Wajahnya pucat pasi, dengan gigi terkunci dia berdiri lalu melihat sekeliling. Tampaklah ini adalah gua alami yang tak terlalu luas. Sinar matahari menyusup masuk melalui mulut gua, menerangi hamparan tulang-belulang burung dan hewan.
Di dinding belakangnya terdapat lubang hitam seukuran kepalan tangan, gelap gulita hingga tak terukur kedalamannya. Setelah mengamati sejenak, dia menyimpulkan bahwa daya tarik misterius tadi pasti berasal dari lubang kecil ini. Tulang-tulang unggas di tanah mungkin adalah korban yang sama seperti dirinya - tersedot masuk lalu tewas terjatuh.
Daya hisap ini mungkin muncul secara tidak teratur, tepat pada saat dia terjatuh tiba-tiba muncul, sehingga menyelamatkan nyawanya. Wang Lin menahan sakit di lengan kanannya, hendak berjalan keluar gua. Tiba-tiba tulang-belulang di tanah bergerak sendiri tanpa angin, mengalir ke belakang. Wang Lin tanpa bicara langsung berguling ke sudut.
Pada momen ini, daya hisap luar biasa besar muncul dari lubang kecil di dinding. Tulang burung dan binatang di tanah berderak-derak, terus-menerus tersedot ke dalam lubang kecil. Beberapa tulang yang berukuran besar seperti direkatkan hidup-hidup ke dinding, menyumbat lubang tersebut.
Meski demikian, daya hisap tetap kuat. Seekor burung terbang dari mulut gua luar tersedot masuk, menabrak dinding dengan kecepatan tinggi disertai bunyi "pak!", darah berceceran.
Sekitar satu jam kemudian, daya hisap menghilang. Wang Lin memandang ngeri ke arah bangkai burung di tanah. Dia tidak bergerak, tetap duduk diam sambil menghitung waktu dalam hati.
Setengah jam kemudian, daya hisap muncul kembali. Setelah beberapa kali siklus berulang, Wang Lin berhasil memahami polanya: daya hisap aneh ini berlangsung selama satu jam dan akan muncul kembali setiap setengah jam setelah berhenti.
Memanfaatkan jeda saat daya hisap menghilang, Wang Lin segera merangkak ke mulut gua sambil menahan sakit. Matanya menyapu pandang ke bawah dan ia menghela nafas getir. Di bawah terbentang hutan belantara dengan bebatuan ganjil yang runcing-runcing. Tebing curam itu menjulang puluhan zhang (30-40 meter) ke dasar jurang. Dengan luka di lengannya, mustahil baginya untuk memanjat turun. Melompat berarti bunuh diri.
Tas berisi persediaan makanan tertinggal di puncak gunung. Masalah logistik kini jadi prioritas. Setelah merenung sejenak dan memperhitungkan jadwal daya hisap berikutnya, Wang Lin segera mundur ke sudut gua dan duduk merapat ke dinding.
Waktu sehari berlalu dengan cepat, langit mulai gelap. Wang Lin merasakan tubuhnya perlahan melemah dengan jelas, lengannya sudah mati rasa sepenuhnya. Setelah berpikir panjang, dia berkata dengan getir pada dirinya sendiri: "Terjebak di sini berarti mati, tapi melompat dari tebing juga pasti tidak selamat, hah."
Memandangi bangkai burung yang hancur berdarah di sudut dinding tak jauh darinya, setelah ragu sebentar, dia mengeratkan gigi mendekat dan mengambilnya. Saat didekatkan ke mulut, bau anyir dan amis menyergap hidungnya. Wang Lin menghela napas pelan, tanpa bicara langsung menggigit daging mentah itu dengan lahap.
Hampir tanpa mengunyah, dia langsung menelannya. Perutnya berkontraksi dan bergolak memicu aliran hangat. Dengan rakus dia melahap separuh tubuh burung itu, rasa mual yang tak tertahankan mulai naik. Wang Lin segera berdiri, menarik napas dalam-dalam beberapa kali baru berhasil menekannya.
Sambil membuang sisa bangkai burung yang sudah dimakan, Wang Lin duduk bersandar di dinding. Pikirannya dipenuhi berbagai bayangan—sejenak teringat orangtuanya, lalu Paman Keempat, kemudian wajah sinis kerabat yang mengejek, dan tatapan dingin pria berjubah hitam dari Sekte Heng Yue.
Dalam keadaan pikirannya yang melayang, tiba-tiba matanya terbelalak menatap bangkai burung setengah dimakan di sampingnya. Tanpa berkedip, ia menyambar bangkai itu dan mengamatinya dengan saksama. Di antara daging burung yang tersisa, terlihat sebuah mutiara merah seukuran kepalan tangan bayi. Wang Lin mengorek mutiara itu keluar, hati dipenuhi keheranan.
