biasa yang tak bisa dipahami manusia biasa."
Dalam kebingungannya, Tie Zhu mulai merasa sedikit penasaran tentang dewa-dewa itu.
Ayah Tie Zhu berdiri gemetar karena terharu, menarik ibu Tie Zhu untuk membungkuk hormat pada pria paruh baya itu. Pria itu segera menahan mereka, berkata tulus: "Kakak, untuk apa ini? Ibuku sudah lama meninggal. Kalau bukan karena bantuanmu dulu, mana mungkin aku bisa seperti sekarang. Tie Zhu adalah keponakanku, ini sudah kewajibanku."
Ayah Tie Zhu menghela napas panjang dengan mata berkaca-kaca, menepuk bahu pria itu keras-keras. "Wang Lin, ingat baik-baik! Bagaimanapun keadaannya nanti, jangan pernah lupa budi Paman Keempat pada keluarga kita! Jika tidak, aku tidak akan mengakuimu sebagai anak!"
Tie Zhu gemetar dalam hati. Meski masih bingung tentang dewa, dari raut wajah orangtuanya ia tahu ini sangat penting. Ia berlutut di depan Paman Keempat, mengetuk kepala beberapa kali dengan keras.
Pria paruh baya itu mengangkat Tie Zhu sambil memuji, "Anak baik! Kamu bersihkan barang-barang beberapa hari ini, akhir bulan Paman akan menjemputmu!"
Senja itu, Tie Zhu tidur lebih awal. Telinganya masih mendengar suara ayah dan paman keempat di halaman. Ayah sangat gembira hari ini, meski jarang minum alkohol, ia bersikeras minum beberapa gelas dengan pamannya.
"Dewa? Sebenarnya apa itu?" Tie Zhu berdebar-debar. Jiwa kecilnya samar mengerti, ini adalah kesempatannya untuk menjelajahi dunia luar!
Keesokan paginya, Paman Keempat pergi. Orangtua Tie Zhu mengantarnya sampai gerbang desa. Dalam perjalanan pulang, Tie Zhu melihat jelas ayahnya tiba-tiba tampak lebih muda, sorot matanya penuh harapan.
Sorot mata penuh harapan itu jauh lebih intens dibandingkan saat mereka menyuruhnya mengikuti ujian kabupaten dulu.
Di desa kecil ini tak ada rahasia yang bisa disembunyikan. Bahkan anjing yang melahirkan beberapa anak pun akan langsung menjadi buah bibir seisi kampung. Tak lama, seluruh warga desa sudah mendengar kabar dari ibu Tie Zhu. Mereka berdatangan mengunjungi, tatapan mereka pada Tie Zhu bermacam-macam—ada yang penuh kekaguman, ada pula yang diselimuti iri hati...
"Keluarga Wang memang punya anak hebat. Dia diterima sebagai murid Sekte Heng Yue."
"Aku sudah melihat Tie Zhu tumbuh sejak kecil. Anak ini memang pintar dari bayi. Sekarang jadi murid Sekte Heng Yue, pasti akan sukses besar nantinya."
"Tie Zhu yang berbakat, jangan lupa kampung halaman kalau sudah sukses. Sering-seringlah pulang ya."
Ucapan-ucapan semacam ini terus membanjiri telinga Tie Zhu, semakin lama semakin terdengar seolah dia benar-benar sudah resmi menjadi murid Sekte Heng Yue. Setiap mendengarnya, orang tuanya tak bisa menahan senyum, keriput di wajah mereka pun seolah berkurang.
Setiap kali Tiezhu berjalan sendiri di desa, semua warga yang melihatnya akan menariknya dengan antusias dan bertanya macam-macam. Bahkan ada yang menjadikan Tiezhu sebagai panutan di hadapan anak-anak mereka sendiri sambil memberi wejangan.
Dua minggu berlalu dengan cepat. Kabar Tiezhu menjadi murid Sekte Hengyue menyebar luas. Warga dari desa-desa sekitar dalam radius sepuluh li berdatangan memberi ucapan selamat, dengan tujuan utama untuk melihat Tiezhu.
