Wang Lin merasa hatinya hangat. Setelah sebulan menerima sindiran pedas dan ejekan dari orang lain, pulang ke rumah langsung merasakan perhatian tulus dari orang tuanya.
"Kak kedua, Wang Lin sekarang sudah jadi murid dewa. Aku si adik keenam dulu buta mata, ngomong beberapa kata kasar. Kakak jangan diambil hati. Kau tahu sifatku kan, mulut pedas tapi hati lembut. Semuanya demi kebaikan Wang Lin."
"Kakak ipar, waktu itu putriku langsung marah waktu kudengar belum dijodohkan. Dia ngotot mau menikah dengan Tiezhu-mu. Bagaimana kalau kita tetapkan perjodohan ini?"
"Lao Er, Paman Kelima sudah tua. Keluarga Wang kedepan harus mengandalkan kalian. Seumur hidupku, yang paling kuhargai adalah anakmu. Dia benar-benar berbakat. Sejujurnya, menurutku dia lebih sukses daripada anak kakak sulung kita."
Orang tua Wang Lin tampak berseri-seri. Tak lama kemudian, pesta ulang tahun dimulai. Semua kerabat yang hadir memuji-muji Wang Lin tanpa henti. Bahkan ada yang setelah minum beberapa gelas, berteriak-teriak membela ayah Wang Lin tentang masalah harta warisan dulu, bersikeras ingin bersatu merebut kembali bagian yang seharusnya menjadi haknya. Ayah Wang Lin hanya tersenyum, tidak menganggap serius. Dia terlalu paham dengan sifat para kerabat ini.
Yang lebih penting, sekarang dia sudah tidak mempedulikan perkara masa lalu itu lagi. Satu-satunya harapannya adalah anaknya bisa semakin sukses, tidak ada permintaan lain.
Sepanjang hari penuh keriuhan, saat senja tiba semua kerabat mulai berpamitan. Wang Lin memandangi hadiah-hadisah berbagai ukuran di halaman rumahnya, hati dipenuhi rasa haru. Dalam buku sering tertulis: "Satu orang meraih kesuksesan, bahkan ayam dan anjing pun ikut naik ke langit." Sekarang dia benar-benar memahami makna pepatah itu.
Malam itu, ayah dan ibu Wang Lin menariknya dan bertanya tentang kehidupan di sekte. Melihat harapan di mata orang tuanya, Wang Lin berbohong untuk pertama kalinya, menggambarkan betapa dihargainya dirinya di sekte dan bagaimana dia berlatih, membuat kedua orang tuanya tersenyum tak henti-hentinya.
Demi ayah ibunya, meski sebagai murid nominal harus menderita dan dicemooh, dia gigih menahan semuanya. Bagaimanapun, sejak kecil orang tuanya tak pernah sebahagia ini.
"Sepuluh tahun bukanlah apa-apa, aku bisa bertahan!" Wang Lin bertekad dalam hati.
Wang Lin tinggal bersama orang tuanya selama dua hari. Pada subuh hari ketiga, diantar seluruh warga desa dan orang tuanya, dia menempelkan talisman dewa di kaki dan pergi.
Sampai jauh sekali, gemanya masih terdengar: kata-kata kagum warga desa selama beberapa hari ini.
Hari ini langit tampak suram, awan hitam bergelantung bagai batu besar yang menindih hati. Di langit sesekali terdengar gemuruh guntur, kelembaban di pegunungan meningkat drastis, dan kabut air mulai muncul.
Wang Lin tak sadar mempercepat langkahnya. Tengah malam, akhirnya ia tiba kembali di Sekte Heng Yue. Berbaring di tempat tidur pondokannya, Zhang Hu masih mendengkur dengan keras. Wang Lin bolak-balik tak bisa tidur. Tengah malam, gemuruh guntur di luar bergema, kilat menyambar sesaat menerangi seluruh ruangan. Wang Lin meraba mutiara di balik bajunya - selama pulang kali ini ia meminta ibunya menjahit kantong dalam di baju untuk menyimpan mutiara itu.
Mengeluarkan mutiara batu dari kantong dalam, Wang Lin mengamatinya di bawah sinar lampu minyak. Tiba-tiba matanya berkedip, ia menggosok matanya lalu menatap tajam pola awan di permukaan mutiara itu.
“Tidak mungkin, aku ingat waktu melihat terakhir kali, ada lima awan terukir di sini. Tapi sekarang kok jadi enam?” Wang Lin terkejut, duduk sambil menghitung berulang kali. Benar ada enam awan putih.