Bagaimana mungkin ada mutiara di dalam tubuh burung ini? Jantungnya berdebar kencang. Ia teringat sebuah buku mitos berjudul "Shan Hai Jing" yang pernah dilihatnya di rumah guru desa. Buku itu menyebutkan bahwa banyak hewan yang hidup lama akan membentuk harta bernama "Nei Dan" dalam tubuhnya.
Jika manusia memakan harta ini, mereka akan mendapat kekuatan dahsyat, umur panjang, bahkan bisa menumbuhkan kembali anggota tubuh yang putus.
Saat itu dia tidak percaya dengan deskripsi ini, bahkan dalam hati mengejek. Tapi sekarang setelah melihat dewa dengan mata kepalanya sendiri, dia mulai mempercayai beberapa legenda mitos dalam Shan Hai Jing.
Jantung Wang Lin berdegup kencang. Jika benar mutiara ini adalah intidan yang dideskripsikan dalam Shan Hai Jing, maka dengan memakannya lukanya akan sembuh seketika, meninggalkan tempat ini akan mudah, bahkan bergabung dengan sekte dewa pun seharusnya bukan masalah. Setidaknya dalam uji ketekunan, pasti akan membuatnya lulus.
Tapi permukaan mutiara ini terasa keras, tidak seperti benda yang bisa dimakan. Alisnya berkerut, dia mengelapnya dengan kain dari bajunya sampai bersih, mengembalikan warna aslinya.
Ternyata ini adalah batu mutiara abu-abu dengan lima gambar awan yang terlihat sangat kuno. Wang Lin kecewa berat. Dengan gigi yang masih nekad menggigit batu itu, akhirnya dia mengelusnya sambil tersenyum getir: "Tie Zhu, kau terlalu berkhayal. Di dunia ini mana mungkin ada burung yang kebetulan mati di depanmu langsung punya intidan?"
Menghela napas, saat itu di luar langit sudah gelap, dengan kelelahan yang mendalam, dia meringkuk di sudut dan perlahan tertidur. Batu kerikil itu diletakkannya sembarangan di samping tulang binatang.
Saat itu sudah musim gugur, bumi melepaskan panas dengan cepat, terutama di pegunungan. Sedikit demi sedikit udara sejuk terus menyusup ke tubuh Wang Lin. Dalam tidurnya dia memeluk tubuhnya erat-erat, malam pun berlalu dengan cepat.
Keesokan paginya, cahaya matahari terbit menyelinap dari luar gua, menyinari bagian dalam. Tetesan embun berkilauan mulai merembes dari batu kerikil di samping Wang Lin. Seiring embun yang semakin banyak, perlahan mengalir ke tulang binatang.
Tidak lama kemudian, Wang Lin terbangun. Lengannya masih membengkak, tidak ada tanda-tanda membaik malah semakin parah. Wang Lin duduk di tanah, hati yang muram.
“Apakah aku akan terjebak di sini seumur hidupku?” gumamnya sambil memandang sekeliling. Tiba-tiba ia melihat embun di tulang hewan di sampingnya. Merasa haus, dengan hati-hati ia mengambil tulang hewan itu dan menjilati embun yang terkumpul di permukaannya hingga bersih.
Embun itu terasa manis dan enak diminum. Entah khayalan atau tidak, setelah meminumnya seluruh tubuhnya terasa hangat dan sangat nyaman.
Terutama di bagian luka lengannya, muncul rasa gatal dan nyeri yang terus-menerus. Ajaibnya, pembengkakan justru sedikit mereda. Wang Lin menggosok matanya, memeriksa dengan seksama lalu tersenyum lega melihat lengan memang mulai mengempis. Ia segera mencari tulang hewan lain di sekitarnya, sayangnya tak ada satu pun yang masih ada embunnya.
Saat sedang bingung, tiba-tiba matanya tertuju pada Batu Mutiara di sebelahnya. Ia memandangnya dengan intens dan melihat tetesan embun halus di permukaannya. Ia teringat bahwa tulang binatang yang ada embun tadi memang berada tepat di samping Batu Mutiara. Dengan hati-hati ia mengambil Batu Mutiara, jantungnya berdegup kencang tak terkendali. Setelah ragu sebentar, tanpa banyak bicara ia menggulingkan batu itu di lengannya, mengoleskan embun di atasnya secara merata ke bagian yang bengkak.
Rasa sejuk mulai merambat dari lengannya. Wang Lin tidak berkedip sama sekali, matanya terus menatap lengan. Setelah lama, sorot mata bahagia muncul - bengkak di lengannya secara ajaib menyusut. Ia menggerakkan lengan perlahan, meski masih terasa sedikit nyeri tapi sudah tidak parah.
"Batu Mutiara ini pasti harta karun!" Wang Lin berseru gembira.