Setiap tamu yang datang selalu membawa hadiah. Orang tua Tiezhu yang tidak bisa menolak pun menerimanya. Namun saat para tamu hendak pulang, mereka menyiapkan hadiah balasan yang bernilai tinggi. Seperti kata ayah Tiezhu: "Anak kita nanti akan menjadi dewa yang terhormat, tidak boleh berhutang budi. Semua tamu yang datang harus kita beri hadiah balasan."
Pada saat ini, anggota keluarga Wang juga mulai mengetahui bahwa Paman Keempat memberikan kuota anaknya kepada Tiezhu. Mereka pun berdatangan untuk memberikan ucapan selamat.
Bagi anggota keluarga besar mereka sendiri, ayah Tie Zhu sangat menghargai. Banyak di antara mereka yang dulu meremehkannya, bahkan ada yang memaksanya keluar dari keluarga bertahun-tahun silam. Kini satu per satu mereka datang ke rumahnya, membuat semua kekesalan bertahun-tahun lenyap seketika.
Setelah berdiskusi dengan ibu Tie Zhu, mereka memutuskan untuk mengadakan jamuan besar. Dengan biaya mahal, mereka meminta guru desa menulis undangan yang dikirim ke seluruh anggota keluarga.
Guru desa itu menolak dibayar, hanya mensyaratkan Tie Zhu harus mengakui bahwa sejak kecil dia belajar membaca di tempatnya. Tie Zhu tidak keberatan karena memang itu fakta.
Setelah undangan terkirim, sebagian besar kerabat Wangshi datang merayakan. Karena jumlah tamu sangat banyak, ayah Tie Zhu memilih lapangan tengah desa sebagai tempat jamuan, menyiapkan ratusan meja makan.
Penduduk desa sukarela membantu menjamu tamu. Dalam percakapan mereka, tak henti-hentinya memuji dan mengagumi Tie Zhu.
Mengenai ayah Tiezhu, dia bersama istri dan anaknya secara pribadi menyambut di pintu masuk desa, memperkenalkan satu per satu identitas kerabat kepada Tiezhu.
"Ini kakek buyut ketigamu, dulu saat ayah meninggalkan keluarga, kakek buyut diam-diam banyak membantu. Tiezhu, kau harus ingat untuk membalas budi nanti." Ayah Tiezhu menopang seorang tua berambut putih sambil berkata pada Wang Lin.
Tiezhu segera menjawab dengan patuh, sang tua memandangi Tiezhu dan berkata penuh haru: "Lao Er, waktu berlalu begitu cepat, anakmu sudah sebesar ini. Anakmu ini sangat baik, lebih sukses daripada kau dulu."
Wajah ayah Tiezhu berseri-seri: "Kakek Buyut, Tiezhu sejak kecil memang cerdas, pasti lebih hebat dari saya. Kakek pelan-pelan jalannya, Istri, tolong antar Kakek Buyut ke tempat jamuan."
Ibu Tiezhu segera maju dan membantu menuntun sang tua menuju meja jamuan.
Setelah melihat orang tua itu pergi, Ayah Tiezhu mendengus dan berkata pada Tiezhu: "Si tua itu dulu meremehkan ayahmu, memaksaku pergi. Sekarang Tiezhu sudah sukses, dia malah datang memberi selamat. Begitulah sifat keluarga."
Tiezhu mengangguk polos dan bertanya: "Ayah, apakah Paman Keempat akan datang hari ini?"
Ayah Tiezhu menggelengkan kepala: "Pamanmu mengirim kabar, dia sedang di luar kota dan tidak bisa pulang. Baru bisa kembali saat menjemputmu akhir bulan nanti."
Tiba-tiba kereta kuda lain datang berhenti di pintu desa. Seorang pria berusia lima puluhan keluar, memandang Ayah Tiezhu lalu menghela napas: "Lao Er, selamat."
Wajah Ayah Tiezhu berubah rumit, lama kemudian berkata: "Kakak..."
Pria tua itu mengalihkan pandangannya ke Tiezhu sambil tersenyum: "Lao Er, ini pasti anakmu? Bagus, kali ini mungkin benar-benar bisa terpilih."