Hatinya dipenuhi keheranan, tak menemukan alasan. Namun semakin penasaran dengan bola mutiara ini, ia menyimpannya kembali dengan hati-hati. Wang Lin mematikan lampu minyak dan tertidur dengan segudang tanya.
Di luar angin kencang bertiup, kilat menyambar-nyambar, guruh menggelegar. Butiran hujan sebesar kacang jatuh berdentam. Jendela kamar berderak diterpa angin. Dalam tidurnya, Wang Lin terbangun karena kedinginan oleh hawa dingin yang menyusup. Saat membuka matanya, ia terpana melihat pemandangan di depannya.
Beberapa kilat berturut-turut menerangi segalanya, ruangan dipenuhi kabut air yang pekat. Di atas meja, lantai, bahkan hingga seprai ranjang semua basah kuyup. Namun seluruh tubuh Wang Lin kecuali area dada yang agak lembap, bagian lain tetap kering. Ia segera menoleh ke Zhang Hu, melihat tubuhnya diselubungi embun beku putih pucat, pakaian basah kuyup, kulit penuh lapisan es dari ujung kepala hingga kaki, mata terkatup rapat, wajah kebiruan dengan gigi gemertak.
"Zhang Hu, Zhang Hu!" Wang Lin kaget, bergegas bangun dan mengguncang tubuhnya berkali-kali. Zhang Hu sama sekali tak menunjukkan tanda-tanda sadar, bahkan napasnya nyaris tak terdengar.
Dalam kecemasan, Wang Lin hendak mencari bantuan ke luar. Tiba-tiba langkahnya terhenti, tangannya meraba pakaiannya sendiri, keraguan mulai merayap di hatinya.
“Mengapa di ruangan yang sama, bahkan selimut sudah bisa diperas hingga mengeluarkan air, tapi pakaianku hanya basah di bagian dada?” Wang Lin merenung, menunduk melihat dadanya. Matanya berkedip cepat saat mengeluarkan mutiara misterius dari sakunya.
Pada detik itu, semua tetesan air di kamar bergetar, perlahan melayang. Bahkan kabut putih tipis mulai mengepul dari tubuh Zhang Hu, membentuk tetesan air yang melayang di udara.
Kilat menyambar lagi. Wang Lin tertegun melihat tetesan-tetesan itu tiba-tiba berpendar terang, berubah menjadi titik-titik kristal yang menyatu dengan cepat ke mutiara misterius di tangannya.
Wang Lin segera melempar mutiara itu dan berjongkok menghindari semburan tetesan air.
Mutiara batu misterius itu melengkung di udara sebelum jatuh dan menggelinding. Semua tetesan air menyembur deras ke arahnya, terserap masuk ke dalam mutiara lalu menghilang.
Tidak lama kemudian, aliran air di dalam ruangan benar-benar mengering, bahkan selimut yang sebelumnya lembap pun kini menjadi kering kerontang. Napas Zhang Hu perlahan kembali normal, pakaiannya yang kusut menempel di tubuh.
Setelah sekian lama, meski hujan badai masih mengguruh di luar, langit tidak lagi gelap gulita. Cahaya bulan samar menyinari. Wang Lin berdiri, ragu-ragu sejenak sebelum akhirnya berjalan hati-hati mengambil bola misterius itu. Setelah mengamatinya dengan seksama, ia segera menyadari perbedaannya.
Awan-awan di permukaannya telah berubah menjadi tujuh!
Kejadian tadi membuatnya tidak hanya penasaran, tapi juga mulai merasa takut pada bola misterius itu. Andai saja ia tidak segera terbangun dan mengeluarkan bola itu, Zhang Hu mungkin sudah tewas kedinginan karena terlibat.
Mengenai dirinya sendiri yang tidak apa-apa, Wang Lin merenung sejenak lalu menyimpulkan bahwa ini karena kebiasaannya meminum air pegunungan dan embun yang telah direndam dengan bola itu.
Namun terhadap awan di atas manik-manik itu, Wang Lin justru menumbuhkan minat yang besar. Ia sangat ingin tahu, apa sebenarnya fungsi awan tersebut. Setelah merenung lama, ia mengurungkan niat untuk keluar dan membiarkan manik-manik itu menyerap air hujan lagi. Ia khawatir fenomena yang terlalu besar akan menarik perhatian orang lain.
Setelah beberapa saat ragu, ia tetap dengan hati-hati menyimpan manik-manik itu di saku dalam bajunya. Tak lama kemudian, fajar mulai menyingsing. Saat Wang Lin hendak pergi ke bagian logistik, tiba-tiba Zhang Hu bangkit terhuyung dari tempat tidur sambil berteriak: "Air, air! Aku haus sekali!"