Ayah Tiezhu mengerutkan kening sebentar lalu tersenyum, berkata: "Tiezhu ini memang tidak punya kelebihan lain, tapi sejak kecil sudah pintar dan rajin belajar. Kali ini pasti akan terpilih."
"Belum tentu! Sekte para dewa memilih murid dengan kriteria sangat ketat, harus ada jodoh spiritual. Menurutku anak ini terlalu bodoh, percuma saja ikut ujian." Suara sombang bergema dari dalam kereta kuda, lalu turunlah seorang pemuda berusia 16-17 tahun.
Pemuda itu tampan dengan alis tajam bagai pedang, mata berkilau seperti bintang, dan wajah sehalus giok. Sorot matanya penuh kesombongan.
Ayah Tiezhu melotot marah, sementara Wang Lin hanya memandang tajam ke arah pemuda itu tanpa berkata-kata.
Orang tua itu menatap dengan serius dan membentak, "Wang Zhuo, bagaimana bisa kamu tidak sopan seperti ini? Ini adalah paman kedua kamu, ini adalah adikmu Wang Lin, cepat beri salam!" Setelah itu, dia berpaling ke ayah Tie Zhu dan berkata, "Maafkan ucapan kasar anak saya, jangan ambil hati. Tapi..." Suaranya berubah, "Tapi paman, penerimaan murid oleh dewa bukanlah hal sederhana. Harus ada jodoh. Kali ini adalah Dao Xu Shangxian dari Sekte Heng Yue yang tertarik pada anak saya, baru memberikan tiga kuota termasuk anak saya kepada keluarga Wang."
Ayah Tie Zhu mendengus keras, "Jika anakmu bisa terpilih, anakku pasti juga akan terpilih!"
Pemuda itu mencemooh, sama sekali tidak menghiraukan bentakan orang tua itu, dengan sikap merendahkan berkata, "Anda paman kedua ya? Saya sarankan jangan berharap muluk. Sistem kultivasi dewa ini hampir mustahil dicapai. Anak bodoh ini tak mungkin menyaingi tuan muda. Saya adalah murid yang ditunjuk langsung oleh guru dewa, mana mungkin dia bisa menyamai?"
"Wajah tua itu menunjukkan ekspresi puas sekejap, lalu memarahi beberapa kalimat lagi. Dengan mengepalkan tangan ke arah Ayah Tie Zhu, ia membawa remaja itu menuju ke tempat pesta."
"Tie Zhu, jangan terlalu tertekan. Kalau memang tidak terpilih juga tidak apa-apa, tahun depan kita ikut ujian kabupaten saja." Ayah Tie Zhu yang telah menahan emosi setengah mati akhirnya menghela nafas panjang, berkata dengan nada serius.
Wang Lin menatap dengan pandangan teguh, berbisik pelan: "Ayah, tenang saja, aku pasti akan terpilih!"
Ayah Tie Zhu menepuk lembut bahu anaknya, matanya memancarkan sorotan harapan.
Setelah menyambut banyak kerabat lainnya, Ayah Tie Zhu akhirnya membawanya kembali ke pesta. Saat itu tempat sudah penuh tamu penting, suasana ramai sekali. Semua orang saling memberikan ucapan selamat, riuh rendah.
“Sanak saudara sekeluarga, para tetua dan warga sekampung, saya Wang Tianshui ini tidak berpendidikan tinggi, tak pandai merangkai kata-kata. Tapi hari ini saya sangat bahagia, anak saya mendapat kesempatan terpilih sebagai murid Heng Yue Pai, ini kebahagiaan terbesar seumur hidup saya! Tak perlu banyak bicara lagi, terima kasih atas ucapan selamat kalian semua!” Ayah Tie Zhu berseru lantang sebelum meneguk habis anggur di gelasnya.
“Kakanda Kedua, sejak kecil anakmu memang cerdas dan lincah. Pasti akan terpilih seperti anak Wang Zhuo itu, menjadi dewa.”
“Kakak Kedua, dengan memiliki anak seperti Tie Zhu, hidupmu tak sia-sia. Tinggal menikmati kebahagiaan di hari tua nanti.”
“Tie Zhu, berjuanglah untuk membawa kehormatan ayahmu. Kali ini apapun yang terjadi harus bisa masuk Heng Yue Pai!”
Suasana untuk sementara menjadi sangat meriah, sorak-sorai ucapan selamat bergema. Namun diam-diam, banyak orang yang menyimpan sikap ingin melihat kejadian, seperti ayah Wang Zhuo. Secara lahiriah dia mengucapkan selamat, namun di dalam hati selalu memandang rendah adik kedua ini, apalagi terhadap anaknya. Ia melirik anaknya sendiri, lalu melihat Tie Zhu, dalam hati sangat meremehkan. Ia berpikir meskipun keputusan Lao Si menyerahkan kuota ini di luar perkiraannya, selama para dewa itu tidak buta, mustahil mereka akan memilih Tie Zhu.
Beragam watak manusia terlihat jelas di antara kerumunan ini. Ayah Tie Zhu menggandengnya, menjamu minum di setiap meja, memperkenalkannya pada satu per satu kerabat asing.
Hari itu, ayah Tie Zhu minum sangat banyak. Ia belum pernah merasakan kemuliaan seperti ini sebelumnya. Hingga larut malam, kerabat-kerabat mulai berpamitan. Saat akan pergi, remaja Wang Zhuo tetap dengan ekspresi meremehkan. Diam-diam ia membisikkan di telinga Tie Zhu: "Bocah tolol, kau takkan terpilih. Kau tak punya bakat untuk itu."
Setelah berkata begitu, dia tersenyum merendahkan dan pergi bersama ayahnya.
Kembali ke rumah, Tie Zhu berbaring di tempat tidur, dalam hati diam-diam memutuskan bagaimanapun juga harus terpilih!
Setengah bulan berlalu dengan cepat, hari ini paman keempat Tie Zhu datang dengan kereta kuda.
Orang tua Tie Zhu segera menyambutnya ke dalam rumah, pria paruh baya itu membasuh muka lalu buru-buru berkata: "Kakak kedua, kakak ipar, kali ini tidak bisa lama, aku akan segera membawa Tie Zhu pergi. Besok pagi Sekte Hengyue akan datang menjemput."
Ayah Tie Zhu tertegun, wajahnya menunjukkan rasa berat hati, namun dengan tegas berkata: "Baik, Tie Zhu, ikutilah paman keempatmu... Jika kau terpilih, tekunlah berlatih di Sekte Hengyue. Jika... jika tidak terpilih, jangan merasa terbeban, pulanglah ke rumah."
Tie Zhu memandangi orang tuanya dengan perasaan tidak tega, mengangguk berat. Ibunya mengeluarkan bungkusan dari kamar, berkata penuh kasih: "Tie Zhu, dengarkan perkataan Paman Keempat di luar, jangan cari masalah. Dunia luar tidak seperti rumah, lebih banyak mengalah. Ibu menyiapkan beberapa baju baru dan ubi panggang kesukaanmu. Ibu akan merindukanmu... Kalau tidak terpilih, pulanglah..." Suara ibu Tie Zhu semakin bergetar sementara air matanya mengalir.
Sejak kecil hingga besar, Tie Zhu belum pernah keluar dari desa. Kali ini adalah pertama kalinya ia pergi.
Paman Keempat di samping menghela napas: "Tie Zhu, beri kebanggaan untuk orang tuamu! Pasti harus terpilih. Kakak Kedua, Istri Kakak Kedua, beberapa hari lagi klan akan mengadakan pesta besar. Karena terburu-buru hari ini, besok saya akan menjemput kalian. Tiga anak rekomendasi klan akan mengetahui hasilnya saat itu."
Usai bicara, ia menarik Tie Zhu buru-buru naik kereta kuda, mencambuk kuda itu, lalu melesat pergi.
Orang tua Tie Zhu terus memandangi kereta kuda yang menghilang dengan cepat, air mata tak henti mengalir.
"Ayah, Tie Zhu belum pernah jauh dari kita. Apakah dia akan di-bully di luar sana?" Ibu Tie Zhu menggigit bibir bawahnya, mata penuh rasa tak rela.
"Anak sudah besar, rejeki mereka ada di tangan sendiri..." Ayah Tie Zhu mengambil pipa tembakau, menghisap dalam-dalam. Keriput di wajahnya bertambah jelas.
